The Siren's Teardrops oleh aiursteru
Premis: Seorang pangeran penakut berusaha mendapatkan air keabadian untuk menyembuhkan putri kerajaan tetangga yang dijodohkan dengannya, tetapi mata air tersebut dijaga oleh seorang penyihir perempuan dan monster-monster peliharaannya. Setelah menyelesaikan misi yang diberikan oleh si penyihir, pangeran tersebut mendapatkan air keabadian. Masalahnya, dia telanjur jatuh cinta kepada penyihir itu.
Pemilik ide: amelaerliana
***
ACT I – SETBACK
Senja telah menepi beberapa waktu lalu bersama malam yang lamat turun 'tuk memeluk erat setiap jengkal lanskap cakrawala. Desau pawana perlahan surut bilamana hening telah menduduki terlebih dahulu, tak sekalipun hendak berbagi panggung. Nun jauh di ujung sana, dapat kedua pasang netra sang taruna tangkap sebuah laut tak bermuara, yang lamat koak burung camar mencumbui rungunya, bersama aroma asin laut yang dibawa oleh tangan-tangan angin menuju hidungnya.
Waspada Ciel tak surut tatkala pelayan berkata apabila kekasihnya telah baik-baik saja, justru rona khawatir kian tergurat pada rupanya. Kendati patuh dengan perkataan ayahnya—yang bersuara, "Istirahatlah sebentar, Nak, kau juga perlu istirahat. Bukankah kau sudah cukup menjaganya seharian Sekarang istirahatlah. Percayakan calon istrimu kepada tabib istana dan pelayan."—ia tak mengindahkan ucapan ayahnya dan menyelinap masuk ke dalam kamar calon istrinya.
Ciel menoleh entah yang sudah keberapa kali, kedua maniknya terpatri kepada gadis yang telah terbaring di ranjang selama beberapa hari. Ia belum membuka mata meskipun Ciel membisiki rungu sang dara guna kalimat afeksi, meskipun Ciel setia melangitkan pinta kepada Tuhan, meskipun Ciel senantiasa berada di sampingnya tanpa hendak beranjak barang sejenak saja.
Namun, semua bermuara pada kata buntu. Pinta yang ia utarakan tak pernah menjadi nyata. Kalimat bermakna cinta itu tak mampu membangunkannya. Yang Ciel bisa lakukan kini ialah menunggu dan menunggu, menunggu hingga waktu keajaiban tiba.
Malam itu terlalu panjang 'tuk dihabiskan dengan menutup mata, 'tuk bersua akan bunga mimpi yang kini terasa amat menggoda. Ciel setia terjaga, menautkan jemarinya dengan jemari kekasihnya, atensi sang taruna pun tak putus terarah pada gadisnya.
Ia terus berada di sana, hingga dewi malam angkat kaki dari angkasa serta bersilih sang surya yang menyelisik lewat kisi-kisi jendela. Cericit burung gereja perlahan menyesaki telinga, jua, tak berapa lama, seorang prajurit memasuki kamar seraya membawa selarik pesan untuknya.
"Mohon izin, Yang Mulia, tetua kerajaan telah mendapat informasi tentang mata air keabadian yang konon dapat menyembuhkan Tuan Putri."
Ciel lantas berdiri serta melepas tautan tangannya dengan kekasihnya, ekspresinya tampak penuh asa kendati hal itu ditingkahi akan gelenyar negatif yang perlahan meyelisiki dada. Kedua tangan pemuda itu mengepal seraya berkata, "Katakan di mana tempatnya, kita tidak bisa menunggu lagi."
Prajurit itu mengangguk takzim sembari mengeluarkan gulungan berisi pesan. "Ini, Yang Mulia. Tetua kerajaan berpesan agar Anda berhati-hati, sebab mata air yang akan Anda tuju terletak tak jauh dari Laut Lokawigna, untuk selanjutnya ...."
Suara prajurit itu semakin saru bilamana telinga Ciel dirasuki nama laut yang selama ini ia takuti, sebab ada satu waktu nyawanya hampir direnggut kala bersua dengan bentangan lautnya.
Benang-benang kenang di kepala kembali memutar masa lalu; aroma laut lantas terhidu, deru ombak menginvasi rungu, sang surya kian mengangkasa sementara anak-anak angin asyik berdansa dengan dahan-dahan pohon tak jauh dari sana.
Sejauh yang dapat netra Ciel lihat ialah bentangan laut berwarna biru bening, teramat serasi dengan angkasa yang dilayari biru tanpa ada keriap mega yang mengganggu.
Perlahan tubuh Ciel menyatu dalam dinginnya lautan, kian jauh hingga ia tidak sadar jika ia telah terlalu jauh dari bibir pantai, ditambah, ia tidak terlalu mahir berenang. Ciel berusaha berenang menuju tepian tetapi nyatanya arus laut tak serta-merta memberi restu, tubuhnya hanyut kian jauh, kesadarannya perlahan luntur.
Sebelum kesadarannya sepenuhnya sirna, ia mendengar sebuah nyanyian asing yang indahnya tak dapat dianalogikan oleh nyanyian apa pun di dunia. Lalu, semuanya menjelma masa lalu. Ia selamat tanpa ada luka berarti yang terpatri di raga, berikut kenang perihal nyanyian itu tak jua hendak sirna, justru semakin kuat kian harinya.
"Yang Mulia?"
Ciel kembali pada realita, tatapannya terpaku pada peta itu seraya diiringi perasaan tak mengenakkan. Di kepala, ia bertanya-tanya, apa tidak bisa seseorang mewakilkannya pergi ke sana? Sebab entah mengapa, ia memiliki firasat buruk di tempat itu.
Rasa penakutnya muncul.
"Tidak bisakah kita menugaskan seorang perwira untuk pergi ke sana?" tanya Ciel, keraguan menghinggapi sanubarinya.
"Raja dari kerajaan tetangga—ayah dari Tuan Putri—ingin Yang Mulia langsung yang pergi ke sana, untuk menunjukkan bahwa Anda benar-benar suami yang baik untuk Tuan Putri, Yang Mulia." Prajurit itu menunduk dalam-dalam, seakan menunjukkan jika ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Ciel berpikir sembari menggulung kembali peta itu dan meletakkannya di meja. Pikirannya mengembara ke mana-mana, dan tatkala matanya bertemu dengan raga kekasihnya, tuan putri dari kerajaan tetangga, yang jua ialah calon istrinya, ia menjadi tidak tega.
Ia harus melakukan sesuatu untuk orang yang ia cintai, atau jika tidak ia akan kehilangannya, selamanya.
"Siapkan kudaku dan juga barang-barangku, prajurit, aku akan pergi. Dan bila memungkinkan, aku juga ingin ditemani beberapa perwira kerajaan."
ACT II – ESCAPARADE
Kaki-kaki kuda itu telah menjauhi area kerajaan dan kini tengah membelah hutan menuju arah utara, letak dimana daratan 'kan bermuara pada Laut Lokawigna. Di belakang Ciel, dua perwira setia mengikutinya seperti yang ia pinta kepada prajurit saat masih di istana. Semakin mereka bergerak ke tengah hutan, beberapa kali Ciel sempat dilanda takut tak terkira.
Bagaimana jika di sana terjadi hal buruk lagi serupa yang dulu ia alami di masa lalu?
Ciel beruntung ia masih hidup selepas kejadian lalu, akan tetapi bagaimana dengan sekarang? Di dalam hati, ia berdoa kepada Tuhan berkali-kali, meminta agar ia selamat kali ini. Ciel sangat ingin mendapatkan mata air keabadian itu untuk kekasihnya, untuk menyelamatkan hidupnya, dan untuk membuktikan jika ia ialah pria tepat bagi wanitanya meskipun harus melawan ketakutannya.
"Tenang, Ciel, tenangkan dirimu. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada kejadian buruk kali ini. Semuanya akan berjalan lancar sebagaimana mestinya."
Ciel semakin erat memegang tali pelananya, suara kaki-kaki kuda yang menapaki tubuh semesta tumpang-tindih antara suara hewan yang mendiami hutan belantara. Di depan sana, Ciel memperkirakan apabila ujung hutan akan segera tiba. Tetapi, Laut Lokawigna masih jauh di utara.
Teramat jauh, hingga mau tak mau Ciel dan dua perwira itu sesekali beristirahat, di mana saja. Kadang kala di pinggir jalan yang kanan kirinya hanya ada tanah gersang tanpa basuhan air mata semesta, akan tetapi tak jarang jua mereka beristirahat di pondok milik warga lokal atau menemukan desa.
Beberapa hari berlalu, Laut Lokawigna telah di depan mata. Ciel serta kedua perwira begitu senang hingga mereka memacu kuda semakin cepat. Namun, di tengah jalan, gerombolan bandit tiba-tiba menghadang bersama senjata di tangan mereka.
Ciel segera menghentikan kudanya, perihal firasat buruk yang sempat menghinggapi kala awal kepergian mereka lantas terputar kembali di kepala. Ketakutannya seketika melanda. Kedua perwira yang ikut dengannya segera turun dari kuda, menghampiri para bandit itu 'tuk berusaha bernegosiasi.
Namun, semuanya sia-sia. Para bandit itu enggan bernegosiasi, justru ingin mengambil semua yang dibawa oleh Ciel serta kedua perwira, dan perkelahian pun tak terelakkan lagi. Kedua perwira itu berusaha melindungi Ciel yang adalah seorang putra mahkota meskipun tahu mereka akan kalah jumlah—sebab gerombolan bandit itu diperkirakan berjumlah sekitar sembilan orang, sementara mereka hanya bertiga.
Bermenit-menit berlalu, beberapa bandit telah terjatuh sementara yang lain semakin mengarahkan senjata mereka dengan membabi buta. Ketakutan Ciel yang bersarang di kepala akhirnya menjadi realita. Para bandit itu sukses memukul telak kedua perwira itu dan kini mengincar sang pangeran.
Malang untuknya, Ciel menjadi sasaran para bandit itu sebelum suara nyanyian yang sempat hadir di masa lalunya muncul kembali. Para gerombolan bandit itu semakin memukulinya, hingga yang ia ingat 'tuk terakhir kali sebelum menutup mata ialah siluet seorang wanita, beserta nyanyian indah yang membuainya menuju kekelaman tanpa muara.
──
Benang-benang cahaya jatuh menyelisik kedua manik sang pemuda yang perlahan kembali mengumpulkan kesadarannya. Tubuhnya terasa mati rasa, tetapi tidak lama. Hal pertama yang ia dapati manakala terbangun ialah gerombolan makhluk berwajah aneh yang mengerumuninya.
Segera saja Ciel berteriak, suaranya mengisi seantero ruangan hingga seorang wanita masuk ke dalamnya. Tubuh pemuda itu bergetar sebab ketakutan. Namun, suara dari wanita itu perlahan mampu membuatnya kembali tenang.
"Jangan menakutinya, anak-anak," ujar wanita itu, suaranya teramat lembut bagai kain sutra terhalus di dunia, dan ....
"Ah, kau sudah sadar, Tuan? Bagaimana? Apa ada tubuhmu yang terasa sakit?" Wanita itu menghampiri Ciel dan duduk di sisi ujung tempat tidur, makhluk-makhluk menyeramkan itu sudah pergi, tidak terlihat lagi.
Syukurlah, batin Ciel.
Wanita itu menyodorkan semangkuk minuman yang warnanya tidak meyakinkan, begitu pula aromanya. "Minumlah, kau akan segera sembuh saat meminum itu, Tuan, percayalah."
Akan tetapi, karena sifat penakut serta mudah curiga, Ciel menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata. Wanita itu menghembuskan napas seraya terus menyodorkan mangkuk berisi minuman itu sembari menunjukkan ekspresi yang berkata 'tolong percaya padaku'.
Mau tak mau Ciel menurut. Ia meminum minuman pemberian wanita itu sembari menahan gejolak tak mengenakkan di perutnya. Selepas ia menegak habis minuman itu, secara ajaib, tubuhnya terasa membaik dan rasa sakit yang sempat mendera kini perlahan-lahan sirna.
"... Terima kasih," ucap Ciel pelan, matanya enggan menatap wanita itu.
"Dengan senang hati. Jika berkenan, bolehkah saya bertanya mengapa Tuan pergi ke daerah sini? Apakah ada yang tengah Tuan cari?"
Ada keraguan pada sanubari Ciel untuk menjawab pertanyaan wanita itu, sebab sedikit curiga masih tersisa di dalam kalbu. Wanita itu turut menyadari, lalu ia bersuara lagi, "Tidak apa-apa jika Tuan tidak hendak menjawabnya. Maaf atas kelancangan saya."
"Ah, tidak ..." Ciel akhirnya berbicara. "Kau tidak. Lancang sama sekali, sungguh."
Tautan mata keduanya saling berkelindan, dapat Ciel lihat apabila iris wanita itu tak seperti manusia lain, sebab warna irisnya teramat indah dan bening serupa batu permata paling indah: morganite.
"Kedatanganku ke daerah ini karena aku dengar di sini ada mata air keabadian. Aku ingin pergi menuju mata air itu. Apa kau tahu sesuatu tentang tempat itu, Nona?"
Wanita itu sedikit terkejut, seakan mengetahui sesuatu. Kemudian ia tersenyum sembari mengangguk. "Ya, saya mengetahuinya, Tuan."
Ciel segera berbicara, "Tolong beritahu aku di mana tempatnya, Nona, kumohon."
Wanita itu berpikir sejenak, lalu ia kembali mengangguk pelan. Sorot matanya seakan memikirkan banyak hal. "Tentu, tetapi ada satu syarat. Anda harus menemani dan membantu saya di tempat ini sampai hari perayaan Dewi Laut tiba, bagaimana?"
Tanpa ragu Ciel segera menyetujui hal itu. Lagipula, hari perayaan Dewi Laut hanya tiga hari lagi. Tidak akan lama. Ia akan segera mendapatkan mata air keabadian itu dan membawanya untuk kekasihnya.
"Tentu, aku bersedia."
Wanita itu tersenyum lembut. "Senang sekali. Oh mohon maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Mirele, tetapi orang-orang sering menyebut saya penyihir."
ACT III – HYMN TO THE SEA
Lambat laun Ciel kembali sehat seperti sediakala, meskipun Mirele sempat mengatakan jika kedua perwira yang bersamanya tidak dapat diselamatkan sebab mengalami banyak luka. Namun di sini, Ciel selalu dihibur oleh Mirele dan mengatakan apabila itu bukan kesalahan Ciel.
"Semua yang terjadi di dunia itu telah digariskan takdir oleh Tuhan, Ciel. Jadi kita, sebagai manusia, hanya bisa mengikuti bagaimana takdir bekerja."
Tempat yang bangunannya tak lebih serupa kapel ini tidak terlalu buruk juga, batin Ciel kala ia berkeliling sendirian di tempat itu. Halaman belakang langsung bersua dengan Laut Lokawigna, yang dimana tubuhnya banyak digulung oleh ombak, sementara bentangan cakrawala diisi kepakan camar serta awan yang berkerumun.
Suara daun-daun yang berdansa dengan tangan-tangan angin segera merasuki rungunya, mencipta perasaan tenang yang belum pernah Ciel rasakan sebelumnya. Jika Ciel boleh mengakui, ia benar-benar betah berada di sini.
Selama hari-hari menuju hari perayaan Dewi Laut, Ciel banyak membantu Mirele perihal apa saja yang harus dipersiapkan. Mulai dari persembahan hasil bumi, rangkaian bunga—yang konon katanya harus berjumlah ganjil, serta sebuah pesan yang akan dibacakan kepada Dewi Laut, di hadapan lautan.
"Mengapa kau melakukan perayaan ini, Mirele? Terlebih, hanya ada kau sendirian di sini." Ciel sempat bertanya saat mereka berada di hutan terdekat 'tuk mencari bunga krisan, Mirele menoleh seraya tersenyum seperti biasa.
"Karena Dewi Laut lah aku bisa berada di sini."
Jawaban Mirele teramat ambigu bagi Ciel, ia hendak melontarkan tanya lagi sebelum Mirele mengajaknya kembali ke kapel, lantas Ciel mengurungkan niatnya lalu kemudian melupakannya.
Akan tetapi hal itu teringat lagi, kala binar dewi malam jatuh membasuh bumi. Ciel melihat Mirele sendirian di tepian lautan, memegangi sebuah kertas serta mulai menyanyi dengan nada yang rancu, tetapi anehnya memicu gelenyar sesuatu di dalam kalbu.
Nyanyian itu sama seperti yang ia dengar kala hampir tenggelam di Laut Lokawigna.
Nyanyian itu sama seperti yang ia dengar kala ia hampir dihabisi oleh para bandit tempo hari dulu.
Nyanyian itu selalu datang kala nyawanya hampir sirna.
Dan nyanyian itu datang dari Mirele, wanita yang baru ia temui.
"Mirele ...."
Mirele berhenti bernyanyi, ia menoleh ke arah Ciel dan terkejut bukan main. Tetapi dari sorot matanya tak memungkiri apabila ia menyimpan bahagia yang tak terperi.
"Ya, Ciel?"
Ciel memangkas jarak antar keduanya hingga ia kini berada di depan sang dara. Pemuda itu seakan kehilangan semua kosakata di kepala. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Apa kamu ingin bertanya tentang nyanyianku?" Mirele melontarkan tanya, Ciel menyambutnya guna anggukan kepala.
"Kamu ingat jika aku pernah berkata kalau aku penyihir, bukan? Itu tidak sepenuhnya salah," Mirele menjeda kalimatnya. "Aku memang penyihir, tetapi aku juga seseorang dari bangsa siren."
Ciel tidak bisa menahan ekspresi terkejutnya. Seorang siren? Apa itu berarti....
"Kamu ingat nyanyian saat kamu hampir tenggelam di sini, kan? Itu sebenarnya aku," ujar Mirele dengan nada tenang, senyum tak jua lekang mengukir bibirnya.
"Aku menyelamatkanmu saat kamu hampir tenggelam, membawamu ke tepian, padahal ayahku sudah berkata jika kami tidak boleh mendekati manusia. Tapi, kamu berbeda ...," Mirele menjeda lagi. "..., aku merasa tertarik padamu."
Mirele terkekeh melihat ekspresi Ciel yang tidak berubah, lalu ia kembali bersuara, "Siren tidak boleh tertarik kepada manusia, begitu yang selalu ayahku doktrin kepadaku dan saudara-saudaraku. Tetapi bagiku, kamu pengecualian."
"Kurasa ... aku jatuh cinta, seperti yang manusia sering katakan, kan?"
Ciel semakin didera bingung tak berujung. Ia masih belum menerima fakta apabila Mirele ialah siren, seseorang yang selalu menyelamatkannya dari kematian. Dan kini, ia mengaku jatuh cinta padanya. Mirele jatuh cinta padanya.
Dan gelenyar aneh yang ia rasakan tadi semakin terasa, begitu menyesakkan dada. Ia tidak tahu mengapa tetapi ia perlahan merasa senang mengetahui Mirele yang menyelamatkan hidupnya.
"Sungguh?"
Mirele mengangguk. "Ya. Aku juga menukar ekorku dengan sepasang kaki ini, meskipun syaratnya aku ... aku harus bersamamu."
Sekelumit hati Ciel menghendaki hal itu. Namun, ia teringat kepada kekasihnya yang berada di istana, terbaring sakit dan menunggunya membawa mata air keabadian.
"Tapi—"
"Aku tahu, kamu sudah memiliki kekasih, bukan? Aku selalu tahu apa pun perihalmu, Ciel." Mirele tersenyum begitu manis.
"Sebab aku terlalu mencintaimu. Tetapi aku tahu, kalau cinta tak selalu berakhir bersama. Meskipun begitu, kau harus bahagia bersama kekasihmu, Ciel, ya?"
Ciel menggeleng pelan, ia merengkuh tubuh Mirele dan terisak di pelukannya. "Tidak ...."
Mirele membalas pelukan Ciel. "Besok sudah waktunya kamu pergi, bawakan mata air keabadian untuk kekasihmu. Kalian berdua harus bahagia—"
"Dan kamu sendiri?"
"Tidak apa-apa. Melihatmu bahagia sudah cukup bagiku."
"... bagaimana tentang syarat itu? Apa yang terjadi kalau kamu tidak bersamaku?"
Hening sejenak merajai, tetapi tidak lama Mirele kembali berkata, "Besok kamu akan mengetahuinya."
Malam itu keduanya lalui dengan air mata, serta pengakuan perihal perasaan yang telah terpendam lama.
──
Pagi hari tiba, semuanya terasa benar-benar sepi. Tidak ada sapaan selamat pagi serupa biasa. Tidak ada aroma enak yang membangkitkan rasa lapar pada perutnya. Tidak ada senyum yanh biasa Ciel dapati dari Mirele kala wanita itu sibuk menata bunga-bunga.
Yang ada hanya kehampaan yang tersisa.
Ciel keluar dari kamarnya, berkeliling ke seluruh area kapel, ia tidak menemukan Mirele.
Kakinya terus mengembara, ke mana saja, asal menemukan wanita itu, wanita yang menyelamatkan hidupnya.
Tiba di halaman belakang yang langsung menuju lautan, Ciel melihat makhluk-makhluk aneh—penjaga tempat ini—mengerumuni sebuah kolam kecil. Mereka mengeluarkan suara yang serupa ratapan, kesedihan, serta keputusasaan.
Kolam kecil itu dipenuhi air serta buih, dan secarik kertas berada di depannya.
Ciel mengambil kertas itu dan membacanya.
'Ciel, ini mata air keabadian untukmu, sisa-sisa dari tubuhku yang menjadi buih. Tolong terimalah, dan tolong berbahagialah bersama kekasihmu.
'Segala hal baik tercurah untukmu serta kekasihmu. Semoga pernikahan kalian bahagia.'
Penuh cinta,
Mirele.
TAMAT
(n) cerita terinspirasi dari cerita asli The Little Mermaid.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top