Sweet 100

Mentari bersinar enggan. Awan-awan tipis menaklukkan pesonanya. Lantas suhu udara mencekik menurunkan sekelebat kabut hingga menutupi pandangan jarak jauh. Diam-diam butiran putih menyerbu bumi, begitu perlahan dan malu singgah ke atap-atap rumah dan dahan pohon, bahkan beberapa tanaman yang masih sanggup bertahan di cuaca dingin hingga tanah.

Sepasang burung terbang bersama, tampak ragu hinggap di sepucuk ranting. Pun, memilih tidak berlama-lama usai cakar-cakar mungil mereka mencicipi sebersit beku. Alhasil salju yang cukup lama menginap di sana rontok.

Urung sudah niat mereka mengawasi sosok asing yang sedang menumpang lewat; wanita tua pengguna tongkat bersisik yang menciptakan bunyi seirama di setiap langkahnya. Dia berbadan besar, berpunggung bungkuk, tetapi seribu sayang tiada makhluk fana mana pun mampu melihat rupanya yang bersembunyi di balik tudung mantel lusuh.

Tujuan utamanya tak lain tak bukan ialah pusat kota.

Di sana, kristal api ditempatkan di titik-titik tertentu, membuat udara lebih hangat sekaligus mencairkan tumpukan salju di sekitar. Ketahuilah bahwa tiap-tiap ketukan tongkat si wanita tua lekas tunduk oleh puluhan langkah bermacam rupa sol sepatu yang berlalu lalang di Perempatan Besar. Berhati-hatilah jika tak mengenakan alas kaki, atau manusia setengah rusa bisa saja menginjak kaki sampai terluka tanpa sengaja.

Dari pancuran, duyung mempersembahkan petuah merdu hingga langit berubah jingga. Sementara ada yang tengah memberi makan seekor kuda putih dengan tanaman pot tak jauh dari situ. Aura hijau mengembalikan tanaman yang telah dilahap seperti sediakala agar kuda bisa melahapnya sampai kenyang.

Para peri di sebuah kedai makanan menyeduhkan teh kepada pengunjung, juga menyuguhkan menu dan membiarkan mereka memilih. Masing-masing di antara mereka yang telah menerima pesanan segera menggantungkannya di depan koki bertubuh gemuk sedang sibuk memasak.

Berbagai aroma makanan yang dimasaknya sungguh menggugah selera. Panekuk selai beri berduri, daging panggang tumpuk berlapis keju, roti isi daging merpati, sampai ayam panggang berbalur karamel asin, terus-terusan menyeruak lewat jendela, pintu yang terbuka sampai cerobong asap. Begitulah cara kedai makanan itu mengundang pengunjungnya.

Agaknya, si wanita tua turut tertarik. Tongkatnya berhenti menuntun jalan, demikian pula langkah kaki yang berganti hadap.

Mentari menyinari sosoknya, semilir angin dingin melintas barang sejenak. Begitu segan mereka menghampiri ujung tudung, hingga sia-sia usaha mereka memperlihatkan sisa wajah si wanita tua di balik sana. Ujung tudung terangkat singkat, seribu sayang tiada sepasang mata pun yang memerhatikan.

Namun, setidaknya angin kini menjadi saksi bahwa si wanita tua bukan berhenti karena tertarik kepada segala makanan yang ditawarkan oleh jutaan aroma penuh rasa.

Netra gelap yang memiliki semburat kelabu di pinggirannya, kali pertama usai sepanjang jalan yang ia tempuh, terpaku kepada sekelompok makhluk fana.

Keluarga manusia bertelinga panjang.

Terdapat sepasang gadis kecil kembar berambut pirang menggenggam seorang wanita berbadan gemuk. Jika dibandingkan, keriputnya lebih banyak dari si wanita tua bermantel lusuh, juga tampak lebih ringkih. Dia bahkan kewalahan menanggapi kegembiraan cengkerama kedua cucu yang menggandengnya kiri dan kanan.

"Lekaslah, Nenek! Lekas!" ujar yang satu, berkepang satu.

Lalu, yang berkepang dua menyambung, "Mari kita rayakan ulang tahun Nenek yang keseratus!"

Ulang tahun.

Senyum si wanita tua merekah bersamaan dengan meledaknya tawa susulan dari pasangan suami istri yang mengekor si kembar dan neneknya. Si istri kemudian menasihati anak-anak agar tetap berhati-hati selagi mereka bergiliran memasuki restoran yang segera disambut oleh peri-peri mungil.

Mata si wanita tua terus memerhatikan lewat jendela; menyaksikan ke mana mereka akan duduk, bertanya-tanya apakah kegembiraan mereka tetap bertahan di situ, dan apa yang mereka bicarakan di antara hiruk-pikuk dalam kedai makanan.

Segeralah ia menyeberang kala jalan sedikit luang. Hingga ia mencapai tengah jalan, bayangan burung yang melintas persis di atas kepalanya sukses mengalihkan perhatian barang sejenak.

Seekor gagak.

"Akhirnya kau datang," katanya sembari memerhatikan gagak yang tak lama hinggap di ujung atap. "Dia berumur sama denganku. Tidakkah itu kebetulan yang luar biasa?"

Demikian si wanita tua dengan tongkatnya agak tergopoh menghampiri gang kecil di samping kedai makanan. Beruntung sekali hanya ada tumpukan kotak kayu telah berjajar rapi dan tong sampahnya sudah dibersihkan, sehingga ia betah berlama-lama jika ia ingin. Pemandangan dari dalam yang disuguhkan dari jendela pula menguntungkan dirinya untuk mengamati.

Samar-samar, pekik riang ke arah bar sukses mencuri pandang. Itulah si gadis berkepang dua yang berujar, "Tuan Koki! Berikan kue ulang tahun istimewa untuk nenekku! Hari ini, ulang tahunnya yang keseratus!"

Demikian saudarinya menyambung, "Ya, ya! Berikan menu paling enak untuk kami. Kami ingin memulainya dengan makanan istimewamu!"

Kegembiraan keduanya sungguh menular. Pun, tampaknya para pengunjung sama sekali tak keberatan dengan segala celoteh dari suara-suara cempreng itu. Tuan Koki sekadar tersenyum, berujar bahwa ia akan menyuguhkan semua yang enak.

Salad buah mangkuk menjadi hidangan utama. Potongan mangga dan apel, jeruk, buah beri dan anggur dibalut dengan daun selada yang dibentuk seperti mangkuk memberikan sensasi segar ragam buah di dalam mulut.

Lalu dilanjutkan makanan utama, ayam utuh yang dipanggang dengan karamel asin. Kulitnya sedikit renyah sebab Tuan Koki menggorengnya terlebih dulu. Gurih dari asinnya karamel begitu memanjakan lidah, konon lagi lembutnya daging yang sukses dimasak hingga matang. Ada pula kentang yang dipotong dadu, digoreng dan ditaburi merica bubuk serta garam menjadi teman sempurna untuk dimakan bergiliran.

Puding cokelat dengan krim susu menjadi penutup yang begitu sempurna. Peri es telah mendinginkannya menggunakan satu sentuhan. Krim meleleh di lidah, bersama lembut serta manisnya puding.

Hanya itu?

Sungguhkah hanya itu?

Wanita tua menunggu dengan sabar. Dia menerka dan berusaha menerawang percakapan yang tengah berlangsung di dalam keluarga bertelinga panjang. Mereka masih bergembira kelihatannya. Salah seorang gadis kembar menggenggam tangan si nenek dan berbincang panjang sekali. Istri juga memegangi tangan yang satu, tetapi ....

Alih-alih ikut bersuka cita bersama buah hati, ukiran senyumnya menyiratkan getir satu arti.

Lantas beralih tatap si wanita tua kepada nenek yang bersandar di badan kursi. Dia masih memberi perhatian kepada cucunya dengan senyuman.

"Dia tidak akan bertahan lebih lama."

Sejenak suara bariton mengalihkan pandangan wanita tua, lekas ia dapati gagak tadi yang telah hinggap di ambang jendela. Canggung lompatan kecilnya mendekati wanita tua, satu gerakan singkat ia meneleng sembari berkata, "Jangan pandang saya seperti itu. Pun, Anda tidak ingin melewatkan apa yang akan terjadi selanjutnya, bukan?"

"Ah, benar juga." Sekadar kikikan ia akhiri percakapan singkat tersebut, demikian si wanita tua dan gagak bersama-sama melempar pandangan ke dalam kedai makanan.

Tuan Koki kali ini turun menuju meja keluarga tersebut. Dia membawa kue yang tertutup penuh krim dan cokelat tabur. Sekeliling permukaan berjajar buah ceri, sementara di tengah terdapat lilin yang berkerumun rapi.

Seolah sudah direncanakan sejak awal, para pengunjung bernyanyi diiringi tepuk tangan. Suasana mendadak hangat, si kembar turut bahagia seiring mereka mengedarkan pandangan.

Kue ulang tahun sampai di depan mata pada akhirnya saat liriknya kandas. Tuan Koki menjentik jarinya, memunculkan sepercik api di ujung telunjuk untuk menyalakan lilin satu per satu.

Nyanyian baru kemudian bersorak. Saat itulah si kembar mulai duduk di kanan dan kiri neneknya, dengan suara saling berebut untuk berkata, "Ayo, Nenek! Tiup lilinnya!"

Si nenek mengembangkan senyum, silih berganti memandang kedua cucu manisnya. Barulah ia mengarahkan pandangan kepada kue yang masih menyala lilinnya dan menarik napas.

Namun, alih-alih mengembuskan lilin, si nenek lebih memilih menutup mata tepat nyanyian utuh surut bersama riuh tepuk tangan yang teredam.

"Lihat?" Sekali lagi si gagak bersuara.

Padahal celetuk si gagak, seungguhnya wanita tua sudah tahu ....

Di kursinya, si nenek bertelinga panjang akhirnya terlelap untuk selamanya.

Enggan menunggu riuh kesedihan terpecah di dalam sana, ia meninggalkan gang kecil tanpa sepatah kata. Demikian pula burung gagak itu beranjak, membanting diri menjelma pria dengan rupa elok, menyusul wanita tua.

"Bagaimana? Apakah Anda menyesal jauh-jauh datang kemari?" tanyanya kemudian.

Lewat tudungnya, wanita tua mengintip pemilik manik gelap nan tajam yang lurus lagi jauh tatapannya mengamati kota.

"Entahlah," jawab wanita tua acuh tak acuh. "Namun, lagunya cukup menarik, kau tahu."

Sullivan tersenyum tipis. Sekadar ia mengulurkan tangan, yang tak lama diterima dengan lembut oleh wanita tua. Maka kembalilah Sullivan bertanya, "Namun, tidakkah Anda menyadari sesuatu, Nyonya Carolina?"

"Apa?"

Alih-alih menjawab majikannya, Sullivan menarik Carolina—si wanita tua—perlahan. Setapak jejak ia tinggalkan, keduanya lantas berpindah di padang tandus.

Langit lebih kelabu. Tiada pancaran sinar mentari yang mampu menembusnya. Bahkan sedikit pun pepohonan yang sempat hidup tak menunjukkan bahwa ada yang sudi untuk hidup di sekitar sana. Tiada rerumputan atau bunga-bunga, konon janganlah harap akan ada peri atau burung datang bertamu.

Sentuhan akhir dari pemandangan muram tersebut ialah jurang yang terpampang di depan mata. Anginnya lebih kencang, kabut yang tak terhingga akibat dinginnya udara membuat seolah jurang itu sama sekali tak berdasar.

Baik Sullivan maupun majikannya tak gentar memandang ke bawah, konon lagi terus berjalan mendekat ujung tebing untuk melihat lebih dekat.

"Saya rasa kita akan terlambat jika terus berlama-lama di sini."

Belum lagi memuntahkan sepatah kata, Carolina telah mendapati Sullivan sudah angkat kaki dari tempat; terjun menuju dasar jurang begitu entengnya. Kabut cepat-cepat melahap sosoknya hingga benar-benar tak tampak.

Alih-alih menjerit, Carolina sekadar mengerutkan bibir sembari ia memandang kepergian sang pelayan. "Kau senang sekali membiarkanku mencari jawaban atas pertanyaanmu sendiri."

... Juga mengeluhkan Sullivan yang mengalihkan topik.

Memang tidaklah perlu histeris akan perbuatan Sullivan. Sebab Carolina sendiri akan melakukan hal yang sama tak lama setelah ia melemparkan tongkatnya, sedikit pun tanpa sebersit takut merasuki.

Lagi pula, mengapa harus menakuti pintu masuk rumah sendiri?

Carolina menikmati kelembapan yang disuguhkan kabut, berikut dinginnya udara yang menyambut kedatangannya. Enteng ia membalikkan badan menghadap langit kelabu yang telah sirna dari pandangan. Lantas sekadar akar-akar pohon hingga dahan mati dari sisi yang tersisa dari pandangan samar.

Gesit geraknya menanggalkan mantel. Utuh Carolina lepas hingga ia terbang bebas menjauh. Maka dalam satu kerjapan mata sosok wanita tua bungkuk tergantikan oleh sosok yang lebih muda. Agak berkurang keriputnya, tubuhnya tampak lebih kurus. Rambut yang penuh uban pula perlahan tertelan oleh legamnya warna obsidian.

Ketika semua telah dirasanya sempurna, Carolina mengulurkan tangan kepada mantel lusuhnya. Memanfaatkan kekuatan sihir, ia tarik mantel tersebut agar cepat menyusul, tetapi—

BAM!

Belum sempat ia bersiap mendiri, utuh punggungnya terbanting ke pasir putih berselimut salju.

Salju tersibak, pasir yang tak terhingga melompat tinggi mengangkat debu. Sebelum siapa pun mampu melihat, mantel lusuh Carolina menutupi tubuh telanjang yang bermandikan cairan merah pekat lagi kental.

Kala itu, Sulivan tiba; sekadar tersenyum kecil sembari membelai lembut ular hitam yang melilit di lengannya.

Ya, tidaklah mungkin Carolina mati begitu saja. Ini tak lebih dari sekadar pertunjukan utama.

Genangan darah perlahan menyusut. Tampak jelas dari mantel, terdapat bagian tubuh Carolina bergerak-gerak menunjukkan tanda kehidupan. Bunyi gertak nyaring dari tulang yang sembuh dari patah menyusul tepat ia utuh bangkit.

Mantel usang kembali melayang, menjauhi Carolina yang menari bersama darah yang mengalir di sekujur tubuhnya, membentuk gaun kristal merah dengan potongan ekor duyung serta bagian dada terpecah-pecah seperti bercak yang diciprat sengaja. Sentuhan sempurna untuk menunjukkan tubuh moleknya.

Indah sekaligus mengerikan.

Itu merupakan pertunjukan yang sangat jarang terjadi di Dunia Bawah, konon lagi tempat di mana orang-orang Dunia Luar membuang apa saja ke sini, termasuk makhluk hidup sekali pun.

Tempat yang bahkan jauh lebih suram ketimbang pintu masuknya di atas sana.

Rongsokan berserak di mana-mana, ada pula yang telah dibangun sedemikian rupa agar pantas dijadikan tempat tinggal. Tidak pernah sekali pun Dunia Bawah mendapat jatah sinar matahari, kebanyakan masyarakatnya tak pernah menyaksikan langit biru. Suhu Dunia Bawah juga menjadi dingin sehingga mereka kesulitan bercocok tanam.

Apa lagi yang perlu diterangkan dari bagian dunia yang sama sekali tak menarik ini?

Baru ia tersadar dan menoleh kepada Sullivan, si pelayan lekas berujar, "Semuanya telah hadir dan menunggu Anda."

"Jadi kau mengungsikan semuanya agar kau bisa melihat pertunjukan utamaku sendirian? Serakah benar kau, Sully." Carolina mengembangkan senyum ketika ular hitam di tangan Sullivan lekas berpindah ke tangannya dan meneruskan, "Namun, kau tahu, bukan? Sosok ini sama sekali tak bertahan lama."

"Tentu, Yang Mulia." Lekas kembali Sullivan mengangkat siku, membalas senyum yang menawan sebelum berujar, "Mari."

Demikian Carolina mengaitkan lengan ke siku Sullivan, serupa seperti sebelumnya di Dunia Luar, satu langkah yang Sullivan tapakkan memindahkan mereka ke satu tempat lain.

Langitnya jauh lebih temaram, suhu udara turun dratis pula. Bebatuan membeku, bahkan kristal-kristal air yang tajam terbentuk di sekitarnya. Seketika api unggun menjadi pusat perhatian. Kehangatannya mengundang khalayak di sekitarnya mendekat.

Namun, eksistensi Carolina yang mendominasi segera membubarkan kerumunan. Semuanya berbalik, memperlihatkan wajah penuh keriput lagi kusut.

Itulah satu kaum yang terbuang, tak dibutuhkan sebab buruk rupa dari setiap sisi wujudnya. Kaum bungkuk berwajah tua.

Luluh ekspresi keras mereka ketika mendapati Carolina. Beramai-ramai mereka berhambur kepadanya, menyebut nama Carolina yang terkasih, menciumi tangan juga ujung gaun, memeluknya penuh rindu.

Dia bagaikan seorang Dewi yang dinanti kemunculannya. Setiap sentuhan yang ia jatuhkan sekali per satu kepada mereka selalu disertakan senyum yang terus merekah, sudah seperti berkah bagi mereka.

Rela ia membungkukkan tubuh, merangkul semuanya dan mengangkat mereka dari posisi berlutut lalu berkata, "Bangkitlah, wahai saudara-saudari sedarahku. Bangkitlah."

Merekah senyum mereka kala Carolina merentangkan tangan, lantas bersama-sama bangkit dan bergerak mundur. Begitulah sang Nyonya mendapatkan jalan utama menuju api unggun.

Di sana, telah menunggu sesosok pria. Rupanya tak begitu jelas, tetapi Carolina meyakini ia masihlah memikat. Pun, kehadirannya sama sekali tak berhasil mengundangnya lepas dari geming, sedikit pun tidak meronta dari ikatan yang menyatukannya dengan seonggok tiang yang ditancap ke tanah.

"Anthony, sayangku." Bersama senyum penuh kasih, ia desahkan nama si pria sembari menangkup wajahnya dan membelai kedua pipinya dengan ibu jari. "Sudah saatnya bagimu menjadi bagian diriku!"

Begitu Carolina mengakhiri bisik patah kata dengan nada suara yang terus meninggi, ia sentak kedua tangannya ke atas.

Pesta ulang tahun Carolina yang keseratus ... sudah dimulai.

Demikian kobar api menyambutnya dengan umbaran yang kian membesar. Tampaknya terlalu sulit diredakan, konon lagi ditiup.

Lantas api menjilat bagian punggung Anthony, menyebarkan gelora menyala, menularkan panas tak terkira. Kala itulah kesadarannya pulih. Dia meronta, menjerit pedih sampai suaranya habis.

Namun, tiada seorang pun yang bergerak menolongnya. Bahkan Carolina sendiri tersenyum memandanginya kian dilahap api, batinnya melantunkan nyanyian yang ia dengar di Dunia Luar.

Selamat ulang tahun.

Kaum bungkuk menari-nari mengitari api unggun, diiringi dengan jeritan pengorbanan sosok yang tercinta. Utuh api melahap sosok itu, maka teredam sudah teriakannya hingga tak lagi terdengar, barulah mereka kian mendekat.

Seketika api unggun padam, memperlihatkan sosok yang tak lagi berbusana lagi hilang wujud rupawan dan perkasanya. Semuanya meneteskan air liur kepada jasad yang terpanggang itu, tetapi masing-masing tetap menahan diri sebagai bentuk hormat kepada Carolina.

Selamat ulang tahun.

Begitu Carolina mempersilakan, cepat-cepat mereka menyerbu sosok dengan rakus.

Dua puluh jemari akan menghilangkan kerutan.

Tangan dan kaki mampu memberikan tubuh yang sehat.

Mereka yang melahap isi kepala diberkahi kecerdasan, sementara yang melahap isi perut akan dilimpahi kekayaan.

Selamat ulang tahun, Carolina.

Tentu, mereka tidak lupa dengan jantung yang kemudian mereka serahkan kepada Carolina. Jantung kekasih yang menjanjikan perpanjangan jangka waktu hidup dan sosok awet muda.

Sebentar ia pandangi lekat-lekat setiap sisi jantung yang masih menyisakan darah segar, barulah ia beredar kepada kaum bungkuk yang tampak berbahagia mengalami sedikit perubahan setelah melahap apa yang mereka inginkan.

Pada akhirnya Carolina memahami maksud Sullivan dalam perjalanan pulang.

Mereka tak memerlukan kebahagiaan serta kehangatan yang membawakan harapan kosong.

Dia menoleh kepada Sullivan yang tersenyum padanya tepat sebelum melahap jantung Anthony bulat-bulat.

Mereka hanya perlu mengadakan ritual untuk menyenangkan hati iblis bermanik gelap.

Selamat ulang tahun.

Dengan begitu ia akan mengabulkan permohonan mereka dalam satu kedipan mata.

[2475 kata]

Dua prompt dalam satu judul. Bagaimana? Saya tidak memiliki banyak waktu, jadi begitulah.

Kalau boleh jujur, saya sempat gemetar hebat ketika hendak mempublikasikan karya ini. Saya melakukan pengecekan berulang kali, mungkin sepuluh atau lebih; bertanya-tanya kalau ada bagian yang kurang atau semacamnya.

Padahal baru kurang dari lima bulan tidak mempublikasikan apa-apa, tetapi sudah khawatir berlebihan.

Saya harap kalian menyukainya, tetapi adakah bagian yang tidak kalian sukai? Tuturkan saja semuanya. Sekali lagi, dimohon jangan sungkan.

Saya ingin membaca segala masukan dari kalian semua, para pembaca, meski saya paham agaknya itu sama sekali tidak mungkin. Jarang ada yang ingin berkomentar, jadi .... (merasa sedih)

Sampai jumpa kembali di karya lainnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top