19. Flashback

Assalamualaikum, masyaallah akhirnya bisa update lagi.

Happy baca
Sorry for typo
.
.
.

Aluna menatap kisi-kisi jendela kamar dengan tatapan menerawang. Usai konfrontasi dengan Barra tadi menyisakan rasa sesak yang meruangi hati. Batinnya menjadi bimbang, akankah dia tetap menerima rencana Mama perihal pernikahan-nya dengan Barra? Atau lebih baik memilih mundur, dengan resiko Mama akan merasakan kecewa lagi.

Pada satu ingatan yang membawa terbang menuju dimensi lain di masa lampau, Aluna terdiam, meresapi setiap kilatan flash gambar yang berputar dalam otaknya.

Barra Wisnu, lelaki yang telah dianggap seperti kakak sendiri olehnya, adalah laki-laki pertama yang mampu mengikis rasa takut yang sempat menghantui hari-hari Aluna. Lewat kasih sayang yang ditebarkan Barra serta Mama Hastari, Aluna berhasil merakit kembali rasa percaya diri. Berhasil melewati masa-masa tersulit yang sempat membuatnya tak ingin hidup lagi semenjak ditinggal pergi Nafisah - sang ibu.

Bukan Aluna bermaksud kurang ajar pada Barra Wisnu. Dia hanya melakukan tindakan sesuai nuraninya. Tidak tahu bagaimana reaksi mama nanti andai lebih lama lagi Barra menyembunyikan Kamela dan Ara darinya. Mama pasti akan lebih dalam lagi kecewanya. Padahal, jauh sebelum ini, Barra sendiri yang sering mengajari Aluna, jika ada masalah, lekas seleseikan masalahnya, jangan coba disembunyikan atau lari dari kenyataan. Namun, yang terjadi pada Barra justru sebaliknya.

Masih bertahan duduk di sofa ruang tamu, Aluna baru membuka kelopak mata usai terpejam meresapi kenangan masa lalu yang mencuat. Tangannya sibuk menyeka pinggiran matanya yang basah oleh airmata. Baru ingin beranjak, tapi kakinya urung berdiri saat melihat Mama sudah berdiri persis di dekatnya.

"Mama," refleks Aluna. Dia amati wajah Mama sembab karena habis menangis. Rasa sedih sontak menghantam dada Aluna menyaksikan perempuan yang telah memberinya cinta itu sekarang bermuram durja.

Tidak mengatakan apapun, Hastari duduk di sebelah Aluna. Tatapan matanya kosong menatap udara.

"Ma ..." Aluna ingin bicara, tapi Hastari lebih dulu memotong.

"Sejak kapan, Una? Tolong bilang jujur sama Mama, sejak kapan Barra menyembunyikan perempuan lain di rumahnya?" Pertanyaan yang membuat Aluna bingung. Antara ingin menjawab atau tidak. "Una?"

"Ti-tiga tahun lalu, Ma," jawab Aluna akhirnya.

Hastari memegang dadanya yang terasa ngilu atas pengakuan Aluna. Tangisnya kembali berderai.

"Tega sekali Barra membohongi Mama selama ini." Rintikan airmata jatuh menderas di tebing pipi Hastari.

"Ma, maafin Una." Aluna memangkas jarak. Tangannya merangkul sang mama dari samping, seraya ikut meluruhkan tangis. "Mama jangan sedih, Aluna enggak bisa lihat Mama kayak gini." Aluna sangat memahami betapa kecewanya Mama saat ini. Ibu mana yang tidak marah mendengar kebohongan putranya sendiri, dan itu dilakukan selama tiga tahun.

"Una tahu perempuan itu?" Pertanyaan Hastari diangguki Aluna.

"Una juga baru tahu beberapa waktu lalu, Ma. Maafin Una, enggak bisa kasih tahu Mama lebih cepat."

Hastari menyusut hidungnya yang memerah akibat tangisan. Badannya sedikit menyerong menatap Aluna. "Besok, antarkan Mama bertemu perempuan itu," pintanya pada Aluna.

"Ta-tapi, Ma---"

"Mama mau ketemu sama dia, Nak, tolong bantu Mama." Ekspresi Hastari terlihat memohon pada Aluna.

Anggukan kepala adalah hal refleks Aluna mengabuli permintaan Mamanya. Ada perasaan mengganjal lain yang meliputi hati Aluna saat ini. Memandang mata Mama, menakar ekspresi-nya sejenak sebelum Aluna mengatakannya.

"Perempuan itu ... mencintai Kak Barra, Ma." Pasrah dan siap dengan segala konsekuensi saat Aluna menjabarkan tentang rasa cinta Kamela pada sang Mama.

Hastari terdiam beberapa saat mendengarnya. Tatapannya masih lurus tanpa menoleh Aluna.  "Hubungan apa yang akan diharapkan dari sebuah kebohongan?" Cetusnya menjawab kalimat Aluna.

"Ma ..."

"Una, kita bicarakan nanti ya, setelah Mama temui perempuan itu dan anaknya." Hastari memutus kata-kata Aluna, seolah paham apa yang akan putrinya bicarakan. Tadinya Aluna ingin mengatakan, dia tidak keberatan jika harus mundur dari rencana perjodohan ini. Dia akan membiarkan Barra menyadari perasaannya pada Kamela. Mungkin beberapa waktu belakangan ini Barra bersikap manis serta mencetuskan ide untuk saling jatuh cinta hanya karena tuntutan tanggungjawab pada Mama.

__
Di sudut lain

Barra membanting pintu apartemen dengan keras usai berhasil memasuki unit tempat tinggalnya. Dengkusan panjang menguar dari mulut. Rasa kecewa bersarang di hati bercampur dengan kesal dan amarah. Satu nama pemicu otaknya bak terbakar api- mendidih, dia-Aluna. Ah! Andai rasa sayang Barra tidak sebesar saat ini, mungkin tadi tangannya sudah melayang menyentuh permukaan pipi sang adik angkat.

Hari ini Barra merasa di puncak rasa kesalnya pada Aluna. Gadis itu, padahal sudah berjanji tidak akan membocorkan apapun pada Mama sebelum Barra sendiri yang angkat bicara nanti. Namun, yang tadi dia saksikan, Aluna malah sengaja  membuka semuanya di depan Mama. Membuat perempuan paruh baya yang dikasihi itu menumpahkan airmata disertai wajah menyirat penuh kecewa. Sungguh, Barra terluka melihat Mama bersedih seperti tadi. Bayangan wajah sembab Mama terus terbayangkan.

Tangannya menggeser letak dasi yang masih menggantung di leher. Mengurainya sampai terlepas, kemudian melemparnya asal - refleksi amarah yang ingin tersalurkan. Barra membanting diri ke sofa. Matanya terpejam seraya menyandar pada punggung kursi empuk itu. Urat-urat di sekitar rahangnya terlihat menegang akibat menahan letupan emosi yang ingin meletus.

Semuanya terasa runyam. Seperti benang yang saling tarik-menarik, berakhir ruwet dan sulit diuraikan. Memang, pada akhirnya kebohongan walau untuk sesuatu yang baik, pasti imbasnya tak akan menjadi baik. Barra harus menyadari hal ini. Dari awal niatnya membantu Kamela memang sudah salah jalan. Kalau sudah seperti ini, pasti yang terbesit adalah kata 'andai'

Andai dulu tidak begini, andai dulu begitu. Halah! Memang penyakit semua manusia kayaknya, penyesalan selalu berada di ujung akhir.

Dalam gemingnya angan Barra membawanya terbang pada peristiwa memilukan tiga tahun lalu.

Bertepatan dengan kepulangannya ke tanah air, usai menyelesaikan study S2-nya, Barra dipertemukan kembali dengan Nakula, teman baiknya. Siapa Nakula bagi Barra Wisnu?
Baginya Nakula bukan hanya sekadar teman. Walau usianya beberapa tahun di bawah Barra, tapi pembawaan Nakula yang tenang dan dewasa, mampu membuat Barra betah berteman dengannya. Tidak akan pernah terlupakan juga dalam ingatan Barra, akan semua kebaikan Nakula. Dahulu, saat Barra mengalami masa-masa krisis karena perginya penopang hidup, Nakula punya andil besar baginya sampai bisa menyelesaikan pendidikan dan meraih cita-cita. Tidak terhitung berapa banyak bantuan yang temannya itu berikan tanpa banyak pertimbangan, karena bagi Nakula, uang bukanlah segala, walau dia terlahir dari orangtua kaya raya, tapi Nakula sendiri mengaku tidak bahagia. Barra masih ingat, Nakula terang-terangan mengatakan, kalau dia tidak betah di rumah, sepanjang pertemuan ayah dan ibunya hanya diisi dengan pertengkaran.

Ibunya Nakula selalu menuding kalau suaminya belum bisa melupakan masa lalunya. Sementara ayahnya Nakula mengatakan dengan tegas bahwa dia kehilangan separuh nyawanya saat memilih meninggalkan cinta pertama dan lebih memilih hidup bersama istrinya yang tak lain mamanya Nakula.

Kehangatan rumah yang didambakan setiap anak, tidak didapatkan oleh Nakula. Berawal dari traumatik yang didapat, akhirnya Nakula lebih suka menghabiskan hari-harinya di luar rumah. Ikut geng motor, hobi balapan liar, nongkrong tidak jelas, dan taruhan. Nakula bertemu Barra saat Barra menjadi joki balap liar kala itu. Terdesak kebutuhan, membuat Barra nekat menerima tantangan salah seorang teman. Sampai takdir membawanya mengenal sosok Nakula.

Di hari naas itu. Harusnya Barra yang berada di arena balap, memacu motor sport beradu kecepatan dengan lawannya. Namun sesuatu hal membuatnya tidak bisa berada di arena balapan, kaki Barra terkilir, tidak bisa banyak beraktivitas. Diskualifikasi menanti, dan Barra dinyatakan kalah serta tidak sportif, akan tetapi Nakula maju memasang badan. Dia gantikan Barra pada saat itu.

Kemalangan lain yang tak dapat ditolak adalah saat Barra mendapat kabar kalau Nakula mengalami kecelakaan.
Seperti dihantam petir di siang hari. Barra terkejut bukan main. Salah satu teman mengatakan bahwa Nakula mengalami selip ban, karena tidak bisa menguasai motor yang melaju kencang, Nakula membanting setir, menabrak pohon dan trotoar.

Barra shock, diam adalah refleksi sesaat, merasa tidak percaya dengan kabar yang didengar tentang kondisi Nakula saat itu. Sontak bayangan keakraban bersama karibnya tersebut terus melintas dalam benaknya detik itu juga. Dia dan Nakula, walau sering olok-olokan, tapi baginya Nakula sudah seperti adik sendiri. Keduanya begitu akrab dan dekat.

Racoon eye, cedera otak parah, adalah penjelasan dokter yang menangani Nakula. Sesaat sebelum dinyatakan koma, Barra mendengar desisan suara samar Nakula menyebut satu nama ; Kamela.
Dua belas jam dinyatakan koma, akhirnya Nakula pergi meninggalkan dunia selamanya, menyisakan rasa bersalah mendalam di hati Barra Wisnu, sampai dia memahami maksud ucapan terakhir Nakula untuk menggantikan menjaga Kamela.

____




Pre Order My Sweetest Aisyah tinggal 2 hari lagi. Yuk yang belum ikutan masih bisa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top