20. Meeting You

Happy baca ❤️
Sorry for typo
.
.
.

Barra melangkah gusar keluar dari mobil. Kakinya menjangkau pelataran kantor Aluna, ingin bicara empat mata dengan gadis itu sepulang kerja sore ini.

Di tempat biasa dia menunggu Aluna keluar lobi, matanya memonitor kumparan karyawan yang keluar secara bersamaan. Biasanya Aluna ada di antara gerombolan pekerja tersebut. Mata Barra melirik sekilas arloji di tangan. Langit di atasnya berubah mengeluarkan semburat jingga keemasan, pukul 17.30 WIB sebentar lagi Magrib menyapa, tapi belum ada tanda-tanda langkah Aluna mendekat.

Barra mendesis pelan, salahnya sendiri tadi tidak mengabari dulu kalau dia ingin menjemput dan bicara dengan Aluna. Atau jangan-jangan gadis itu sudah lebih dulu pulang? Dia bertanya-tanya sendiri dalam benak. Namun, mengikuti insting, Barra yakin kalau Aluna masih berada di ruangan kantornya.

Satu jam menanti, embusan napas dilepas dari rongga hidung Barra saat matanya menangkap sosok Aluna melangkah keluar lobi. Namun, ada sesuatu yang tak biasa. Di sisi Aluna, melangkah beriringan seorang laki-laki berpenampilan rapi: dengan setelan jas, pantofel dan juga backpack yang tersampir di lengan kirinya.
Barra tak akan mengernyitkan kening, andai yang berjalan bersama Aluna adalah sosok paruh baya - yang dia tahu pasti kalau laki-laki tua itu boss Aluna. Akan tetapi yang ini, terlihat masih sangat muda, dan... tampan. Sialnya Barra mendadak tak suka mendapati Aluna tersenyum manis ke arah laki-laki itu.

Langkah Aluna semakin mendekat, hampir menjangkau tempat Barra berdiri. Sempat berbagi lirikan sekilas, tapi Aluna malah meneruskan langkah, melewati Barra.

"Tunggu!" Suara setengah berteriak itu milik Barra, berhasil memaku langkah Aluna dan laki-laki yang bersamanya. "Aluna, Kakak di sini, mau ke mana kamu?" Todong Barra menyelidik.

"Aluna pulang bareng Pak Sadewa, Kak. Maaf, enggak tahu kalau Kakak jemput ke sini."

Laki-laki yang disebut Aluna mengangkat tangan, terulur pada Barra. "Sadewa," ucapnya dibarengi senyum tipis.

Barra menerima uluran Sadewa dengan tatapan sinis. "Barra Wisnu, calon suaminya Aluna!" ujarnya lantang seraya menggenggam keras telapak Sadewa.

Sadewa tertawa kecil, menoleh pada Aluna disertai raut menyiratkan tanda tanya. "Calon suami?"

Aluna menggeleng.
"Bukan Pak, dia kakak saya, memang rada usil orangnya. Suka marah-marah enggak jelas, apalagi kalau saya jalan sama laki-laki." Penjelasan Aluna memicu senyum lembut Sadewa. Tapi di sisi lain, Barra Wisnu menegang di tempat. Ekspresi wajahnya mengeras, menyiratkan ketidaksukaan.

"Una masuk mobil Kakak sekarang. Kita harus bicara!" Perintah Barra.

Aluna menggeleng tegas. "Enggak Kak, Una udah janji mau pulang bareng Pak Sadewa hari ini. Lagian Kak Barra yang aneh, mau jemput tapi enggak ngabarin dulu."

"Aluna...."

"Kali ini Una harus minta maaf, karena enggak akan nurut sama Kakak. Una udah janji sama Pak Sadewa." Aluna tak acuh. Ayo, Pak, saya sudah janji mau diantar pulang sama Bapak, jadi saya harus menepati janji, kan?" Imbuhnya seraya menatap Sadewa. Lelaki berjas hitam mengilat itu mengangguk dibarengi senyuman pada Aluna.

Langkahnya beriringan dengan Aluna menuju Pajero hitam miliknya. Sepanjang ayunan kaki, pikiran Aluna malah dipenuhi dengan kelebat wajah Barra. Dia masih memikirkan lelaki itu. Masih peduli pada rasa kecewa yang mungkin mendera Barra saat ini. Namun, Aluna ingin mencoba tegas. Dia sudah cukup lelah menghadapi sikap labilnya Barra yang tidak bisa teguh pada pilihan yang diambil. Sudah bilang ingin membuat Kamela tidak salah paham akan perhatian yang dicurahkan - semata-mata bentuk rasa peduli dan tanggung jawab, tapi Barra malah membikin ulah, ingin menemui Kamela, padahal baru satu hari tidak bertemu.

Aluna jadi merasa sia-sia memberikan seluruh atensinya pada Barra.

Kukira serius, ternyata hanya modus! Batin Aluna bergumam pelan.

Saat kakinya menaiki BMW milik Sadewa, tatapannya terpancang pada Barra yang masih berdiri ke arahnya.

"Dia benar Kakak kamu, Aluna?" Preambul Sadewa memecah keheningan di dalam mobil. Tangan lelaki itu fokus pada roda kemudi, tapi sesekali kepalanya menoleh sepintas pada Aluna saat bicara.

Aluna mengangguk pelan. "Iya, Pak."

"Kakak kamu posesif juga ternyata, ya. Sampai ngakunya calon suami kamu." Komentar Sadewa tentang kesannya pada Barra.

Aluna mengulum senyum tipis mendengarnya. Sebenarnya sejak dulu Barra memang bersikap posesif padanya. Dulu, setiap kali dekat dengan teman laki-laki, pasti Barra akan cosplay jadi wartawan dadakan - memberi banyak wawancara pertanyaan pada Aluna tentang cowo yang dekat dengan adiknya.

"Enak ya punya saudara, bisa berbagi hal apapun, Aluna." Suara Sadewa kembali menguar.

Aluna menoleh atasannya di kantor tersebut. "Pak Sadewa anak tunggal ya?"

Gelengan Sadewa. "Saya punya adik, tapi dia sudah pergi buat selamanya."

Aluna menatap dengan wajah menyesal. "Maaf Pak, saya tidak tahu."

"Enggak pa-pa, Aluna. Jangan dipikirkan."

Sadewa sikapnya sangat lemah lembut. Baik dan sopan. Aluna sempat merasa tersanjung karena kebaikan Sadewa. Meski posisinya sebagai atasan, tapi laki-laki itu tidak segan menyapa lebih dulu.

Dua hari ini Aluna beralih mendampingi Sadewa di kantor. Laki-laki berperawakan jangkung tersebut menggantikan Pak Ridwan yang kondisinya sedang cuti karena kurang sehat. Otomatis Aluna banyak berinteraksi dengan Sadewa saat di kantor.

***
Ruang tamu berukuran sedang itu terlihat hening. Sebuah hunian tipe 41 dengan desain modern minimalis dengan tiga kamar. Dua kamar berada di lantai bawah, dan satu kamar di lantai atas.

Mata tuanya mengedari rumah yang masih tampak asing baginya. Walau perah berkunjung ke sini, tapi bisa dihitung dengan jari kedatangannya. Hatinya berdenyut menyadari selama ini sang putra menyembunyikan hal besar baginya. Hastari terdiam. Tatapannya tertancap pada sosok perempuan muda bergamis rumahan dengan wajah manis yang duduk di seberangnya.

"Tante mau minum apa?"

Suara lembut itu membuat Hastari tertegun sejenak. Batinnya tersentak saat kali pertama mendengar perempuan bernama Kamela itu berinteraksi dengannya.

Lama dia perhatikan senyum ramah dari lawan bicaranya yang saat ini ditemui. Hatinya berdenyut ngilu saat matanya berserobok dengan sepasang manik milik perempuan dengan satu putri tersebut. Hastari kelu. Mulutnya terkatup rapat seakan tak bisa memproduksi kosa kata.
Sontak semua kata-kata yang telah disusun rapi dalam otak saat perjalanan ke rumah ini seketika lenyap entah kemana.

"Saya Kamela, dan ini Kiara, putri saya. Maaf kalau selama ini saya lancang tinggal di sini tanpa izin langsung dari Tante." Kamela menunduk dalam. Matanya menyiratkan sesal di hadapan mamanya Barra tersebut. Duduk di sofa berseberangan dengan Hastari- ibunya Barra, dia tidak menyangka sama sekali kalau akan kedatangan tamu tak terduga.

Hastari menyambut uluran tangan Kamela dengan dada berdegup kencang. Perempuan seumuran Aluna itu refleks memberinya kecupan di tangan, sebagai bentuk rasa sopan padanya yang lebih tua. Garis wajah itu. Hastari merasa tidak asing. Ada memori yang tertinggal di kedalaman perasaan, tapi juga bersamaan tidak yakin kalau yang dilihat saat ini adalah orang sama yang dia pikirkan. 

"Ara, ayo salim sama Oma," titah Kamela pada Kiara. Gadis itu kecil itu menurut. Mengambil tangan Hastari dan mengecupnya pelan.

"Kiala, Oma." Kiara menyebut nama tanpa dikomando. Senyum langsung tercipta dari sudut-sudut bibir Hastari mendengar celoteh polos Kiara.

"Anak cantik," puji Hastari, seraya tangannya terulur mengusap rambut Kiara yang tergerai beranda Minnie mouse.

"Tante, jangan marah sama Mas Barra ya, semua salah saya. Karena saya, Mas Barra jadi nekat menampung saya dan Ara di sini." Kamela kembali bersuara. Sementara Hastari kembali  bergeming. Ledakan emosi yang tertahan karena ulah Barra mendadak seperti tersiram air es. Padam dan menguap, menyisakan sesuatu yang perlu di mata.

Sesuatu yang tak kasatmata terasa menghantam dalam hati Hastari. Hal yang membuatnya meretak patah, terselubung rasa sakit.
Garis wajah itu, mengingatkannya pada sosok di masa lalu. Mata bundar kecokelatan, serta dagu agak lancip yang setiap kali tersenyum membuatnya terlihat manis.  Batinnya menggerimis, matanya merebak ingin keluarkan tangis, tapi sekuat tenaga ditahan oleh Hastari. 

"Saya Mamanya Barra ...." Hanya kalimat itu yang tercetus dari bibir Hastari sejak bersemuka dengan Kamela.

Tadinya tidak ada wacana ingin pergi sendiri menemui Kamela. Namun karena dirasa terlalu lama menunggu Aluna mengantarnya, Hastari nekat berangkat sendiri tanpa sepengetahuan Aluna maupun Barra.

Banyak kalimat tendensi yang tadinya ingin dia keluarkan pada sosok Kamela, tapi kenyataan justru terjadi sebaliknya. Hastari tidak bisa banyak berkata-kata. Sepanjang tiga puluh menit duduk di ruang tamu ini Hastari hanya menghabiskan untuk menatap Kamela, atau menjawab tanya perempuan itu sesekali. Rasa bimbang meruangi segenap pikirannya. Tadinya berniat menegaskan pada Kamela agar segera menjauhi Barra, tapi malah dia sendiri seolah tertarik pada keberadaan perempuan itu dan Kiara.

____

Cerita ini masih akan sangat panjaaaaang.
Bisa jadi sampai di bab ke -50 nanti. Jadi mohon bersabar dan nikmati saja alurnya.

Btw. Kachan izin Hiatus untuk 2-3 hari ke depan. Biasa, ada sesuatu urgent yang harus diurus di duta.

Oh iya, Afwan jiddan belum bisa balas komen satu2. Buka draft ngetik, update, ngetik update. Maklum lagi rempong banget. Tapi Kachan bacain semua komen yang masuk kok. Happy banget kalau ada yang mau komen. 🌸

09-05-2022

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top