21. Hipokrit

Happy baca
Sorry for typo.

Maap, semalam belum ready buat update. Jadi up pagi ini.

.
.
.

Dengkusan panjang menguar dari hidung Barra. Rasa kesal mengakuisisi akibat sikap Aluna yang dia terima.

Decakan kesal terdengar.  Emosi di puncak kepala terasa sampai ke rahang - refleks menggertakkan gigi dengan kuat. Selama kenal dan tinggal bersama, baru kali ini Aluna mengabaikannya. Padahal Barra menemuinya ingin meminta maaf karena kemarin sudah berkata kasar.

Tinjuan keras pada setir kemudi mobil menunjukkan kalau Barra masih didera emosi. Embusan napas sengaja dia lepas, sejurus melajukan kendaraan menuju rumah sang Mama. Dalam perjalanan bayangan Aluna tersenyum manis pada laki-laki bernama Sadewa itu kerapkali melintas di benak Barra. Setiap itu pula umpatannya terlepas.

Rumah Mama Hastari terlihat terang. Lampu di ruang tamu menyala, pun dengan teras dan taman. Usai memarkir mobil Barra bergegas turun. Ucapan salamnya terdengar agak keras, disertai ekspresi wajah tak santai.

"Wa'alaikumussalam, sebentar." Suara Hastari menyambut. Pintu terkuak sempurna. Hastari terdiam di tempat mendapati Barra yang datang petang ini. Rasa kecewa masih mendera perempuan lima puluh tahunan itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi menyambut sang putra kali ini.

"Mama, Barra mau minta maaf sama Mama." Barra tak membiarkan Hastari lolos. Sebelum Mamanya berbalik, Barra lebih dulu mengambil tangan mamanya. Kakinya ditekuk ke lantai, setengah berlutut sembari mencium tangan Mamanya dengan ungkapan rasa sesal. "Maafin Barra yang sudah kurang ajar sama Mama. Maaf karena udah bikin Mama kecewa." Barra tersungkur takdzim mengucap kata maaf.

Hastari mulai terpengaruh. Matanya memanas mendengar semua statement yang putranya ucapkan. Bagaimanapun marahnya dia, seorang ibu tidak akan tega melihat anaknya terbebani rasa bersalah mendalam.

"Bangun Kak," titahnya singkat. Dia hela Barra merapat ke sofa. Keduanya duduk bersisihan.

Barra masih menunduk. Belum berani menatap mata sang Mama.

"Tunggu di sini, Mama mau matiin oven sebentar," pinta Hastari kemudian beranjak. Barra mengangguk sepintas. Sepertinya sang mama sedang berkutat di dapur saat dia datang tadi. Hidungnya membaui aroma sedap dari adonan kue yang dipanggang. Barra hapal sekali kegiatan Mama, biasanya kalau senggang suka sekali bereksperimen dengan resep-resep kue terbaru.

Lima belas menit Hastari kembali dengan dua cangkir teh di atas nampan yang dia pegang. Asap panas sesekali masih mengepul dari permukaan cangkir. Teh beraroma bargomot yang harum memenuhi ruang tamu.

"Minum, Kak," titah Hastari pada Barra.

Mengangguk, Barra mengambil cangkir yang ada di depannya. Menyesap pelan teh hangat buatan sang mama.

Hastari pandangi Barra dengan tatapan lekat. Hatinya menggerimis, mengingat rasa kecewa sekaligus dibarengi kenyataan bahwa anak lelakinya sekarang telah menjadi dewasa. Sebagai ibu, dia ingin yang terbaik bagi Barra, termasuk urusan jodoh untuk sang putra. Namin, Hastari lupa satu hal, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan di dunia ini. Ada sesuatu yang menurutnya baik, tapi belum tentu baik bagi yang lain. Sejak semalam pikirannya berkecamuk. Jika memang Barra ingin bertahan dengan gadis pilihannya, dia tidak akan memaksa lagi Barra untuk menikahi Aluna.

"Mungkin, selama ini Mama yang salah." Preambule Hastari memantik atensi Barra. Lelaki itu seketika mengangkat pandangan pada sang mama disertai gelengan pelan. "Mama terlalu memaksakan kehendak sama kamu dan Una, Bar. Mama sadar, kalian sudah pada dewasa, sudah bisa memilih jalan hidup masing-masing. Termasuk soal pasangan."

"Ma ...." Barra ingin menyela, tapi Hastari mengangkat salah satu tangan - pertanda ucapannya belum selesai - tidak ingin diinterupsi.

"Mulai malam ini, Mama bebaskan kamu dan Una."

"Maksud Mama apa?" Barra menatap lekat. Kernyitan tercipta di dahi akibat rasa bingung oleh ucapan sang mama.

"Kalian berhak memilih pasangan hidup masing-masing. Mama angkat tangan dengan keputusan Mama."

Barra refleks menggeleng tegas. "Enggak Ma, bukan begini maunya Barra."

"Lalu apa, Bar?" Suara Hastari meninggi. "Tiga tahun bukan waktu sebentar. Selama itu kamu menyembunyikannya dari Mama, kamu anggap Mama ini apa, Barra!" Wajah yang sejak tadi menatap datar, sekarang terlihat menegang sekaligus matanya berkaca-kaca. Hastari seperti mau menumpahkan airmata.

Barra beringsut, sekali lagi dia bersimpuh di depan sang Mama. "Maafin Barra, Ma, maaf," ucapnya dengan nada penuh sesal.

Tangis Ibu dua anak itu tak terbendung lagi. Isakan-nya terdengar seantero ruang tamu. Barra menatap mamanya dengan raut terluka. Lagi-lagi dia membuat airmata perempuan yang dikasihi itu jatuh menetes. Barra ingin sekali menampar wajahnya sendiri saat ini. Semua yang tersaji saat ini menjadi runyam akibat kebodohannya sendiri.

"Apa Bar? Kamu mau bilang kalau nyari waktu yang tepat buat cerita sama Mama?" Hastari bersuara lagi. "Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, kamu menampung perempuan itu tidak sehari atau seminggu, dalam kurun waktu selama ini, apa tidak pernah ada kesempatan buat bicara sama Mama?" Imbuhnya penuh penekanan.

Barra tidak bisa berkata-kata. Semua yang ditudingkan sang Mama adalah benar. Selama itu, kenapa dia tidak pernah mencoba mengungkap tentang Kamela dan Ara pada mamanya, padahal tiga tahun bukan waktu yang sebentar.

"Maafin Barra, Mama," ucap Barra lagi.

Hastari menarik napas dalam-dalam.

"Sudah-lah, bangun, jangan begini, Mama sudah memaafkan Barra, tapi tidak bohong Mama kecewa sama Barra kali ini." Hastari memperingatkan. Barra beringsut dari posisi, kembali duduk di sisi Mama. Dia mengangguk samar, wajar kalau Mamanya merasa sangat kecewa.

"Barra benar-benar minta ampun sama Mama." Wajah menunduk pasrah adalah milik Barra saat ini. Hastari mengangguk sekilas.

"Mama sudah bilang, kan, Mama maafin Barra." Hastari mengambil tangan Barra, menepuk-nepuk pelan punggung tangan sang putra. Senyumnya tercetak, walau hanya samar-samar, membuat Barra ikut menyunggingkan senyum tipis.

"Una di mana Ma? Barra juga mau minta maaf sama dia." Perasaannya sudah lebih lega sedikit menyaksikan Mama mau tersenyum lagi. Sekarang Barra kembali terfokus pada Aluna.

"Adikmu belum pulang," sahut Hastari.

Barra membeliak. "Belum pulang? Sudah dari sore tadi Ma, masa belum sampai rumah. Semacet-macetnya enggak mungkin sampai jam delapan begini belum sampai." Nada bicara Barra mulai terdengar gusar. "Pasti cowo itu yang ngajakin Una kelayapan." Imbuhnya dengan rahang mendadak mengetat karena disergap kesal.

Hastari menoleh pada Barra. "Cowo siapa, Bar?" tanyanya ikutan penasaran.

Barra berdecak pelan sebelum menjawab rasa penasaran sang mama. "Teman kantornya, Ma."

Hastari ber-oh-pendek. "Mungkin sedang ada meeting, Bar."

Barra menggeleng tegas. "Enggak mungkin, Ma, sudah jam pulang, mana ada meeting." Barra meraih ponsel. Mendial nomor Aluna dengan cepat. Panggilan tidak tersambung, hanya suara operator telepon mengatakan jika nomor yang dihubungi sedang di luar jangkauan.

Barra refleks berdiri. Gerakannya memicu reaksi sang mama.

"Mau ke mana kamu, Bar?"

"Barra harus cari Una, Ma."

Hastari menggeleng. "Biarkan saja, Bar. Una bukan anak kecil lagi lagi. Mama yakin dia bisa jaga diri."

"Tapi dia perginya sama laki-laki, Ma."

Hastari menggeleng lagi. "Tidak ada bedanya sama kamu, kan, selama ini kamu sering pergi menemui Kamela dan putrinya."

Skakmat!

Barra terdiam seketika. Laki-laki itu kembali mendaratkan badannya ke sofa. Duduk sembari menautkan jari-jarinya dengan tatapan tak santai mendapati Aluna belum di rumah. Apalagi yang dia tahu gadis itu pergi bersama laki-laki lain.

"Sudahlah, Bar, jangan dipikirkan. Sekarang mendingan kamu cerita sama Mama tentang Kamela dan Ara, Mama mau dengar semuanya, awal kalian kenal, sampai kamu menampung Mela dan Ara di rumah itu."

Barra menatap sang Mama. "Mama ketemu sama mereka?"

Hastari mengangguk. "Mama ke sana siang tadi."

Barra tidak lagi punya alasan untuk menghindar. Memilih menuruti kata-kata sang Mama, dia mulai menjelaskan awal mula mengenal Kamela dan Ara.

***

Bukan pulang ke rumah tempat yang dituju Aluna saat memberitahu Sadewa di mana dia akan turun. Melainkan salah satu kafe yang tidak jauh dari kantor. Di tempat ini, dia duduk termenung menanti kedatangan sang sahabat, Wita.

Sejak tadi minuman yang tersaji di hadapan hanya diaduk-aduk menggunakan sedotan dengan tatapan kosong, tanpa menyeruput isi gelasnya. Aluna dikekang rasa bimbang.

Saat hatinya sudah mantap menerima permintaan Mama perihal pernikahan-nya dengan Barra, di saat yang sama semuanya menjadi runyam karena ketidakjujuran Barra sendiri. Mundur adalah opsi yang sejak beberapa hari ini berkutat memenuhi benak Aluna. Apalagi sejak mendengar langsung pengakuan Kamela bahwa dia mencintai Barra. Ditambah semuanya telah diketahui Mama. Aluna pikir tidak ada gunanya juga tetap kukuh bertahan di sisi Barra.

Dua puluh menit sudah Aluna duduk di tempat ini. Pada langit yang mulai menggelap sempurna, sesekali matanya menatap hamparan awan gelap di atas sana. Terasa lebih mendamaikan memperhatikan titik-titik kecil bintang yang sorotnya menembus sampai retina.

Ketipak langkah heels terdengar menyapa telinga. Wita masih dengan setelan kantor melangkah dan duduk ke meja yang telah Aluna pesan.

"Lun, sorry ya, macet banget tadi. Udah lama Lo?" Wita langsung mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Aluna.

"Lumayan. Lo udah pesan minum?" tanya Aluna.

Wita mengangguk. "Tumben ngajak ketemu pulang ngantor. Ada apaan, Lun?"

Aluna membuang napas kasar mendengar pertanyaan Wita. Rasanya sudah tidak tahan lagi. Bibirnya mulai bergerak memproduksi kalimat curhatan pada teman baiknya tersebut.  Tumpah ruah semua unek-uneknya pada Wita saat ini juga.

"Ya ampun, Lun, Lo yang sabar ya. Kak Barra kok gitu sih?! Jadi ikutan sebel gue sama dia." Mata Wita menyipit disertai kepalan tangan seolah ingin meninju sesuatu.

Aluna mengangkat kedua bahunya menanggapi kalimat Wita.

"Gue udah memutuskan, kalau enggak mau meneruskan perjodohan ini, Wit."

Wita mendelik mendengarnya. "Lun, jangan gitu, dipikirkan dulu baik-baik."

"Buat apa, Wit. Kalau dianya aja enggak mau, enggak ada usaha buat bertahan, ngapain dipaksain. Gue juga ogah kali, effort buat laki-laki yang belum tentu jadi suami. Belum apa-apa udah capek duluan rasanya Wit. Capek berjuang sendiri, selama ini udah banyak ngalah, mau bantu menyembunyikan semuanya dari Mama, tapi apa? Dia kayak enggak ada niat buat ceritain jujur ke Mama. Gue yang enggak tahan, jadinya gue bongkar duluan semuanya ke Mama."

"Terus Kak Barra ngamuk sama Lo?" Tebakan Wita diangguki Aluna. "Kok berengsek sih, Lun? Untung ganteng, astaga, gue mau kesel sama Kak Barra, tapi dia terlalu cakep, gimana dong, Lun?" Wita histeris sendiri.

Aluna seolah mau muntah mendengar statement Wita. Dia selalu tidak suka dengan pendapat orang-orang yang selalu menormalkan kalimat, "Masalah hidup Lo kelar, kalau Lo cakep!"

Itu namanya tebang pilih. Mentang-mentang ganteng atau cantik, lalu bisa dengan mudah mendapat toleransi atas kesalahan yang diperbuat, tapi giliran yang tidak cakep, mendapat penghakiman habis-habisan. Aluna muak banyak orang menormalkan hal tersebut.

"Masih bucin aja sama dia, Wit."

"Ya maap, kan, gue emang naksir sama Kakak Lo itu."

Aluna tertawa kecil mendengar kata-kata Wita. "Hipokrit kayak gitu dibucinin, sadar Wit, sadar!"

"Ih, enggak boleh gitu, Lun. Masa Kak Barra yang ganteng dibilang hipokrit."

"Ya terus, apa dong namanya kalau enggak bisa jaga komitmen yang dibuat sendiri? Enggak pernah konsisten, kan, hipokrit namanya."

"Jangan terlalu benci sih, Lun, nanti jadi ikutan bucin awas aja Lo."

Aluna tak acuh. Memilih menyeruput vanilla latte iced yang sudah tidak terlalu dingin akibat es batu yang mencair. Aluna tidak benci pada Barra, bagaimanapun laki-laki itu sangat dihormati sebagai kakak olehnya. Akan tetapi kalau untuk pasangan hidup, Aluna akan berpikir ulang seribu kali.

_____

17-05-2022

1747

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top