10. Rahasia Barra (2)
Aluna mendesah gusar. Sejak tadi kebersamaan dengan Wita tercemari overtinkhing pada Barra Wisnu.
Masih menjadi misteri, kira-kira siapa perempuan beserta gadis kecil yang bersama lelaki itu. Mereka terlihat sangat akrab tak berjarak.
Tidak, tidak. Aluna gusar bukan karena merasa cemburu pada kebersamaan mereka. Dia hanya merasa tercurangi oleh Barra karena sembunyikan hal sebesar itu darinya dan mama. Aluna kira, dia yang paling mengenal Barra, ternyata salah. Lelaki itu masih bisa mengenyahkan realita paling penting darinya.
Ramen di hadapan Aluna sudah hampir dingin, saat petikan jari Wita menggema tepat di depan wajahnya.
"Enggak asyik, ah, Lun! Lo kenapa sih, ga kayak biasanya deh." Protesan Wita hanya ditanggapi dengan senyum tipis. "Ngelamun Mulu perasaan." Protes Wita masih berlanjut.
Aluna menggunakan kesempatan untuk melempar alibi. Dia ingin segera pulang. Acara nonton dan jalan-jalan bakal berjalan garing karena pikirannya tertawan pada Barra.
"Gue agak enggak badan, Wit. Habis makan kita balik aja, ya."
Wita mendengus kecil, tapi tak urung mengangguk.
"Iya deh, daripada maksa jalan tapi Lo kenapa-napa nanti, gue takut diomeli Kak Barra ntar." Jawaban Wita mereaksi Aluna. Gadis itu mendelik penasaran.
"Kapan Kak Barra pernah ngomel sama Lo, Wit?"
"Pernah Lun, Lo ingat enggak, pas ulang tahun Lo bulan lalu, gegara gue prank terus Lo nangis-nangis, eh, besoknya gue disamperin sama Kak Barra, katanya lain kali jangan terlalu sadis kalau mau ngerjain temannya."
Aluna speechless. Barra tidak pernah cerita kalau dia menegur Wita karena prank keterlaluan sebulan lalu.
"Cieee, ge-er Lo pasti ya, segitunya Kak Barra sama Lo, Lun. Iri gue."
Aluna tahu maksud godaan Wita barusan adalah bercabang makna. Bukan semata iri karena kedekatan antara adik-kakak, tapi Wita yang tahu perihal perjodohannya dengan Barra, dengan transparan menyatakan keirian pada Aluna sebagai pasangannya Barra.
"Apaan sih, Wit."
Usai makan Wita menawari mengantar pulang, tapi ditolak halus Aluna. Alibinya ingin mampir ke apotek, memberi obat sakit kepala, Aluna mempersilakan temannya itu untuk pergi lebih dulu.
Bukan mau sengaja bohong, tapi Aluna ingin segera melakukan satu hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Dia ingin menemui Barra malam ini juga.
__
Melirik arloji, masih pukul delapan lebih tiga puluh menit. Aluna inisiatif mengirim pesan pada Barra. Sengaja ingin bertemu, lalu menagih penjelasan. Semoga setelah ini otaknya bisa tercerahkan oleh argumen si kakak angkat---merangkap calon suami dadakan.
Aluna sengaja mampir ke salah satu kafe tak jauh dari mall. Memilih tempat duduk yang agak sepi di pinggir agak pojokan, agar nanti saat tukar obrolan bersama Barra bisa lebih khidmat tanpa interupsi suara bising dari pengunjung lain atau suasana live music yang sedang menggema. Mengirimkan lokasi pada kakaknya, lalu menunggu sembari menikmati vanila latte-nya.
Sembari menanti Barra datang, ada berkantung-kantung pertanyaan yang ingin ditumpahkan pada Barra Wisnu setelah ini. Lihat saja, kali ini Barra tidak akan bisa lepas lagi darinya. Aluna sampai geregetan. Kenapa tidak mau jujur pada mama kalau ternyata sudah memiliki kekasih. Aluna meletakkan gelas es ke meja. Salah satu jari diparkir di kening, pikiran random sedang mencari-cari dalam kepala. Tiba-tiba gadis itu membekap mulut dengan tangan.
Astaga!
Jangan-jangan selama ini Barra telah berbuat hal di luar kendali. Anak kecil yang dia lihat tadi adalah hasil perbuatan kurang ajarnya bersama kekasihnya.
Jantung Aluna terasa merosot turun ke perut. Gelengan kepala refleks mencuat sebagai reaksi tak siap menerima kenyataan kalau kakak terbaik -- walau kadang rese-- yang selama ini dibanggakan ternyata mempunyai rahasia yang sangat besar; punya anak di luar nikah.
Satu kata yang meruangi pikiran Aluna; Mama.
Gimana kalau nanti mama tahu kenyataan tentang rahasia Barra. Sepertinya bukan cuma akan shock, tapi mama bisa jantungan akibat ulah anak lelakinya.
Aluna duduk tak tenang, sudah tiga puluh menit menanti, tapi batang hidung Barra tak kunjung terlihat. Jangan-jangan kakaknya itu tidak jadi datang. Dia mulai dicekam overtinkhing sendiri.
Di menit ke empat puluh ketipak langkah mendekat, Aluna mengangkat pandangan, sosok tinggi tegap seraya tersenyum manis menyongsong ke tempatnya duduk.
Tanpa ba-bi-bu lelaki itu menyeruput gelas es milik Aluna yang menyisakan batu es yang telah sedikit mencair.
"Hallo Adek Rese, udah lama? Tumben mau ketemu di luar, mau bicara apa?"
Aluna tatap Barra lekat-lekat, menakar ekspresi kakaknya tersebut. Seperti biasa. Raut menyebalkan selalu ditampilkan saat di depannya. Tidak ada tingkah gugup atau rona merasa bersalah.
Jemari Barra mendarat di kening Aluna, memberi sentilan pelan, "Ngapain Lo lihatin gue kayak gitu? Masih waras, kan, Sayang?" Imbuhnya disertai gerakan tangan meraba dahi Aluna.
Aluna begidik. Sayang, sayang. Kepala Barra peyang!
Sayang katanya, tapi bisa sembunyikan rahasia besar selama ini.
"Apa sih, Ken?" Insting Barra mulai menangkap polah ganjil sang adik angkat.
Aluna melepas dengkus ringan. Lagi, pandanganya mengunci manik Barra saat mengatakan sesuatu, "Kak Barra, mendingan jujur deh sekarang sama Una, mau sampai kapan Kak Barra kucing-kucingan begini?" tembak Aluna langsung pada poin.
Barra mengangkat bahu bersamaan.
"For what?" lelaki itu malah bertanya balik.
Aluna dicekam kesal. Sudah ke-gap, malah sok-sokan enggak paham arah pembicaraannya.
"Kak Barra jahat banget, selama ini anggap Una sama Mama apaan, Kak? Kenapa enggak bilang kalau Kakak udah punya pacar, udah punya perempuan pilihan sendiri? Malah sok-sokan pakai mengiyakan permintaan mama." Muntah juga akhirnya semua unek-unek yang tertahan di otak Aluna pada Barra.
"Kenapa Kak? Kenapa enggak jujur aja?" Pertanyaannya bernada amarah. Dilihat dari rautnya yang memerah dengan mata sedikit berlapis kaca, menandakan kalau Aluna sekuat tenaga berusaha tidak menangis di depan Barra.
Barra embuskan napas pelan. Dia benar-benar tidak paham maksud Aluna. Datang dengan perasaan riang, disuguhi amarah meletup-letup, padahal dia tidak tahu siapa yang menyulut api.
"Ken, satu-satu kalau nanya. Wallahi, Kakak enggak paham maksud kamu apa?" Nada bicara milik Barra terdengar serius.
Aluna tertawa kering. Meraih ponsel, di serahkan pada Barra. "Masih mau mengelak?" intimidasinya pada lelaki yang kini menatap lekat benda pipih di tangan
Barra memejam. Embusan napas terlepas lagi. Kerongkongan kesulitan memproduksi kalimat tepat untuk Aluna. Shit. Umpatan dalam hati terlontar. Benar kan, yang ditakutkan akhirnya kejadian. Aluna mengetahui tentang Ara dan Kamela. Di sana-dalam galeri ponsel Aluna, Barra mengamati sepintas potret dirinya bersama Ara dan Mela saat di kidszone tadi.
"Kakak bisa jelaskan sama Una." Hening. Aluna membisu atas kalimat Barra.
"Dia, maksudnya mereka bukan siapa-siapanya Kakak."
Kepala Aluna terasa memanas mendengar statement Barra. "Bukan siapa-siapa tapi akrabnya kayak keluarga bahagia. Hebat ya, Kakak, selama ini bisa sembunyikan hal kayak gini dari Mama sama Una." Aluna coba patahkan argumen Barra.
"Dengerin dulu penjelasan Kakak!" Barra rekam raut Aluna. Tak ada senyum atau aura ceria memancar di sana. "Apa Una cemburu?" Pengimbuhan yang serta merta membikin Aluna menoleh dibarengi delikan mata super tajam.
Cemburu katanya?
Ya, hallo! Cemburu cuma berlaku buat sepasang insan yang saling barter perasaan.
Mana ada rasa cemburu hinggap di hati Aluna.
Dia hanya merasa tercurangi oleh kebohongan Barra. Tidak lebih.
"Enggak usah mengalihkan topik, Kak. Jelasin aja apa yang mau Kakak jelasin!"
Barra menyambung penjelasan. Dia katakan semuanya pada Aluna tanpa ada yang ditutupi lagi. Toh, adik angkatnya itu sudah tahu tentang Kamela dan Ara.
Menggeleng disertai ekspresi wajah mengeras adalah milik Aluna saat mendengar semua penjelasan Barra. Bisa-bisanya selama tiga tahun memendam sendirian tanpa berniat membaginya pada mama. Setidaknya jangan pikirkan Aluna, seharusnya mama tahu semua yang Barra lakukan.
"Pahlawan kesiangan!" Itu bukan sindirian, tapi umpatan super halus akibat terlalu kecewa dengan sang kakak.
Barra pasrah. "Terserah apapun kata Una, yang pasti Kakak punya alasan sendiri kenapa sembunyikan hal ini dari kalian. Kakak cuma enggak mau mama ikut kepikiran."
"Bulshit! Kalau Kakak mikirin mama kenapa enggak jujur aja. Kak Barra bisa bayangin gimana reaksinya mama saat tahu nanti? Anak laki-laki kebanggaannya ternyata bertahun-tahun menyembunyikan perempuan di rumahnya. Kalau mama ngiranya kalian kumpul kebo gimana?"
"Aluna! Jaga batasanmu!" Barra meradang. Sejak tadi sudah berusaha sabar, sudah berusaha kasih penjelasan lembut, tapi level murka Aluna sepertinya parah.
Aluna bangkit. Rasa kesal berubah jadi kecewa oleh tindakan Barra. Dua kali totalnya dia dibentak lelaki itu. Berusaha menahan diri agar jangan sampai tangisnya keluar meski kedua pelupuk mata sudah dipenuhi air.
"Aluna, tunggu! Mau ke mana?" Interupsi Barra dianggap angin lalu. Langkahnya tetap menjauh dari lelaki itu. Ingin segera pulang, kaku tumpahkan tangis di kamar. Barra tidak tinggal diam, posisinya sejajar dengan Aluna--lebih tepatnya mencegat langkah sang adik.
"Kalau mau pulang biar Kakak antar!" putus Barra. Tak ada jawaban. Ayunan kaki kembali diseret tanpa mengindahkan peringatan Barra Wisnu.
_____
03-04-2022
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top