Jibril Bukan Pembunuh oleh Aesyzen-x
Premis: Premis: seorang psikopat sejak lahir ingin berkuliah jurusan Psikologi agar dapat belajar tentang manusia untuk menyiksa mereka dengan cara yang lebih kejam dan menyenangkan, tetapi lingkungan kuliahnya justru memberikan cinta dan kasih sayang yang perlahan menggoyahkan tekadnya.
Pemilik ide: syesey
***
Sebenarnya, nama asliku bukan Jibril. Aku tidak ingat nama asli dari duniaku sebelumnya—dan kurasa semua orang di sini juga demikian. Satu yang kuingat hanyalah kenangan bahwa aku dibunuh dan membunuh orang sebelum tergeletak di tengah hutan, beberapa meter dari rumah pasangan Po, dengan wujud anak kecil berusia lima tahun.
Orang pertama yang kubunuh di dunia ini adalah tetangga gendut yang suka menindasku sebelum diangkut pasangan Po. Anak itu selalu menikmati sensasi melempar tubuh kecilku ke kubangan lumpur, atau memaksaku melepas seluruh pakaianku. Sebagai anak umur 5 tahun, aku tidak perlu malu akan hal itu. Namun, anak kecil pun tahu apa itu dendam.
Satu hari, saat matahari sedang terik-teriknya, aku kehabisan kesabaran. Anak bongsor itu memang dua tahun lebih tua dariku, tetapi dia tak cukup cerdas untuk menghindari pecahan kaca di tanganku. Sekali gerakan, daging di paha gemuknya terbelah dan membeberkan berliter-liter cairan merah.
Anak bongsor itu memekik panik karena anak kecil di bawahnya mulai melawan. Dia mulai menjerit dan gemetaran melihat darahnya sendiri tak berhenti mengalir. Namun, sekuat apapun dia menjerit, tidak akan ada orang dewasa yang mendengarnya. Kami jauh di dalam hutan, tempat yang tidak dijangkau orang dewasa karena memang tidak ada apa-apa di sini kecuali bangkai mobil usang dengan seluruh kacanya pecah.
Matanya yang getir melihatku berdiri lebih tinggi darinya membuatku berdebar. Ini menyenangkan. Teruskan membuat ekspresi seperti itu!
Air matanya mulai mengalir sambil meringsut mundur, tetapi aku kembali menusuk pergelangan kakinya sebelum dia sempat kabur. Jeritanya terdengar lebih kencang lagi.
"Maafkan aku! Akh, Ibu!" Napasnya tersengal-sengal dan garau.
JIBRIL BUKAN PEMBUNUH
Semburat emosi ketakutan di suaranya semakin menyemangatiku untuk menusuknya sekali lagi. Darah dan air matanya, aku ingin melihatnya lagi dengan raut wajah ketakutan.
"Bril, ngelamunin apa, sih?"
Kuusap wajahku kasar kemudian membenarka posisi kacamata. "Pengen bunuh orang," kataku.
Kerumunan di meja kecil kami tergelak sejenak. "Kau kebanyakan nonton anime thriller," gelak Joni pelan. "Lagian, kayaknya kau demen banget sama cerita pembunuhan gitu? Ini kulihat kemarin pas ngumpul pertanyaan dari kating, yang kenapa milih masuk jurusan psikologi—"
"Oh! Itu Jibril yang nulis?!" potong Siska sambil terbahak. "Yang jawabannya mau nyiksa manusia lebih brutal ... yang gitu-gitu, 'kan?!"
Sontak cafe kecil yang kami tempati ramai oleh tawa teman-temanku lagi. Mau tidak mau aku ikut tersenyum dan tertawa bersama mereka. Orang-orang ini tidak tahu kalau aku tidak pernah berbohong pada mereka.
"Udah, udah. Ini terus makalahnya gini aja?"
Kami sampai lupa sedang berkumpul di cafe ini karena sedang membahas tugas kelompok membuat makalah. Mereka kembali asik membahas hal lain sambil menggodaku yang dijuluki 'Chunibyo'.
Sementara itu, dari kejauhan Kemal dan Kemala memandangku sambil senyum-senyum sendiri dari balik meja kasir. Cafe kami tidak begitu ramai hari ini, kecuali karena teman-teman dari kampusku yang seolah punya dunia sendiri di sini.
"Aku seneng kau ternyata punya banyak temen," Kemala yang mengatakan itu setelah cafe tutup di hari yang sama. "Kupikir, dengan kepribadianmu yang dingin sama orang lain, kau nggak bakal punya temen."
Anak itu mengkhawatirkanku? Aku terkekeh pelan sambil mengusap puncak kepalanya. "Tentu aku punya teman. Yang tadi itu kebetulan satu fakultas sama sekelas aja."
"Besok ada kelas pagi, 'kan?" Kepala Kemal tiba-tiba menyembul dari dapur dengan tangan memegang piring-piring bersabun. "Kau tidur aja duluan. Malem ini aku yang beres-beres dapur."
Aku menggeleng dan mulai mengenakan sarung tangan cuci piring. "Aku tetep bisa bangun pagi—"
"Nggak!" Kemala berkata tegas sambil merebut sarung tanganku. Satu tangannya yang lain menyeret kerah belakangku ke arah pintu tangga. "Udah dibilang, kalo kau ada kelas pagi, biar aku sama Kemal yang nutup cafe. Ini udah jam sebelas, kalo kelar tengah malam, kau bakalan kurang tidur!"
Aku benar-benar tidak mengerti ada apa dengan orang-orang di sekelilingku. Mereka benar-benar ngotot dan susah dikasih tahu. Padahal apa yang mereka lakukan untukku kadang merugikan diri mereka sendiri.
Sudahlah. Daripada itu, aku harus cepat menentukan target percobaanku. Cara paling menyenangkan saat membunuh orang adalah memancing ketakutannya keluar dengan sendirinya. Sejak awal masuk kampus, aku sudah mengumpulkan data orang-orang yang mungkin akan sering berurusan denganku, termasuk ketakutan mereka. Siska takut dengan badut, Joni takut darah.
Masalahnya di sini, aku tidak pernah menemukan alasan mengapa harus membunuh mereka.
"Bril! Mau cokelat nggak?!" jerit Siska di ambang pintu kelas.
Aku lekas berlari menghampirinya sambil menggenggam erat tugas makalah kelompokku hari ini. "Ada acara apa memangnya?"
Mereka bertukar pandangan sejenak dan menggeleng. "Nggak ads, tuh. Ayahnya Siska baru pulang dari Dubai, makanya dibawain banyak cokelat."
Kuterima uluran parsel mini dari mereka. "Makasih. Joni mana?"
Lagi mereka bertukar pandangan dan mengangkat bahu bersamaan. "Dari tadi nggak lihat anaknya."
"Ah, kesiangan itu pasti!" Mereka kembali tergelak.
Entah mengapa, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari orang-orang ini. Ada yang mereka rencanakan—
Bruk!
"Aduh, minggir dong! Ngehalangin jalan aja!" decaknya kesal. Di lantai, barang-barangku dan segelas kopinya berserakan. Lagi, orang yang kukenal bernama Mila itu berdecak, "Astaga, padahal belum sempet kuminum loh! Gara-gara kau, aku mau minum aja nggak bisa!"
Daripada itu, aku memandag kosong ke arah makalahku yang kukerjakan semalaman. Tiap lembarnya sekarang bermandikan cairan hitam lengket. Tangaku mengepal di sisi kanan kiri tubuh, tetapi cepat-cepat kuhela napas perlahan.
Di saat seperti ini, akan berbahaya kalau aku hilang kendali. "Maaf, ya. Nanti uang kopinya kugan—"
"Ah, nggak usah!" Didorongnya satu bahuku sambil melenggang kesal. "Udah badmood. Beresin aja tuh kopi!"
Dasar orang nggak tahu diri. Aku jadi dapat target baru untuk dieksekusi.
"Udah, Bril. Mila emang gampang emosian." Siska memegang kedua bahuku sambil mengusapnya pelan. "Kau duduk aja, sini biar aku yang beresin."
"Biar aku aja." Kutepis pelan tangannya dan mulai memunguti kertas makalahku yang basah total. Kalau mau print ulang sekarang, tidak akan sempat. "Maaf, ya. Makalah kita nggak bisa diapa-apain lagi—"
Di luar ekspektasiku, Siska ikut berjongkok dan membereskan tumpahan kopi bersama kain pel. "Nanti print lagi. Lagian ini bukan salahmu, kok."
Namun, kesialan sepertinya sedang berpihak padaku hari ini. Saat istirahat, aku kembai terlibat adu mulut dengan Mila. Lagi-lagi gadis itu.
"Yang nabrak siapa, coba?! Aku jelas-jelas lagi ngantre di depanmu, kau malah nabrak seenak jidat!" Emosinya meledak-ledak. Piring beserta isinya yang tumpah di lantai cafetaria diinjaknya begitu saja.
Kesabaranku nyaris lenyap menghadapi gadis satu ini. "Kau duluan yang ketawa nggak jelas sampe mundur-mundur nabrak piringku." Aku bersedekap memandangnya tak senang.
Di matanya, aku bisa melihat semburat ketakutan. Namun, semua itu tidak bertahan lama. Mila kembali mencecarku dengan ribuan kesalahan yang tidak pernah kulakukan.
Tenang, Jibril. Jangan hilang kendali di sini. Kepalaku langsung membayangkan Mila bersimbah darah dalam genggamanku. Ketakutannya adalah kegelapan dan kesunyian. Aku bisa menyiksanya perlahan di sebuah ruangan sendirian dan membiarkan psikisnya menderita sebelum memutilasinya pelan-pelan.
"Eh, eh, udah! Kayak anak kecil aja!" Siska kembali menengahi dan memberiku piringnya. "Bisa nggak sih kalian nggak berantem mulu?! Jibril, mending kau makan aja. Ayo, Mila kita antre lagi."
"Maafin Mila, ya. Dia belakangan lagi emosian banget," temanku yang lain ikut mendekat dan membantuku mencari tempat duduk untuk makan. "Jangan gitu dong mukanya, kayak mau bunuh orang beneran tau."
Aku memang mau membunuhnya secepatnya. Dalam diam selama istirahat, aku merencanakan pembunuhannya. Tidak bisa dalam waktu dekat, orang-orang akan langsung mencurigaiku yang selalu terlibat perkelahian dengannya. Dua bulan. Aku perlu waktu dua bulan untuk menjauh dari Mila, kemudian setelah semua orang melupakan kejadian hari ini, aku bisa menculiknya.
Kupikir, yang di cafetaria itu sudah yang terburuk. Dalam kelas selanjutnya, kami justru dipasangkan untuk sebuah tugas kelompok.
Raut wajah Mila benar-benar tidak berusaha menyembunyikan rasa keberatan. "Siapa yang mau tukeran kelompok sama aku?!"
"Kalopun aku mau, tetep ngga boleh, Mil."
"Siapa juga yang mau sekelompok sama psikopat kayak Jibril?!" Mila memutar bola matanya. Kelak bola mata itu akan kumasukkan dalam koleksiku di rak kamar.
Moodku seharian jadi super duper jelek karena gadis itu. Hingga sore hari, aku jadi tidak banyak berbicara dan memilih langsung pulang ke cafe. Aku tidak mau melihat wajah Mila lagi hari ini, bisa-bisa aku kehilangan kendali dan membunuhnya di tempat.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ponselku bergetar panjang. Panggilan dari Kemala. "Ya? Kenapa, Mala?"
"Tolong, cafe lagi ribut banget ini! Pulang sekarang ya?!" Panggilan dimatikan sepihak dengan tergesa-gesa.
Kemal dan Kemala jarang sekali menelponku kalau bukan karena urusan yang amat mendesak. Ini gawat, astaga bisakah hari ini bertambah runyam lagi?!
Sekuat tenaga aku mengejar angkutan umum dan tiba sepuluh menit kemudian di depan cafe. Benar saja, cafe kami seperti lokasi penemuan mayat. Padahal aku yakin tidak pernah membunuh seseorang lagi selain anak bongsor itu.
Begitu turun dari angkutan umum, Joni langsung menyambutku dengan wajah panik. Selama ini dia di sini?
"Bril, buruan bantuin adekmu!"
Aku menepis tangannya pelan dan lekas berlari menyibak kerumunan. Di sana, tepat di tengah-tengah cafe yang gelap, Kemala menangis sesenggukan sambil memegangi tubuh Kemal yang terbaring di lantai.
"Kemala, Kemal kenapa?!" tanyaku panik.
Perlahan, mata Kemal yang tertutup berkedut. "Jamal ...," suaranya amat lirih dan serak. "Selamat ... ulang tahun."
Cahaya temaram mulai terlihat dari arah dapur cafe. Di sana, sosok Mila tersenyum sambil membawa kue dengan lilin yang menyala.
Baru kusadari kalau semua keramaian ini adalah teman-teman sekelasku. Semua ini rencana mereka, termasuk drama Kemal dan Kemala.
"Happy birthday, Jamal." Mila tersenyum menatapku bersama Joni di belakangnya. "Maaf ya, hari ini aku terpaksa marah-marah di kampus. Sebenernya aku nggak beneran, kok. Jangan dendam, ya?"
"Aku yang bikin dekorasi dan ini itu, lho." Di belakangnya, Joni nyengir lebar sambil mengangkat jempol. "Makalahnya udah kuprint ulang dan diterima sama dosennga, kok. Masuk dalam skenario hari ini."
Kenapa ... kenapa mereka rela sampai repot-repot membuat drama yang tidak berguna ini, hanya demi merayakan hari ulang tahunku.
"Makasih udah selalu bantuin kita di kelas, Bril!"
"Kalo bukan karena kau, SKS ku pasti nunggak semester lalu!"
Aku jadi tidak enak. Padahal niatku untuk membunuh Mila sudah hampir bulat. Gara-gara ini ... ah, sial. "Kalian jadi repot—"
"Justru kita yang udah banyak ngerepotin , Bril. Makasih udah selalu ada kalo kita lagi butuh, selalu perhatian kalo kita ada apa-apa," Siska memulai pidato panjangnya. "Di antara anak-anak sekelas, Cuma kau yang sebegitu perhatiannya sama kita-kita."
Itu semua karena aku sedang mengamati kepribadian dan kelemahan kalian.
"Semoga tambah umur ini, kau jadi pribadi yang lebih baik dan sabar."
Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk membunuh kalian.
"Semoga ke depannya kita semua bisa jadi lebih akrab, ya! Meski nanti bakal pisah juga, semoga bisa tetep inget!"
...
Kemudian mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Cafe jadi benar-benar hidup berkat mereka. Aku bahkan tidak menyangka kalau Kemal dan Kemala ikut terlibat dalam hal ini.
Tapi ... ini pertama kalinya dalam hidupku ... entah hidup di dunia sebelumnya atau di dunia ini, ada orang yang mau merayakan ulang tahunku. Sebelumnya aku selalu mengerjakan semuanya sendirian.
"Buat permintaan, Bril!"
Sepertinya, aku harus mulai mengurangi hasrat membunuhku. Ternyata ... yang seperti ini lebih menyenangkan. Aku lebih senang melihat mereka tersenyum tidak jelas sambil menatapku.
Semua orang menatapku tak sabar. Jadi aku memejamkan mata dan meniup lilin di atas kueku. Aku berharap semoga selalu bisa bahagia melihat wajah tersenyum mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top