Playing Victim oleh celestialruby
Premis: Kamu menemukan fakta ketika berkunjung di sekolah saat malam, kalau yang memulai perudungan dari x (anggota kelasmu) adalah x sendiri. Kamu berniat menghentikan perudungan yang disebabkan oleh x sendiri dan dilanjutkan teman-temanmu--dengan membeberkan fakta tadi, tetapi dihentikan oleh x dengan ancaman kalau kamu bisa dijadikan korban perudungan selanjutnya.
Ending: bebas
Pemilik ide: Yuecha
***
Kelas sudah dimulai sepuluh menit yang lalu. Di pagi yang tenang ini, seorang gadis dengan wajah kusut dan mata sembap menghambur masuk ke dalam kelas. Kemunculannya secara tiba-tiba dengan kondisi yang berantakan seperti itu jelas membuat seisi kelas menatap ke arahnya dan menciptakan keheningan. Hening total. Sorot matanya sama sekali tak menatap kami dan sang guru yang jelas tengah duduk di kursinya, guru tersebut pun tampak segan untuk sekadar bertanya alasan keterlambatannya. Ia langsung berjalan ke kursinya dan membenamkan wajahnya dengan tangan. Teman sebangkunya pun bersimpati untuk mengelus punggungnya.
Kelas dilanjutkan seperti tak ada yang terjadi, karena memang tak ada yang terjadi. Namun, peristiwa tersebut mengganjal di benakku, terutama karena aku tak tahu harus bertanya pada siapa dan sopankah jika aku bertanya.
Karena hanya satu orang ini yang paling dekat denganku, aku mengangkat topik ini dalam pembicaraan kami saat jam istirahat.
"Keira ... kenapa ya tadi?" tanyaku sedikit ragu.
"Hm, kayaknya ada hubungannya sama live kemaren," jawabnya.
"Live apa?"
"Live di second-nya Alya," jawabnya.
"Kamu follow second-nya Alya?"
Lantas ia malah melanjutkan, "Kemaren mereka live, terus ada akun fake kayanya, komen-komen nggak jelas, ngancem-ngancem si Keira, abis itu live-nya dimatiin." Wah, tampaknya aku benar-benar tak tahu apa-apa.
"Komen apa?" tanyaku penasaran.
"Kayaknya masalah cowok deh, awalnya dia nanyain kenal si ...—" Ia menghentikan kalimatnya, baru sadar bahwa kami terlalu keras saat membicakan orang lain.
"Si Kiel nggak? Terus pas itu masih dijawabin tuh, kenal katanya."
Aku memotong, "Kiel anak IPA 4? Dia emang deket sama Keira 'kan?"
Melinda hanya mengangguk.
"Abis itu malah ngata-ngatain ngancem-ngancem Keira, dibilang murahan lah, diajak ketemuan, pokoknya parah-parah lah."
Rupanya temanku yang kukira kuper itu tahu lebih banyak dari yang kukira.
"Terus?" tanyaku masih tak puas.
"Terus apa lagi?!" ucap Melinda gusar. Sepertinya hanya itu informasi yang ia tahu.
"Terus kenapa pagi ini dia sampe telat terus nangis-nangis?" Meski begitu, aku tetap melanjutkan pertanyaanku.
"Ya nggak tahu! Tanya sendiri sama orangnya!"
Mana mungkin aku tiba-tiba bertanya hal seperti ini pada orangnya langsung? Buat menagih hasil pekerjaan kerja kelompok bagiannya saja aku sungkan setengah mati, apalagi tiba-tiba bertanya pasal hal ini.
—
Pagi tadi saat dibawa ke sekolah baterai ponselku tiga puluh persen, makanya aku membawa charger. Namun, mengisi daya baterai di sekolah tak pernah menyenangkan. Aku harus bertarung untuk mendapat salah satu dari dua slot charger. Maka aku harus berpasrah ketika bateraiku baru enam puluh persen sehingga dicabut paksa karena harus bergantian. Sialnya charger ponselku tertinggal di dalam kelas. Tadinya kupikir ponselku bisa tahan minimal hingga malam ini. Namum, jam tujuh saja baterai ponselku yang tinggal lima persen sudah menjerit. Terpaksa, aku datang ke sekolah malam-malam. Cuma untuk mengambil charger.
Aku bisa saja meminjam charger milik ibuku, tapi dia akan mempertanyakan ke mana kabel charger-ku. Daripada mengakui kecerobohanku lebih baik aku ke sekolah malam-malam, membuka paksa jendela kelas, dan memanjat jendela. Satu-satunya orang di rumah yang bisa kuminta untuk meminjamkan charger-nya hanyalah adikku, tapi charger-nya beda.
Ah, dapat. Masih tercolok di colokan.
Mari kita sudahi aksi nekatku ini. Dengan susah payah, aku menyelipkan badanku ke jendela yang hanya setengah terbuka, lalu memijak ke kursi yang sedari tadi memang ada di depan kelas.
Kututup jendela kelas tersebut lalu berjalan mengendap-endap ke luar. Belum pernah sebelumnya aku ke sekolah di malam hari. Membayangkan sekolahku yang mewah—mepet sawah—dengan beberapa bangunan yang setengah jadi di malam hari saja membuat bulu kudukku bergidik. Bayanganku rupanya nyata. Penerangan yang hampir nihil, pepohonan yang tinggi menjulang, serta beberapa bangunan setengah jadi yang sekaligus tampak setengah roboh jelas bukan sesuatu yang elok secara visual. Ditambah angin malam yang terus berkesiur meniup-niup anak rambutku dan keheningan yang membuat suara derap langkah kakiku makin terdengar jelas menjadi detail yang penting untuk membuat suasana sekolah di malam hari makin suram. Entah keberanian dari mana .... Ah, yang penting handphone-ku bisa nyala!
Aku menghela napas lega ketika akhirnya aku sampai ke gerbang sekolah. Jalanan depan sekolahku ramai, aku merasa lebih aman. Setidaknya aman dari rasa takut diganggu makhluk halus, karena sekarang aku harus menyeberang sendirian di jalanan yang banyak dilalui truk. Oke, aku harus berhenti overthinking.
Aku berhasil menyeberang dengan selamat. Kini aku hanya perlu berjalan ke parkiran, mengambil motorku, lalu pulang membawa charger kesayanganku.
Ketika aku berderap ke arah parkiran, aku mendengar desas-desus suara orang yang semakin kencang seiring aku mendekati parkiran. Kurasa suara itu lebih dari satu orang. Dan percakapan mereka tak terdengar seperti percakapan yang bersahabat. Mendekati parkiran, langkahku makin ragu. Ketika suara-suara itu terdengar jelas aku pun mengintip, lalu ketika menangkap sosok-sosok yang ada di sana aku pun bersembunyi di balik tembok.
"Apa sih motivasinya?" tanya seorang gadis yang terdengar mati-matian menahan amarahnya.
"Motivasi? Aku dengar kalian di kantin bicara soal aku, kalian bilang aku cewek murahan, sana-sini nempel, dan hal-hal nggak mengenakkan lainnya. Aku cuma mau nyebar isi percakapan kalian biar semua orang tahu. Baiknya, aku nggak pinjam nama kalian." Itu suara Keira. Suaranya terdengar lebih tenang dari lawan bicaranya yang sudah hampir meledak.
"Tapi kamu beneran seperti itu 'kan? Kamu baru di sini belum genap setahun. Udah berapa cowok dikabarin dekat sama kamu? Berapa di antara mereka yang sudah punya pacar atau lagi PDKT sama orang lain?" Itu suara gadis lainnya, ia juga kedengaran sama marahnya.
"Aku mau berteman sama semua orang, tapi aku pilih-pilih. Aku cuma pilih orang-orang yang menarik buat diajak berteman. Syukur-syukur bisa dijadiin pacar. Lagian memang pacaran di SMA bisa langgeng? Cuma segelintir yang bisa sampai nikah, hampir semuanya ujung-ujungnya bakalan putus." Aku refleks melebarkan mata. Percakapan macam apa ini. Mengapa ia bisa sesantai itu mengucapkan kalimat tersebut.
"Oh, jadi kamu mengaku suka rebut cowok orang?"
"Nggak juga, merebut bukan motivasi utamaku. Aku pengin berteman sama mereka. Tapi lama-lama mereka malah kelihatan tertarik padaku."
"Terus kamu biarin hal itu terjadi? Dan pas mereka putus kamu udah punya cowok baru?"
"Percakapan orang jatuh cinta itu nggak asyik. Aku bosan duluan setelah cowok-cowok itu kelihatan tertarik padaku. Typing-nya jadi beda, bikin ilfeel."
Tampaknya Keira sedang melawan tiga orang. Dari intonasi dan nada bicaranya, dia sama sekali tak terdengar sedang ketakutan. Malah menurutku, dia terdengar tengah menakut-nakuti lawan bicaranya dengan membeberkan fakta-fakta mengherankan tersebut.
"Jadi kamu biarin semua yang terjadi pas SMP terjadi lagi di sini?" Orang yang sejak tadi paling dominan di antara ketiganya bertanya.
"Dan kamu juga mau terlibat lagi?" Keira malah terkekeh kecil.
Percakapan ini makin memanas tampaknya. Aku ... harus menceritakan semua ini kepada Melinda. Dia pasti tidak akan memercayai omonganku begitu saja. Aku perlu bukti. Bukti apa ya? Foto? Rekaman suara? Ah, sepertinya itu berlebihan.
Melinda tidak perlu bukti, percaya atau tidak pada ceritaku, kuserahkan padanya. Namun, aku butuh bukti untuk kusimpan. Teman sekelasku sedang diintimidasi, dan dia juga mengintimidasi. Jika masalah ini menjadi lebih besar hingga sampai ke telinga para guru dan dibutuhkan saksi, aku siap bersaksi.
Aku diam-diam mengeluarkan ponselku dan mengarahkannya pada empat orang tersebut. Tanpa melihat apa yang tampak pada kamera burikku, aku memotretnya. Lalu aku pun mulai menekan tombol record untuk merekam suara mereka.
"Berbeda dengan dua tahun lalu, aku yang sekarang tidak akan menangis di depanmu. Aku sudah malas menanggapimu lagi. Kamu pikir buat apa aku mengatakan motivasiku secara terang-terangan begitu? Jadi, pergi sekarang atau aku tak akan segan-segan membuat masalah ini lebih besar sampai kamu kena skors lagi."
Ada jeda beberapa lama hingga suasana hening. Peristiwa yang terjadi selanjutnya sukses membuatku terkesiap. Salah satu dari mereka melepaskan sebuah tamparan keras. Dari rintihannya, Keira adalah korban dari tamparan tersebut. Ia terdengar terkejut dan kesakitan.
"Apa-apaan?!" Dia terdengar amat murka.
Sepanjang percakapan, baru kali ini ia mengeluarkan emosinya secara sungguhan.
"Menjijikkan! Kamu cuma cewek gila popularitas, menempeli orang-orang populer di sekolah untuk meningkatkan kedudukan, bahkan memunculkan kontroversi dan dengan mudah membalikkan keadaan agar semua bersimpati padamu!" Kemarahan cewek yang merupakan ketua geng mereka itu tak mampu lagi dibendung.
"Bukankah kamu juga?! Dulu kamu membenciku karena jika ada aku, kamu tidak bisa jadi satu-satunya penguasa cewek-cewek di kelas, dan tampaknya sampai sekarang kamu tetap gila kekuasaan. Dia, dan dia, mungkin mereka mau menempeli kamu biar tidak dikucilkan di kelas, bukannya tulus menjadi temanmu."
Aku sepertinya tahu lawan bicara dari Keira saat ini. Mereka adalah Malika dan teman-temannya dari kelas IPS 3. Mereka memang terlihat sebagai sosok yang dominan di kelasnya. Geng cewek paling terpandang di kelas, mirip seperti Keira dan teman-temannya. Kurasa aku mulai mengerti akar permasalahan yang dibawa sejak SMP ini.
PLAK!
Sekali lagi tamparan dilepaskan.
"Kamu benar-benar nggak takut ya?!" Keira yang angkat bicara dengan nada tinggi.
"Aku nggak pernah takut sama kamu. Aku nggak takut kehilangan kedudukanku di kelas gara-gara harus melampiaskan dendam kesumatku pada orang kayak kamu. Lama-lama semua orang bakal tahu kebenarannya." Kalimat itu mengalir deras tanpa hambatan.
"Semua orang bakal tahu kalau kamu yang menjadi penyebab dari semua ini. Kamu sendiri yang menyeret dirimu untuk jadi korban. Kamu takut kehilangan image baikmu di mata orang-orang. Kamu yang takut kehilangan kedudukanmu di kelas!" Ia berkata dengan penuh penekanan di akhir kalimat.
Di tengah tensi percakapan yang sedang tinggi-tingginya aku teringat sesuatu. Aku menyalakan layar ponselku. Pukul setengah sembilan malam. Aku harus pulang.
Kurasa isi rekaman ini sudah cukup mengekspos kebusukan dua belah pihak. Masalahnya, aku harus lewat mana biar mereka tidak mengetahui keberadaanku?
Aku mencoba putar balik arah. Sekitar tiga meter dari sini ada gerbang kecil. Mungkin akan susah bagiku untuk mengeluarkan motor dari sana, dan kemungkinan besar sudah ditutup. Tapi harus kucoba.
Ah sial! Ditutup!
Selain gerbang sini, ada gerbang yang lebih besar, tapi aku harus melewati mereka dulu. Mati-matian aku berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Namun, aku juga berusaha untuk berjalan senormal mungkin, bukannya malah mengendap-endap. Aku berhasil melewati mereka.
—
Keesokan harinya Keira tetap masuk dan kembali memainkan sandiwaranya seperti kemarin. Hari ini dia baru masuk setelah bel istirahat pertama berbunyi, yang artinya ia tidak hadir di mata pelajaran pertama. Ia kembali datang dengan mata sembap. Di pintu sudah ada temannya yang menyambut dan langsung memeluknya. Ketika temannya memeluknya, air matanya pun tumpah. Hal itu mengundang perhatian orang-orang yang masih berada di kelas. Beberapa orang mengerumuninya. Sebagian tampak berbisik-bisik perihal apakah gerangan yang terjadi. Sebagian yang merupakan teman terdekatnya tampak sudah paham terkait masalah yang menimpanya.
Melinda melirikku, lalu menunjukkan isyarat bahwa ia akan ke depan ikut mengerumuni Keira. Namun, aku menahan tangannya dan berkata, "Ayo ke kantin."
Melinda hanya menatapku, lalu mengangguk. Kami pun berjalan meninggalkan kelas. Aku akan menceritakan semuanya kepada Melinda.
—
"Keira udah dikasih tau?" tanya Irina padaku.
"Udah, katanya 'oke'," jawabku.
Entah kenapa teman-teman sekelompokku memanfaatkanku sebagai penghubung Keira. Sepertinya gara-gara waktu itu akhirnya aku yang menagih tugas bagiannya padanya.
Tak lama kemudian orang yang dimaksud pun tiba. Lain dengan waktu baru datang tadi, kini ia sudah mulai bisa tersenyum meski sembap di matanya belum sepenuhnya hilang.
"Tugas Bahasa Inggris ya?" tanyanya. Kami pun mengangguk.
"Kartonnya udah beli?"
"Udah, aku yang bawa," jawab Hani.
Keira mengangguk-angguk. "Ada yang belum dibeli?"
"Udah semua kayaknya," jawabku.
"Oh, nanti kalo ada yang belum aku aja yang beli."
Akhirnya kami memulai kerja kelompok kami. Hari ini Keira kelewat kooperatif. Mungkin karena baru kali ini kami kerja kelompok secara langsung dan bukannya mengerjakan di rumah masing-masing seperti beberapa tugas lainnya di mana kami sekelompok.
Kehadirannya di kelompok kami kurang disenangi. Dia tidak muncul ketika pembagian tugas, lalu saat selesai pembagian tugas dia akan muncul dan bertanya-tanya bagian tugasnya yang mana. Bukan hanya itu, dia baru mengerjakan tugas bagiannya sehari sebelum dikumpulkan sambil dikit-dikit bertanya, "Kinar, ini udah betul belum?", "Kinar," "Kinaaarrr," sampai aku capek. Aku kurang menyukainya, itulah kenapa aku susah simpati sejak awal ia terkena masalah.
"Aku ke toilet ya," ucapku seraya menaruh pena yang ada di genggamanku.
"Aku ikut, Kin." Keira tiba-tiba bangkit dari kursinya, menyusulku.
"Oh, iya," responsku.
Di kamar mandi, meski toilet di sebelahku kosong ia tidak masuk. Juga tidak terdengar suara pintu terbuka atau tertutup sama sekali. Ketika aku keluar dari bilik toilet, ia masih ada di sana di depan cermin. Mungkin niatnya memang hanya untuk bercermin. Namun, dia tampaknya menungguku karena begitu aku keluar ia langsung berbalik badan.
Wajahnya berubah tak seramah sebelumnya. Dia pun berkata, "Kamu tahu semuanya ya?"
Jelas aku terkejut. Aku mematung. Aku tak mengerti ekspresi apa yang kupasang saat ini. Aku tertangkap basah. Bagaimana ia bisa tahu?
"Kamu menguping pembicaraanku dengan Malika dan teman-temannya tadi malam ya?" Ia memperjelas.
Aku yang merasa tak memiliki jalan keluar lain pun mengaku, "Ah, iya."
"Kemarin charger-ku ketinggalan di kelas, jadi kuambil malam-malam, terus aku tak sengaja mendengar percakapan kalian, maaf ya," klarifikasiku.
"Jam berapa?" cecarnya lagi.
"Setengah delapan? Seingatku aku sampai di sekolah sekitar jam segitu," jawabku agak ragu.
"Wah, berarti kamu mendengar cukup banyak," simpulnya.
Oh iya, aku baru mengeluarkan motor sekitar jam setengah sembilan. Pasti dia mengetahui keberadaanku saat itu. Oke, kali ini benar-benar tidak ada jalan keluar bagiku.
Aku mengangguk-angguk.
"Ada orang yang kamu ceritakan soal itu?"
Kali ini rasanya aku sudah kena hadang di depan, kanan, kiri, dan dibelakangku ada jurang. Namun, aku berusaha setenang mungkin dalam menghadapinya, sebagaimana ia diintimidasi tadi malam.
"Tidak ada," dustaku. Aku telah menceritakan hal ini kepada Melinda, meski Melinda masih kesulitan mencernya ceritaku.
"Kuharap aku bisa percaya."
"Besok kami akan dipanggil ke ruang BK. Karena kamu tahu situasinya kuharap kamu keberatan jika harus menjadi saksi."
"Bagaimana kalau tanpa menjadi saksi, aku yang akan menyebar sendiri cerita itu?" Aku memberanikan diri untuk angkat bicara.
"Kamu peduli sebegitunya? Padahal kamu kelihatan apatis loh."
"Dari obrolan kalian, sepertinya situasi ini sudah berlangsung sejak SMP. Aku tidak tahu apa yang terjadi saat kalian SMP, tapi tidakkah kamu mau berhenti?"
"Berhenti apa?"
"Tidakkah kamu mau keluar dari masalah yang kamu ciptakan sendiri? Yang tadi pagi, dan kemarin, itu air mata buaya 'kan? Kamu sengaja membuat orang mencari tahu masalahmu, kemudian mendengar versimu, agar mereka bersimpati padamu." Aku mengeraskan nada bicaraku.
"Aku memang suka cari perhatian. Tapi, buat yang terakhir, bahwa aku mencari simpati orang, tidak semua orang mau bersimpati padaku meski aku adalah korbannya. Aku cuma butuh diperhatikan orang-orang tertentu," ucapnya santai.
"Kayak kamu, kalau seandainya kamu tidak tahu situasi ini, dan kamu hanya mengetahui aku sebagai korban dalam masalah ini, maukah kamu peduli? Sepertinya tidak."
"Iya, aku tidak akan peduli. Aku tidak mau ikut campur. Aku merasa tidak punya hak untuk ikut campur. Lagipula kamu sudah dikelilingi banyak orang yang bersedia membelamu kapan pun," jelasku.
"Itu dia, aku tak butuh dukungan semua orang, hanya beberapa orang yang kuanggap bisa membantuku."
"Jadi, cowok-cowok yang kamu dekati ...." Aku menjeda sejenak.
"Huh?" Ia mengernyitkan dahi.
"Kamu manfaatkan untuk mendapatkan perlindungannya?"
"Iya, semacam itu."
"Pokoknya, kalau kamu berani menyebar cerita itu, aku tak akan segan membuatmu terlihat sebagai orang jahatnya."
Masalah ini amat pelik. Aku merasa ogah untuk membela pihak mana pun, entah Keira atau Malika. Mereka sama-sama orang yang ingin dipandang tinggi oleh orang di sekitarnya. Namun, cara mereka berbeda. Malika sejak awal membangun image sebagai orang yang dominan dan tegas sehingga disegani orang-orang di sekitarnya. Ia tak akan segan-segan menentang orang yang berlawanan dengannya meski harus berakhir dengan jalan perundungan. Sementara Keira, ia dikenal orang sebagai cewek yang cantik, modis populer, dan mudah bergaul sehingga dengan mudah memengaruhi keputusan orang lain meski terkadang itu ia lakukan hanya untuk kebaikan dirinya sendiri. Ketika ada orang yang berani menyenggolnya, ia akan memainkan peran sebagai korban dan memanfaatkan kepercayaan orang-orang di sekitarnya agar orang yang berurusan dengannya tersebut takut padanya. Di dalam masalah ini tidak ada hitam dan putih. Meski begitu, Malika yang akan selalu bergerak menjadi "pelaku" sementara Keira adalah "korban".
Peliknya lagi, aku terjebak dalam masalah ini. Aku tidak akan bisa melawan baik Keira atau Malika yang jelas jumlah temannya lebih banyak dariku. Teman dekatku cuma satu, hanya dia yang kuanggap bisa memercayaiku. Jika Keira ingin mengangkatku sebagai penjahat barunya maka itu akan terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top