SUBSTITUTE oleh Shireishou
Premis: Tn. A dan Ny. B beserta dua orang putra kecil mereka yakni C dan D adalah keluarga yg bahagia, sampai sang putra bungsu meninggal karena suatu penyakit. Karena tidak tahan dengan kehilangan ini, pihak keluarga (terutama sang ibu) meminta seorang ahli robotika untuk membuatkan robot replika yg persis dengan mendiang putranya, lengkap dengan kepribadiannya. Cepat atau lambat, keluarga ini harus menghadapi implikasi emosional dari hal tersebut.
Untuk tokoh utamanya, boleh pilih salah satu dari sosok Bapak atau Ibu.
Ending boleh bebas.
Pemilik ide: riyan_svrya
***
Apa yang paling menyesakkan dari kematian diri sendiri yang mungkin sudah di depan mata?
Kematian dari seseorang yang paling kita cintai.
Aku sudah menunggu sepuluh tahun, tapi tidak ada bayi laki-laki menggemaskan yang hadir dalam pelukan. Sudah lama aku ingin anak laki-laki. Namun tidak pernah terwujud.
Teri, anak pertamaku, ternyata perempuan.
Kekecewaan membuncah di hati. Mengapa aku tak bisa memiliki anak laki-laki yang kelak bisa kubanggakan?! Sosok yang tinggi besar, bertubuh kuat, dan cerdas seperti ayahnya.
Kenapa yang lahir justru sosok perempuan pendek, berkulit gelap dengan mata sipit, hidung pesek, yang sama sekali tidak menarik?!
Aku sudah memperbaiki diriku sejak remaja. Membuang hidung pesek, bibir tidak seimbang, bahkan kulit gelap dengan serangkaian operasi yang menghabiskan biaya besar. Namun, kenapa malah sosok buruk rupa itu kembali muncul sebagai anak pertamaku?!
Aku benci wajahnya!
Keterlambatannya berguling!
Keterlambatannya duduk!
Keterlambatannya berjalan, juga keterlambatannya bicara!
Suamiku pun setuju denganku. Arman ingin anak laki-laki yang bisa membanggakan! Bukan anak perempuan sakit-sakitan yang menghabiskan tabungan keluarga.
Aku dan Arman pun berjuang kembali untuk mendapatkan anak selanjutnya. Membuang Teri jelas hal yang tidak bisa kami lakukan. Kami mapan. Jelas membuangnya ke panti asuhan bukan opsi. Sudah banyak orang tahu tentang Teri. Kami hanya bisa membiarkannya tumbuh di rumah mewah ini.
Sungguh merepotkan hidup dalam masyarakat. Aku harus berpura-pura baik pada Teri di depan orang lain.
Melelahkan!
Kadang aku sempat berpikir untuk menghabisi Teri saja. Namun, teknologi para penegak hukum saat ini sangat canggih. Bisa-bisa aku masuk penjara dan malah tidak bisa hamil lagi.
Namun, kehidupan menyuguhkan cerita yang tak pernah kuduga. Aku melahirkan anak laki-laki setelah sebelas tahun perjuangan.
Betapa bahagianya kala melihat bayi laki-laki berkulit bersih, bermata lebar, iris cokelat cerah, benar-benar seperti boneka yang menggemaskan.
Aku dan Arman merayakan kebahagiaan kami. Melupakan semua kerepotan yang Teri sebabkan dengan tubuhnya yang bermasalah.
Kami memberi nama bayi sempurna ini, Ilham.
Aku tidak perlu repot. Teri yang merawat dan memerhatikan semua keperluan Ilham.
"Sini, Kakak ganti popoknya, Adik Ilham!"
"Yuk, Kakak bacain buku!"
Teri benar-benar terlihat berbinar ketika bersama Ilham. Padahal, biasanya dia pendiam. Ah, bukan. Aku yang malas mengajaknya bicara.
Harus kuakui, Teri sangat perhatian pada adiknya. Namun, aku masih enggan memperhatikan Teri yang buruk rupa. Bagiku, Ilham adalah segalanya dan Teri adalah pelayan Ilham yang setia.
****
Empat tahun berselang penuh kebahagiaan. Aku bahkan melupakan keberadaan Teri. Kegiatannya pergi ke rumah sakit empat kali Minggu tidak menjadi beban lagi karena Ilham tampak sangat akrab dengan Teri. Orang-orang pun memuji betapa mereka kagum pada keakraban keduanya.
Aku iri.
Kenapa Ilham bisa lebih dekat dengan Teri, sementara aku ibunya! Memang aku tidak menyusui Ilham. Arman berkata itu tidak bagus bagi payudaraku. Dia melarang dan aku pun setuju dengan alasannya. Namun, aku membelikan susu formula terbaik yang aku percaya lebih bagus dari susu yang kuhasilkan.
Ada kekecewaan, tapi memisahkan Teri dan Ilham tidak memungkinkan. Hubungan mereka sangat erat empat tahun ini.
Maka, Arman pun memutuskan menyusul pemikiranku yang menganggap Teri sebagai baby sitter Ilham saja.
Ironisnya, sebuah kebahagian dan harapan untuk Ilham, akhirnya terhenti oleh kejamnya leukimia stadium akhir yang hadir ke tubuh mungilnya.
"Jika ada sumbangan sumsung tulang belakang, maka akan sembuh."
Penjelasan dokter membuat harapanku melambung.
"Kalau begitu lakukan saja. Saya bersedia, Dok!" Aku berbinar penuh harap.
Sayangnya lagi-lagi takdir tidak berpihak padaku. Baik aku maupun Arman bukan pendonor yang cocok.
Sementara Teri, meski kemungkinan besar ada kecocokan, ternyata karena dia memiliki autoimun, menyebabkan gadis ini tidak bisa menjadi pendonor. Yah, meski memang syarat minimal usia pendonor adalah 18 tahun. Tapi, kan hanya tiga tahun lagi. Kondisi leukimia Ilham juga belum tentu memburuk dengan cepat.
Saat ini, rasanya Teri benar-benar anak tidak berguna!
Harusnya, sumsum tulang Teri bisa menjadi obat mujarab yang menyelamatkan adiknya. Namun, alih-alih menjadi penyelamat, Teri hanya menjadi pengingat akan takdir yang semakin menentang harapanku.
Dan kabar dokter beberapa bulan kemudian membuatku histeris. Ilham hanya bertahan tiga bulan sejak pertama kali leukimianya terdeteksi.
Duniaku hancur. Aku meraung. Arman memelukku, tapi tidak bisa menyingkirkan semua duka yang menggelayut.
Mata Ilham terpejam di dalam peti. Wajahnya begitu pucat, senyum sudah menghilang selamanya dari sana.
Teri malah hanya duduk di sudut kasur kamarnya seolah tidak bersalah. Dia hanya diam tak bereaksi saat Ilham meninggal. Tak menangis, tak bersedih.
Seperti patung tak bernyawa di sudut kamar.
Padahal, sebelumnya dia begitu sabar menemani adiknya selama dirawat di rumah sakit sebelum masuk ke ICU.
Itu membakar kemarahanku.
"Kenapa kamu yang masih hidup? Kenapa nggak kamu yang mati?!"
Namun, lagi-lagi, Teri hanya mendongak sejenak sebelum kembali menunduk diam. Beku seperti patung marmer di ruang tamu.
"Kenapa nggak kamu cabut saja tulang sumsummu dan kasih ke adikmu? Toh, kamu juga akan mati!" jeritku.
Pertanyaan itu, seiring waktu, berubah menjadi dendam, seolah Teri adalah alasan mengapa Ilham harus pergi meninggalkanku.
Setiap malam, aku berjalan melewati kamar Ilham yang kini kosong, hanya terisi oleh kenangan dan harapan yang tak pernah sempat terwujud. Aku merasa kehilangan sebagian dari jiwaku, seakan tak ada lagi yang tersisa untuk kuberikan.
Kunyalakan televisi agar rumah ini tak terasa sepi meski aku tak menontonnya.
Sama seperti malam itu. Aku duduk berdua di ruang keluarga. Menyandarkan kepala di bahu Arman yang kukuh. Air mata membasah dan aku merasa sangat lelah.
Usiaku sudah 45 tahun. Hamil dan melahirkan sudah sangat berisiko. Sudah tidak ada harapan lagi memiliki anak laki-laki bagiku.
Acara televisi tidak ada yang menarik. Arman memindah-mindah channel tanpa tujuan. Aku pun bisa paham kesepian yang dirasakannya.
Kami seperti terjebak dalam labirin tanpa akhir. Semakin hari, semakin sulit bagi kami untuk menanggung beratnya kehilangan Ilham. Rasa kehilangan itu bukan hanya merobek hati kami, tapi juga merenggut keceriaan yang dulu selalu menghiasi rumah kami.
"Robot android terbaru bisa diprogram sesuai keinginan. Bentuk wajah dan umur pun bisa diatur."
Aku mendongak mendengar iklan yang muncul.
"Ingin punya anak tapi segan melahirkan? Rindu pada pasangan yang sudah pergi mendahului? Ingin punya kekasih, tanpa perlu repot membiayai? Apa pun alasan Anda, Android AYXV 4500 adalah solusi!"
"Apa kamu mau?"
Tawaran Arman menyentakku.
"Harganya pasti sangat mahal!"
Arman mengendalikan bahu. "Kalau kita tidak membayar biaya perawatan Teri secara penuh, kita bisa kok bayar cicilannya setahun."
Mulutku membuka lebar.
Teri butuh cuci darah seminggu sekali, dengan suntik hormon setiap dua hari sekali di rumah sakit yang bayarannya sangat mahal. Ide Arman untuk mengurangi jatah cuci darah dan suntik hormon jelas menggoda.
Aku takut orang akan tahu kami mengurangi waktu kunjungan kami ke rumah sakit. Akan tetapi, siapa yang akan mengatur kalau aku mengurangi jatah pengobatan anak? Dokter tidak akan memaksa? Dan itu bukan bentuk pengabaian anak, karena aku tetap membiayai pengobatan Teri.
Hanya saja ... tidak selalu.
Keinginan untuk kembali merasakan kehadiran Ilham, meski hanya semu, terasa begitu menggoda. Kami berdua terjebak dalam ilusi bahwa kehadiran replika Ilham dapat mengisi kekosongan yang tercipta sejak dia pergi.
Proses pembuatan replika Ilham memakan waktu berbulan-bulan. Selama itu, kami sering bertemu dengan ahli robotika tersebut, memberikan detail tentang kepribadian Ilham, kesukaan, kebiasaan, bahkan cara dia tertawa. Kami ingin memastikan bahwa replika tersebut benar-benar mencerminkan Ilham yang sebenarnya.
Arman, yang biasanya seorang yang sangat rasional, tampak terbawa oleh harapan bahwa replika ini akan menjadi solusi atas kesedihan kami.
"Bayangkan, Ilham bisa duduk bersama kita lagi, makan malam bersama, seperti dulu!" katanya seolah-olah dia sudah bisa melihat Ilham duduk bersamanya di meja makan. Senyum itu kembali menghiasi wajah.
Aku mengecup bibirnya dan mendukung semua rencana gila ini.
****
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Ahli robotika itu menghubungi kami, mengatakan bahwa replika Ilham sudah siap. Semua data-data yang sudah kami berikan dimasukkan dalam memory. AI bekerja untuk menggerakkan android sesuai keinginan.
Dengan perasaan campur aduk, kami pergi ke studionya. Ketika pintu dibuka, mata kami tertuju pada sosok yang duduk di sana. Aku seperti melihat Ilham mungilku hidup kembali.
Replika itu berdiri dan berjalan menghampiri kami. "Papa! Mama!" katanya dengan suara yang sangat mirip dengan suara Ilham. Aku terhuyung, hampir tidak percaya.
Arman memeluk replika itu, air mata mengalir di pipinya. "Kita pulang ke rumah, Ilham," bisiknya.
Kebahagiaan itu, meski semu, terasa nyata bagi kami. Kami menghabiskan malam itu dengan bermain dan tertawa bersama Ilham. Untuk sesaat, rasanya seperti kami kembali menjadi keluarga yang utuh.
Sejak kedatangan Ilham, suasana di rumah kami berubah drastis. Ilham, dengan semua ketepatan dan kemiripannya, seakan membawa kembali sinar yang lama hilang dari rumah kami. Aku dan Arman yang selama ini diliputi kesedihan, kini menemukan kembali kegembiraan dalam berinteraksi dengan replika anak kami itu.
Sayangnya, kegembiraan ini tidak melibatkan Teri, anak pertama kami, yang semakin hari semakin menarik diri ke kamarnya.
Hari-hari kami diisi dengan berbagai aktivitas bersama Ilham. Dari bermain sepak bola di taman belakang rumah, sesuatu yang dulu sering kami lakukan bersama Ilham yang asli, hingga makan bersama di meja makan.
Ilham dengan cerdas selalu sanggup menjawab setiap pertanyaan kami tentang matematika atau sains, menggunakan pengetahuan luas yang diprogram ke dalam sistemnya.
Aku sengaja tidak memasukkan kenangan tentang Teri. Buat apa? Ilham sudah sangat cerdas. Dia tidak perlu buang air, tidak perlu makan, dia bisa bermain dan belajar kapan pun. Malam hanya untuk mengisi daya. Sisanya, dia adalah bocah kebanggaanku.
Aku tidak perlu merasakan iri pada hubungan Teri dan Ilham lagi.
***
Suatu sore, kami bertiga duduk di ruang keluarga, dengan tumpukan foto-foto lama tersebar di atas meja. Ilham, dengan antusiasme yang mirip sekali dengan Ilham asli, memilih satu foto dan bertanya, "Mama, Papa, ini saat kita di pantai, kan? Itu hari yang sangat menyenangkan."
Ahmad merespon dengan senyum lebar, "Ya. Kamu selalu suka ombak dan pasir. Kita harus pergi lagi suatu saat, ya?" Dialog ini, meski sederhana, membawa kehangatan yang nyata ke dalam hati kami.
Ilham memang hidup kembali.
***
Aku mengubah tanggal lahir Ilham menjadi saat pertama kali dia datang ke rumah. Aku berniat membuat sebuah pesta besar-besaran!
Ulang tahun Ilham jatuh pada musim hujan dan tahun ini kami memutuskan untuk mengundang banyak teman dan tetangga. Kami membeli kue, menghias rumah, dan bahkan menyanyikan lagu ulang tahun.
Ingat-bingar musik terdengar. Pertunjukan sulap pun membuat para anak-anak senang.
Kecuali satu.
Teri berdiam di kamar. Tidak mau membaur. Sejak kedatangan Ilham setahun lalu, aku sampai lupa keberadaannya. Aku tidak pernah memedulikan apa yang dilakukannya dan apa yang dibutuhkannya.
Tampaknya dia pun tak peduli karena hanya diam yang dilakukan. Artinya dia tidak membutuhkan aku maupun Arman. Usianya sudah lima belas. Sudah besar. Sudah mandiri. Toh, sejak dulu aku tak pernah mengurusnya sendiri. Babysitter yang kuhentikan saat dia sudah masuk SD.
"Selamat ulang tahun, Ilham!"
Suara anak-anak yang dipimpin badut sulap menyadarkanku dari lamunan.
Ilham tersenyum, "Terima kasih, Mama, Papa! Ilham bahagia banget hari ini!"
Senyumnya begitu manis, hampir membuatku lupa bahwa ini hanyalah replika dari putra kami yang sebenarnya.
Saat perayaan berlanjut, tawa dan nyanyian mengisi ruangan, tapi hatiku terasa ada ganjalan. Semakin aku melihat ke dalam mata Ilham, semakin aku merasa terasing.
Mata itu, meskipun dirancang untuk meniru Ilham, hanya menunjukkan kekosongan. Kristal bulat yang bening dan indah, tapi tidak bernyawa.
Sifatnya mungkin mirip, tapi tidak ada kehangatan atau kehidupan di dalamnya yang bisa kurasakan. Semua ini, perayaan, tawa, bahkan 'kebahagiaan' yang kami ciptakan, terasa begitu hampa.
Ketika malam semakin larut, suasana perayaan mulai mereda, hingga akhirnya kembali sunyi. Aku duduk di ruang tamu, memandangi android Ilham yang duduk diam.
"Mama lelah?" tanya Ilham dengan suaranya yang lembut, persis seperti asli.
Aku hanya mengangguk, tersenyum pahit. Dalam hati, ada keinginan kuat untuk merasakan kembali keberadaan seorang anak, kehangatan yang sesungguhnya, bukan hanya replika yang sempurna secara fisik, tapi kosong secara jiwa.
Baru saat ini aku sadari kalau aku mudah lelah bermain dengan Ilham. Dia banyak bertanya ini itu yang tidak kutahu. Aku heran bagaimana Teri dulu selalu sabar mencari di tumpukan buku lalu tertawa? Belum mengurus kotoran dan menyuapi Ilham dengan telaten.
Aku tidak sesabar itu.
Aku bahkan berencana meminta profesor untuk menghapus sifat gemar bertanyanya itu.
"Mana Teri?" Arman menghempaskan tubuh di sisiku sambil memakan sisa burger dari pesta.
Aku menggerakkan kepala ke arah kamar. "Mungkin tidur."
"Ilham udah tidur?"
Aku hanya mengangguk.
"Dia tidak merepotkan, ya?"
"Ya ... seperti boneka."
Sejenak ada keheningan di antara kami.
"Kamu tidak merasa Ilham nyata? Kenapa?" Suara Arman terdengar getir.
"Dulu, Ilham mencoret-coret dinding hingga kotor. Atau menumpahkan makanan, dan lain sebagainya." Aku menatap ke sekeliling. "Namun, lihat sekarang. Semua bersih. Tidak ada kenakalan menggemaskan dan juga Teri yang sigap membersihkan."
Arman terdiam.
"Bukankah bagus kalau Ilham tidak nakal?" tanyanya setelah beberapa waktu. "Kamu yang bilang ingin membuat dia bersikap pintar, kan?"
Aku tak menjawab.
Saat ini menyadari sesuatu yang dalam dan menyakitkan: bahwa robot ini, seberapa canggih pun dia dibuat, tidak akan pernah bisa menggantikan keberadaan yang hidup.
Setiap tahun, kami harus membeli android baru yang disesuaikan dengan pertumbuhan anak. Tubuh android tidak membesar.
"Apa kau ingin membuat Ilham menjadi lebih nakal? Kita bisa mengubah programnya. Toh, ada Teri yang akan merawatnya," usul Arman.
Aku mempertimbangkan sejenak sebelum mengangguk setuju. "Aku akan bicara dengan Teri. Dia tidak pernah mau bicara dengan Ilham sejak dia datang."
Aku tak menunggu jawaban Arman dan bergerak ke kamar. Tanpa mengetuk, aku langsung menyelonong masuk.
Saat itulah aku terdiam tak bicara.
Teri terkulai di lantai dengan posisi janggal. Matanya terbuka, tapi kosong.
Tanpa sadar aku menjerit. Aku tidak ingat apa yang terjadi kemudian. Orang-orang datang, tubuh Teri dibawa pergi ke rumah sakit, dan semua terasa tak bisa kuingat.
"Kondisi Teri memburuk. Tampaknya dia meninggal karena jantungnya tidak sanggup memisah udara lagi karena hormon yang tidak seimbang."
Penjelasan dokter hanya terdengar samar di telinga.
Tadinya, aku berpikir aku akan sangat bahagia tanpa kehadiran Teri yang selalu hadir dengan semua kerepotannya. Namun, Teri tetap kuat dan sehat ketika pengobatannya rutin dilakukan. Dia mau membantu menjaga Ilham meski dirinya kukucilkan.
Ilham ikut di sebelahku. Matanya tetap kosong. Dia hanya menatap tubuh gadis yang membeku selamanya.
"Mama, dia siapa?"
Saat itu hatiku kembali tak berbentuk.
—----
Tn. A (Ayah):
1. Arman Zelarxel
Ny. B (Ibu):
1. Rina Zelarxel
C (Putra Sulung):
1. Teri Zelarxel
D (Putra Bungsu yang Meninggal dan Direplikasi):
1. Ilham Zelarxel
—--------
Aku mandek disuruh nulis 2000 kata. Kalau 1000, aku bisa membuatnya lebih sat set 🤣🤣🤣 Langsung gercep ke konflik. Gemes banget nulisnya hahaha
Tapi semoga tetap layak dibaca, yaaaaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top