13. Annoying
Holla, rindu, tak?
Happy baca
Sorry for typo
.
.
.
"Saya calon istrinya Kak Barra ..."
Aluna melepas embusan napas usai berkata-kata. Tidak menyangka bisa bisa berani mengatakan kalau dia calon istri Barra di depan perempuan bernama Kamela itu.
Sebenarnya sudah dongkol sejak di mobil- sewaktu Barra menerima telpon dari Kamela. Kenapa enggak mencoba ikhtiar duluan, dengan membawa anaknya yang sakit ke klinik terdekat misalnya. Kenapa harus menunggu kedatangan Barra dulu baru bertindak. Bukannya keselamatan anak lebih utama bagi seorang ibu?
Ya memang, Aluna belum merasakan jadi seorang ibu, tapi sebagai perempuan yang hidup di era modern, tidak akan susah menjangkau fasilitas kesehatan untuk berobat, kan?
Kekesalan kedua, saat matanya memindai Kamela tanpa ba-bi-bu langsung menubruk raga Barra, memeluk lelaki itu tanpa rasa sungkan. Aluna yang dekat hampir separuh hidup, tinggal seatap saja belum pernah berani terang-terangan gelendotan di lengan si angkat, tapi dia--Kamela, malah jauh lebih berani dari dugaan Aluna.
Barra menoleh speechless. Kupingnya tidak salah dengar, kan? Barusan Aluna ngaku-ngaku sebagai calon istri, apa itu artinya si adik angkat secara tidak langsung telah mengabuli permintaan mama mereka?
"Apa Ken? Coba bilang sekali lagi."
"Jadi karena ini Mas Barra enggak ngasih aku jawaban kemarin?" Kamela menukas.
Ketiga manusia itu saling pandang, saling lirik, Barra ingin menjawabi tanya Mela, tapi bersamaan suara tangis Ara melengking mengalihkan fokus semua orang.
"Lebih baik cepat dibawa ke rumah sakit, kasihan anaknya, Kak!" cetus Aluna. Barra mengangguk, Mela lebih dulu melangkah, menjangkau Ara yang tengah berbaring di kamar utama.
Satu mobil, tiga orang dewasa, satu anak kecil. Barra di seat kemudi, persis di sebelahnya ada Kamela seraya memangku Ara, sementara Aluna di bangku tengah.
Ada sedikit momen lucu bercampur awkward, saat Barra membuka pintu depan, Aluna dan Kamela bersamaan hendak melangkah naik, memutar bola mata, sebal, Aluna mengalah duduk di seat tengah.
"Mel, apa tidak sebaiknya di belakang saja, biar kaki Ara bisa selonjoran, enggak ditekuk gini." Instruksi Barra digelengi Kamela.
"Di sini saja, Mas, Ara biasanya duduk dekat kamu," kukuh Mela tak ingin beranjak.
Barra mengangguk samar. Kadang merasa sedikit sebal dengan tingkah bebal Mela. Seperti kemarin saat mereka jalan ke mal, dia sudah peringatkan agar Ara dipakai-kan jaket, tapi Mela kukuh, katanya Ara gampang gerah. Alhasil sekarang badan bocah tiga tahun itu diserang demam. Rintihan Ara terdengar sepanjang perjalanan.
"Ara tahan ya, Sayang, sebentar lagi kita sampai rumah sakit." Mela coba menenangkan buah hatinya yang terus merengek. Wajah Ara memerah, antara menahan sakit serta menangis.
Barra menoleh Mela, matanya menyirat khawatir pada di gadis kecil dalam pangkuan ibunya, sejak tadi penasaran akan satu hal, "Memangnya Ara demam dari kapan, Mel?"
"Udah dari kemarin siang, Mas." Mela menjawab dibarengi wajah sendu. Matanya berlapis kaca saat berucap.
"Kenapa enggak langsung dibawa ke dokter, Mel?" Barra agak menyayangkan kenapa Mela tidak mengambil inisiatif membawa Ara ke klinik terdekat.
Gelengan Kamela mencuat. "Nunggu kamu, biar ada yang nganter," sahutnya enteng.
Decakan pendek menguar dari mulut Barra mendengar jawaban Mela. Kepalanya menggeleng samar. Untuk urusan satu itu, aslinya agak sedikit geram pada dirinya sendiri. Bisa jadi Kamela terlalu bergantung padanya, karena dia sendiri yang tak memberi celah untuk perempuan itu berusaha berdiri di atas kakinya sendiri. Terlalu ngemong, sampai yang dijaganya merasa tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ada dirinya.
"Maaf Mbak, menurut yang saya tahu, sebaiknya anak segera dibawa ke fasilitas kesehatan kalau demamnya udah lebih dari delapan jam, takutnya nanti kejang kalau dibiarin." Aluna menukas, masuk ke dalam obrolan, sedikit memberi saran.
Kamela memutar kepala ke tempat Aluna duduk. Perempuan itu menatap dengan sirat kurang suka atas kata-kata Aluna.
"Maaf ya Mbak, tapi saya ibunya, saya tahu kapan harus bertindak, Mbak jangan ikut campur, Mbak enggak akan tahu gimana rasanya jadi saya, karena Mbak belum merasakan jadi ibu."
Aluna terdiam. Senyum tipis dia suguhkan menanggapi kata-kata menusuk Mela.
"Maaf ya Mas, aku enggak bermaksud menyinggung calon istri kamu, tapi aku benar, kan, dia belum jadi ibu, belum tahu gimana rasanya jadi kayak aku." Masih berkata-kata, Kamela selanjutnya menoleh pada Barra.
"Jangan begitu, Mel, ambil semua saran yang baik, apa yang dikatakan Aluna enggak ada yang salah, kamu jangan tersinggung."
Walau Barra berusaha melakukan pembelaan, tetap saja Aluna merasa batinnya mendidih. Belum pernah rasanya dia ingin memuntahkan umpatan pada orang yang baru dikenal seperti Kamela ini. Ketus dan suuzan melulu.
Mobil Barra memasuki parkiran rumah sakit. Lelaki itu segera membuka pintu samping, mengambil alih Ara dari pangkuan Mela.
"Biar saya yang gendong Ara," ujarnya. Mela manggut-manggut dibarengi senyum. Perempuan itu lalu mengekor di belakang Barra. Sementara Aluna, masih berdiri di sisi mobil, matanya terus mengikuti dua orang dewasa yang melangkah beriringan. Bibirnya terangkat sebelah, tersenyum miring, merasa miris pada situasi yang dihadapi.
Meski berat, Aluna melangkah menyusuri jejak Barra. Ke poli anak di lantai dua, tadi lelaki itu sempat mengatakan begitu.
Di depan ruang poli anak, Aluna melenggang masuk, memindai Ara yang menjerit-jerit saat suster berusaha meletakkan termometer pada apitan ketiak gadis kecil itu. Barra berusaha menenangkan seraya memegangi tangan Ara, sementara Kamela memegang bagian kaki putrinya. Aluna perhatikan, Barra sangat telaten sekali menghadapi polah si bocah kecil, pikirannya sontak menampilkan kembali obrolannya bersama Wita. Temanya itu pernah mengatakan, laki-laki seusia Barra memang sudah saatnya menjalani babak baru kehidupan relationship yang lebih serius. Pernikahan. Aura family Man memancar kuat darinya.
Agaknya sekarang Aluna membuktikan sendiri.
"Mbak, coba biar mamanya saja yang pegangin, siapa tahu anaknya bisa lebih tenang." Celetukan suster memantik raut bingung semua orang. Termasuk Aluna yang berdiri menyandar di dinding dekat bed.
"Maksudnya Sus?" tanya Barra.
Suster menunjuk Aluna. "Itu mamanya si dedek, kan, Pak? Daripada Mbak pengasuh, coba mamanya dulu yang pegang dedek," cetus suster lagi. Aluna mendelik, Barra menggeleng, sementara Kamela menganga tak percaya.
"Suster jangan sembarang ya, saya mamanya, ini anak saya!" Nada bicaranya menyiratkan kekesalan berlebih. Mela segera menarik tubuh Ara yang berbaring, menggendong putrinya erat.
"Lo-lo-lo, jangan digendong dulu, Ibu, belum selesai ini periksanya. Aduh, berapa ini tadi panasnya si adek ...." Suster mencak-mencak, merasa kerjaannya dihambat atas tindakan spontan ibu dari pasien yang ditangani. "Maaf Ibu, saya kira mamanya yang itu." Suster melirik Aluna. "Habis penampilan-nya sama kayak papanya, setelan kantoran, saya kira mama sama papanya baru pulang ngantor langsung bawa anaknya ke sini." Pengimbuhan yang mendapat tatapan tajam Kamela.
"Biar dokter saja yang periksa!" sahut Mela, nadanya ketus saat bicara.
"Dokter masih ada pasien yang harus diperiksa, sembari menunggu makanya saya observasi dulu, Ibu, diukur panas si adek, sama kita kasih supositoria (obat penurun panas yang dimasukkan lewat anus) kalau panasnya dedek di angka tiga puluh sembilan derajat."
"Tidak usah, biar nanti dokter anak saja yang periksa, lebih paham dan detail."
Barra melepas embusan napas. Rasa lelah baru pulang ngantor seperti tidak ada apa-apanya dibanding menghadapi tiga perempuan yang tengah bersamanya saat ini. Melirik Aluna, dia memerhatikan si adik angkat merangkap calon istri itu membuang muka. Ada jelaga amarah mengobar di kedua mata bundar miliknya. Menengok Ara, gadis kecil itu tengah meronta dalam gendongan ibunya. Rewel parah sore ini. Sedangkan menatap sekilas pada Kamela, terlihat sekali rautnya memancar tersinggung atas dugaan suster - yang mengira dia pengasuhnya Ara.
"Mela sama Aluna, kalian tunggu di luar saja, biar Ara sama saya," putus Barra.
Aluna langsung angkat kaki tanpa mengatakan apapun. Kamela mengangguk, usai menyerahkan Kiara pada Barra dia berlalu, menyusul keluar.
Aluna duduk di salah satu bangku pada deretan bangku besi tak jauh dari ruangan dokter anak. Matanya digulir ke segala arah dengan pelbagai pikiran menyesak di otak. Dia kira Kamela yang selama ini disembunyikan Barra darinya dan mama adalah sosok lembut yang bisa diakrabi. Alih-alih akrab, perempuan itu malah memperlihatkan raut tak suka sejak kali pertama Aluna berkenalan.
"Saya enggak peduli meskipun kamu calon istrinya Mas Barra."
Tolehan Aluna ke sumber suara. Agak berjengit saat tiba-tiba saraf pendengaran-nya disambangi suara tak asing. Kamela ternyata sudah dalam posisi duduk persis di bangku sebelahnya.
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aluna tak paham omongan Mela.
Mela melirik sekilas. Sudut-sudut bibirnya berkedut saat menatap Aluna.
"Mas Barra enggak pernah cerita kalau dia punya calon istri. Kamu datang secara tiba-tiba, asal kamu tahu, sebelum kamu, saya lebih dulu mengenal dan dekat dengan Mas Barra. Terhitung, tiga tahun lebih kami dekat dan bersama." Jemari Mela mengacungkan simbol angka tiga.
Apa katanya? Tiga tahun?
Excuse! Apa layak disejajarkan dengan Aluna yang mengenal, tahu luar dalam-baik buruknya Barra Wisnu, segala aib dan dosa-dosa lelaki itu, serta kedekatannya sebagai adik kesayangan Barra, orang menyebut mereka sibling goal- yang sudah berjalan lebih dari tiga belas tahun lamanya? Ah! Sepertinya Barra tidak pernah cerita kalau selain mama di mempunyai Aluna di rumah.
"Saya juga tidak paham dengan maksud Mbak Mela." Aluna enggak mau berprasangka buruk, tapi mendapati sikap sengaja Mela, kenapa dia merasa si Mela-Mela ini ternyata lebih annoying, dibanding Barra Wisnu. Sungguh, pasangan yang cocok.
"Maaf, tapi saya harus bilang, saya enggak peduli biarpun kamu yang ngakunya calon istrinya Mas Barra ada di sini, tapi itu enggak menyurutkan perasaan saya sama Mas Barra. Mari bersaing secara adil."
___
Eh, apanih?
Ada yang ngajak saingan. 🤭
11-04-2022
1500
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top