4. Jangan Terlalu Benci, Nanti jadi Cinta!

Holla, happy baca ya.
Tolong tandain kalau ada typo.
Maacih
.
.
.

Barra melangkah pelan dari carport menuju rumah. Dia perhatikan lampu utama ruang tamu masih menyala terang, mata lelaki itu melirik jam tangan sekilas, pukul sebelas malam, biasanya yang masih terjaga jam segini cuma Aluna.

Menuntaskan lembur sampai jam sepuluh malam, dalam perjalanan pulang Barra mampir ke kafe sebentar untuk menikmati secangkir kopi, baru setelahnya menuju rumah.

Tangan lelaki itu menekan handel pintu disertai salam. Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Aluna - yang tengah duduk di sofa dengan lembaran kertas di tangan. Adiknya itu membalas salamnya tanpa mengalihkan fokus dari kertas-kertas.

Barra mengempas tubuh di sisi Aluna, sampai membuat gadis itu berjengit dan menghindar.

"Kak, jauh-jauh, kamu bau keringat!" protes Aluna, jari telunjuknya menutup lubang hidung seolah mempertegas kalau dia terganggu oleh ulah Barra.

"Enak aja, masih wangi, kok!" Barra mengendus-endus sisi kemejanya yang agak basah oleh keringat. Melihat Aluna menghindar, otak jailnya kembali bereaksi. Lelaki itu malah merapat ke sisi Aluna, tanpa ba-bi-bu mendekap sang adik dari samping. Aluna refleks teriak. Dasar Barra, kalau sehari saja absent menjaili Aluna, rasanya ada yang kurang di hidupnya.

Masih berada dalam apitan tangan kekar kakaknya, Aluna memberontak sembari gigiti lengan Barra. Sumpah, hak kayak gini yang paling bikin sensi Aluna. Apa Barra pikir keadaan masih sama kayak lima belas tahun lalu? Kalau dulu adegan begini bagi Aluna biasa saja, karena yang dia tangkap dari kejailan kakaknya adalah sebuah rasa gemas dan sayang kakak ke adiknya. Namun sekarang? Usainya dan Barra bukan lagi anak-anak atau remaja. Barra sudah mau 33 tahun, dan Aluna baru merayakan ulang tahun ke 24 sebulan lalu.

"Lepas, Kak Barra bau keringet!"

"Ngomong bau lagi, enggak bakal gue lepas." Barra mengancam lalu derai tawanya menguar, sampai tidak sadar suara gaduh yang diciptakan sepasang adik-kakak selisih sembilan tahun itu membuat Hastari kaget dan terbangun.

Saat Barra menoleh ke arah ruang tengah, mamanya sudah berdiri persis di dekat partisi penyekat ruang tamu. Barra refleks melepas kaitan tangannya, Aluna kaget saat matanya berserobok dengan manik mamanya, sampai tak sengaja mendorong Barra cukup keras.

"Mama, Kak Barra yang usil, dia yang peluk-peluk duluan." Adu Aluna agak takut kalau mama bakal marah kayak waktu itu.

Hastari bergeming, tapi kakinya melangkah ke sofa, lalu duduk di sebelah Aluna. Mata tuanya menatap si putra dan putri bergantian. Aluna yang duduk persis di sebelah mama, melirik sekilas, mencoba menakar ekspresi di wajah mama yang kali ini terlihat datar.

"Ma, jangan marah, becandaan doang, gemes sama si Ken." Barra menukas. Lelaki itu duduk di sofa tunggal yang ada di seberang Aluna dan mama.

Aluna membeo, matanya mendelik pada Barra seolah ingin mengatakan; emang ya aku bayi, apa?! Jangan gemes sama aku! --tapi hanya berkata dalam hati.

"Kalian ini ya, yang satu udah bujang, hampir lapuk, yang satu lagi udah gadis, menginjak dewasa, tapi kalau ribut ngalah-ngalahin kayak kucing lagi gelud. Udah, cocoknya emang dikawinin aja kalian berdua, biar enggak ribut terus."

Barra merapal istighfar mendengar statement mama, "Astaghfirullah, nikah Ma, nikah, kawinnya entaran kalau udah sah."

Tawa mama berderai seraya acungkan jempol ke arah putranya. "Jadi udah siap, Bar, kalau gitu mama majuin aja tanggal pernikahan kalian, gimana?" Lanjut mama membuat Aluna mendelik seketika.

"Ma, Ma, jangan." Kalimat mama barusan rasanya lebih horor daripada nonton The Nun. Aluna belum membagi kabar kalau dia mendapat promosi jabatan di kantor. Baru juga karirnya akan dimulai, masa sudah harus terkekang. Karena dalam pandangan Aluna, menikah pasti udah enggak bisa bebas lagi. Bakalan memangkas jatah jalan bareng Wita, mengurangi jatah healing meetime, dan lebih parah, kalau sampai dilarang meneruskan karir. Ah, Aluna bergidik ngeri membayangkannya.

Walau mama sering banget bilang, kalau perempuan itu enggak harus berkarir di dunia kerja, enggak harus kerja kantoran buat mendapat titel wanita karir. Di rumah juga bisa, berkarir sebagai ibu rumah tangga, ngurusin anak, suami, rumah, bayarannya langsung malah dari Allah, dapat pahala berlipat ganda. Itu, pemikiran mama, lain halnya dengan Aluna. Jiwa muda masih menggebu-gebu, ingin meraih cita-cita yang diimpikan.

Mama menoleh putrinya. Suaranya yang lembut menyambangi telinga Aluna, "Lho, kenapa memangnya, Nak?"

Aluna malah menatap Barra, merajam lelaki itu dengan tatapan penuh dendam. Kenapa si Barra-Barra itu selalu mengatakan hal tidak penting di depan mama. Candaannya basi dan garing. Alih-alih tertawa, yang ada malah bikin Aluna ketar-ketir.

Aluna menelan saliva sebelum jawabi pertanyaan mama, "Aluna dapat promosi jabatan di kantor, Ma, makanya jangan cepat-cepat dinikahin."

Mata mama berbinar cerah mendengar penuturan putrinya. Barra yang sedang asyik dengan ponsel di tangan seketika menoleh Aluna tak percaya. Ejekan tawa menguar menanggapi kata-kata sang adik.

"Ngibul Lo, ya? Kerja belum setahun udah dapat promosi jabatan? Mana ada, Ken, ngarang Lo."

Aluna melempar bantalan sofa ke arah kakaknya dengan kekuatan penuh. Laki-laki satu itu, kayaknya selalu enggak suka kalau lihat Aluna mendapat kesenangan.

"Orang sirik, diam aja!"

Mata Barra menyelidik. "Jangan-jangan ...." Ucapannya sengaja dijeda guna menakar ekspresi Aluna.

"Jangan-jangan apa, Bar? Jangan suuzan kamu." Mama yang menyahut.

"Jangan-jangan si Ken jadi sugar baby-nya si boss." Kalimat Barra memang niatnya cuma bercanda, tapi sumpah, Aluna merasa sangat tersinggung dengan ucapan kakaknya barusan.

"Kak Barra jahat!" Aluna beranjak dari duduk. Menatap Barra tajam--disertai lapisan kaca di kedua manik cokelatnya, sebelum melangkah meninggalkan ruang tamu dengan lelehan airmata.

"Becanda, Ma, Ken, yaelah, baperan banget jadi cewe."

Aluna sempat mendengar kalimat Barra sebelum kakinya memasuki kamar. Baperan katanya?
Ada apa sih dengan orang-orang jaman sekarang. Kalau bercanda suka kelewatan, tapi pas yang dijadikan bahan candaan enggak terima, malah dikatain baperan. Menurut Aluna, sepertinya orang-orang kayak gitu harus belajar lagi tentang menghargai perasaan orang lain. Apalagi kalau yang dijadikan bahan candaan sudah menyangkut fisik. Padahal enggak semua orang punya mental sama, enggak semua orang punya pertahanan diri yang cukup. Kalau tersinggung ya wajar, kan.

Bunyi bedebam keras saat Aluna membanting pintu kamar. Sejurus mengenyakkan tubuh ke ranjang, membenamkan wajah di cerukan saat tangisnya meluber.

Masih bertahan di ruang tamu, Barra beringsut mendekat pada mama.

"Kamu itu sehari aja enggak jailin Aluna, enggak enak apa gimana sih, Bar?" Rentetan protes mama langsung menyambangi kuping Barra. "Kamu katain apa adikmu, sampai ngambek gitu?"

Barra meringis, deretan giginya terlihat oleh mama. "Sugar baby, Ma, simpanan boss."

Refleks menampar lengan putranya adalah reaksi mama mendengar penuturan Barra. "Astaghfirullah, Barra! Mulutnya ya, pantas Aluna ngambek gitu. Kamu ini benar-benar, Bar ..." Mama mengelus dada.

"Ya-ya, habis aneh, Ma, di mana-mana orang dapat promosi jabatan itu yang kerjanya udah tahun-tahunan, ini si Ken belum ada setahun udah dipromosiin."

Hastari menjewer pelan kuping Barra. "Suuzan terus yang dipelihara. Mending pelihara istri kamu itu. Bukannya ikutan senang adiknya dapat rezeki, kok, malah dicurigai, kamu ini, Bar."

Barra memulas tengkuk, merasa sedikit bersalah aslinya. Saat ingin beranjak ke kamarnya di lantai atas, tapi mama menahan langkahnya.

Serta merta Barra mendapat ceramah Mama Hastari, tanpa perlu mengeluarkan jargon; Mama curhat, dong!

Satu jam dua puluh menit lebih tiga puluh detik, Barra mematikan stop watch di ponsel ketika mama mengakhiri kultum malamnya, eh, ralat, bukan tujuh menit, tapi lebih dari satu jam, sampai perempuan yang sangat disayanginya itu berdiri ingin ke kamar karena mengeluh capek dan ngantuk.
Yang ngomel capek dan ngantuk, apakabar Barra yang diceramahi, Maaaaa. Protesnya, tapi hanya berani dalam hati.

___

Kalau pagi kemarin suasana meja makan sangat rikuh, kali ini malah perang dingin. Aluna duduk mengunyah roti tanpa sepatah katapun sejak Barra bergabung. Belum selesai ritual sarapannya, gadis itu berdiri pamit berangkat pada mama.

"Lha, dia masih ngambek. Ken, mau kemana? Enggak bareng gue?"

Pertanyaan Barra diabaikan. Usai salim pada mama, Aluna melenggang meninggalkan rumah. Rasanya masih dongkol dengan kakaknya itu. Walau semalam mama sudah menenangkan, mengetuk pintu Aluna dan mengatakan banyak hal yang membuatnya merasa lebih tenang. Akan tetapi rasa sebal justru belum menghilang pada Barra. Alih-alih minta maaf, lelaki itu malah bersikap biasa saja, seolah tidak pernah berbuat salah.

"Aluna maafin Kakak, ya. Dia begitu karena saking gemasnya sama kamu, tenaga saja, tadi sudah mama ceramahi panjang lebar, biar lain kali kalau bercanda enggak keterlaluan lagi." Kata-kata mama semalam masih terngiang di kuping Aluna. Dia sendiri merapal maaf pada mama, karena sudah tidak sopan, pergi dari hadapan mama tanpa permisi, ditambah bantingan pintu kamar yang suaranya lumayan kencang.

Aluna menyeka pinggiran matanya yang masih basah. Tiduran di pangkuan mama sembari diusap-usap rambutnya adalah hal ternyaman yang dia rasakan. "Ma, Aluna boleh benci, enggak sih, sama Kakak?" cetusnya semalam. Tawa mama berderai.

"Jangan Nak, hati-hati lho, kalau terlalu benci nanti lama-lama jadi cinta, hayo, gimana? Tapi enggak papa, mama malah senang." Peringat mama sembari bercanda. Aluna ikut menarik sudut bibirnya samar. Jatuh cinta sama Barra? Kayaknya itu hal ter-bulshit yang pernah mampir di otaknya. 
Dekat dengan Barra saja sudah memantik terus emosinya, apalagi kalau sampai lebih, bisa-bisa Aluna stress menghadapi tingkah ajaib lelaki itu.

*****

Nah, loh Ken, piye itu?.

Btw, visual di prolog udah dihapus ya. Kachan jurang sreg, mau ganti ini. 👇

Finally, meet Mas Bar yang Bar-bar. Nyari yang lokal aja, karena Mas Barra emang keturunan Jawa, aselik Indonesia. 🤭

Love and Agreement menyusul ya, ketikannya belum maksimal. Biar kalian puas bacanya nanti.





24-03-2022
1400

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top