Suatu Malam di Perkemahan oleh Syesey

Premis: Anak hantu bersama keluarganya di sebuah kwarcab harus mengganggu rombongan tur studi yang menginap, tapi salah satu anak malah balik mengganggu mereka sehingga anak hantu menampakkan diri dan bikin anak tadi terpesona dan temenan.

Pemilik ide: Rekhair


***


Kehidupan yang semua manusia tahu adalah tempat untuk bermimpi dan berjuang, menikmati hidup layaknya kesempatan yang hanya terjadi selama satu kali peluang. Akan tetapi, kalau bicara soal seorang gadis remaja yang tinggal bersama keluarganya di tengah hutan, mungkin kehidupan bukanlah kata yang tepat untuk digunakan. Bahkan, kata manusia pun juga perlu dipertimbangkan. Pasalnya, kita bicara soal seorang gadis yang jantungnya tak berdetak dan kakinya dapat terbang tinggi ke langit malam. Kulitnya putih pucat seperti tak mengenal darah, rambutnya pun panjang lurus hampir menutup seluruh wajah.

"Lisha!"

Seruan itu terdengar di antara pohon-pohon besar. Gadis itu menoleh seakan suara barusan memanggil namanya. Ia tersenyum tipis mendapati sosok lelaki dengan warna kulit yang tak berbeda jauh dengan gadis tersebut.

"Kenapa, Kak Alan?" sahutnya, gadis yang dipanggil Lisha itu.

"Ayah dan Ibu memanggil untuk segera datang ke bangunan manusia itu. Kali ini, ada gerombolan baru yang berkunjung!" ujar yang lebih tua dengan antusias, Kak Alan sebutannya.

"Oh ya?" Lisha pun tak kalah antusias, matanya yang penuh binar menatap sang kakak dengan semangat. "Sudah lama rasanya kita tidak bertemu para manusia!"

"Ya, kan? Selama ini, Kakak benar-benar bosan karena hanya mengganggu hewan-hewan kecil di hutan. Sekarang, setidaknya ada hiburan baru yang datang."

"Kalau begitu, ayo pergi, Kak! Aku sudah tidak sabar," sahut Lisha kembali, lalu menarik tangan kakaknya dengan cepat.

***

Semilir angin perlahan menembus kaca bus yang sedikit terbuka. Di dalam sana, ada puluhan remaja berseragam cokelat dengan atribut lengkap. Pada kursi-kursi di pojok belakang bus, sekumpulan gadis sibuk berbincang ria, mungkin ingin mengalihkan atensi dari perjalanan panjang yang membosankan ini.

"Kalian tahu gak? Katanya kwarcab yang bakal kita datangi kali ini punya banyak cerita seram ...," ujar salah satu gadis berambut panjang yang dikuncir kuda.

"Bukannya cerita kayak gitu udah biasa ya? Paling juga cuma rumor, kayak biasa," sahut gadis yang lain, kini dengan kacamata.

"Tapi ini beda, Ca! Bahkan, kayaknya gak bisa disebut rumor juga karena sebagian besar cerita dari kwarcab itu pasti selalu ada bukti foto dan videonya," sambung si gadis berkuncir. "Ya walaupun aku gak tahu isi dokumentasinya sih, gak berani ...."

Caca, gadis berkacamata itu mengembuskan napasnya perlahan, tampak lelah atas setiap rumor yang temannya itu sebarkan setiap kali akan melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler mereka. "Ayolah, Nada. Anak Pramuka masa takut-takut begitu. Lagi pula, sekiranya hantu itu ada, pasti jahil aja sama manusia. Kalau kita gak gubris dan bodo amat, ya mereka pasti menyerah juga."

Gadis berkuncir yang dipanggil Nada itu langsung bereaksi dengan panik. "Hus, Bicaranya jangan blak-blakan gitu dong! Kalau kita benaran dijahili gimana?"

"Ya lawanlah, apa lagi? Ya gak, Dira?"

Begitu Caca berucap, fokus pun beralih pada gadis bersanggul yang duduk dekat jendela, Dira. Sedari awal perjalanan, gadis itu lebih memilih untuk memandangi pemandangan ke luar, sama sekali tidak mendengarkan satu pun topik pembicaraan kedua temannya. Tidak heran jika gadis tersebut justru terkejut dan menoleh dengan tampang bodoh karena seseorang menyebut namanya. "Hah? Apa?"

"Ah, kamu mah bengong aja dari tadi. Awas, lo, kena sesuatu!" seru Nada dengan suaranya yang dibuat-buat untuk menakuti.

"Kalian lagi ngobrol tentang apa sih?"

"Aku sama Nada lagi omongin soal kwarcab yang bakal kita datangi. Katanya, ada rumor seram di sana. Aku sih gak percaya begituan, tapi Nada masih aja tuh parno soal hantu," terang Caca.

"Duh, Ca! Kenapa sih masih disebut blak-blakan gitu?" protes Nada lagi.

Perdebatan itu pun sontak mengundang tawa kecil Dira, tidak habis pikir dengan kehebohan kedua temannya itu. "Udahlah, kita kan di sana cuma beberapa hari. Selama kita bareng-bareng aja, gak akan ada masalah kok!"

***

"Dira! Kata kamu, kalau kita bareng-bareng aja, gak akan ada masalah, tapi aku gak henti-hentinya bangun tengah malam cuma karena ada suara aneh dari hutan tahu! Aku yakin, malam ini pasti juga tidak menyenangkan" sergah Nada dengan suaranya yang tetap berbisik di tengah jalannya apel malam mereka pada hari kedua kemah mereka.

"Berapa kali aku bilang sih, itu cuma mimpi kamu aja. Aku sama sekali gak dengar apa-apa kok," sahut Dira. Tubuhnya tetap tegap mengikuti apel dengan tangan yang beristirahat di belakang badan.

"Tapi!" seru Nada dengan suara yang ditekan agar tidak terdengar oleh orang-orang di sekitar.

Namun, tentunya seruan itu harus Dira hentikan. "Sut, jangan banyak omong. Nanti ketahuan kakak kelas, bisa tamat kita. Kamu gak lupa hukuman buat murid yang berisik pas apel, kan? Caca hampir kena kemarin karena kamu ajak ngobrol terus, untungnya masih diringankan dengan cuma menulis laporan harian. Itu pun karena katanya, lapangan di sini kurang besar untuk hukuman."

Ucapan Dira barusan berhasil membungkam mulut Nada. Siapa juga yang tidak bisa melupakan hukuman tersebut, perlu berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali sambil berjongkok. Bagi Dira sendiri, hukuman tersebut benar-benar tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakukan, tetapi senioritas yang kuat dalam ekstrakurikuler mereka membuat tidak ada siapa pun yang bisa membantah kata-kata para kakak kelas. Itu sih namanya lebih cocok perundungan dibandingkan hukuman, kira-kira begitu isi pikiran Dira setiap kali membahas soal beragam tingkah dan perintah seniornya. Menakutkan.

Tak berselang lama apel berjalan, terdengar suara teriakan dari salah satu siswi yang berada di barisan paling dekat dengan pepohonan hutan. Hal tersebut sontak merebut seluruh atensi peserta apel. Para gadis turut histeris melihat ada salah satu temannya tiba-tiba bergulingan di tanah. Para pembimbing segera turun tangan dan menenangkan siswi tersebut dengan berbagai cara.

Melihat kejadian tersebut, jangan tanya seberapa pucat wajah Nada sekarang. Ia bahkan sudah jatuh terduduk di rerumputan hijau, tak sanggup berkata-kata. Sementara itu, Dira masih berdiri tegap, ekspresinya datar. Awalnya begitu, sampai fokus mata gadis itu beralih dari salah satu teman yang sepertinya "kesurupan" tadi ke salah satu pohon di dekat sana. Entah dari mana senyum semringah Dira itu datang. Wajahnya bahkan seperti menunjukkan bahwa ia baru saja menemukan sesuatu yang menarik.

***

Malam makin larut. Apel para anggota Pramuka tadi berujung tak selesai karena sebuah peristiwa yang tidak diduga. Keadaan sekarang dapat terbilang kacau karena rupanya banyak murid yang gelisah dan takut akan sesuatu hal yang "tak terlihat". Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku untuk Dira. Buktinya, gadis tersebut kini sudah berada tepat di depan pepohonan hutan kala teman-temannya yang lain sudah pergi ke kamar dan berbaring di tempat tidur masing-masing.

Cukup lama gadis itu berdiri di sana, tetapi ia seperti tidak kunjung bertemu hal yang ia cari. Lantas, alih-alih menyerah, kakinya justru ia bawa untuk makin dekat dengan kawasan hutan. Sesekali ia amati seluruh pemandangan di sekitarnya, semak belukar, pohon-pohon tinggi, dan tanah yang cukup lembap.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu sudah mengganggu teritori kami."

Suara itu terdengar begitu kasar dan halus di saat bersamaan. Dira mendongak ke atas, mencari sumber suara, dan mendapati seorang gadis berambut panjang lurus dengan kulit yang begitu pucat. Normalnya, manusia pasti akan berlari terbirit-birit pada situasi ini. Namun, entah mengapa Dira justru tetap di sana, bahkan tersenyum dengan antusias.

"Peristiwa tadi, kamu pelakunya, kan?" tanya Dira dengan semangat, tak ada gentar di dalam suara gadis itu.

Lisha yang sedang duduk di salah satu dahan pohon itu mengerjapkan matanya beberapa kali, masih mencerna apa yang Dira tanyakan barusan. "La-lantas kenapa kalau aku pelakunya? Aku juga bisa membuatmu seperti itu!" tanya Dira dengan nada yang ia usahakan setegas dan semenakutkan mungkin.

Akan tetapi, alih-alih takut, Dira justru berjalan beberapa langkah mendekati pohon tempat Lisha berada. "Terima kasih!" ujarnya.

Hah?

***

"Siapa namamu, Manusia?"

"Kamu bisa panggil aku Dira."

Sungguh aneh, tapi benar terjadi. Di naungan salah satu pohon, Dira berhasil duduk berdua dengan sosok yang bahkan tak bisa disebut sebagai manusia, Lisha. Setelah mendengar ucapan terima kasih Dira, Lisha sempat terpaku dan turun perlahan dari dahan yang ia duduki. Ia sempat berasumsi bahwa Dira tidak takut akan dirinya, tidak ada aura negatif yang Lisha lihat dari tubuh manusia itu.

"Kenapa kamu berterima kasih?" tanya Lisha yang memulai kembali pembicaraan mereka.

Dira menoleh kepada Lisha tanpa ragu. matanya kini berhadapan langsung dengan wajah pucat dan ekspresi terlewat datar Lisha. "Sebenarnya, perkumpulan tadi kemungkinan akan berakhir dengan siksaan bagi kami, termasuk aku. Datangnya kamu sayangnya memengaruhi salah satu temanku, tetapi aku tahu, kamu tidak berniat untuk melukainya. Hanya saja, karena peristiwa tadi, perkumpulan itu tak berakhir dengan siksaan," jawabnya.

"Siksaan?"

"Aku mendapat kabar kalau para kakak kelas kami berencana untuk menghukum kami bermalam di hutan ini. Ah, mendengar itu, aku sudah yakin kalau temanku akan gelisah tak ada hentinya. Membayangkan itu saja sudah merepotkan."

"Aku tidak mengerti apa itu kakak kelas, tetapi memangnya kamu tidak takut kepadaku? Aku itu hantu, aku selalu menjahili kalian, para manusia."

Pertanyaan barusan sejenak berhasil mengundang kesunyian di antara mereka.

"Tidak, memangnya kenapa aku harus takut?"

Kali ini, jawaban itu menciptakan kesunyian yang berbeda, Lisa kehabisan kata-kata.

Menyadari bahwa sosok di hadapannya yang tak kunjung bicara, Dira melanjutkan ucapannya. "Bagiku, manusia jauh lebih menakutkan."

"Aku bisa sedikit memahami kalau tujuan kalian adalah menakuti kami, manusia, ataupun menjahili kami dengan berbagai hal. Namun, hanya sekadar itu. Kalian tak berniat untuk melakukan hal-hal buruk kepada kami yang di sini. Berbeda dengan manusia yang sering kali bisa saja mencelakai satu sama lain, padahal kami adalah kaum yang sama," lanjut Dira dengan pelan.

Meskipun telah usai Dira berbicara, Lisha tak kunjung bersuara. Sosok gadis itu hanya terpatung di tempatnya. Pada awalnya, duduk berdampingan dengan seorang manusia sudah merupakan hal baru yang aneh baginya, lantas ia harus berhadapan dengan seorang Dira yang rupanya berbeda dari sebagian besar manusia yang pernah ia temui. Tak ada satu pun manusia yang berterima kasih atas eksistensinya.

"Kamu manusia yang aneh."

"Aku sering dapat ucapan itu, tapi ini pertama kalinya mendengar ucapan tersebut dari sosok yang bukan manusia!" seru Dira antusias.

"Benar-benar aneh," sahut Lisha lagi. "Jadi, kamu ingin apa datang ke sini?"

Dira pun menegakkan badannya dan menghadap pada Lisha. "Aku ingin bekerja sama denganmu!"

"Apa maksudnya?"

"Setiap malam, kami sering kali diminta untuk melakukan hal yang tidak masuk akal. Sesekali kami diperintahkan untuk membersihkan lapangan pada larut malam atau bahkan berbaring di atas tanah basah tanpa alas satu pun," ujar Dira. "Bagaimana kalau kamu menakut-nakuti para kakak kelas agar mereka tidak jadi melakukan hal-hal aneh. Kita sama-sama untung, kan? Aku dan teman-teman dapat terhindar dari siksaan kami, lalu kamu bisa menakuti banyak manusia!"

Lisha terkekeh pelan. "Ya, bisa aku pertimbangkan."

Dira hampir saja bersorak kegirangan kalau ia tak ingat tempat ia berada kini. Bisa-bisa suaranya dapat menggema dan mengundang ketakutan lain bagi teman-temannya.

"Sekali lagi terima kasih!" seru Dira sedikit berbisik.

"Rasanya aneh jika mendapatkan ucapan terima kasih atas hal seperti ini," sahut Lisha.

Dira pun hanya menanggapi dengan tawa pelan. Perlu ia akui, ini memang aneh. Namun, hal yang baru seperti ini justru cukup memantik semangatnya.

"Oh ya, namamu?"

"Lisha."

"Senang bertemu denganmu, Lisha!

***

Perkemahan para anak Pramuka itu akhirnya menemui akhir. Dira sangat bersyukur bahwa selama mereka di kwarcab ini, para kakak kelas tak banyak menghukum dan memerintahkan mereka yang bermacam-macam. Semua itu pun tak diragukan lagi karena bantuan Lisha selama ini. Kalau diingat-ingat, semua gangguan Lisha dan bagaimana sosok itu bisa mengusung ide tertentu sangatlah membuat Dira kagum dan terhibur. Pasalnya, gangguan-gangguan tersebut sungguh di luar dugaan Dira. Ada masanya Lisha menakuti kakak kelas Dira yang sedang makan segelas mi pada malam hari dengan menjatuhkan sebotol saus, lalu menggelindingkannya ke kaki sang kakak kelas. Dira tertawa pelan setiap mengingat cerita itu.

"Dira, jangan ketawa begitu. Aku jadi takut tahu!" Lagi-lagi Nada dengan keparnoannya.

"Duh, iya iya, maaf," sahut Dira, masih sesekali terkekeh pelan.

"Sehabis pulang dari sini, Nada pasti bakal jadi lebih penakut dari sebelumnya," celetuk Caca yang kini ikut berada di antara mereka.

"Setidaknya aku tidak dihukum untuk menulis laporan sebanyak 100 lembar HVS!"

"Wah, kamu bisa tolong sadar diri sedikit? Aku kan kena hukuman itu juga karena kamu dan ketakutanmu yang tak selesai-selesai itu," ujar Caca, membela diri.

"Sut, udah. Sebentar lagi apel malam terakhir kita. Beruntung kakak kelas udah gak banyak hukum kita macam-macam. Bersyukur dong, bukannya malah berantem."

Begitu Dira menengahi, pertengkaran antara Nada dan Caca pun dapat dihindari. Kini, mereka sedang berjalan menyusuri lorong untuk menuju lapangan karena seperti yang Dira sebutkan barusan, ini apel terakhir dalam kemah mereka. Seminggu adalah waktu yang cukup panjang dengan banyak rintangan, tetapi seketika jadi menyenangkan karena satu dan lain hal.

Tak sengaja Dira mendapati Lisha dari kejauhan, sedang mengganggu seorang kakak kelas yang sedang merokok di bawah pohon dengan aksinya. Dira terkekeh pelan mendapati Lisha yang membuat rokok sang kakak kelas tak henti-hentinya padam, berapa kali pun dihidupkan.

"Kamu lihat apa sih, Dira? Naksir sama kakak kelas itu?" sergah Nada.

"Hah?" Dira tersadar dari pandangannya dan menoleh pada Nada yang kini menatapnya dengan penuh selidik. "Apa sih? Bukan! Udah, sana jalan."

Tangannya mendorong Nada pelan agar berjalan di depan dengan Caca. Kini, Dira berjalan di belakang mereka. Ia sempat menoleh kembali pada Lisha. Sosok itu pun menyadari tatapan tersebut dan justru menyapanya dengan lambaian tangan penuh semangat. Lantas, Dira pun tersenyum senang dan membalas lambaian tersebut dengan sembunyi-sembunyi. Dira senang, bisa setidaknya berkawan dengan lebih banyak dari "mereka".


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top