18. Revealed
Happy baca ❤️
Sorry for typo
.
.
.
Wajah Aluna terpasung lelah saat memasuki rumah. Penat dengan urusan kantor ditambah lagi, agak sebal dengan sikap bebal Kamela, membuat tenaganya seperti diperah habis-habisan seharian ini.
Ucapan salamnya terdengar lemah. Sampai di ruang tamu langsung mengenyakkan tubuh ke sofa. Duduk menyandar di sana seraya memejamkan mata sejenak.
Hastari datang dari ruang tengah menghampiri sang putri. "Tumben baru pulang bakda Isya, Nak?" tanyanya sembari duduk di sebelah Aluna.
Mata Aluna terbuka. Menoleh pada sang Mama dibarengi dengan senyum tipis. "Iya Ma, tadi pulang ngantor mampir ke rumah sakit jenguk teman yang lagi opname."
Hastari ber-oh-pendek seraya manggut-manggut. "Belum makan, kan, Nak? Mama siapkan makan malam ya, habis ini kita makan bareng, sama Kakak-mu juga." Lanjut Hastari memberitahu kalau Barra ada di rumah ini juga.
"Kakak ada di sini, Ma?" Aluna refleks celingukan mencari sosok Barra Wisnu.
"Iya, lagi di kamar dia. Katanya nunggu Una, ada yang mau dibahas menyoal persiapan nikahan nanti." Hastari yang sudah berdiri menjawab rasa penasaran sang putri, sejurus meneruskan langkah menuju pantry.
Aluna akan beranjak, baru menegakkan tubuh tapi bersamaan Barra muncul dari balik gorden penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Senyumnya terpatri lebar saat kakinya menjangkau tempat Aluna duduk.
"Hai ...." Sapaan Barra mencuat disertai ekspresi canggung yang kentara di wajahnya.
Kening Aluna sontak berlipat. Merasa aneh dengan sikap Barra saat ini. Interaksi mereka yang biasanya apa adanya dan selalu rame, sekarang jadi diselimuti rasa canggung serta rikuh.
"Ngapain Kak Barra di sini?" Tadinya ingin membalas sapaan Barra, tapi yang keluar dari mulutnya justru kalimat tanya.
Gantian Barra yang mengangkat kedua alisnya bersamaan. "Kok ngapain sih? Ya nungguin Una, mau bicarain sesuatu," jawabnya dengan ekspresi menelisik pada Aluna.
Barra Wisnu mengikis jarak, mendekat persis di sebelah Aluna. Refleks gadis itu adalah menghindar beberapa jengkal - takut nanti Mama salah paham lagi kalau menyaksikan Barra ndusel-ndusel dengannya.
"Apa sih, Kak, jauh-jauh sana!" Risih Aluna.
Barra memulas tengkuk dibarengi dengan jail. "Kenapa sih, Una? Kayak alergi banget dekat sama Kakak." Gantian Barra memprotes.
"Una udah ngomong tadi sama Kamela." Aluna membuka topik obrolan. Matanya digulir menatap manik cokelat gelap milik Barra - menakar ekspresi lelaki itu saat dia membahas tentang Kamela.
"Oh iya, gimana keadaan Ara? Dia baik-baik saja, kan, Ken?"
"Iya. Tadi waktu Una ke sana, Ara lagi tidur nyenyak." Terang Aluna mengabarkan keadaan Ara dan Barra.
Barra duduk dengan tidak tenang. Gesturnya yang sebentar-sebentar mengubah posisi menarik atensi Aluna. Kedua alis gadis itu menukik bersamaan disertai kernyitan bingung ke kening.
"Kenapa, Kak?" tanyanya pada Barra.
Barra membuang napas pelan. Lelaki itu, selalu tidak bisa menyembunyikan raut cemas setiap kali ada yang mengganjal di hati. Aluna hapal sekali. Barra berdeham pelan, badannya mencondong menghadap Aluna.
"Kakak boleh jenguk Ara, Ken?" Pertanyaan Barra membuat Aluna terdiam. Perlahan erupsi kesal membanjiri sudut hatinya mendengar permintaan Barra barusan.
Keras kepalanya Barra Wisnu hampir sama seperti Kamela. Kenapa tidak menikah saja dengan ibunya Ara kalau seperti itu?! Aluna membuang napas kasar. Sudah dikasih opsi agar tidak dulu mendatangi dan bertemu Kamela, tapi baru sehari Kakaknya itu sudah pontang-panting sendiri. Sepertinya Barra sudah kecanduan sekali bertemu dua perempuan beda generasi itu - Ara dan Kamela.
"Terserah Kakak!" Aluna bangkit usai menjawab tanya Barra. Rasa sebal menjalar di hati, membuat sikap ketusnya mencuat. Seharian sudah lelah dengan banyak aktivitas, Aluna memilih hengkang daripada harus berdebat lagi dengan Barra.
"Ken, tunggu!" Barra mencengkal tangan Aluna, sontak membuatnya memaku langkah.
"Apa lagi, sih, Kak?"
"Marah?" Selidik Barra.
Tidak menjawab, Aluna empaskan tangan Barra Wisnu, kemudian memacu langkah menuju ruang pribadinya.
Barra terdiam. Duduk menyandar di sofa, matanya memejam sebentar, merasa di tengah rasa bimbang. Di satu sisi dia ingin menuruti ide yang dicetuskan Aluna agar jangan dulu menemui Kamela. Namun di sisi lain bayangan wajah sedih Kiara melintas membuatnya tidak tega kalau harus membuat gadis kecil itu menangis karena mengharapkan kedatangannya.
"Bar, Una mana?" Hastari datang ke ruang tamu, masih mengenakan apron usai menyiapkan makan malam.
Dagu Barra menjentik ke arah kamar Aluna. "Ke kamar, Ma, mau mandi mungkin."
Hastari mengangguk. Perempuan itu sibuk mencopot celemek yang menempel di badan, kemudian duduk di sisi Barra. Tangannya terulur mengusap lembut lengan sang putra seraya memberikan senyum.
"Ada apa? Berantem lagi sama Una?" Tebakan mamanya ditanggapi senyum tipis Barra. "Kalian ini, kan, sebentar lagi mau menikah, kurang-kurangin jailnya sama Una, Bar, masa mau ribut terus nanti kalau udah jadi suami istri?" Imbuh Hastari menasihati putranya.
"Enggak berantem kok, Ma, cuma salah paham sedikit." Alibi Barra sedikit berbohong.
Kening Hastari berlipat. "Apa ada yang mau Kakak sampaikan sama Mama?" Cetusnya dibarengi tatapan menyelidik pada Barra. Biar bagaimanapun insting seorang ibu terlalu kuat pada anak-anaknya. Barra boleh saja menyembunyikan fakta tentang Kamela dan Ara pada mamanya, tapi Hastari merasa putranya itu telah menyembunyikan sesuatu darinya.
Barra refleks menggeleng. "Enggak ada, Ma," elak Barra.
"Bohong, Ma. Kakak punya rahasia yang Mama harusnya dikasih tahu sejak dulu!" Aluna muncul di ruang tamu seraya menukas omongan Barra.
Gelengan samar Barra tertuju pada Aluna. Akan tetapi gadis itu tak gentar, meneruskan langkah mendekat pada Hastari. Rasanya sudah tidak tahan menghadapi sikap plin-plan-nya Barra Wisnu, Aluna berpikir membeberkan semua fakta tentang lelaki itu pada Mama adalah jalan terbaik.
"Una, maksudnya gimana, Nak?" Hastari menatap bingung pada Aluna dan Barra bergantian.
Sejenak hening merayapi.
"Enggak Ma, Una bercanda aja tadi, iya, kan, Ken?" Mata Barra digulir menatap Aluna. Raut wajahnya terlihat ketar-ketir, takut kalau Aluna akan kelepasan bicara pada Mama mereka tentang rahasianya.
"Enggak bercanda. Mama harus tahu satu hal---"
"Ma, udah jam makan malam, ayo kita makan, Mama udah masak tadi, nanti keburu dingin." Barra memotong kalimat Aluna.
Hastari semakin dibuat bingung oleh keduanya. Gelengan-nya menjawab ajakan Barra. "Sebentar Bar, Mama penasaran sama kalimat Una barusan. Coba Una seleseikan dulu tadi mau bicara apa, Nak?"
Barra berdiri, mendekat di sisi Aluna. Gelengan samarnya mencuat, seolah sebagai penegasan kalau dia tidak mau Aluna bicara macam-macam di depan Hastari.
Aluna tidak peduli. Rasa dongkol mengakuisisi mendapati sikap Barra yang dinilainya tidak konsisten. Kemarin dengan wajah bingung, serta polah tidak tengang datang padanya minta bantuan cara menghindari Kamela. Sekarang baru sehari tidak bertemu dengan anak angkat dan ibunya si anak itu membuat lelaki itu ingin melanggar komitmennya sendiri. Aluna paling benci sikap orang yang tidak patuh akan komitmen yangs udah disepakati.
Menghela napas pelan, kemudian mengembuskannya kasar sebelum Aluna mulai bicara pada Hastari. "Una mau kasih tahu Mama, tapi janji dulu, Mama bakal dengarin semuanya lebih dulu, jangan emosi dulu, ya Ma?" Aluna meminta kesepakatan Hastari.
"Aluna!" Sedikit berteriak saat Barra ingin menghentikan aksi Aluna.
"Mama janji, katakan Nak, soal apa itu?" Hastari menatap tak sabar.
"Kak Barra ..." Aluna melirik Barra, menakar eskpresi lelaki itu. Dia dapati rahang Barra mengetat, seperti menahan ledakan emosi. Sekali lagi, Aluna tidak peduli. "Kak Barra punya anak angkat, Ma." Pengimbuhan yang menimbulkan gurat tanda tanya besar di wajah Hastari. Matanya refleks mengintimidasi pada Barra Wisnu, seakan meminta penjelasan.
"Tiga tahun, Kak Barra menyembunyikan anak itu beserta mamanya di rumahnya." Aluna menyambung penjelasan. "Namanya Kamela, perempuan yang selama ini dinafkahi Kakak, dikasih perhatian, bahkan tempat tinggal di rumah Kak Barra." Jebol juga pertahan Aluna untuk tidak ingin menyembunyikan fakta apapun dari sang Mama. Hastari menangkup tangan di mulut. Ekspresi kaget tergambar jelas di wajahnya.
"Mama harusnya tanya sama Kak Barra. Apa benar dia mau nikahin Una, kalau kenyataannya dia enggak bisa melepas perhatiannya buat perempuan itu sama anaknya." Aluna tertawa getir. "Jangan-jangan, Kakak terima permintaan Mama cuma karena mau nyenengin Mama, bukan karena ingin."
"Aluna, cukup!" Suara Barra menggema keras.
Aluna tertawa kering. "Mama lihat, kan, Kakak enggak terima Una bongkar semuanya di depan Mama. Dia terlalu sayang sama perempuan itu dan anaknya, Ma."
Hastari tercengang. Matanya membeliak kaget seta berlapis kaca mendengar semua statement yang Aluna utarakan.
"Kamu ...." Kalimatnya tertuju pada Barra disertai tatapan tajam. "Mama salah apa sampai kamu setega ini, Bar?" Suara Hastari bergetar karena syok. Tidak sampai dalam nalarnya kalau seorang Barra yang sejak kecil tidak pernah menyembunyikan apapun darinya, telah tiga tahun berbohong. "Tega kamu bohong sama Mama, Barra? Kamu sudah enggak menganggap Mama ini ada, hah!?" Tangis Hastari pecah.
Barra menggeleng-gelenga atas reaksi sang Mama. Batinnya seperti dihujam pisau. Dia paling benci menyaksikan air menderas di kedua tebing pipi mamanya.
"Mama kecewa sama kamu, Barra!" Hastari berdiri, menatap Barra sebentar kemudian beranjak ke kamar, meninggalkan Barra dalam kebisuan serta menunduk dalam.
Usai kepergian Hastari, tatapan Barra membidik Aluna. Matanya berkilat tajam terarah tepat pada manik bundar milik gadis yang masih duduk di sofa tersebut.
"Puas kamu?!" Pertanyaan dengan nada kasar menjejali telinga Aluna. "Kenapa sih, Ken? Kamu udah janji sama Kakak, enggak akan kasih tahu apapun ke mama. Lalu sekarang apa?" Barra menuntut penjelasan.
Pandangan Aluna menatap lurus ke depan, tidak sedikitpun beralih pada Barra. "Kakak sudah janji, seminggu ke depan enggak akan temui Mela dan Ara, baru sehari tapi sudah ribut mau ketemu, lalu itu apa?"
Barra Wisnu meradang. Tangannya mencekal pergelangan Aluna dengan keras. "Semua enggak sesimpel yang ada di otakmu, Aluna! Sampai kapanpun kamu enggak akan ngerti, kamu enggak ada di posisiku! Tadinya aku pikir kamu benar-benar bisa dipercaya, ternyata sebaliknya. Gara-gara kamu, aku harus lihat mama ngeluarin airmata lagi hari ini. Kamu ...!" Barra menunjuk Aluna. "Benar-benar kecewa sama kamu!" Tatapan matanya melayu. Saat Aluna sedikit melirik, dia menangkap ada kilatan bening memancar di kedua mata Barra. Usai berkata, Barra melenggang keluar tanpa pamit.
Acara makan malam gagal, berganti dengan konfrotasi. Masing-masing pergi membawa perasaan tak menentu. Usai kepergian Barra, Aluna masih betah di sofa. Matanya menatap langit-langit ruang tamu saat merasakan panas merangsek memenuhi kelopak matanya. Ingin ditahan sekuat mungkin, tapi gagal saat butiran bening terjun bebas tanpa bisa dikendalikan. Dia mengakui keputusannya malam ini mungkin keterlaluan, tapi Aluna tidak menyesal telah menguak semua sisi lain yang Barra sembunyikan dari Mama. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, toh, suatu saat baunya pasti akan tercium juga. Ibarat Barra yang kukuh menyimpan semua hal tentang Kamela dan Ara, toh suatu saat Mama akan tahu juga. Aluna hanya membantu mempercepat proses itu. Lebih cepat lebih baik.
____
Suka silakan dibaca, tidak suka silakan tinggalkan. Jangan sampai komen jahat dan kasar kembali terulang ya. Tapi saya yakin, pembaca di sini pada baik semua. Kachan agak trauma sama komenan jahat macam kemarin di lapak Love and Agreement. Mau update jadi maju mundur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top