Malaikat Maut Cuti Selama 10.000 Tahun oleh Andrina_K
Premis: X, seorang malaikat maut, memutuskan untuk mengambil cuti dan mengunjungi dunia manusia untuk mengalami kehidupan biasa. Namun, kehadiran seorang malaikat maut di dunia manusia tidak pernah berjalan mulus dan X menemukan dirinya terjebak dalam situasi-situasi aneh saat dia merasa jatuh hati dengan seorang gadis indigo.
Pemilik ide: nrndraaptr
***
"Hitam."
"Hah?" Lelaki itu berbalik. Di belakangnya, terlihat gadis berusia 7 tahun berpakaian compang-camping menarik ujung kemejanya.
"Kakak hitam sekali."
"Baju ini?" tanyanya sembari menunjukkan kemeja hitam legam yang ia pakai.
"Semuanya." Gadis itu merentangkan tangannya seolah sedang menangkap seluruh langit. Di sisi lain, pria itu mengernyitkan dahinya, heran dengan perilaku gadis yang baru ia temui lima menit lalu.
"Eh, ok. Saya pergi dulu," ujarnya berusaha melarikan diri.
"Kakak iblis? Atau malaikat kematian?" Langkah pria itu sontak terhenti mendengar kata-kata yang keluar dari bibir mungil dengan bekas luka itu.
"Itu hanya mitos. Mana ada---"
"Kakak berbohong."
"Heh?"
"Dia akan mati," ujar gadis itu menunjuk seorang pria tak jauh dari mereka. Ia memakai kemeja putih lusuh yang dikeluarkan dengan dasi tak karuan. Matanya tampak kosong dengan rambut berantakan. Laki-laki itu berada di pinggir trotoar, terlihat bersiap menyebrang jalan. Begitu lampu hijau menyala, kakinya melangkah menyusuri trotoar dengan tidak karuan.
"AWAS!"
Terlambat. Sebuah truk oleng baru saja menabrak pria itu. Menyeretnya hingga truk itu kembali menabrak tiang listrik, membuat tubuhnya bagai daging sandwich. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi TKP, berusaha menolong ataupun hanya sekedar mengabadikan momen tak terduga ini dan menyebarkannya ke media sosial.
"Bagaimana kau—"
"Karena kakak hitam. Semua menjadi hitam. Tapi hitam kakak yang paling pekat."
Pria itu menarik tangan gadis kurus itu. "Kau ikut aku!" Ia merasakan firasat buruk jika meninggalkan gadis itu sendirian. Mereka menjauhi TKP dan berjalan cepat ke arah sebuah apartemen. Meski petugas keamanan merasa aneh dengan pria berpakaian kemeja bagus membawa seorang gadis lusuh dengan pakaian seperti gelandangan, ia tidak bisa apa-apa. Terlebih pria itu adalah pemilik apartemen ini.
Berkat lift, mereka berhasil tiba cepat di lantai 66. Pria itu membuka pintu kamarnya dengan kartu dan membawa gadis itu masuk.
"Jadi, siapa kau? Kenapa kau tahu diriku yang sebenarnya?" tanya pria itu tak lagi berusaha mengelak.
"Jadi kakak benar iblis?"
"Bukan." Hanya dalam waktu beberapa menit sejak pertemuannya, ia merasa gadis ini tidaklah bodoh. Ia akan tahu maksudnya. Gadis berambut hitam kusut itu mengangguk dan terus menatapnya. Seolah ia adalah objek wisata yang menarik baginya.
"Kenapa kakak disini?"
"Aku ... sedang cuti."
"Cuti? Malaikat bisa cuti?"
"Kau pikir kita kerja 24 jam tanpa henti?"
Meski disodorkan tatapan tajam, gadis itu justru terkikik. "Berapa lama kakak cuti?"
"Entahlah."
"Sudah berapa lama kakak cuti?"
"Sekitar 10.000 tahun."
"Woahh!" manik hijau gadis itu berbinar.
"Lupakan itu! Kenapa kau tahu diriku yang sebenarnya?" tanya pria itu mengalihkan topik.
"Karena kakak hitam," ucap gadis itu dengan jawaban yang sama.
"Apa maksudmu?"
"Semua orang yang akan mati berwarna hitam. Tapi tidak pekat. Kakak berwarna hitam pekat. Aku hampir tidak bisa melihat wajah kakak."
"Lalu pria itu? Dia juga hitam makanya kau tahu dia akan mati? Lalu apa hubungannya denganku?" tanya pria itu dengan nada seolah sedang mengetesnya.
"Awalnya tidak hitam. Tapi perlahan hitam kakak masuk ke dirinya. Dia jadi hitam juga."
Mata hitam pria itu berbinar. Seolah baru saja mendapatkan obat untuk penyakit paling langka di seluruh dunia. "Siapa namamu?"
Gadis itu menggeleng dan menunduk. "Tidak tahu," gumamnya lemah.
Pria itu menggaruk belakang kepalanya. "Oke, jadi apa lelaki itu langsung berubah hitam atau itu bisa dicegah?" tanyanya mengalihkan topik.
"Bisa hilang. Ada yang berubah hitam tapi tidak jadi hitam."
Pria itu menemukan ide brilian. Ia memegang kedua bahu kecil itu dan tersenyum. "Oke, mulai hari ini kamu adalah alat pendeteksiku. Kau akan melihat warna setiap orang disekitarku dan memberitahuku jika ada yang berubah hitam. Jadi aku bisa menjauh. Apa kau mengerti?"
"Aku ... alat pendeteksi?"
"Iya. Nah, sekarang kita perlu nama untukmu agar mudah dipanggil"
Gadis itu menunjuk dirinya sendiri. "Namaku? Alat pendeteksi?"
"Bukan. Itu hanya istilah," ujar pria itu frustasi. Ia mulai bingung apakah gadis ini pintar atau sebenarnya bodoh. "Aku akan memberimu nama. Namamu ...Nimeni. Bagaimana?" Ia tidak bisa memikirkan nama lain untuknya. Bagi pria ini gadis itu bukanlah siapapun. Ia tidak punya nama, keluarga, ataupun tujuan. Sesuai dengan nama yang ia berikan.
Manik hijau gadis itu berbinar. "Namaku ... Nimeni?" pria itu mengangguk. Heran kenapa gadis itu bisa segembira itu ketika diberi nama yang sebenarnya mengejeknya. Tapi sepertinya anak itu bahkan tidak tahu arti namanya sendiri.
"Mulai sekarang kau akan tinggal disini, Nimeni."
"Baik, Tuan Malaikat Maut."
"Jangan ucapkan itu! Panggil aku Moat!"
"Baik, Tuan Moat!" ucapnya sembari menari-nari gembira. Menampilkan gigi bolongnya saat tersenyum. Sementara pria itu duduk di sofa dan memijat dahinya. Mencoba memastikan bahwa keputusannya tidaklah salah. Ia akan menjadikan gadis itu alat pendeteksinya, mencegahnya untuk tidak sengaja membunuh orang secara random dan menarik perhatian Main World yang sejak tadi memaksanya untuk kembali. Kali ini, ia akan bisa hidup sebagai manusia biasa tanpa bayang-bayang kekuatan menyebalkan bawaan dirinya sebagai malaikat maut.
Pria itu sekali lagi menatap gadis kecil yang sedang menatap pemandangan di luar jendela dengan antusias. Senyum kecil terbentuk di sana. "Semua akan baik-baik saja," gumamnya.
"Tuan!" Panggil gadis yang kini berusia 17 tahun itu sembari melambaikan tangannya. Rambut hitam bergelombangnya ikut melambai terkena angin. Manik hijaunya bersinar seperti emerald. Ia kini mengenakan cardigan coklat lengan panjang yang menutupi blouse putih dengna motif bunga kuning serta rok panjang berwarna coklat gelap.
Sementara pria yang dilambai hanya tersenyum sembari berjalan ke arahnya. Meski sudah mengenakan pakaian casual yang tidak mencolok, Tapi ia masih bisa mendengar bisikan dari orang-orang disekitarnya.
"Wah! Ganteng banget!"
"Kalo suka, coba kenalan?"
"Gak ah, udah ada yang punya. Mana cantik lagi."
"Iya, seperti boneka. Apa mata hijaunya asli?"
"Paling contact lens."
"Tapi dia memang imut. Liat aja cowo-cowo lain juga terpesona."
"Mereka memang pasangan yang cocok."
"Mana mungkin aku berkencan dengan bocah yang usiannya ratusan ribu tahun lebih muda dariku," pikir pria itu dalam hati.
Tiba-tiba gadis itu berlari ke arahnya. Ia menarik lengan pria itu dengan tatapan datar. Tahu apa yang ia maksud, pria itu mengikuti kemana gadis itu. Mereka berjalan cepat meninggalkan taman setelah mengambil tas piknik mereka. Langkah mereka akhirnya terhenti saat tiba di pinggir hutan kota yang bersebelahan dengan taman. Tidak ada siapapun disini karena pemerintah mencegah warga masuk ke hutan.
"Apa sudah aman?" Nimeni mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
"Kenapa kau tidak berbalik? Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," jawab gadis itu datar.
"Kalau begitu berbaliklah," Moat menarik tangan gadis itu, memaksanya untuk menghadap ke arahnya. Ia akhirnya dapat melihat wajah gadis itu yang tampak lebih baik dari saat mereka bertemu 10 tahun lalu. Wajahnya yang mungil kini putih bersih dan terlihat terawat. Hidungnya yang mancung dan alis matanya yang lentik tampak sesuai dengan dirinya. Tidak ada lagi luka di bibir berwarna soft pink itu. Meski telah membalikkan badannya, tapi manik gadis itu enggan menatapnya.
Oh, apakah dia sadar?
"Pasti warnaku mengerikan, ya?" ujarnya setengah bercanda.
Tanpa diduga-duga, gadis itu justru menatap ke arahnya dengan tatapan tidak suka. "Bukan itu, Tuan! Tuan tidak mengerikan!" bantahnya.Pria tidak tahu apakah gadis itu berkata sebenarnya atau hanya sekedar berpikir kalau dirinya tampak menyedihkan yang jujur membuatnya sedikit tersinggung.
Maksudku, Hey! Dia adalah malaikat kematian. Ia sudah sering dikaitkan dengan hal-hal mengerikan selama jutaan milenial. Dianggap mengerikan oleh gadis 16 tahun yang baru puber bukanlah masalah kecil baginya. Lagipula, gadis itu ada untuk mencegahnya tidak sengaja membunuh orang secara random. Tidak kurang tidak lebih.
Tapi gadis itu sepertinya menganggap Moat tidak berubah pikiran. Nimeni mendekatkan wajahnya ke arah Moat. Membuat pria itu terkejut dengan tindakan mendadaknya. "Tuan tidak mengerikan! Tuan adalah orang yang sangat baik!"
Telinga pria itu memerah. Kini manik hitamnya yang menoleh ke arah lain. "Iya, iya. Aku paham! Sekarang menjauhlah. Kau ... bau!" ucapnya asal sembari mendorong Nimeni menjauh.
Gadis itu mendekatkan salah satu lengan ke hidungnya sendiri, mencoba mencium aroma tubuhnya. Ia terdiam sesaat sebelum akhirnya tertawa. Membuat telinga Moat semakin memerah.
"Tuan tidaklah mengerikan. Saya suka warna tuan," ujar Nimeni sembari tersenyum lebar.
Kini, karena acara piknik di taman gagal, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam hutan kota. Ini bukan pertama kalinya kedua orang ini melanggar peraturan. Pasalnya, jika mereka ketahuan, Moat bisa menggunakan kemampuannya sebagai malaikat maut untuk menghilang atau berteleportasi dengan Nimeni. Awalnya lelaki itu menolak menggunakan kekuatannya. Tetapi, gadis yang ia pungut mulai sering membuat masalah, membuatnya beberapa kali terpaksa menteleportasi mereka dari tempat kejadian. Biasanya setelah ini, ia akan memarahinya. Tapi gadis itu akan membalasnya dengan berkata, "Menjadi manusia adalah dengan melakukan kesalahan sebanyak mungkin dan menikmati hidup." Dan begitulah Moat beberapa kali menjadi komplotannya untuk melakukan pelanggaran kecil, salah satunya ini.
Kini Nimeni telah menggelar selimut piknik dan mengeluarkan isi tas kotak berbahan rotan. Dua kotak sandwich, dua kotak bento, sebotol termos berisi kopi dan botol berisi jus jeruk berjejer di atas selimut berwarna biru itu. Tak lupa ia mengeluarkan sekotak kentang goreng dan sepotong kue tiramisu yang menjadi kesukaan Moat dan sepotong Strawberry Shortcake yang menjadi kesukaan Nimeni. Sementara Moat, hanya duduk mengamati kerja gadis itu yang cekatan. Gadis itu tidak hanya menjadi alat pendeteksinya, tapi juga merangkap menjadi koki, tukang bersih-bersih, hingga tukang cucinya.
Kedua orang itu makan dengan lahap. Kebanyakan topik yang dibahas gadis itu adalah buku-buku yang ia baca. Meskipun tidak pernah pergi ke sekolah, ia selalu dapat belajar lewat buku-buku yang dimiliki Moat. Beberapa kali Nimeni juga menceritakan kota baru ini. Sejak Moat merawat gadis ini, ia harus sering berpindah-pindah. Bukan karena gadis itu terlalu sering membuat masalah (ia bisa mengurungnya di dalam kamar seharian jika ia membuat masalah besar dan dia tidak akan menangis), tapi karena Nimeni adalah manusia biasa. Moat bisa saja menyamar jadi orang lain agar tidak ketahuan bahwa dia tidak pernah menua. Tapi gadis ini terus tumbuh. Orang-orang mungkin saja akan curiga jika ia terlihat bersama orang yang berbeda-beda atau dia bersama orang yang tidak pernah menua. Membuat mereka perlu berpindah kota beberapa tahun sekali. Pria itu tidak begitu mempermasalahkannya. Asalkan dia bisa hidup menjadi manusia dengan tenang.
Kini sudah sepuluh tahun gadis itu berada di sekitarnya. Moat berpikir ia tidak dapat bertahan selama dua tahun. Pria itu berpikir, gadis itu akan berakhir sama dengan yang lain. Mati dengan berbagai cara yang mungkin karena berada di sekitarnya. Naluri malaikat kematian yang akan selalu terlibat dengan urusan hidup mati. Tapi gadis itu justru tampak semakin baik dari hari ke hari. Tidak ada lagi luka-luka, tubuhnya yang kurus kering lebih berisi, dan cara dia berbicara juga lebih baik dari pertama mereka bertemu. Bahkan dia bisa tumbuh menjadi gadis remaja yang menurut Moat untuk ukuran manusia ia cantik. Membuat pria itu selalu penasaran.
"Hey, Nimeni." Gadis itu menghentikan celotehannya dan menatap Moat. "Apa kau tidak merasa aneh?"
"Aneh?"
"Kau tahu, apa kau bisa melihat warnamu sendiri?"
Gadis itu menggeleng. "Kau yakin?" Gadis itu mengangguk. "Apa kau pernah meihat mereka akhir-akhir ini?" tanya Moat beruntun.
Gadis itu terdiam sejenak, seolah sedang mengingat sesuatu. Kemudian ia menggeleng. "Sudah tidak sejak kita pindah ke sini."
Dalam hati, Moat merasa lega. Ia memandang ke arah liontin batu hitam yang menggantung di leher Nimeni. "Jangan lupa pakai itu terus." Gadis itu mengangguk.
Tapi Moat tidak tahu, seberapa keras ia mencoba mencegah, menghindar, takdir akan dengan kejam mencengkram. Apalagi takdir dari seorang manusia biasa. Bahkan malaikat maut pun tak bisa berkutik di hadapannya.
"Sudah siap?" Gadis itu mengangguk. Ia telah siap dengan tas piknik di tangannya yang berisi selimut serta alat piknik lainnya. Ia menggenggam tangan besar Moat. Pria itu bisa merasakan kehangatan dari tangan mungil itu.
Menyingkirkan perasaan aneh itu, mulut Moat mulai berkomat-kamit, membacakan matra untuk melakukan teleportasi. Sebuah kabut hitam muncul dari bawah tanah, mengelilingi mereka berdua. Semakin lama kabut itu semakin padat. Jika hanya sendiri, Moat bisa berteleportasi secara instan. Tapi tidak jika ia bersama seseorang, terlebih dia adalah manusia. Tapi, mereka berdua sudah terbiasa dengan hal ini.
"Tuan Moat." Pria itu menoleh ke arah Nimeni. Gadis itu tidak lagi tersenyum, ia seolah ingin mengatakan sesuatu tapi terhalang oleh suatu perasaan. Moat tidak mengerti perasaan apa itu. Tapi entah kenapa melihat raut wajah Nimeni seperti itu membuatnya tidak tenang.
"Tuan ... sebenarnya ..." Moat terus berkomat-kamit dengan suara pelan sembari mendengarkan gadis itu. Kabut hitam kini telah mengelilingi seluruh tubuh mereka hingga kepala. Membuat mereka tak lagi terlihat dimata manusia biasa.
"Aku ..." Moat tidak bisa menengar apa yang dikatakan Nimeni. Ia hanya bisa melihat gerak mulutnya. Namun, belum sempat ia menerjemahkan gerak bibirnya, kabut hitam telah menutupi penglihatan mereka berdua.
Sedetik kemudian Moat sudah mendapati dirinya berada di kamar apartemen. Ia mengamati sekeliling. Manik hitamnya membelalak saat menyadari tidak ada lagi kehangatan di tangannya. Gadis itu tak ada di sampingnya atau dimanapun. Membuat pria itu sendirian.
"Nimeni? Nimeni! Kau dimana?"
Dengan panik Moat meneriakkan nama Nimeni, berharap gadis itu berada di dalam apartemennya, sedang bermain petak umpet seperti yang gadis itu lakukan satu dekade lalu. Tapi tidak ada respon apapun. Pria itu kembali berteleportasi ke hutan tempat mereka piknik. Tapi yang ia temukan hanyalah pohon dimana-mana serta tas piknik yang tergeletak di atas tanah. Moat mengambil tas rotan itu dan terus berteriak mencari gadis itu. Tapi yang ada hanyalah suara-suara hutan.
BRAKK!
"KYAAA!"
Sebuah suara teriakan terdengar tak jauh dari hutan. Moat dengan cepat berteleportasi ke pinggir hutan. Pria itu kemudian berlari ke arah sumber suara, menghindari kecurigaan manusia jika ia menggunakan kekuatannya di depan banyak orang. Sebuah asap membumbung tinggi, menghancurkan lukisan langit biru dengan awan putih.
Begitu Moat tiba, sudah ada kerumunan orang yang mengelilingi sumber dari asap tersebut. Dua tiang listrik bengkok, membuat kabel listrik menjadi lebih kendor, seakan bisa jatuh kapan saja. Moat merengsek masuk ke dalam kerumunan, tidak sabaran untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dalam hati ia berharap dugaan buruknya tidak terjadi.
Pria itu menghela napas saat mendapati tiga mobil yang tabrakan hingga dua diantaranya menabrak tiang listrik. Sementara satu lagi terbalik di tengah jalan. Ketiganya dalam kondisi yang mengenaskan. Ketiga pengemudi pria tampak berdarah-darah, terutama pada bagian kepala. Sebagai malaikat kematian, Moat tahu bahwa mereka tidak dapat diselamatkan. Ia bisa melihat tubuh semi transparan melayang keluar dari tubuh fana mereka. Mata mereka kosong, belum sadar apa yang telah terjadi pada mereka. Pria itu berjalan cepat menjauhi kerumunan. Ia tahu setelah ini pada malaikat maut lain akan datang untuk mengambil jiwa-jiwa malang itu sebelum mereka sadar apa yang telah terjadi. Sekali mereka sadar, tidak ada jalan kembali. Mereka akan menjadi jiwa penasaran yang menuntut penyelesaian atas masalah yang tidak sempat terselesaikan. Begitulah manusia. Tidak pernah puas.
Sembari berjalan, Moat berpikir keras. Jika Nimeni tidak ada di sana, dimana gadis itu? Ketika ia sedang merenung, sosok berjubah hitam berdiri di pinggir taman, tak jauh dari Moat. Ia mengenali sosok itu dan berjalan mendekat dengan wajah keras.
"Apa maumu?" tanya Moat dingin.
Sosok itu membuka tudung beserta tali yang melingkar di lehernya. Di balik jubah yang tampak tua, sosok itu mengenakan jas hitam yang membungkus kemeja putih. Celana panjang dan sepatu kulit berwarna hitam membuat lelaki itu tampak seperti orang kantoran jika saja jubah itu tidak ada. Ia memiliki rambut dan mata hitam seperti Moat, hanya saja ia memiliki wajah asia dengan kulit sawo matang.
"Mereka mulai bergerak." Wajah Moat menjadi lebih keras. Manik hitamnya menatap tajam pria di depannya, menuntut penjelasan lebih.
"Mereka tidak bisa lagi mentolelir sikapmu yang kabur dari tanggung jawab. Jadi mereka mengambil gadis itu dan---"
Sedetik kemudian tangan Moat mencengram kerah baju sosok di depannya. Tubuhnya sekarang diselimuti asap hitam tertahan. Asap itu seakan bisa meledak kapan saja. Namun, lelaki berkulit sawo matang itu tidak bergeming. Ia menatap Moat tak lebih seperti remaja puber yang sedang bad mood.
"Dimana dia?"
"Kau pikir aku tahu dimana dia?"
Cengkramannya menguat. Asap hitam kian pekat, mengelilingi pria itu seolah akan mencekeknya. "Jangan sampai aku bertanya lagi!"
Pria itu menghela napas. Ia tidak datang ke sini untuk bertarung. Hanya akan membuat kekacauan di dunia manusia, membuatnya terkena masalah. Tidak menguntungkan. Di sisi lain, meskipun malaikat maut di depannya sudah 10.000 tahun mangkir dari tanggung jawab, hal itu tidak menumpulkan kekuatan dan kemampuannya. Ia sendiri tidak yakin menang dari sosok yang sudah melakukan pekerjaan ini selama ratusan tahun lebih lama dari dirinya.
"Aku sungguh tidak tahu. Tapi, mereka mungkin saja membawanya ke Gedung Dewan, mengadilinya untuk mencari alasan untuk menghukumnya."
Moat melepaskan cengkramannya. Ia berbalik dan melangkah menjauhi pria itu. Bersiap melakukan teleportasi ke Gedung Dewan.
"Hey! Kau tahu itu hanya jebakan, kan? Pada akhirnya yang mereka inginkan adalah mengadilimu. Manusia itu hanyalah umpan." Moat tidak juga bergeming.
"Kenapa kau bersikeras untuk ke sana? Masih banyak orang yang 'bisa melihat' lainnya. Kau bisa manfaatkan mereka untuk menghindar dari mereka dan mencegah kematian random itu." Asap hitam semakin pekat, menutupi dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Sebenarnya siapa manusia itu bagimu?" Begitu tubuh Moat tertutup sepenuhnya, sedetik kemudian asap itu lenyap bersama dengan Moat. Meninggalkan pria berjubah hitam itu sendiri. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran seniornya itu. Pria itu hanya mengumpat sebelum akhirnya ikut menghilang dalam baluran asap hitam.
Ruang Dewan tidak begitu berbeda dengan gedung pemerintahan di bumi. Kaum malaikat mengubah bentuk bangunan menyerupai peradaban saat ini. Kini yang Moat lihat tidak lebih dari gedung kantor bertingkat dengan dinding kaca. Jika bisa, Moat ingin langsung teleportasi ke ruang sidang dan menghajar anggota dewan. Tapi, mereka telah menyegel kekuatannya disini. Moat berdecak kesal dan berjalan memasuki gedung.
Puluhan pasang mata yang mengenalinya berbisik-bisik, mempertanyakan apa yang dilakukan malaikat tidak tahu diri itu disini. Tapi tidak ada yang berani berbicara secara langsung, mengingat rumor kekuatannya yang beredar bak legenda. Moat tidak peduli, ia memasuki lift dan menekan tombol 66.
Meskipun merupakan lift kilat, tapi pria itu tetap merasa lift ini begitu lambat. Satu detik bagaikan puluhan jam baginya. Begitu pintu lift terbuka, Puluhan dewan malaikat maut telah duduk di kursinya masing-masing. Moat juga dapat melihat beberapa malaikat dari divisi lain yang datang sebagai perwakilan. Moat memandang sekitar. Ia tidak menemukan Nimeni dimanapun.
"Sidang dewan atas kasus Moat akan segera dimulai," ucap pria yang duduk di kursi hakim. Tampak menonjol dengan sayap dan jubah hitamnya yang tampak megah dan menakutkan. Ia duduk di kursi paling besar dan mewah, meningkatkan nilai karismanya beberapa poin.
"Dimana dia?"
"Siapakah yang kau cari wahai pengkhianat?" Moat tahu pria itu tahu siapa yang ia maksud. Membuatnya berdecak kesal. Jika bukan karena kekuatannya yang disegel sementara dan Nimeni yang disandra, Ia sudah menghancurkan gedung tiruan ini.
"Dimana Nimeni?"
"Apakah yang kau maksud adalah manusia ini?" Sebuah asap muncul di tengah seluruh hadirin yang duduk di kursi melingkar mengelilingi tengah ruangan. Menampilkan sosok gadis yang tengah tak sadarkan diri.
"Nimeni!" Moat berlari ke arah gadis itu. Tapi dua orang malaikat dengan cepat menahan kedua tangannya. Pria itu mengeluarkan sayap hitamnya, hendak menerobos ke tengah ruangan. Tapi dua malaikat lain datang menghentikannya. Fakta bahwa diperlukan empat malaikat untuk menghentikan seorang malaikat maut menunjukkan seberapa besar kekuatan Moat.
Teriakan pria itu membuat kesadaran Nimeni kembali. Ia menatap sekeliling. Manik hijaunya membelalak saat melihat Moat yang pergerakannya dihadang oleh empat pria bersayap.
"Tuan Moat?!" Nimeni berusaha bangkit dan berlari ke arah Moat, tetapi sebuah rantai emas tiba-tiba muncul di kedua pergelangan kaki langsingnya. Membuatnya terjatuh seketika, tak mampu berdiri.
"Terima kasih atas kerja samanya, Nimeni."
"Ni ... Nimeni?" Kini kedua mata Moat yang membelalak. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Tidak! Itu tidak seperti ..."
"Ada apa wahai manusia? Bukankah kau sendiri yang menyerahkan diri untuk menjadi umpan demi menarik Moat kesini?" tanya salah satu malaikat yang duduk di samping hakim dengan senyum licik.
"Kau bilang Tuan Moat tidak akan dikejar lagi jika aku menyerahkan diri!" Moat seketika mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Tapi fakta bahwa kau mengikuti perintah kami menunjukkan penghianatanmu. Tuan dan budak sama saja. Sama-sama penghianat."
Palu diketuk. Suaranya menggelegar di penjuru ruangan. Seluruh mulut menjadi bisu. "Tenang! Mari kita mulai sidangnya," ujar sang hakim dan sebuah perkamen muncul dan melayang di udara. "Malaikat Maut Moat. Kau telah melakukan pengkhianatan dengan mengambil cuti dari tanggung jawab sebagai malaikat maut dan tidak pernah kembali selama selama 10.000 tahun. Normalnya kamu akan dihukum mati dengan pemotongan sayap dan dibakar hidup-hidup. Namun karena kekuatanmu yang besar dan sangat bermanfaat bagi seluruh divisi, Kau akan dihukum bekerja selama 100.000 tahun tanpa libur.
"Tidak!" teriak Nimeni. "Jangan ambil kebebasan Tuan! Pekerjakanlah aku saja. Biarkan Tuan bebas!"
"Tidak bisa. Tidak ada satu manusia hiduppun yang bisa menanggung pekerjaan seorang malaikat. Sebagai manusia, kau telah mengetahui rahasia yang tak boleh disentuh. Terlebih lagi kau sudah mencurangi kematian. Kau akan dihukum dengan kutukan asap hitam. Memorimu mengenai malaikat akan dihapus dan sepanjang hidup, kau akan terus melihat orang di sekitarmu mati. Menjadi sabit kematian bagi orang-orang di dekatmu. Mengalami kesepian hingga mati dalam kesendirian."
"Tidak!" Kini Moat yang berteriak. Ia tidak sanggup membayangkan Nimeni harus hidup melihat banyak orang mati di depan matanya. Sama seperti yang ia alami karena kekuatan malaikat maut ini. "Kalian boleh hukum aku apapun, asalkan jangan berikan kutukan itu padanya!"
"Kumohon! Jangan kau renggut kebebasan Tuan Moat." Kedua orang itu berteriak, tidak memohon keringanan untuk hukumannya sendiri. Tapi berjuang memohon penebusan satu sama lain. Membuat banyak malaikat berbisik. Heran dengan pemandangan asing itu.
Di tengah-tengah kericuhan itu, sebuah tangan keriput terangkat. "Bolehkah saya berbicara, Tuan Hakim dan hadirin sekalian?" Sang malaikat yang berperan sebagai hakim mengangguk dan memukulkan palunya. Sedetik kemudian seluruh ruangan sunyi senyap.
Seorang pria pendek tua berdiri. Sayap hitamnya tampak lusuh dengan corak abu-abu. Kacamata bulat menggantung di hidungnya. Ia berjalan ke tengah ruangan, membuatnya menjadi pusat perhatian.
Pria tua itu berjongkok dan menatap Nimeni. "Manusia muda, kau tidak ingin Tuanmu menjadi malaikat lagi karena dia menjadi tidak bebas. Apakah aku benar?" Nimeni mengangguk.
Pandangannya menoleh ke arah Moat. "Dan kau tidak ingin manusia ini mengalami hal yang telah kau alami selama 10.000 tahun pelarianmu. Bahkan jika itu berarti harus menjalani hidup lebih buruk dari masa pelarianmu. Apakah aku benar?" Moat mengagguk dengan tatapan tajam.
"Dan Tuan Hakim. Alasan anda memberikan hukuman kerja pada Moat karena kemampuannya sebagai malaikat yang tidak bisa disia-siakan. Apakah aku benar?" Sang Hakim juga mengangguk.
"Bagaimana jika kita menjadikan manusia ini sebagai malaikat maut?"
"Apa yang kau bicarakan? Manusia tidak bisa menjadi malaikat!"
"Jika itu manusia biasa. Pernahkah kalian berpikir, kenapa manusia ini yang telah hidup 10 tahun di dekat Moat masih hidup hingga saat ini ketika setiap manusia lain yang berada di dekat Moat mati?" Seluruh hadirin terdiam dan berpikir. Beberapa membelalak mata begitu sadar maksud Pak Tua itu.
Pria berwajah keriput itu tersenyum. "Benar. Hanya malaikat yang tidak akan mati jika berada di dekat malaikat maut. Jadi hanya ada satu kemungkinan. Gadis ini memiliki darah malaikat."
"ASTAGA!"
"MUSTAHIL!"
"BAGAIMANA BISA?"
TOK TOK TOK!
"Semua harap tenang!" Ketukan palu hakim kembali mendiamkan seluruh hadirin. "Apakah kau ada bukti? Ataukah kau tahu siapa malaikat yang bertanggung jawab atas eksistensi manusia ini?"
"Saya tidak tahu siapa malaikat yang bertanggung jawab. Kalian bisa menyelidinya sendiri. Aku tidak begitu tertarik pada hal itu. Untuk bukti kebenaran kata-kata ini, aku bisa membuktikannya sekarang jika Tuan Hakim mengizinkan."
"Apa maksudmu."
"Jika benar manusia ini memiliki darah malaikat. Kita bisa mengaktifkan kekuatan malaikat dalam dirinya. Membuat gen malaikat menjadi dominan. Menghapus setiap jejak manusia dalam dirinya. Mengubahnya menjadi malaikat sesungguhnya. Kalian akan mendapatkan malaikat maut baru. Dan jika itu belum cukup, kita bisa memindahkan kekuatan Moat kepada Nimeni. Menjadikannya malaikat maut terkuat. Dan memastikannya tidak akan berkhianat. Itu lebih mudah daripada memastikan Moat tidak membuat masalah lagi, bukan?"
"Kau bisa memindahkan kekuatan malaikat?" tanya seorang malaikat yang duduk di barisan tengah. Pria tua itu mengangguk. "Saya adalah seorang malaikat peneliti. Saya telah mengamati manusia ini sejak kelahirannya. Keunikannya membangkitkan rasa ingin tahu saya. Ini layak untuk dicoba, bukan? Anggap saja ini eksperimen. Jika ini berhasil, kita kaum malaikat dapat lebih berkembang."
"APA YANG KAU BICARAKAN PAK TUA?" bentak Moat tidak terima dengan segala omong kosong itu. "Menjadikan Nimeni malaikat? Aku tidak akan membiarkan itu! Jangan kau coba-coba---"
"Apakah jika aku menjadi malaikat, Tuan Moat dapat bebas?"
"Benar. Apa kau bersedia, wahai manusia?"
"Tidak, Nimeni. Jangan—"
"Aku bersedia. Jika itu artinya Tuan Moat dapat bebas."
"NIMENI!" Moat berteriak tidak terima atas keputusan gadis itu.
"Tapi, apa boleh aku meminta satu permintaan?"
"Bisa-bisanya ..."
"Dasar manusia tidak tahu diri!"
"Apa itu?" tanya malaikat yang menjadi hakim itu.
"Aku tidak akan berkhianat jika menjadi malaikat maut dan menggantikan Tuan Moat. Tapi, bisakah Tuan Moat menjadi manusia yang ... tidak mengalami hal seperti ia jalani selama ini?" tanya Nimeni.
Pria tua itu tersenyum. "Moat mengalami seperti itu karena dia adalah malaikat maut yang kabur dan memilih menjalani hidup di dunia manusia. Jika kau setuju dengan hukuman ini. Hidup kalian akan tertukar. Apa kau yakin?" Nimeni mengangguk.
"Baik. Bagaimana hadirin sekalian? Apakah saran ini dapat diterima?" Mayoritas malaikat yang hadir setuju. Kebanyakan karena penasaran dengan penelitian malaikat tua itu. Sisanya tidak ingin melihat Moat lagi di dunia mereka, sehingga membuangnya ke dunia manusia akan sama dengan menghukumnya mati.
"Nimeni! Apa kau tau apa yang kau ucapkan tadi, hah?"
Nimeni tersenyum. "Ini agar Tuan Moat bisa bebas."
"Baik, usulan di terima." Hakim mengetuk palu tiga kali. "Tapi, baik malaikat maut Moat dan manusia Nimeni, ingatan kalian tentang satu sama lain akan dihapuskan demi menghindari potensi pengkhianatan lagi. Nimeni akan menjadi malaikat maut, menjalankan seluruh pekerjaan Moat sepanjang eksistensi. Sementara Moat, kau akan menjadi manusia biasa. Melihat apa yang Nimeni lihat. Persidangan usai!" Palu diketuk sekali.
Sang pria tua mengembangkan sayapnya. Ia melayang rendah sembari menggambar sesuatu di lantai ruangan hanya dengan telunjuknya. Dua ukiran lingkaran aneh muncul. Salah satunya berada tepat di tempat Nimeni duduk. Sementara keempat malaikat menyeret Moat ke arah lingkaran lainnya.
"Nimeni, ..." Ingin sekali ia memarahi gadis bodoh itu. Tapi kata-katanya tercekang. Memarahipun percuma. Nasi telah menjadi bubur. Putusan telah ditetapkan. Banyak hal lain yang ingin dia katakan. Tapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Dadanya sakit. Ia tidak tahu perasaan apa ini. Apakah ini efek perubahannya menjadi manusia?
"Tuan Moat. Maafkan saya." Nimeni menunduk. Meski telah tersenyum, air matanya entah bagaimana bisa lolos. "Saya ingin Tuan bahagia. Tuan telah berbuat banyak untuk saya sejak kecil. Ini adalah satu-satunya cara saya untuk membalas budi."
Malaikat tua itu berkomat-kamit. Puluhan malaikat lain menyaksikan eksperimen akbar ini.
"Tapi kau telah menjadi pendeteksiku. Itulah perjanjian kita. Tidak perlu balas budi," ujar Moat datar.
Sebuah cahaya muncul dari kedua ukiran. Menyinari mereka berdua. "Tapi Tuan telah melakukan begitu banyak. Aku sangat bahagia hidup bersama Tuan."
"Moat." Pria itu berusaha bersikap sedater mungkin. "Kali ini panggil nama saja."
Nimeni tertawa kecil melihat wajah kikuk Moat. "Terima kasih banyak Moat atas segalanya."
Cahaya kian terang. Menyelimuti mereka berdua. Sebuah sayap putih perlahan muncul dari punggung Nimeni, sementara sayap hitam Moat perlahan rontok. "Moat ..." Nimeni menatap manik hitam itu dalam. Meski tahu ia akan melupakan tatapan lelaki itu, tapi gadis itu ingin bisa melihatnya untuk terakhir kali. Moat yang merasakan hal yang sama menatap manik emerald gadis itu.
"Aku ..." Sinar putih mengaburkan pandangan mereka. Begitu mereka membuka mata, tak ada lagi kenangan mereka berdua yang membekas.
Kini Moat menjadi manusia biasa. Dengan identitas baru yang entah bagaimana telah melekat pada dirinya, ia berjalan menaiki bus dengan tas ransel di punggungnya. Menjalani hidupnya sebagai mahasiswa biasa. Di dalam bis, ia bisa melihat seluruh orang dengan warna berbeda-beda. Tapi entah sejak kapan ia menyadari kemampuannya, Moat hanya bisa diam. Karena apapun yang ia lakukan warna orang-orang ini akan berubah.
PRANG!
"Awas!"
"Apa yang terjadi?"
"Ada bus menabrak tiang listrik!"
"Bagaimana kondisinya?"
"Beberapa tewas. Puluhan luka parah. Hanya sedikit yang luka ringan."
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
Orang-orang berbondong-bondong mendatangi TKP. Entah untuk membantu atau menonton kecelakaan dengan ponsel di tangan. Moat yang hanya mengalami luka kecil duduk di pinggir trotoar. Ia memegang kepalanya yang baru saja terbentur aspal. Pria itu sama sekali tidak syok ataupun ketakutan. Karena ia telah tahu lewat kemampuannya. Hampir semua orang yang ia temui, entah apapun warna yang dipancarkan, pada akhirnya akan berubah ke warna yang sama. Hitam.
Ia tidak menyadari bahwa sosok malaikat bersayap hitam terbang tak jauh darinya. Ia mengangkat tangannya dan berkomat-kamit. Mengambil setiap jiwa dari tubuh orang-orang yang tewas. Sabit raksasa menggantung di punggungnya. Sangat tidak cocok dengan tubuh mungil dan rambut hitam panjangnya. Gadis itu menatap setiap jiwa yang ia ambil dengan tatapan kosong. Sebelum manik hijaunya tertuju pada pria berambut hitam di pinggir trotoar. Meskipun telah melihatnya beberapa kali, entah kenapa ia merasakan sakit pada dadanya.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Membuang pikiran aneh itu. Setelah ia menyelesaikan tugasnya, ia terbang meninggalkan TKP, berangkat menuju tempat lain untuk diambil jiwanya.
"Kenapa kau tidak mengatakan bahwa Moat akan tetap terikat dengan kutukan asap hitam?" tanya malaikat tua kepada malaikat muda berwibawa dengan sayap putih megah.
"Mereka pada akhirnya akan lupa. Lagipula ini adalah hukuman yang pantas."
Pria itu menatap Moat yang sedang termenung. Ia tidah tahu bahwa sedari tadi Moat dapat melihat gadis bersayap hitam terbang di atas bus yang hancur. Warna gadis itu yang hitam pekat di matanya membuatnya tidak bisa melihat wajah malaikat itu. Namun, pikirannya tak bisa berhenti membayangkan sosok itu. Air mata mengalir setiap ia melihatnya. Ia merasa melupakan sesuatu. Merasakan penyesalan akan sesuatu. Tapi ia tidak ingat apa itu. Ia hanya bisa menangis dalam diam. Menyembunyikan wajah memalukkannya dengan kedua tangan dan lutut. Sebelum akhirnya matanya yang lelah mulai terlelap. Sebelum tenggelam dalam mimpi, ia dapat mendengar suara seseorang yang tidak ia kenal mengucapkan sesuatu. Begitu indah sekaligus menyakitkan. Bagai racun yang akan terus menggerogotinya seumur hidup.
"Aku mencintaimu. Terima kasih banyak atas semuanya."
"Pada akhirnya, mereka akan terjebak dalam rasa sakit yang tidak mereka ingat," ujarnya sebelum terbang menjauh.
Malaikat tua itu hanya menghela napas. "Kau memang hakim yang kejam." Ia pun ikut terbang menjauh. Meninggalkan Moat yang kini menjadi manusia indigo dengan kutukan seumur hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top