11. Mari Saling Jatuh Cinta
Happy baca ❤️
Sorry for typo
.
.
Dua kali totalnya dalam kurun seminggu ini Barra membentaknya. Aluna meradang. Rasa kecewa mengakuisisi hati oleh sikap sang kakak. Di matanya Barra telah benar-benar berubah. Bukan lagi sosok hangat yang selalu peduli serta penuh kehati-hatian saat bertutur, tapi suka seenaknya sendiri tanpa pedulikan perasaan lawan bicaranya.
Aluna terus melangkah tanpa peduli teriakan Barra. Tidak peduli juga pada lirikan atau tatapan aneh pengunjung kafe yang mengarah padanya. Mungkin mereka kira dia dan Barra adalah sepasang kekasih yang tengah adu argumentasi di tempat ini. Tidak sedikit juga saat lirikan matanya memindai pada beberapa yang bisik-bisik dibarengi tatapan melayang padanya dan Barra.
"Tunggu!" Cekalan tangan dirasakan Aluna. Sontak dia memaku langkah berdiri berhadapan dengan Barra.
Wajahnya masih tertekuk. Enggan menatap balik lawan bicaranya.
"Lihat Kakak, Ken!" pinta Barra. Aluna tak mengindahkan. Matanya dilabuhkan ke arah lain-memandang jalanan di seberang kafe.
"Aluna, jangan marah. Kakak minta maaf."
Aluna tertawa miring. Sudut bibirnya terangkat sebelah mendengar lafaz maaf Barra. Bosan sekali mendengarnya. Selalu begini, berbuat salah, menyesal, minta maaf, dan mengira semuanya telah selesai, lalu baik-baik saja. Bilang maaf memang gampang, tapi trauma akibat dibentak, tidak semudah itu bekasnya dihapuskan.
Hening. Diam menjadi pilihan Aluna. Sekuat tenaga ditahan tak dinyana buliran bening aktif juga membanjiri wajah cantiknya.
Barra menggeleng pelan. Tangannya berusaha hapus titik-titik bening di wajah Aluna. Rautnya memancar sedih dan bersalah.
"Jangan nangis, Kakak selalu merasa jadi orang paling berengsek kalau bikin Una nangis kayak gini." Tangannya raih tubuh Aluna. Melingkar di bahu gadis itu, memeluknya erat.
"Lepas, Kak!" Bukan hanya karena tak nyaman dipeluk spontan oleh Barra, tapi juga risih mendengar koor ciyeee menggema dari beberapa pengunjung kafe. Agaknya mereka lupa kalau masih berdiri di sudut kafe dengan banyak lalu lalang orang keluar masuk. Dan, sialnya kenapa mendadak jantung Aluna jadi meliar akibat ulah Barra. Menderu-deru tak keruan, seperti kobar api yang memanggang kedua pipinya menjadi merah. Lelaki itu--Barra Wisnu, Aluna benci kalau sudah spontan ndusel-ndusel lalu mendekapnya erat. Benar kata mama, berdekatan dengan Barra bisa membahayakan diri. Bukan hanya karena mereka aslinya tidak boleh tak berjarak seperti sekarang, tapi karena mendadak Aluna dikekang rasa salah tingkah.
"Kak, lepasin!" pinta Aluna lagi.
Barra lepas dekapan. Tangannya kembali menyapu pipi Aluna, mengusap lembut jejak airmata di sana.
"Kakak antar pulang ya," ucapnya lembut. Aluna angguki.
Sepanjang perjalanan keduanya saling membisu. Hanya deru suara mesin mobil yang mendominasi.
Barra beberapa kali mencuri lirikan, menakar ekspresi Aluna. Wajah sang adik masih ditekuk dengan bibir mengatup rapat.
"Masih marah sama Kakak?" Tiba-tiba Barra bertutur. Aluna menoleh sepintas, lalu kembali membuang pandangan. Mobil ditepikan ke bahu jalan, Barra menyalakan lampu hazard saat kendaraannya berhenti.
"Maafin Kakak, jangan marah terus, Ken."
Masih belum ada jawaban.
Tangan Barra menjangkau puncak kepala Aluna, mengusapnya lembut.
"Kakak janji, secepatnya akan cerita semuanya sama mama, tapi kakak mohon, Una jangan bicara apapun dulu ke mama, ya. Biar Kakak sendiri nanti yang bicara."
"Jadi, kakak baik-baikin Una cuma karena ada maunya? Iya? Karena enggak mau mama sampai tahu semua rahasia Kak Barra?"
Barra usap wajah kasar. Adiknya ini tipe-tipe perempuan dengan watak keras dan teguh pendirian Susah sekali dibujuknya. Perasaan dulu enggak gitu. Apa mungkin seiring bertambahnya usia, Aluna yang dewasa juga memiliki sifat baru.
"Jangan suuzan, Ken, Wallahi enggak ada kayak yang kamu omongin. Kakak beneran minta maaf."
Barra kembali melajukan mobil. Sampai di gerbang rumah mama, segera di parkir kendaraan, lalu turun mengikuti Aluna.
"Kakak ngapain ikut turun?" tanya Aluna tak suka.
"Kenapa, enggak boleh?" tanya berbalas tanya. Aluna diam menanggapi-nya. "Kakak cuma enggak mau mama khawatir, kamu pulang dalam keadaan mata bengkak, ketahuan banget habis nangis. Biar Kakak antar sampai ke dalam."
"Enggak usah!"
Gantian, Barra tak mengindahkan kalimat Aluna. Dia gandeng paksa tangan Aluna, membawanya sampai ke depan pintu. Mengetuknya pelan dibarengi ucapan salam.
Saat pintu terkuak, wajah keheranan mama tersuguh menyaksikan dua anaknya berdiri bersamaan.
"Lho, Bar, kok Una bisa sama kamu, bukannya tadi perginya sama Wita?" Berondong mama.
"Ketemu di jalan Ma, Una lagi enggak badan, makanya Barra anterin pulang."
Hastari ber-oh-pendek. Perempuan baya itu duduk di sofa ruang tamu, Barra mengikuti duduk di sisi mamanya.
"Mama kira kalian sengaja janjian malam mingguan."
"Mama, Una pamit ke kamar ya, kepala Una agak pusing besok harus berangkat pagi sekali." Aluna pamit. Tidak peduli pada Barra, dia melenggang tinggalkan ruang tamu.
Sepasang mata Barra mengikuti langkah Aluna, sampai gadis itu menghilang di ruang tengah. Tepukan ringan sang mama berhasil mengoyak kesadaran Barra dan pikiran yang tertawan pada Aluna.
"Jangan dilihatin terus, belum halal." Interupsi mama. Barra memulas senyum tipis. "Gimana Kak?"
Barra menatap mama, keningnya berkerut dalam mendengar pertanyaan mama.
"Gimana apanya, Ma?"
"Kalian sudah saling jatuh cinta, kan?"
Pertanyaan mama mereaksi Barra. Refleksnya adalah terbatuk kecil --tersedak ludahnya sendiri. Kaget.
"Belum, Ma, Barra sudah bilang, akan susah. Mama maksa."
Hastari menepuk-nepuk pelan bahu putranya. "Tenang, masih ada sisa waktu sebelum satu bulan."
"Kalau lewat sebulan nyatanya kami belum saling jatuh cinta, gimana, Ma?"
Kedua bahu mama tertarik ke atas bersamaan. Wajahnya membias pulasan senyum tipis. "Sebulan belum saling jatuh cinta, ya progresnya tetap seperti kesepakatan awal, kalian mama geret ke KUA. "
Barra melongo. Sulit dipahami, semoga kalimat mama hanya candaan. Desisnya dalam hati.
"Mama serius, enggak lagi bercanda." Pengimbuhan yang serta merta membikin Barra menepuk keningnya sendiri.
Berat. Kalau sabda mama sudah mengudara, alamat beneran kejadian, bulan depan dia dan Aluna diseret ke KUA. Satu masalah belum diselesaikan, sudah menumpuk problem yang lain. Barra lemas seketika. Entah gimana nantinya, dipikirkan sambil jalan saja.
"Malah ngelamun anak gantengnya mama, pulang sana, Bar! Mama mau tidur, ngantuk."
Barra melongo lagi. "Astaga, diusir lagi sama Mama," keluhnya dengan wajah menunduk pasrah, membikin tawa sang mama berderai.
"Makanya Kak, semakin cepat kamu nikah sama Una, semakin cepat juga kamu balik ke rumah ini."
Barra hanya manggut-manggut. Salim tangan, kecup pipi mama, peluk sebentar, lalu pamit kembali ke apartemen.
___
Aluna memasuki ruangan baru di kantor. Semua tugas sudah dilakukan sesuai dengan training yang diberikan Mbak Dina seminggu kemarin. Ruangannya kali ini lebih nyaman dari kubikelnya terdahulu. City view menjadi pemandangan yang langsung menyambut mata saat melengok ke sisi jendela kaca. Ruangannya bersih, rapi dan wangi. Meja kerjanya hanya berjarak beberapa meter saja dari meja utama Mr. Ridwan.
Mr. Ridwan orang yang irit bicara, tapi sekalinya mengeluarkan kalimat nadanya tegas dan berwibawa. Interaksi yang terjadi baru beberapa jam, masih agak canggung bagi Aluna.
Ada satu hal yang menarik saat mata Aluna pertama kali berserobok dengan mata Pak Ridwan. Lelaki paruh baya itu menatapnya lekat selama beberapa detik, seraya mengatakan jika garis wajah Aluna diklaim mirip seseorang yang beliau kenal.
Aluna tidak terlalu memikirkan perkataan Pak Ridwan. Bukan sesuatu yang aneh, sudah jadi hal lumrah, kan, di dunia ini konon katanya kiya mempunyai beberapa kembaran yang wajahnya mirip.
Istirahat siang Aluna pergi ke kantin, agak rikuh saat berpapasan dengan beberapa karyawan lain, mereka menatap disertai senyum tapi juga dibarengi bisik-bisik. Pasti gara-gara gosip murahan yang berembus- menyebar kalau dia mendapat promosi jabatan karena kedekatannya dengan Pak Teddy.
Aluna tak mau ambil pusing untuk hal-hal yang dianggap remeh temeh semacam ini. Masalah tentang Barra saja sudah cukup meluber memenuhi otaknya saat ini.
"Wah, ada sekretaris boss, kita duduk di sini enggak papa, kan, Lun? Oh, sorry, Mbak Aluna." Saat Aluna duduk di sebelah Betty, Virni mengeluarkan kalimat kurang enak. Jujur mood makanan siang Aluna langsung enyah mendengarnya.
"Lun, kukira kau bakal makan di ruangan. Masih sempat ke kantin kau rupanya?" Betty ikut menukas.
Aluna tersenyum tipis. "Ya bisalah, Bet, kerjaan gue, kan enggak kayak dulu, lebih santai, lebih banyak nganggurnya, tapi maaf ya, gaji gue grade-nya di atas kalian." Aluna tahu kalau sombong itu tidak baik, tapi demi menyimpan mulut pedasnya Virni, dia perlu lakukan sesuatu. Agaknya cara Aluna berhasil. Terlihat Virni mulai menampakkan wajah tak suka mendengar semua statement-nya.
"Baru jadi sekretaris jangan sombong, Lun, masih banyak yang posisinya di atas Lo." Virni menyela tak suka.
Aluna manggut-manggut. "Iya, tahu kok. Ya, gimana gue enggak sombong kalau baru setahun gabung di sini udah dapat promosi, itu artinya kemampuan gue di atas kalian semua kan."
"Ah, kalian ini malah debat, makan ayok." Betty tak peduli, lebih memilih menikmati semangkuk bakso yang baru diantarkan ke meja mereka.
"Bukan gue yang mulai, tapi temen Lo itu, Bet. Bilangin, enggak usah sombong jadi orang!" Virni beranjak, melenggang meninggalkan meja kantin.
Aluna melepas embusan napas. Kenapa selalu saja ada orang yang enggak suka dengan pencapaian orang lain. Katanya saling support, tapi kalau yang lain lebih dulu maju, malah dicemburui. Padahal konsep syukur enggak kayak gitu. Kita dukung dan ikut senang dengan pencapaian orang lain, ikut mendoakan, bisa jadi suatu saat kebaikan akan berbalik ke diri sendiri.
"Bagus, suka aku sama gaya kau, Lun. Biar kicep sekalian si Virni itu." Betty baru berani komentar. "Tak suka pula aku punya kawan hobi segar-sebar gosip macam si Virni itu."
Kedua alis Aluna menukik bersamaan, setuju dengan pendapat Betty.
__
Siang ini Barra mengatur janji ketemuan dengan Abyasa. Kebetulan sama-sama meeting di luar, tempatnya berdekatan, jadi Barra sengaja meminta bertemu untuk minta pendapat pada kawan baiknya itu.
Laguna kafe, usai memesan dua americano, Barra duduk bergadapan dengan Abyasa. Menyesap pelan kopinya, lalu embusankan napas panjang, memancing reaksi Abyasa.
"Kenapa lagi, Bro?"
"Ruwet. Gue harus apa ya setelah ini?"
Ditanya balik nanya. Aby menggeleng tanda tak paham maksud karibnya.
"Masalahnya apa dulu?"
Barra bercerita. Tentang Kamela, Ara, dan pilihannya sembunyikan kedua perempuan beda generasi itu dari mama dan Aluna. Lebih rumit lagi saat Aluna tahu semuanya sebelum Barra sempat menceritakan semuanya.
Abyasa beri tepukan di pundak sebagai dukungan sesama laki-laki.
"Sabar, semua pasti ada jalan keluarnya."
"Apa, coba Lo bilang sama gue?"
"Ikuti amanah mama Lo, jalankan dengan sepenuh hati. Tapi sebelum itu, Lo harus jujur dulu tentang Mela dan Ara, minta maaf sama Tante Tari dan Aluna, biar gimanapun Lo salah, sembunyikan hal sebasar ini bertahun-tahun dari mereka. Wajar kalau Aluna marah, Bar." Statement yang diangguki Barra. Dia setuju dengan masukan dari Abyasa.
"Gue, emang niatnya mau menjalankan permintaan mama, tapi masalahnya Aluna, dia marah banget pas tahu tentang Mela dan Ara."
Aby berikan dua jempol atas keputusan Barra, tapi lelaki itu juga selipkan interupsi, "Satu hal yang harus Lo ingat, Bar. Pernikahan jangan dijadikan permainan, walaupun Lo menikah karena keinginan ibu Lo, tapi perjanjian yang diikrarkan bukan cuma sebatas antara Lo, wali dan penghulu, lebih dari itu, saat ijab qobul udah terlontar dari mulut, malaikat mencatat, semesta menjadi saksi, kesepakatan yang agung, serta perjanjian yang kuat langsung di dihadapan Allah, makanya gue sebagai teman cuma mau mengingatkan, kalau sudah benar-benar mantab sama pilihan Lo, jalankan sepenuh hati, jangan setengah-setengah." Nasihat yang langsung merasuk ke dalam hati Barra. Lelaki itu mengangguk paham.
"Thanks, By." Lafal Barra merasa mendapat suntikan solusi usai sharing sesama laki-laki. "Btw, sejak kapan Lo jadi religius gini, perasaan dulu salat aja jarang." Tawa Barra berderai usai melontarkan pertanyaan candaan.
Abyasa ikut tertular senyum. "Sejak Aisyah jadi istri gue."
Barra manggut-manggut, percaya dengan jawaban Aby. Pasalnya kalau dia perhatian Aisyah-- istrinya Abyasa memang terlihat sangat religius. Kemarin saat bertemu, salaman saja dia enggan, hanya sebatas menangkup tangan di dada.
Obrolan berakhir saat keduanya harus kembali ke tempat kerja masing-masing. Berpisah di parkiran, Barra sekali lagi merapal terima kasih.
Menanti jam pulang kantor rasanya tak pernah selama ini bagi Barra. Berkali-kali matanya lirik arloji di tangan. Berharap jarum jam segera bertandang ke angka lima sore. Kerjaannya telah selesai tepat di jam empat tadi. Sukurnya hari ini tidak banyak deadline, jadi tidak ada lembur karena semua kerjaan telah dituntaskan.
Barra melepas embusan napas saat jam yang menggantung berdentang lima kali. Bergegas dia memasukkan laptop ke dalam backpack, sejurus melangkah ke parkiran. Rasanya tidak sabar ingin cepat sampai di depan kantor Aluna. Sejak pindah ke apartemen, dia absen mengantar jemput adik angkatnya itu.
Mobil dipacu dengan kecepatan sedang menuju tempat kerja Aluna. Beruntung jarak ya tidak terlalu jauh, sekitar tiga puluh menit Barra berhasil memarkir Range Rover-nya di depan tempat kerja Aluna.
Lelaki itu turun. Berdiri menyandar pada sisi mobil seraya mengamati kalau-kalau Aluna keluar dari lobby kantor.
Beberapa saat menanti, mata Barra menangkap sosok Aluna melangkah meninggalkan pelataran kantornya
Dia perhatikan gadis itu mengayun kaki sembari matanya fokus pada ponsel, sejurus celingukan ke arah jalan, seperti mencari seseorang. Barra mendekat ke tempat Aluna memaku langkah. Badan tegapnya sudah berdiri di sisi gadis itu tak berselang lama.
"Nyari siapa?"
Aluna menoleh. Ekspresinya kaget mendapati Barra berdiri persis di sebelahnya. Mata bundarnya memerhatikan sang kakak. Penampilan Barra yang memakai kacamata hitam serta jas yang masih menempel di badan membuat Aluna tidak mengenali lelaki itu.
"Kak Barra? Ngapain di sini?" tanyanya balik.
"Biar Kakak yang antar pulang."
"Enggak usah, aku udah pesan ojol."
"Bebal banget." Barra sahut ponsel Aluna, membatalkan pesanan ojek online seketika.
"Apa sih, Kak. Kok dibatalin?"
"Sudah dibilang, Kakak yang anterin pulang."
"Kok maksa?"
"Kamu sukanya dipaksa, kan, Ken."
"Jangan ngaco, Kak! Una enggak mau."
"Jangan ngeyel, Kakak mau bicara penting," putus Barra. Aluna mengesah. Meski bibirnya cemberut, tak ayal mengikuti langkah Barra menuju mobil lelaki itu.
Sampai di dalam Barra tidak langsung melajukan kendaraannya. Diam beberapa saat sembari mengamati Aluna di seat sampingnya.
"Apa?" Diperhatikan dari jarak lumayan dekat membikin dada Aluna dijangkiti rasa salah tingkah.
Barra malah beri senyum manis. Lelaki itu meraih jemari Aluna. Genggam erat seraya melafalkan maaf kembali, "Maafin Kakak, ya. Maaf buat semuanya."
Aluna tarik genggaman Barra. Baginya sikap Barra saat ini terkesan sangat aneh. Dia hanya menjawab dengan dehaman singkat.
"Dimaafin atau enggak, Ken?" seru Barra menanti gadis di sebelahnya bicara.
"Iya, Una udah maafin Kakak. Puas?"
"Kok nadanya masih ketus gitu?"
Aluna acak rambutnya karena gemas dengan sikap Barra. "Terus Una harus gimana sih, Kak?"
Tawa Barra berderai. Tangannya terparkir di puncak kepala Aluna, merapikan rambut Aluna dengan usapan tangan.
"Kakak mau bicara sesuatu sama Una. Sangat penting, ini menyangkut permintaan mama." Kalimat Barra menarik atensi Aluna. Oh Allah, apa lagi sekarang? Desisnya pasrah.
"Kakak mau bicara apa? Mau bahas apa lagi, sih?"
Barra menegang di tempat. Terlihat gugup, tapi bisa diatasi dengan tarikan napas pelan. Duduk menyerong - menghadap Aluna, lelaki itu tatap lekat-lekat mata bundar milik Aluna. Irama jantung sudah tak keruan saat bibirnya bergerak ingin katakan sesuatu. Sekuat tenaga, melawan rasa panas di kerongkongan, matanya memejam sebentar, lalu kalimatnya meluncur tertuju pada Aluna,
"Keneisha Aluna ... mari mencoba saling jatuh cinta."
____
Huwaa-huwaaa, Una jawab apa ya, kira-kira?
05-04-2022
2400
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top