5. My Super-baper Young-sister

"Maaf ya, baru bisa ke sini jengukin kamu sama Ara."

Barra berucap dengan jelaga sesal menyirat di kedua mata gelapnya. Berada persisi di hadapan, seorang perempuan cantik mengenakan gamis homeydress serta pasmina senada gamisnya menggeleng seraya tersenyum manis.

"Enggak papa, Mas, makasih sudah sempatkan waktu buat ke sini."

Barra ikut memulas senyum saat kakinya dihela memasuki ruang tamu sebuah rumah tipe 41.  Bertemu dengan perempuan dan gadis kecil berusia tiga tahun. Tak lupa membawa serta buah tangan berupa kue dan beberapa mainan untuk gadis kecil bernama Ara itu.

Fokus Barra beralih pada gadis kecil yang tengah duduk beralas karpet bulu-bulu-asyik menonton kartun di televisi. Senyumnya makin lebar, nada bicaranya mencuat isyaratkan si bocah kecil mendekat padanya.

"Ara, sini sama Papa Barra." Tangan lelaki itu merentang lebar, isyarat agar Ara mendekat. Tawa kecil Ara menguar disertai langkah kaki menyongsong pada Barra - yang langsung menangkap tubuh kecil Ara ke dalam pelukan.

"Ara kangen sama Papa Barra, beberapa hari kemarin nanyain kamu terus, Mas." Perempuan berhijab itu menukas. Mata cokelatnya menatap pada lelaki yang masih mengenakan setelan kantoran-celana bahan dan kemeja dengan lengan tergulung sampai siku. Tatapannya menyiratkan kekaguman setiap kali maniknya tak sengaja bertemu pandang dengan netra milik Barra Wisnu.

Perempuan mana yang tidak tertarik dengan segala pesona yang memancar dari Barra Wisnu?

Lelaki dengan tinggi di atas 180 senti itu memiliki wajah rupawan-salah satu faktor utama pencetus para perempuan untuk menoleh dua kali saat berpapasan dengannya.

Bukan hanya itu. Sikap penyanyang, penuh tanggung jawab, dan perhatian, rasa-rasanya tidak akan ada gadis yang menolak pesona Barra.

Kecuali satu nama. Aluna.

Anggukan Barra mendengar statement mamanya Ara. Selanjutnya lelaki itu sibuk membongkar mainan bersama Ara. Laki-laki dewasa dan balita itu dalam waktu singkat sudah sibuk bermain bersama, seolah di ruang tamu ini hanya ada mereka berdua. Menepikan kehadiran mamanya Mela- yang masih dalam posisi berdiri, memandang haru anak perempuan satu-satunya dengan lelaki yang sudah tiga tahun ini tak pernah absen memberi banyak perhatian untuknya dan juga Ara. 

"Wah, ittel puni." Little poni. Gumam Ara dibarengi mata berkilat senang.

Mamanya Ara refleks ikut memulas senyum menyaksikan binar cerah di mata putrinya. "Ara, bilang apa sama Papa Barra?" titahnya.

"Maacih Papaa Balla." Makasih papa Barra. Cericit Ara.

"Sama-sama anak cantik, Ara suka?"

"Cukaaa."

Pandangan Barra beralih pada mamanya Ara. Lelaki itu kemudian membiarkan Ara bermain dengan boneka barunya, dia beringsut bangkit dan mendekat pada mamanya Ara-yang berdiri tak jauh dari sisi kursi.

"Mela, maaf saya enggak bisa lama-lama, jam istirahat hampir habis, harus balik kantor."

Ada jelaga kecewa menyirat dari kedua manik perempuan bernama Mela itu saat mendengar penuturan Barra.

Decakan pendeknya mencuat.

"Buru-buru banget, Mas, aku udah siapin makan siang padahal. Kamu makan dulu, ya."

Barra menimbang seraya melirik arloji. Anggukannya kemudian terlepas mengabuli perintah Mela.

"Oke," jawabnya seraya tersenyum tipis. Merasa tak tega mengabaikan Mela yang sudah repot-repot menyiapkan makan siang untuknya.

Meninggalkan Ara yang sibuk bermain di ruang tamu, Barra menghela kaki menuju meja makan tak jauh dari ruang utama rumah ini. Hanya bersekat gorden yang diikat kanan-kiri, meja makan minimalis berada persis di depan kitchen set.

Mata hitamnya menatap meja makan yang telah terhidang beberapa menu; Ayam bakar, lengkap dengan sambal dan lalapan, tahu dan tempe goreng, serta tumis kangkung. Barra membalik piring, saat ingin menciduk nasi, tangan Mela dengan sigap lebih dulu menuangkan nasi ke atas piringnya.

"Makasih, Mel," ucapnya disertai senyum tipis. Mela menanggapi dengan anggukan kecil.

"Yang banyak makannya, Mas, semuanya aku sendiri yang masak."

Anggukan Barra. Dia makan dengan lahap. Sementara Mela hanya duduk di seberangnya seraya memerhatikan cara lelaki itu makan seraya diam-diam mengulum senyum, merasai kehangatan menjalar di hati melihat Barra menyukai hasil olahan tangannya.

Sepuluh menit Barra habiskan di meja makan. Usai menenggak segelas air dan cuci tangan, lelaki itu bangkit dari kursi, ingin pamit kembali ke kantor.

"Masakan kamu selalu berhasil membungkam cacing-cacing di perut saya, Mel." Kalimat kiasan Barra timbulkan tawa kecil Mela. Perempuan itu ikut bangkit berdiri sejara di sisi lelaki yang lebih tinggi darinya.

"Saya pamit ya, maaf enggak bisa lama-lama, Insya Allah weekend nanti ke sini lagi, kita ajak Ara jalan-jalan."

Mela mengangguk ringan. Sebelum Barra mengayun kaki, Kamela menggerak bibirnya, mengatakan sesuatu.

"Mas, apa tawaran kamu tiga tahun lalu masih berlaku buat aku?" tanya Mela tiba-tiba.

Barra terdiam. Dia paham maksud pertanyaan Kamela. Jika dalam waktu tiga tahun kemarin dia konstan dengan tawarannya pada Mela, tapi sekarang hatinya goyah- sejak mama memberi ultimatum untuk menjodohkannya dengan Aluna. Barra masih diam, mencoba merakit kata-kata yang pas untuk Kamela.

Barra berdeham kecil sebelum jawabi pertanyaan ibunya Ara itu.

"Maaf Mela, kita bicarakan nanti ya, sekarang saya buru-buru, ada meeting sebentar lagi. Enggak papa, kan?" Mata Barra menelisik raut Mela, mencoba menakar ekspresi perempuan itu dari jarak dekat. Mela mengangguk samar dibarengi senyum .

"Iya, Mas, maaf kalau tiba-tiba aku nanya kayak gitu."

Barra menggeleng. "Enggak papa," sahutnya sejurus pamit pada Mela dan Ara.

***

"Jadi, Lun, diingat-ingat ya, jangan lupa dicatat semuanya. Yang saya jelaskan tadi semuanya hal yang disukai dan tidak disukai Mr. Ridwan. Jangan sampai nanti ada kesalahan sekecil apapun. Mr. Ridwan itu orangnya super perfect, dengar-dengar sih, penyintas OCD, jadi maunya serba bersih, rapi, dan wangi, Lun."

Aluna manggut-manggut seraya mencatat semua hal yang Mbak Dina ajarkan padanya. Semua hal menyangkut calon boss baru yang sebentar lagi akan didampinginya, Mr. Ridwan.

"Pagi-pagi sekali kamu udah harus di ruangan sebelum Mr. Ridwan datang. Bersih-bersih meja, nyalakan pendingin ruangan, rapikan apa yang perlu dirapikan. Cek juga kalau ada debu yang nempel di tumpukan buku atau meja. Jangan lupa siapkan air putih. Begitu Mr. Ridwan datang, jangan ditanya lagi, langsung buatkan kopi dengan gula rendah kalori. Kopi harus sejajar dengan gelas air putih, karena biasanya habis ngopi beliau langsung minum air."

Masih dengan anggukan Aluna menanggapi semua instruksi Mbak Dina seraya mencatat pada note kecil yang dia bawa.

"Oh iya, sama jangan lupa taruh bolpoin ke tempat masing-masing, yang warna merah satukan sama merah, yang hitam atau biru juga kumpulkan di tempat yang udah disediakan." Mbak Dina menunjuk kaleng berlubang-lubang kecil-tempat menyimpan alat-alat tulis. "Dokumen juga gitu ya, satukan sesuai warna sampul. Jangan lupa dikasih tanggal biar enggak bingung nyarinya. Sama satu lagi, kalau untuk jadwal makan siang, biasanya by request, nanti Bapak akan bilang langsung beliau mau dipesankan apa. Kamu cuma harus sigap saja. Ada pertanyaan Aluna?"

Aluna berpikir sejenak. "Mbak, nanti caranya memanage jadwal Mr. Ridwan gimana? Saya belum seberapa paham."

Mbak Dina tertawa kecil dibarengi kibasan tangan ke udara. "Kecil itu, Lun, jangan khawatir. Nanti kamu tinggal cek email yang masuk, biasanya berisi jadwal meeting atau kunjungan, nah, kamu tinggal susun dan sesuaikan. Nanti kalau misal Mr. Ridwan berhalangan, biasanya akan minta reschedul ulang."

Aluna mengangguk. Pembelajaran oleh Mbak Dina siang ini ditutup dengan beberapa wejangan penting dari seniornya itu.

"Kalau ada yang kurang paham kamu jangan sungkan buat wa saya, ya, tanya aja apapun yang belum dimengerti."

"Siap, Mbak. Terima kasih."

Mbak Dina pamit karena jam istirahat siang sudah menyapa. Pun dengan Aluna, embusan napasnya terdengar membuat dari mulut usai menuntaskan sesi training hari ini.

Aluna memutuskan kembali menuju kubikelnya sebelum ke kantin. Ingin menyimpan catatan ke mejanya.

"Lun, Lun, mau dengar gosip, kagak?"

Belum juga bokongnya mendarat di kursi, telinga Aluna lebih dulu disambangi kata-kata Betti- teman satu staff yang duduk persis di sebelah kubikelnya.

"Apaan?" tanyanya singkat.

Betti beringsut melongok pada kubikel Aluna. Wajahnya dihiasi senyum jail. "Ada yang iri lihat kau dapat promosi," ucapnya setengah berbisik ke arah Aluna.

Bah! Aluna hanya mengulum senyum tipis menanggapi kalimat Betti. Sudah tidak kaget lagi kalau ada selentingan semacam yang Betti ucapkan. Di kantor ini kalau ada yang tidak senang dirinya mendapat kesenangan itu pasti Virni- staff senior- satu rekan di ruangan ini.

"Bodo amat, Bet." Tanggap Aluna tak acuh.

"Tapi kau harus tau, Lun, kata dia, kau itu dapat promosi karena dekat sama Pak Teddy." Betti makin memanas-manasi.

Aluna mendelik untuk beberapa saat.

Bangsat emang!

Bisa-bisanya bikin gosip murahan kayak gitu.

Aluna memilih abai. Mengangkat kedua bahu bersamaan sebagai reaksi kata-kata Betti- yang baru disampaikan. Selama tidak berpengaruh apapun pada kinerjanya, Aluna akan tetap bodo amat pada gosip-gosip tak penting yang mendera.

"Orang sirik biasanya tanda tak mampu. No komen, deh, Bett. Yang penting gue enggak seperti yang dia kira," putus Aluna. "Laper gue, Lo ke kantin, enggak? Ayo bareng," sambungnya pada Betti. Temannya itu manggut-manggut mengiyakan seraya pamit mematikan komputernya sebentar.

***

Pulang ke rumah Aluna melenggang dengan santai memasuki ruang tamu. Di sofa, matanya menangkap sekilas Barra duduk dengan menyilang kedua tungkai. Tumben sekali sore begini Barra sudah di rumah. Mata lelaki itu refleks menoleh juga padanya. Aluna bodo amat. Kakinya tetap terayun dengan bibir mengatup rapat tanpa berniat menyapa kakaknya. Akan tetapi langkahnya terhenti saat tangan Barra menangkap jemarinya.

"Tunggu!" titah lelaki itu.

"Apa sih, Kak Barra ini?!" sentak Aluna dengan nada keras. Sisa-sisa rasa dongkol masih menguasai hati mengingat kalimat buruk si kakak keparat kemarin malam. Bisa-bisanya tercetus rangakaian kata suuzan berindikasi fitnah mengatakan kalau dia jadi sugar baby. Sakit hatinya masih kerasa sampai ke tulang terdalam.

"Judes banget. Sini duduk, Kakak mau bicara."

Melipat tangan Aluna duduk dengan wajah ditekuk.

"Kakak mau minta maaf."

Aluna menyahut dengan dehaman kecil.

Telat amat. Udah dibuat kesel sampai puncak ubun-ubun, sampai nangis, sedih, enggak keruan, baru punya inisiatif minta maaf.

"Jawab dong, Ken?"

"No komen. Percuma kasih maaf sama Kak Barra, nanti juga bakal diulangi lagi." Aluna meneleng kakaknya dengan mata menyelidik. Wajahnya masih masam, enggan tampilkan senyum.

"Yaelah, baperan banget jadi adek. Jangan-jangan kalau diajak kenalan cowo, udah langsung aja Lo bayangin mau pakai adat apa."

Nah, kan. Emang Barra bangsyatun banget. Belum juga dijawab kata-kata maafnya, udah mau nyari gara-gara lagi.

Aluna menoleh gemas, tangannya ancang-ancang ingin memberi Barra pukulan-tapi terjeda saat lelaki itu kembali menggerakkan mulutnya.

"Oh, i see." Barra kembali bersuara. Jarinya mengetuk-ngetuk kening seolah sedang berpikir berat. "jangan-jangan pas mama bilang mau jodohin kita, Lo udah bayangin mau bulan madu kemana, dasar si Ken, ngaku Lo."

Mendengkus kesal dengan dahi berkeringat menahan emosi. Keneisha yang sudah sejak di kantor diselubungi rasa bete akibat gosip murahan- harus bertambah lagi level kesalnya karena ulah Barra.

Tawa seringainya mencuat menatap Barra di sisinya. "Stop being a loser Brother! Kak Barraaaa berhenti bikin aku kesal, ya!" Tangan Aluna tidak tinggal diam. Berjejer bantalan sofa dia pukulkan ke arah kakaknya secara membabi buta.

Barra beringsut menghindar disertai ledakan tawa puas. "My Super-baper young-sister," gumamnya berlari menaiki anak tangga menuju ruang pribadinya di lain atas--meninggalkan Aluna dengan segala deru-deru kekesalan yang menghujam jantung.

***

Kira-kira, apa ya hubungannya Barra sama Kamela?

Btw. Mas Bar kek gini gans-nya, masa Aluna enggak tertarik sih.

27-03-2022
1700

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top