Yang Terpilih oleh zzztare

Premis: X, seorang anak usia 12 tahun, terjebak di dalam dunia mimpi di mana ia dan keluarganya merupakan keluarga kerajaan. Di negeri itu, ia dipercaya oleh semua orang termasuk keluarganya untuk mengalahkan sang ratu, yaitu neneknya yang memimpin negeri dengan kekerasan. Namun, ia dilanda dilema karena kalau ia tak berhasil, maka keluarganya akan semakin hancur. Jika berhasil, maka ia akan keluar dari dunia mimpi tersebut dan tidak punya kesempatan untuk menjadi putri yang berbahagia. 

Ending: kalo di premis ada 2 pilihan, mc berhasil atau gagal, tp terserah eksekutor aja.

Pemilik ide: celestialruby


***


Hosh, hosh ....

Jejeran pepohonan dalam hutan tampak seperti lorong tanpa ujung. Lay tak peduli, kakinya menginjak dedaunan kering tanpa pandang bulu. Napasnya terengah, matanya mendelik panik. Siapa yang tidak cemas jika di pagi hari nan indah, tiba-tiba muncul api raksasa yang melalap sekitar? Ditambah dengan lolongan para warga tak bersalah, juga jeritan putus asa.

Tolong kami! Tolong kami! Yang Terpilih! Kamu ada di sini, bukan?

Lay meneguk ludah. Mereka tidak tahu bahwa dirinyalah yang dimaksud. Hanya dua orang yang tahu identitasnya: Weyn, wanita tua yang gemar mendongeng, juga Jet, bocah laki-laki yang sempat menyelamatkan Lay. Weyn yang menyuruh Lay pergi secepatnya dan mengabaikan para warga desa begitu api pertama muncul, sedangkan Jet yang membantunya melalui gerbang desa yang dijaga ketat.

"Jangan pikirkan kami. Kamu punya tanggung jawab sendiri. Kalau kamu gagal, nanti aku pentung pas ketemu lagi!"

Lay yang baru saja berbunga-bunga karena kalimat "penyemangat" dari Jet langsung dongkol. "Kalau berhasil? Kamu bakal berutang padaku!"

"Nanti kupanggil kamu sebagai Yang Terpilih terus-terusan. Sana pergi, bodoh! Atau kamu bakal ketahuan!"

Lay tak tahu apa yang terjadi pada Jet setelahnya, karena ia langsung pergi seperti arahan Weyn dan Jet. Api yang muncul pagi itu bukan tanpa penyebab. Dari kabar yang diembuskan para tentara yang berjaga, Yang Terpilih kabur dari pertempuran melawan Yang Mulia dengan tidak hormat, memancing amarah Yang Mulia yang langsung memerintahkan para tentara untuk mencari jejak Yang Terpilih dan membakar apa pun yang mungkin dijadikan tempat persembunyian.

Begitulah bagaimana Yang Mulia Liliana, Baginda Ratu, memerintah, yang tak lain tak bukan adalah nenek Lay sendiri.

Lay merasa begitu tertekan. Pasalnya, ingatan Lay berkata ini hanya mimpi. Ia bukan Lay. Ia tertidur ketika sedang belajar matematika untuk kompetisi. Lay itu panggilan keluarga, orang-orang di sekitarnya ketika ia terbangun tiba-tiba di sini. Ia adalah Siti!

Namun, saking nyatanya mimpi ini, Siti memutuskan untuk mengikuti alur ceritanya. Ia menjadi Lay; sosok gadis seumuran dirinya, 12 tahun, terlahir dari keluarga kerajaan yang terpinggirkan. Keluarganya sama persis seperti di kenyataan, selain nama-nama mereka. Yang mengerikan adalah sang nenek yang memegang tampuk kekuasaan sekarang. Lay merasa yakin bahwa itu memang neneknya—nenek yang meninggal beberapa bulan lalu. Lay merindukannya, tetapi tujuannya sejak digadang-gadang sebagai Yang Terpilih adalah untuk mengalahkan penguasa sekarang, sang nenek, Yang Mulia Liliana. Demi berhentinya masa penguasa nan kejam. Demi kerajaan dan semuanya yang lebih baik.

Lay sudah sempat mengkonfrontasi Liliana sekali, tetapi ia kalah kuat dan terluka. Beruntung, ia diselamatkan Jet sebelum hal yang lebih buruk terjadi. Entah apa itu bisa dikatakan sebagai "penyelamatan", karena yang terjadi adalah Jet muncul tiba-tiba, menubruk Lay begitu keras sampai keduanya terpental jauh dan berakhir tersungkur di tengah hutan.

"Di mana tabir itu?!" Lay berseru frustrasi. "Di mana kau bersembunyi, Nek?"

Entah sudah berapa lama Lay berputar-putar di dalam hutan. Mestinya, tak jauh dari sini ada tabir yang menghalangi pandangan menuju Mata Air Suci, tempat Lay sempat melawan Liliana. Namun, sepertinya, pandangan Lay benar-benar dihalangi. Ia tak berhasil menemukan cara masuk ke sana. Tongkatnya ia entakkan berkali-kali, seolah berharap ada mata air muncul dari sana.

Sebagai Yang Terpilih, Lay dikatakan memiliki keistimewaan. Keluarganya yakin bahwa Lay akan membawa perdamaian, orang-orang percaya bahwa Lay—yang mereka ketahui sebagai "Yang Terpilih" tanpa tahu sosoknya—akan mengalahkan Liliana. Sungguh sebuah beban berat bagi Siti yang selama ini hanya belajar mata pelajaran SD plus materi kompetisi matematika. Katanya, ia terlahir dengan tanda di bahu—tanda lahir, kalau kata Ibu (di dunia nyata). Kata Tei, Lay terlahir dengan kutukan.

"Argh, Guru! Tidak, aku tidak sudi manggil kamu guru, Tei!" Lay menendang dedaunan, lalu mengibas-ngibas tongkat, kesal. Ia ingat lagi bagaimana Tei langsung muncul di hadapan dirinya, juga keluarganya, ketika mereka dilanda kecemasan karena Lay lupa ingatan setelah tertidur—padahal, itu hanya Siti yang baru "terbangun" di dunia mimpi. Tei yang mengambil alih dirinya dengan dalih ia adalah guru dan akan mengajarkan semua hal yang Lay lupakan. Ditambah lagi, keluarga Lay langsung mengiakan.

Namun, di akhir pelatihan, Lay ikut Tei ke hutan untuk berlatih, hanya untuk mengetahui fakta bahwa Tei bersekongkol dengan Liliana untuk menjebak Lay. Soal batu ramalan tentang masa depan kerajaan, bahkan gelar Yang Terpilih, semua hanya bualan semata, tanpa diketahui siapa-siapa. Di taman Mata Air Suci balik tabir dalam hutan itulah, Lay menghadap Liliana dan nyaris dikalahkan, kalau saja Jet tidak muncul dan membawanya ke Weyn di desa. Wanita tua yang hobi mendongeng itu bicara pada Lay seolah peramal.

"Ingat-ingatlah ini, Lay. Liliana membutuhkanmu, tetapi eksistensinya adalah kesalahan. Liliana sudah tidak layak menjadi pemimpin, apalagi dengan rekam jejaknya dua bulan terakhir! Ia benar-benar kejam dan berbuat semaunya. Dia harus dihentikan! Hanya kamu yang bisa melakukannya, Lay. Kamu berasal dari dunia yang sama dengannya. Kamu pecahan langsung dirinya. Kamu harus berhasil sebelum kamu yang dikalahkan olehnya!"

"Apa yang akan terjadi kalau aku kalah?" tanya Lay. Ia merasa, Weyn lebih bisa dipercaya dibanding Tei.

"Misimu gagal, Liliana akan mencapai puncak primanya, kerajaan ini usai." Weyn berujar dengan amat serius. "Dan ... kamu tidak akan bisa kembali."

Kalimat terakhir itu yang menyentak Lay. "Kembali?"

Weyn hanya menggeleng, lalu melanjutkan ucapannya. "Lalu, semuanya akan hancur, dimulai dari keluarga kecilmu, lalu seluruh kerajaan, hingga hanya tersisa Liliana di sini. Kiamat!"

Jet bilang, Weyn sudah mulai mengada-ada.

"Kalau aku berhasil?" Lay lanjut bertanya.

"Oh, misimu berhasil! Kerajaan damai tenteram, kamu akan dinobatkan sebagai tuan putri dan berhak atas gelar keturunan kerajaan! Kamu akan menjadi penguasa yang dihormati dan disayangi, bahkan kamu juga bisa menikah dengan bangsawan dari kerajaan lain!"

Bagian itu membuat Jet tersedak. "Masih bocah udah nikah? Nek, cukup ceritanya. Jangan mengada-ada."

"Kalau sudah gede, dong. Aku sih mau nikah sama pangeran," sahut Lay.

Jet tampak kesal, lalu menyudahi percakapan itu. Ia menyuruh Lay melakukan saran Weyn untuk berbaur dengan warga dengan tetap merahasiakan identitasnya sebagai Yang Terpilih.

Namun, sebelum beranjak, Weyn sekali lagi tampak serius dan berpesan, "Lay, seperti halnya Liliana, kamu adalah anomali. Bukan seharusnya tempatmu di sini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi sebenarnya begitu kamu mengalahkan Liliana. Yang aku tahu, semua akan kembali normal, meski berangsur-angsur."

Lay mengiakan. Entah apa maksud normal di sini, tetapi ia sudah tidak bisa mencerna dongeng apa pun lagi. Terlalu banyak yang ia dengar hari itu. Lay pun terjun ke jalan, bercengkerama dan membantu para warga, hingga mereka mengenal Lay dengan baik. Semua tampak menyenangkan, hingga bunyi gendang bersahutan dengan ledakan dan kemunculan api membuyarkan semua.

Cpyash!

Lay tersentak. Sejak tadi berlari-lari tak tentu arah dengan pikiran yang kebanyakan mengingat berbagai kejadian sejak masuk ke sini, Lay menginjak genangan air tanpa sadar. Saat mengangkat wajah, Lay mendapati sungai kecil di sana. Ia memutuskan untuk menyusuri aliran itu. Hingga kelap-kelip muncul di penglihatannya, sekitarnya tampak mengabur, dan tiba-tiba Lay tidak bisa melihat apa-apa.

"Aduh!"

Lay tersandung sesuatu, lalu tersungkur, disusul bunyi tercebur. Ia merasa dirinya kini basah kuyup. Lay meronta di dalam air, berkecipak panik, sampai menyadari bahwa ia tidak tenggelam.

Perlahan, Lay membuka mata. Yang pertama ia lihat adalah ... batu. Batu berukuran cukup besar, berdiameter hampir sepelukannya, setinggi dadanya. Ukir-ukiran tampak bercampur lumut di sana. Lay memicing dan menyadari bahwa ia tidak memahami satu pun makna ukiran itu.

"Jiaaah." Lay berseloroh, menyadari gaun yang ia kenakan sudah basah seluruhnya. Ia sedang berdiri atas kolam air yang terlihat jernih. Lay menyadari keberadaan semburan air dari balik bebatuan di dasar kolam itu. "Mata air," gumamnya. "Apa ini Mata Air Suci? Ciri-cirinya persis."

Lay menepi dan berusaha memeras air dari bajunya. Pergerakannya mungkin akan melambat setelah ini, tetapi Lay sudah merasa cukup lega. Ketika sedang bersantai sambil bermain air, ia dikejutkan dengan suara menggelegar.

"Siapa itu?!"

Lay tidak tahu apakah ia harus sembunyi atau tidak, harus menyahut atau diam saja. Ia beringsut pelan ke balik batu dan mencoba mengintip sekitar, sambil menggenggam tongkatnya dengan siaga.

Tidak ada siapa-siapa.

"Lapor, Yang Mulia! Ada yang memasuki kawasan Mata Air Suci yang asli!"

Lay menelan ludah. Yang asli? Bukan hanya itu. Siapa pun yang melapor tadi sudah pasti bawahan Liliana. Di mana Liliana? Siap tidak siap, Lay akan menghadapinya. Menghajarnya, kalau perlu.

Pyaash.

Lay mengerjap. Tiba-tiba, asap putih melingkupinya, dan dalam waktu beberapa detik saja ia sudah berpindah tempat. Dapat ia lihat pemandangan yang sama sebelum kemunculan Jet: mata air serupa air mancur dengan batu di tengah, sesosok lelaki paruh baya dengan alis putih tebal yang duduk di hadapan meja bundar berisi satu set peralatan minum teh dan piring-piring kue, juga wanita tua dengan riasan tebal yang mengacungkan tangan ke arah Lay. Ekspresi wanita itu kaget.

"Bagaimana kau ...."

Lay menelan ludah. Beberapa lamanya tinggal bersama Weyn mengajarkannya satu keterampilan baru: mendongeng. Jet bilang, keterampilan itu laksana pedang bermata dua. Bisa berguna jika melawan orang bodoh, atau sebaliknya, kamu yang akan dibodoh-bodohi.

"Enggak apa, Nek. Aku sudah tahu semua." Lay maju selangkah. Seolah membalas gelagat Liliana, ia mengacungkan tongkat. "Yang di sini semuanya palsu, tapi ada yang asli. Sengaja disembunyikan, bukan? Kenapa?"

"Diam kamu, anak kecil." Liliana menjentikkan jari. Seketika, tongkat emas muncul di tangannya. "Bukan urusanmu."

"Urusanku, lah! Pakai bawa-bawa aku sebagai isi ramalan, Yang Terpilih, apalah!" Kalau ini neneknya di dunia nyata, Lay pasti akan sopan. Namun, perlakuan Liliana padanya tempo hari membuat Lay memutus rasa segannya sama sekali.

"Kamu tidak tahu apa-ap—"

"Aku tahu. Ramalan di batu palsu ini, semuanya Anda yang atur! Soal membawaku ke mimpi ini, soal Tei yang disusupkan, soal menggembar-gemborkan pada semua orang untuk menaruh harapan pada Yang Terpilih ...."

"Diam." Liliana mengibas tongkat emasnya. Seketika, udara dingin melingkupi Lay. Bisa Lay lihat awan-awan tipis bergerak mengitarinya, membawa hawa sedingin es.

"Nenek sebenarnya belum mati, 'kan?" Lay lanjut mencerocos meski gerakannya mulai kaku kedinginan. "Nenek hanya kabur atau kembali ke sini, kembali ke tempat kekuasaan, meninggalkan aku yang terlahir di dunia ... dan hendak membawaku kemari karena aku adalah pecahan dari kekuatanmu yang tersisa!" Lay tahu, ia makin melantur. "Tanpa mengalahkan aku, Nenek tidak akan bisa berkuasa absolut, maka aku dipancing ke dunia ini, diincar sampai Nenek menyuruh orang untuk membakar desa!"

"Kubilang, diam!"

Lay sungguhan diam. Bukan karena ia kehabisan ide bicara, melainkan ia lapisan halus es menahan seluruh pergerakannya, termasuk mulut.

"Benar, cucuku. Kamu adalah hal terakhir yang kubutuhkan untuk mencapai impianku." Liliana mendekat, lalu mengetuk-ngetuk pipi Lay yang mengeras akibat es. "Ternyata, kamu tahu lebih banyak dari yang dikira, ya? Baguslah, aku tidak perlu bicara panjang lebar."

Lay mendelik. Padahal, ia hanya bicara asal, seperti halnya Weyn. Masa ya ucapannya benar?

"Sekarang, saatnya kamu menyerahkan diri padaku ...."

BRAK!

Liliana menghindar, tetapi Lay tidak bisa, ketika sebuah batu besar terlempar ke arahnya. Seketika, Lay terbanting ke tanah. Lapisan esnya pecah, tetapi kini Lay terbungkuk-bungkuk karena batu tadi telak mengenai perutnya.

"Siapa itu?!" Liliana menoleh dan langsung mengacungkan tongkat.

Dalam pandangan Lay, ia melihat hal serupa yang terjadi padanya sebelum tiba-tiba berpindah kemari. Asap tipis melingkupi seseorang, dan dari baliknya, muncul Jet. Ekspresinya ... ceria.

Lay sudah mau buka mulut menyatakan kekagetannya, tetapi Jet lebih dulu berseru, "Bawa batu itu, Lay! Dan Nenek Tua, jangan salah perhitungan lagi."

"Tidak!" Malah Tei, pria yang sejak tadi minum teh, yang maju. "Urus cucumu sendiri, Yang Mulia. Biar dia jadi urusanku!"

Lay tak tahu lagi apa yang terjadi pada Jet setelahnya. Yang ia tahu, ini terlalu nyata untuk disebut mimpi. Perutnya sungguhan sakit akibat terbentur batu, pun bisa ia rasakan tekstur dingin batu berlumut di hadapannya. Ia mengenalinya: itu batu dari mata air "asli" tadi.

"Tidak! Jangan!" Liliana hendak merebut batu di tangan Lay, tetapi Lay berkelit. Sempat-sempatnya ia mengacungkan tongkat ke arah Liliana sebelum kabur sambil terseret-seret membawa batu. Setelah ia perhatikan cukup lama, ukiran aksara itu seolah bicara padanya.

Tirani akan runtuh, anomali akan kembali. Dunia ini tidak lain hanya angan semata ....

"Hah?" Lay memicing. Apa maksudnya itu?

Pada akhirnya, Yang Terpilih (tetap) harus memilih: mengorbankan diri dan keluarga demi angan fana, atau menormalkan semua, semua tanpa kecuali, membebaskan sekat batas diri dan kembali dari alam mimpi.

"Lay! Hentikan!" Liliana masih mengejar.

Yang hidup akan hidup, yang mati tetap mati ....

Lay berhenti melangkah. Ia menoleh, tepat ketika Liliana menggerakkan tangannya yang menggenggam tongkat, mengucap sesuatu sambil menunjuk ke arah batu.

Batu itu pecah berkeping-keping.

"Sekarang, kamu ...." Liliana terengah, tongkat emasnya kini mengarah ke Lay. "Hancur ... hancur ...."

Lay menelan ludah. Tulisan di batu tadi membuatnya kebingungan. Sebenarnya, apa yang harus ia lakukan?

"Hei, putri kecil, kenapa bengong?"

Lay berpaling kaget. Ia melihat keramaian. Di antara orang-orang yang merusuh itu, ada Tei, tampak menyumpah-nyumpah dalam keadaan terikat. Jet, di depan rombongan, menyeringai lebar.

"Sekarang saat yang tepat kalau mau mengalahkannya." Jet menunjuk Lay dengan parang. "Cepat lakukan, atau kamu aku tebas!"

Lay mengernyit. "Tapi, nanti kamu ... dan orang-orang di sini, semuanya ...."

"Kenapa? Bukannya kamu yang bilang mau nikah sama pangeran kalau udah tua nanti!"

"Bukan tua! Tapi—"

Sekelebat kilat memecah percakapan mereka. Lay menoleh ke arah Liliana. Entah mengapa, dadanya tiba-tiba merasakan sakit yang sangat.

Yang hidup akan hidup, yang mati tetap mati ....

"Aku akan ... menghancurkanmu ...." Liliana menunjuk Lay. "Jangan kaurusak ... anganku ...."

Lay meneguhkan dirinya. Ia genggam tongkatnya erat-erat, ia pejamkan matanya sejenak, lalu dilangkahkan kakinya ke arah Liliana. "Nek, dengar aku. Nenek ... sudah mati ...."

"Tidak!"

Lagi-lagi, kilat menyambar ke arah Lay. Ia tak sempat berkelit, tetapi kilat itu terpantul parang Jet yang kembali maju.

"Orang-orang itu datang untuk menghakimimu!" seru Jet. Ia menunjuk ke arah kerumunan massa yang makin dekat. "Lay! Apa yang kamu lakukan? Cepat bereskan!"

"Aku ...." Lay merasa matanya panas. "Akan kubereskan semua ...."

Lay berlari menyongsong kilat sampai di hadapan Liliana. Ia menangis. "Jangan begini, Nek." Perlahan, tongkatnya ia acungkan. "Pupus semua angan. Istirahat yang tenang, Nenek."

Wajah Liliana mengeras. "Beraninya ...."

Namun, ucapan itu terpotong jeritan. Lay menggigit bibirnya, fokus mengalirkan kekuatannya melalui tongkat ke arah Liliana. Air matanya sudah menetes sejak tadi.

Lagi, Lay harus berpisah dengan sang nenek. Bahkan kini, ia yang membuatnya pergi.

Bisa Lay dengar seru-seruan frustrasi Tei nun di belakang sana, bersambut dengan sorak-sorai massa melihat eksekusi itu. Bisa Lay rasakan kehadiran seseorang di sisinya.

Liliana lenyap, mungkin sudah menjadi abu.

"Apa masa depan itu ada?" gumam Lay. "Aku sudah menghentikan nenekku. Aku sudah membebaskan keluargaku, juga seluruh warga yang tertindas. Lalu, aku dapat apa? Ayahku mungkin naik takhta, tapi apa aku akan merasakannya?"

"Lay, selamat. Kamu berhasil. Akan kusampaikan kabar gembira ini pada Weyn. Adapaun masa depan itu ...."

Lay menoleh. Ia melihat Jet berkelipan di sampingnya, tersenyum tulus tidak tengil seperti biasanya.

"Adalah masa depanmu sendiri, tahu ... Yang Terpilih."

Lalu, semuanya memudar.

****

"Siti, kamu dipanggil Bu Etty."

Siti mengiakan panggilan itu. Bu Etty adalah guru matematika sekaligus wali kelasnya, guru terdekatnya untuk saat ini. Urusan apa pun jika dipanggil Bu Etty tidak pernah jauh perihal kelas atau pelajaran matematika.

Bicara soal matematika, Siti sudah melalui kompetisi matematika tingkat kabupaten dua pekan lalu. Ia tak berharap banyak, karena saat itu, pikiran Siti terlampau runyam. Ia dibayang-bayangi ingatan tentang neneknya yang sudah meninggal. Padahal, Siti sudah berhasil lepas dari kesedihan sepekan setelah hari duka, tetapi perasaan itu kembali setelah ia bermimpi.

Siti tidak ingat detail mimpinya. Yang ia tahu, ada neneknya di sana. Siti ingin terus bersama sang nenek, tetapi ia tiba-tiba terbangun. Buku latihannya basah kuyup karena air mata. Siti tertidur ketika sedang belajar.

"Selamat siang, Siti. Apa kabar?"

Apa maksudnya Bu Etty menanyakan kabar, padahal mereka baru bertemu di kelas tadi pagi? "Biasa aja, Bu."

"Ibu baru dapat kabar. Ingat siapa yang nangis-nangis habis kerjain soal kemarin? Katanya takut enggak maksimal, atau apalah." Bu Etty tersenyum ke arah Siti sambil merapikan setumpuk kertas di mejanya. "Kamu lolos ke tingkat provinsi! Selamat, Siti!"

Siti bengong di depan meja Bu Etty. Ia butuh waktu mencerna. Namun, pikirannya terpecah ketika seorang anak laki-laki muncul sambil berseru. "Buu! Saya mau pakai jatah bolos, ya?"

Siti langsung mendelik ke arah anak yang baru muncul itu. "Bolos, bolos, pala kau bolos. Ngomong kok ngasal gitu di depan guru, Nto?"

Laki-laki itu, Anto, angkat bahu. "Jangan seneng dulu, Ti. Aku belum kalah. Mentang-mentang lolos ke provinsi langsung berlagak, beuh!"

Siti melengos. "Bu, kenapa dia lolos?" tanyanya seolah mengadu ke Bu Etty.

"Wah, enggak tahu ya. Mungkin dia punya akal-akalan lebih baik." Bu Etty menanggapi dengan serius. "Siti, Anto, sisa kalian berdua yang masih bertahan ke tahap selanjutnya dari sekolah ini. Ibu enggak bilang jatah bolos, Nto, ibu bilang kalian dibebaskan dari kelas beberapa minggu buat pengayaan materi. Kabar lainnya bakal Ibu sampaikan nanti. Ini, surat edaran buat kalian."

Kalau bagi Siti, Anto tidak pernah menjadi kawan seperjuangan. Mereka adalah rival, bersaing sengit di peringkat sejak kelas 1 SD, sampai sekarang kelas 5, mereka sama-sama ikut kompetisi MIPA. Siti cabang matematika, Anto IPA. Sengaja Siti memilih cabang yang berbeda karena tidak mau sakit hati kalau sampai Anto lolos sementara ia tidak.

"Oh, akhirnya bersaing tanpa bersaing, ya. Mau taruhan siapa yang lebih dulu gugur?" Anto tiba-tiba bicara ketika keduanya berjalan kembali ke kelas.

"Enggak."

"Dih, gitu. Ngomong-ngomong, selamat, Ti."

Siti mengernyit. Peristiwa langka macam apa ini, Anto tiba-tiba memberinya selamat?

Anto menyeringai. "Selamat, berarti kamu menjadi Yang Terpilih."

Begitu saja ia kabur sambil berjingkrakan, meninggalkan Siti yang terpana.

[]

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top