Jebakan Setan oleh amelaerliana

Premis: Seorang desainer cover seram yang ingin rebranding menjadi desainer unyu, dikontrak oleh oknum setan untuk membuat sampul buku pemujaan setan. Jika tidak dikerjakan, dia akan diburu nyawanya.

Ending bebas.

Pemilik ide: izaddina



***



Pak Danu - Penerbit JeritMalam

Mas Angga, kami bersedia bayar dua kali lipat dari biasanya.

Penulisnya cuma mau Mas Angga yang desain cover-nya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Pak Danu masih saja bersikukuh memintaku menggambar sampul buku baru yang akan diterbitkan perusahaannya. Tempo hari, dia juga mengirim email berisi sinopsis dan draft cerita, lengkap dengan pujian bahwa buku-buku yang telah dia terbitkan dengan menggunakan goresan tanganku sebagai sampul terus laris di pasaran. Beragam hadiah pun kerap dia kirimkan ke rumahku. Dia tak juga menyerah, padahal aku sudah menegaskan tak akan lagi menggambar sampul buku bertema horor.

Belum sempat aku mengetikkan pesan balasan, Pak Danu sudah mengirimkan pesan baru ke ponselku. Pria itu benar-benar tak sabaran. Kali ini, isinya adalah sejumlah angka. Dia menaikkan penawaran menjadi tiga kali lipat.

Kutatap deretan angka itu. Jujur saja, hatiku mulai goyah. Sejak memutuskan untuk fokus menggambar hal-hal berwarna cerah dan bertema imut, pemasukanku jauh berkurang. Aku tak bisa memasang harga terlampau mahal karena sainganku sangat banyak. Meski setiap bulannya selalu ada yang memesan gambar, sebagian besar hanyalah untuk proyek-proyek kecil. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku terpaksa menggunakan uang tabungan. Kalau begini terus, tabunganku bisa ludes tak bersisa.

Ponsel di tanganku kembali berdenting, mengingatkan bahwa aku belum juga mengetikkan balasan untuk Pak Danu. Pria itu kembali mendahuluiku. Mungkin dia mengira aku sengaja mengabaikan pesannya.

Pak Danu - Penerbit JeritMalam

Tolong dipertimbangkan lagi, ya, Mas.

Tak ingin dia kembali menerorku dengan rentetan pesan, akhirnya aku pun berjanji akan memikirkan kembali tawarannya. Setelah itu, aku mematikan ponsel dan beralih menatap gambar bernuansa merah jambu yang memenuhi layar tablet. Gambar tersebut sudah kukirimkan ke pelanggan. Pembayarannya pun sudah kuterima. Meski pelanggan mengirimkan emotikon jempol mengiringi ucapan terima kasih, aku dapat merasakan bahwa pelangganku lagi-lagi tak seratus persen puas dengan hasil pekerjaanku.

Apa aku memang tidak berbakat menggambar hal-hal bertema manis, ya?

Ah, kepalaku pusing sekali rasanya. Sebenarnya, aku suka-suka saja menggambar hal-hal bertema gelap. Tapi, gara-gara aku terus mengorek-ngorek kembali ingatanku tentang makhluk-makhluk itu, mereka jadi sering menampakkan diri lagi. Awalnya hanya serupa bayangan yang berkelebat sekilas. Lama-kelamaan, kian mewujud menjadi nyata. Hidupku jadi tidak tenang. Aku takut mata batin yang sengaja kututup belasan tahun lalu ini kembali terbuka. Aku tidak mau hal itu terjadi.

Dengan perasaan tak menentu, aku menyibak tirai jendela dan menatap ke luar. Pohon jacaranda di taman belakang tetanggaku berdiri kokoh dengan dahan-dahan menjuntai ke berbagai arah. Salah satu dahan berayun-ayun pelan. Punggungku meremang. Buru-buru kututup tirai jendela rapat-rapat. Meski aku tidak bisa melihatnya lagi, aku tahu dia masih ada di sana. Entah kenapa dia masih bertahan di dekatku, padahal teman-temannya telah pergi satu-persatu sejak aku berhenti melukis wujud mereka pada sampul-sampul buku yang kurancang.

Aku mengecas tablet, lalu bangkit meninggalkan meja kerja. Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju tempat tidur. Lebih baik aku tidur saja daripada pikiranku makin melantur ke mana-mana. Aku tidak ingin mengundang mereka masuk ke hidupku lagi. Berapa pun bayaran yang ditawarkan Pak Danu, aku akan menolaknya.

-0-

Pagi tadi, aku terpaksa memblokir nomor Pak Danu karena pria itu tak juga berhenti mengganggu. Dari pesan terakhir yang sempat kubaca, Pak Danu mengabari bahwa dia sudah membagi nomor kontak dan alamatku kepada penulis yang bersikeras ingin menggunakan jasaku. Benar-benar kurang ajar. Bisa-bisanya dia membagikan informasi pribadiku tanpa izin. Sepertinya keputusanku memutus kerja sama dengannya memang sudah tepat.

Gara-gara tindakan semena-mena Pak Danu, aku jadi uring-uringan seharian. Aku tidak tahu apa istimewanya penulis bernama Silbi Garwita itu. Namanya terdengar asing, tidak memancing ingatan apa-apa. Rasa-rasanya baru kali ini kudengar. Itu artinya dia penulis baru. Tapi, kenapa Pak Danu mau bersusah-payah membujukku hanya demi si penulis ini?

Sempat aku tergoda mengintip draft tulisan yang dikirimkan Pak Danu beberapa hari lalu. Namun, aku tidak berani. Saat membaca pesan-pesan Pak Danu, mau tak mau aku kembali memikirkan makhluk-makhluk itu. Akibatnya aku kembali mengalami mimpi buruk dan punggungku kian sering meremang. Itu artinya, mereka mulai mendekat hanya karena aku kembali memikirkan mereka. Kalau aku membaca cerita horor lagi, bisa-bisa mereka kembali menampakkan diri.

Meski suasana hatiku sedang acak-acakan, aku tetap butuh makan. Rebahan seharian tidak akan menghasilkan uang. Sejak orderan terakhir kemarin, belum ada lagi yang memesan gambar. Ralat, sebenarnya ada beberapa klien lama yang sempat menghubungi ingin memesan ilustrasi kepadaku untuk halloween nanti. Tentu saja aku menolak, untungnya mereka mau mengerti, tidak seperti Pak Danu yang terus mengejar tanpa henti.

Saat sedang mengutak-ngatik desain gambar yang ingin kuterbitkan di media sosial. Pensil tablet yang tengah kugenggam menggelinding jatuh. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Sebentuk firasat burut mendadak muncul di benak, seakan ada alarm tanda bahaya yang memperingatkan bahwa hal buruk akan terjadi jika aku tak segera membukakan pintu.

Firasatku jarang salah. Buru-buru aku bangkit dari kursi dan setengah berlari menuruni tangga. Bunyi bel kedua terdengar saat aku sudah tiba di lantai satu. Alarm tanda bahaya kembali menyalak di kepalaku. Aku langsung memelesat menuju pintu.

Begitu pintu berayun terbuka, sesosok perempuan muda bertubuh tinggi semampai tersenyum menyapa. Kaki jenjangnya dibalut dengan celana kain abu-abu bermotif garis, tampaknya terbuat dari bahan yang sama dengan blazer yang dia kenakan.

"Mas Angga datang tepat waktu. Baru saja saya akan memencet bel sekali lagi."

Tubuhku merinding. Sepintas ucapan perempuan itu memang terdengar ramah, seperti basa-basi yang diucapkan sambil lalu saja. Namun, lagi-lagi firasatku meniupkan perasaan waswas. Aku tidak ingin tahu apa yang akan perempuan itu lakukan jika dia sampai menekan bel untuk ketiga kalinya.

"Oh, iya. Saya lupa memperkenalkan diri. Saya Silbi. Seharusnya Pak Danu sudah memberi tahu Mas Angga maksud kedatangan saya ke sini," terang perempuan itu. Senyumnya masih terus terpampang kala dia berbicara.

Pada saat-saat seperti ini, aku sedikit bersyukur tidak sepenuhnya kehilangan kemampuanku. Kalau tidak, aku akan dengan mudahnya terkecoh oleh perempuan di hadapanku ini. Hanya orang-orang tertentu yang mampu menyadari bahwa perempuan berwajah manis ini bukan berasal dari kalangan manusia.

"Ma-maaf, Mbak Silbi." Aku berdeham untuk melegakan tenggorokan yang seperti dipenuhi pasir. Walaupun tubuhku gemetar, aku tidak boleh terlihat takut di hadapannya. "Saya sudah bilang ke Pak Danu bahwa saya tidak menerima pesanan bertema horor lagi."

Lagi-lagi Silbi tersenyum. Namun, senyumnya tampak berbeda. Kali ini, senyumnya lebih cocok disebut sebagai seringai. Sorot matanya pun terlihat mengancam.

"Kalau iming-iming bayaran mahal tidak mempan, sepertinya saya harus memakai cara lain, ya?"

Aku tahu pertanyaan yang diajukan Silbi itu hanya retorika saja. Aslinya, dia tidak peduli pada pendapatku.

Silbi menatapku tajam. Dapat kulihat nyala api di kedua matanya. Tidak, aku tidak sedang membuat perumpamaan. Memang ada api yang tengah berkobar di matanya. Jika saja kami tidak sedang berada di tempat terbuka, mungkin sudah dia tunjukkan seluruh wujud aslinya kepadaku.

Dengan suara mendesis, Silbi lanjut berbicara. Suaranya serak dan berat, seperti suara seorang lelaki yang telah renta. "Ini bukan permintaan, melainkan perintah. Tuanku ingin kamu yang menggambar sampul bukunya karena beliau pikir kamu dapat menyampaikan pesan-pesannya dengan baik. Kalau kamu menolak, maka aku dan teman-temanku akan menarikmu ke neraka."

Aku bergidik ngeri. Kata-kata Silbi–atau siapa pun nama makhluk di hadapanku ini–bukan sekadar ancaman kosong. Aku tidak meragukan perkataannya sedikit pun. Jika dia mau, sekarang juga dia bisa menarik jiwaku dalam satu jentikan jari.

-0-

Aku tidak tahu kenapa aku sial sekali. Saat aku ingin berhenti menggambar hal-hal gaib karena tidak ingin dibuntutin para arwah gentayangan itu lagi, aku malah harus berhadapan dengan anak buah sang setan secara langsung.

Sebenarnya, aku sudah kerap mendengar cerita bahwa sang setan dan anak buahnya kerap menyamar dalam wujud manusia. Namun, aku tidak menyangka mereka sampai ingin menerbitkan buku segala.

Agar dapat memperoleh inspirasi, aku perlu membaca isi buku yang sampulnya akan kugambar. Sepintas, buku ini memang terlihat seperti novel horor biasa yang bercerita tentang sepasang suami istri yang melakukan pesugihan. Tidak ada yang mencurigakan. Namun, karena aku sudah tahu siapa yang menulis buku ini, aku dapat menemukan dengan mudah petunjuk-petunjuk samar yang bertebaran di cerita tersebut. Novel ini sebenarnya adalah sebuah petunjuk pemujaan setan.

Bukannya mendapat inspirasi, aku justru merinding ketakutan. Bagi pembaca awam, novel ini mungkin hanya akan menjadi hiburan yang akan lekas dilupakan begitu mereka membaca novel lain. Akan tetapi, bagi orang-orang bermental lemah, novel ini menawarkan jalan pintas yang akan menyesatkan mereka ke neraka.

Pilihannya adalah orang-orang berpikiran picik itu atau dirimu sendiri, Angga!

Suara hatiku berteriak. Mungkin memang terdengar kejam. Tapi, bukankah memang lebih baik orang-orang culas itu yang ditarik ke neraka menjadi budak sang setan daripada aku? Aku memang bukanlah orang yang saleh, tetapi aku masih ingin masuk surga.

Tapi, kalau kamu buatkan sampulnya, bukankah itu berarti kamu bekerja sama dengan sang setan? Artinya kamu juga ikut berdosa menyesatkan manusia, kan?

Suara hatiku yang lain tidak mau kalah. Lalu kini, mereka berdebat di dalam kepala, membuat ubun-ubunku panas seakan bisa meledak kapan saja.

Seakan tidak ada saat lain yang lebih tepat untuk menggangguku, Pak Danu kembali menghubungiku untuk menanyakan progres sketsa kasar yang sedang kukerjakan.

Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kemarin kupikir, aku hanya perlu cepat-cepat menyelesaikan pesanan. Dengan begitu, kuharap Silbi–dan juga Pak Danu–tidak akan mengganggu lagi. Tapi, sekarang aku jadi takut melanjutkan sketsa sampul ini.

Apa aku kabur saja, ya?

Ah, tapi hal itu pasti percuma saja. Anak buah sang setan ada di mana-mana. Mau kabur ke lubang semut pun, mereka pasti dapat menemukanku.

Aku melirik ke jendela. Pohon jacaranda di rumah tetangga masih berdiri tegak. Seluruh dahannya bergoyang-goyang tertiup angin, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran arwah wanita berwajah rusak itu. Entah apakah ada hubungannya atau tidak. Sejak kedatangan Silbi, para arwah penasaran yang biasa mengusikku tidak lagi berkeliaran di sekitarku.

Pandanganku kembali beralih ke tablet di meja. Sepertinya aku perlu mengulang dari awal. Sketsa yang kubuat tampak terlalu biasa. Aku tidak ingin sang setan kecewa lalu menyuruh anak buahnya menarikku ke neraka tanpa memberikan kesempatan kedua.

-0-

Sejak tadi, tubuhku merinding. Degup jantungku pun tak karuan. Sebentar berdetak lambat, sebentar berpacu cepat. Perutku mual. Kalau tidak ingat siapa klienku kali ini, tentu aku sudah membeli tiket ke kota terpencil dan bersembunyi di sana sampai orang-orang lupa kepadaku.

"Wah, Mas Angga kelihatan kurusan, ya?" Pak Danu menyambutku di lobi kantornya.

Aku tersenyum kecut. Ingin sekali aku berteriak di depan mukanya bahwa aku sulit tidur dan kehilangan nafsu makan gara-gara kliennya. Namun, tentu saja hal itu tidak kulakukan. Bisa-bisa aku dianggap gila jika kubilang Silbi Garwita itu adalah utusan sang setan, seperti yang dilakukan teman-teman masa kecilku saat aku bercerita dapat melihat arwah penasaran.

Sambil lift membawa kami ke ruang rapat di lantai tiga belas, Pak Danu terus saja mengoceh. Berulang kali dia memuji gambarku dan berkata betapa senangnya dia saat aku bersedia mendesain sampul buku untuk usaha penerbitannya lagi.

"Mas Angga sudah baca karya Mbak Silbi, kan? Saya beruntung bisa dapetin kontrak penerbitan novel Mbak Silbi. Saya yakin novel ini bakal laku keras di pasaran, apalagi cover-nya Mas Angga yang gambar," tutur Pak Danu seperti burung beo yang terus mengulang perkataan. Kalimat serupa sudah bolak-balik dia sampaikan melalui rentetan pesan singkat yang menyambangi ponselku.

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai respons. Saat ini aku hanya ingin segera menyelesaikan urusanku di kantor JeritMalam, lalu kembali pulang ke rumahku yang nyaman. Kepalaku terus berdenyut nyeri sejak tadi. Yang kubutuhkan hanyalah tidur nyenyak, bukan aneka camilan dan minuman yang Pak Danu tawarkan ketika kami tiba di ruang rapat.

Rasa-rasanya aku sudah menolak semua tawaran Pak Danu, tetapi seorang pesuruh kantor datang membawa secangkir kopi dan meletakkannya di hadapanku.

"Ini kopi saya beli dari Kolombia," kata Pak Danu jumawa. "Cobain, deh, Mas. Enak banget."

Tak punya energi untuk menolak, aku pun meraih cangkir dan menyesap kopi yang dibangga-banggakan Pak Danu ini. Pahit. Rasanya sama saja dengan bubuk kopi yang biasa kubeli di warung.

"Enak, kan, Mas?"

Aku mengangguk pelan sambil berharap Pak Danu berhenti mengoceh. Sayangnya, keinginanku tak terwujud. Kali ini, Pak Danu sibuk bercerita tentang beberapa novel terbitannya yang mulai dilirih rumah produksi untuk diangkat ke layar lebar. Ocehannya baru berhenti saat seseorang mengetuk pintu. Pak Danu refleks berdiri saat melihat sosok Silbi muncul dari balik pintu.

"Maaf saya terlambat. Tadi, sempat terjebak macet," ucap Silbi sembari menarik kursi di seberangku. Suaranya lembut dan mendayu. Tentu saja dia tidak akan menggunakan suara aslinya di hadapan Pak Danu.

"Nggak apa-apa, Mbak Silbi. Kami juga baru sampai, kok."

Bohong! Aku harus terperangkap tiga puluh menit di ruangan ini bersama Pak Danu.

Setelah berbasa-basi sejenak, Pak Danu pamit keluar untuk memanggil stafnya. Ingin sekali aku memintanya mengajakku agar aku tidak perlu berduaan dengan makhluk dari neraka ini. Sayangnya, dia sudah keburu pergi sebelum aku sempat mengumpulkan keberanian untuk bicara.

"Tuanku sangat senang dengan desain sampulmu," ucap Silbi dengan suara parau.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Wajah Silbi tampak mengabur dan samar-samar aku dapat melihat wajah penuh keriput di balik kabut tipis yang membayang di wajahnya.

"Saya sudah mengerjakan semua yang Anda minta. Tolong jangan ganggu saya lagi," mohonku dengan nada memelas.

Silbi terkekeh. Firasat buruk sontak menyelimutiku. Setelah tawanya reda, dia kembali berkata dengan suara kenes yang menjadi penyamaarannya.

"Memangnya Pak Danu tidak cerita? Novel ini adalah serial. Masih ada enam buku lagi yang akan diterbitkan," jelas Silbi sambil menyeringai lebar.

Aku tercenung. Bayangan hari-hari penuh pergulatan batin kemarin kembali mengisi benakku. Aku tidak sanggup jika harus mengulang kembali hari-hari penuh siksaan itu, apalagi sampai enam kali.

Apa aku minta Silbi langsung menyeretku ke neraka saja, ya?

-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top