2. Jodoh Lima Langkah?
Holla, happy baca ❤️
Sambil koreksi ya kalau Nemu typo.
Maacih 🤗
.
.
.
Hastari belum selesei dengan rasa kagetnya saat Barra dan Aluna bersamaan berlari ke arah mamanya itu. Masing-masing dari mereka berebut ingin mengatakan sesuatu lebih dulu. Barra meraih lengan mamanya, memeluknya dari samping seraya mulai memproduksi kalimat.
"Ma, enggak seperti yang Mama lihat." Adalah suara Barra seraya menatap mamanya yang berdiri dengan raut wajah syok.
Sementara Aluna berdiri tak jauh dari Hastari sembari wajahnya menunduk dalam. Suaranya agak bergetar saat bibirnya merapal kata-kata,
"Ma-Mama, jangan salah paham ya. Tadi itu---"
"Mama bakal urus secepatnya pernikahan kalian," putus mama kemudian melangkah ke sofa dalam ruang pribadi putranya. Hastari duduk menyandar sembari memejamkan mata. Sudut-sudut netranya terlihat basah saat bergeming. Perempuan paruh baya yang mengenakan daster kelelawar serta bergo instan jumbo itu kemudian membuka mata serta kembali bersuara.
"Tadinya Mama mau minta tolong Barra belikan obat sakit kepala ke K24. Migrain Mama kumat, obatnya habis. Tapi lihat kalian berduaan di kamar malam-malam begini, kepala Mama bukan migrain lagi rasanya, tapi mau pecah." Suara Hastari terdengar mengeras intonasinya saat mendominasi kamar putranya ini. Barra duduk di sisi kanan mamanya, sementara Aluna di sisi kiri. Keduanya sama-sama bergeming.
"Ma ...." Barra ingin bicara lagi, tapi melihat sang mama mengangkat tangan ke udara, kalimatnya terjeda.
"Jangan katakan apapun, Barra, mama sudah menyaksikan dengan mata mama sendiri. Kalian ini benar-benar, ya!"
"Kita enggak ngapa-ngapain, Ma." Barra belum menyerah.
"Berduaan di kamar malam-malam begini, posisi kalian bikin Mama overtinkhing."
"Si Ken yang salah, ngapain malam-malam masuk kamar Barra, udah tahu bukan mahram, marahin aja dia, Ma," bela Barra pada dirinya sendiri.
Mata Aluna membola mendengar kalimat tudingan Kakaknya. Iya sih, dia salah, masuk kamar kakaknya malam-malam begini, tapi sumpah tidak ada niat lain, hanya ingin menyatakan keberatannya andai mama berkeras ingin Barra menikah dengannya.
Hastari menatap Aluna. Berbeda dengan saat berhadapan dengan Barra, dengan Aluna, sorot matanya melembut. "Aluna, kenapa malam-malam ke kamarnya Kakak?" tanyanya dengan nada lembut.
Aluna masih menunduk, tak berani melihat wajah mama. Selain dikuasai rasa malu, juga merasa bersalah sudah bikin Mama kecewa lagi.
Gelengan-nya tampil sebagai jawaban untuk mama.
"Kamu yang maksa ya, Bar?"
Barra mendelik. "Mama, jangan fitnah, dong. Enggak benar itu, memang si Ken aja udah kayak jelangkung, suka datang tiba-tiba."
Hastari hela napas panjang. Tangannya masing-masing meraih jemari Aluna dan Barra, kemudian mengatakan sesuatu, "Mungkin menurut kalian keputusan mama ini sangat egois, tapi kalian harus mengerti, mama cuma ingin yang terbaik buat kalian, Nak."
"Barra tahu, Ma," suara Barra melemah. "Tapi, Aluna itu adiknya Barra, gimana kita bisa menikah layaknya pasangan lain kalau antara kami enggak ada rasa cinta," lanjutnya.
"Iya, Mama, Aluna juga berpikir sama kayak Kak Barra." Aluna menyetujui persepsi Barra.
"Satu bulan," ujar Hastari. Barra dan Aluna sama-sama menoleh mamanya dengan dahi berkerut. "Mama kasih waktu satu bulan buat kalian saling jatuh cinta," sambungnya memberi opsi.
"Kalau satu bulan kami enggak ada yang jatuh cinta juga, rencana pernikahan batal, kan, Ma?"
Gelengan tegas Hastari. "Enak aja! Satu bulan kalian enggak bisa saling jatuh cinta, progresnya dilanjut nanti kalau sudah saling terikat dalam akad," rapal Hastari pada putranya.
Barra refleks menepuk keningnya sendiri. Ini sih, maju mundur kena namanya, udah paling benar diam aja kayaknya!
"Enak, kan, Bar, kamu enggak perlu repot-repot nyari calon istri lagi, tinggal maju lima langkah udah ketemu sama jodohnya. Belum tentu juga di luar sana ketemu sama perempuan yang baik."
Barra mendelik. "Ma, enggak gitu juga konsepnya, astaga."
"Sudah ayo bubar, Mama ngantuk, Aluna balik ke kamar, tidur, biar besok subuh enggak kesiangan." Hastari berdiri mengandeng lengan Aluna, sebelum melangkah ultimatum meluncur lagi dari mulutnya. "Keputusan mama jangan dibantah lagi, kalau masih ada interupsi, mama bakalan puasa ngomong sama kalian berdua." Ancaman yang mampu membuat Barra maupun Aluna mengangguk pasrah.
***
Pagi ini Aluna mengawali hari dengan perasaan tak keruan setelah kejadian semalam. Mama murka, tapi murkanya bukan dilampiaskan dengan emosi berlebihan atau marah-marah, cuma sedikit sedikit mengomel, setelahnya malah lebih banyak diam, dan itu bagi Aluna sangat menyakitkan menyaksikan wajah sedih mama terbias disertai lapisan kaca di kedua netranya.
Sepasang kaki Aluna melangkah menuju dapur. Ini hari Minggu, gadis itu absen ngantor. Pun dengan Barra, hanya saja lelaki itu belum menampakkan batang hidungnya sejak kembali dari subuhan di masjid kompleks tadi.
Aluna mengamati Hastari sedang berkutat di kitchen sembari bersenandung kecil. Dengan langkah pelan serta perasaan deg-degan takut kalau mama masih marah atau lebih parahnya mengabaikannya, Aluna memberanikan diri mendekat pada mamanya. Dia peluk mamanya yang sedang mengaduk sayur, dari belakang.
"Ma, maafin Aluna, sudah bikin Mama kecewa," rapalnya masih mengaitkan tangan ke pinggang mamanya.
"Anak gadis, kaget lho mamanya." Hastari mematikan kompor, tangannya menepuk-nepuk pelan punggung tangan Aluna. "Mama sudah maafin, jangan diulangi lagi ya, mama enggak akan marah, asal Aluna dan Barra setuju dengan permintaan mama."
Aluna mengangguk dari balik punggung mamanya. Mau setuju atau tidak, pada akhirnya mama akan tetap kukuh dengan permintaannya. Saat ini hanya ada satu yang mengganjal batin Aluna- tentang sesuatu yang belum Barra ketahui.
"Nih, bantuin mama taruh ke meja makan," ujar Hastari menuang masakannya dalam mangkuk saji.
"Harum banget, masak apa, Ma?"
"Sup iga, kesukaan kamu sama Barra."
Mata Aluna berbinar. Segera dia bawa mangkuk berisi sup iga sapi favoritnya ke meja makan. Hastari mengekori sang putri, di tangannya membawa mangkuk nasi.
Keduanya meletakkan bawaan masing-masing ke atas meja. Hastari menarik salah satu kursi, kemudian duduk di sana.
"Mama mau bicara sama Aluna, duduk, Nak!" titahnya pada Aluna.
Anak gadis itu duduk persis di sebelah mamanya, menatap dengan kening berkerut karena rasa penasaran.
"Aluna mau, kan, menerima permintaan mama?" Preambule Hastari.
Aluna bergeming beberapa saat, sejurus mengangguk samar. Raut wajahnya memancar tak tenang saat memberi jawaban pada mamanya.
"Tapi mama perhatikan raut Aluna sedih, kenapa, Nak?"
Hastari memang selalu bisa menebak perasaan Aluna.
"Maafkan mama, ya, selalu memaksakan keinginan mama sama kamu dan Barra. Demi Allah, niat mama baik, Nak, mama cuma enggak mau nantinya Aluna jatuh ke tangan laki-laki yang salah."
Kerongkongan Aluna terasa memanas. Matanya berkaca-kaca mendengar statement mamanya barusan.
"Ta-tapi Ma, Kak Barra belum tahu semuanya, Aluna takut nantinya Kak Barra akan kecewa."
Hastari memulas senyum lembut. Seperti biasa saat Aluna memandang, mamanya selalu menyajikan senyum teduh dan menenangkan. Tangannya mampir ke pundak Aluna, mengusapnya lembut saat berkata, "Mama yakin, Barra pasti bisa memahami nantinya, Nak. Justru mama sengaja maunya kamu sama Barra saja, karena mama enggak bisa bayangin kalau sampai kamu sama yang lain, terus mereka enggak bisa menerima kekurangan kamu, itu malah akan bikin Mama merasa sangat bersalah." Mata Hastari menatap awang-awang saat berujar.
Aluna peluk mamanya dari samping, sudut mata yang tadi basah sekarang berubah menjadi buliran bening yang menetes di sepanjang permukaan wajah.
"Barra itu sayang banget sama Aluna, ingat, enggak pas dia mau berangkat keluar negeri dulu, dia yang nangisnya paling lama karena enggak mau pisah sama Aluna.
Adegan haru harus terjeda saat sepasang kaki milik Barra Wisnu menyambangi ruang makan.
"Lho, udah kelar shootingnya, Buk?" ucapnya sembari menarik kursi di seberang mamanya dan Aluna.
"Apa sih, Kak Barra, enggak jelas."
"Lha, gue kira lagi shooting adegan sinetron, pagi-pagi udah melow-melow-an."
"Bar, udah jangan ribut, pusing kepala Mama nanti."
"Barra mau sarapan, Ma, bukan mau ribut. Cewe di sebelah mama itu yang suka cari gara-gara."
"Udah cepat sarapan, habis itu anterin Mama ke toko bahan kue langganan. Stok bahan-bahan mulai menipis," titah Hastari. Hasta Cookies adalah usaha kue home Made yang telah dirintis Hastari sejak ditinggal pergi sang suami menghadap ke haribaan. Usaha yang awalnya kecil, sekarang berkembang pesat dan mempunyai banyak langganan tetap. Hasta yang berarti tangan dalam bahasa Jawa halus, bisa juga akronim nama Hastari, lalu digabungkan dengan kata cookies, Hasta Cookies memiliki arti kue buatan tangan.
"Barra ada janji sama teman, Ma, perginya diantar sama Kendedes aja tuh, Ma."
"Kak, Aluna udah janji mau jalan bareng Wita," sahut Aluna.
"Barra yang nganterin Mama, titik!" Ibu Hastari sudah bersabda, maka Barra langsung mengangguk pasrah.
___
Mama dan Barra pergi, Aluna menyusul meninggalkan rumah. Menghampiri kost-an Wita, kemudian keduanya jalan sesuai rencana ingin nonton film terbaru sembari hunting outfit terbaru.
Sejak berangkat Aluna tidak terlalu semangat. Ekspresi wajah yang datar memantik rasa curiga Wita. Temannya itu mencecar Aluna habis-habisan, kenapa sepanjang jalan mengitari mall, lebih banyak diam, padahal biasanya paling heboh.
Di salah satu restoran area food court, usai nonton dan memutuskan makan siang, Aluna akhirnya menceritakan semua rencana mamanya pada teman baiknya itu.
"Kak Barra?! What? Ngibul pasti Lo, Lun?" Setengah berteriak dengan mata membola adalah reaksi Wita saat tahu Aluna akan dijodohkan dengan Barra. "Gelak, kalian bukannya kakak-adik. Gimana sih, gagal dong usaha gue buat menarik perhatian Kak Barra." Lanjut Wita disertai ekspresi sedih dibuat-buat.
"Sorry, Wit, gue belum cerita ya, kalau gue sama Kak Barra saudara angkat. Mamanya Kak Barra mengambil alih hak asuh gue pas umur sepuluh tahun, setelah ibu gue meninggal karena sakit."
"Jadi, kalian sodara angkat?"
Kalimat tanya disertai ekspresi terkaget-kaget Wita saat tahu. Aluna mengangguk, membenarkan pertanyaan Wita.
"Astaga, gue kira sodara kandung, pantesan enggak mirip, Kak Barra cakepnya sundul langit, Lo jeleknya sundul bumi."
Satu geplakan mendarat di lengan Wita. "Mulut tolong dikondisikan ya, Mbak Wita, mau gue cabein nih!" Aluna mengangkat piring yang masih menyisakan banyak sambal karena siang ini memilih menu ayam geprek. Ancaman itu hanya candaan, reaksi Wita adalah tertawa puas melihat wajah sebal bestiee-nya. "Becanda Bestiee, gitu aja marah.
Biasanya saat jalan sama Wita begini menjadi hal menyenangkan bagi Aluna, tapi untuk hari ini rasanya hambar. Pikirannya kadung tertawan oleh keputusan mama soal rencana pernikahannya dan Barra.
****
Wah, kira-kira apa ya, rahasia Aluna yang belum Barra ketahui?
Kachan update, meski vote belum mencapai target, karena sayang sama kalian semua. ❤️
Yang sider semoga habis ini muncul
Yang biasanya cuma vote semoga berkenan kasih komen.
Target masih sama ya, semoga terpenuhi.
22-03-2022
1600
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top