I FINALLY MET THE GOD OF WAR, NOW WHAT? oleh NIGHTSHADENESS
Premis: MC, seorang gamer yang baru saja merangkai PC impiannya. Namun, setelah berhasil meninstall game, MC tidak sengaja tersedot masuk ke dalamnya. Syarat agar MC bisa keluar dari game tak lain adalah menikah dengan laki-laki yang pertama kali dia lihat. Namun, setelah syarat sudah terlaksana, MC diberikan dua pilihan yaitu tetap hidup bahagia bersama suaminya di game atau rela meninggalkan suaminya dan kembali menjadi manusia.
Ending: bebas (game yg dipake juga bebas)
Pemilik ide: chocoryx
***
Berapa jam? Satu jam? Tiga? Lima? Sepuluh? Atau bahkan ... 24 jam? Freya tidak tahu. Yang dia tahu, dia sangat menikmati waktu luangnya untuk merakit PC kesayangannya bersama ayahnya. Selagi ayahnya menyambungkan kabel LAN, Freya membersihkan debu pada layar komputernya dengan senyum yang terus mengembang. Lima menit kemudian, seluruh perangkat telah terpasang sempurna dan komputernya sudah siap digunakan.
"Software mau dibantu pasang juga?" tanya ayahnya.
"Sama Freya aja," jawab gadis itu.
Ayahnya mengangguk. "Ayah balik ke toko, kalau begitu. Masih ada laptop yang harus diperbaiki."
"Hu-um." Freya mengangguk tanpa melihat ayahnya. Dia sibuk memasang dongle keyboard dan mouse, lalu terkesima saat LED pada keyboard menyala.
Setelah berjam-jam Freya berkatat dengan PC terbarunya, dia mendengar suara pintu terbuka dan melihat kakak laki-lakinya mengintip dari luar kamar seraya menyipitkan matanya. Freya merasakan langkah lelaki itu di belakangnya, penasaran dengan apa yang sedang Freya lakukan. Setelah tersadar, Alvin memelototkan matanya dan mengomel.
"Gue pikir lo mau install game apa gitu sampe komputer harus rakit segala! Kalau cuma Diner Dash lo rakit aja Esia Hidayah."
Freya balas melotot. "Mana bisa gue main Diner Dash di Esia Hidayah, bego. Keluar lo sana! Lagian gue juga mau install game lain yang perang-perangan, kok!"
"Yang mana? Coba kasih tau gue biar gue ajarin. Elden Ring? Hades?"
Mampus, gerutu gadis itu. Freya bahkan tidak tahu nama game yang baru saja disebut Alvin. Lagipula memang kenapa kalau Freya merakit komputer sendiri untuk install game imut seperti Diner Dash atau Slime Rancher?
Melihat Alvin masih tampak menunggu jawabannya, Freya bergumam pelan, "Plants vs Zombie."
"Yeuh, dasar tol—"
"KELUAR LO SANA!"
Freya menendang bokong Alvin dan mengusir kakaknya keluar, lalu menutup pintu dan menguncinya agar kakaknya tidak merecokinya lagi.
"EH GUE KASIH TAU, YA!" Alvin berteriak dari luar kamarnya. "KALAU LO EMANG PRO, LO COBA MAIN ARES! MASIH UNTUNG LO BISA HIDUP SAMPE LEVEL TERAKHIR BUAT NGELAWAN FINAL BOSS-NYA!"
Karena geram, Freya membuka pintu kamarnya lagi dan balas berteriak, "Kalau bisa gue masuk ke permainannya, gue taklukkin tuh final boss-nya! GUE CIUM SEKALIAN!"
"Bagus. Hidup aja lo di dalem game-nya selamanya! Biar ga keluar sekalian! Atau lo nikah sama cowo pertama yang lo liat di game-nya, baru lo bisa keluar!" balas Alvin. Setelah itu kakak laki-lakinya mengentakkan kakinya seperti anak kecil dan masuk ke kamarnya sendiri.
Freya membanting pintunya tertutup dan terus mendumel. Selalu seperti ini. Setiap hari. Dia dan Alvin selalu bertengkar untuk hal-hal yang sesungguhnya ... tidak begitu penting!
"Dasar kakak gila! Ga jelas! Liatin aja," gerutu Freya. "Gue abisin tuh permainan ... Apa tadi namanya? Emang dia pikir karena gue seneng main Cooking Mama gue jadi ga bisa main game yang laki banget gitu?!"
Freya mendapatkan permainan yang dimaksud Alvin itu dari situs berbayar. Ares: Conquer The Empire, adalah judul permainannya. Ares adalah permainan yang sangat populer akhir-akhir ini dan dikembangkan oleh Studio Maniac Fisher. Dia menggigit bibirnya saat melihat harga yang tertera. Nyaris lima puluh dolar untuk permainan seperti ini? Freya membuka rekeningnya, melihat saldonya sebesar harga Ares. Hampir saja dia ingin menyerah dan melupakan tantangan dari Alvin. Namun gengsinya mengalahkan akal sehatnya. Freya berpikir, dia lebih memilih miskin ketimbang ditertawakan oleh kakaknya karena tidak berhasil membuktikan bahwa dia bisa menuntaskan permainan Ares.
Gadis itu menelan ludah diam-diam, merasa terintimidasi ketika melihat display picture dari permainan tersebut. Ares bagaikan dikotomi dari permainan yang selama ini dimainkan oleh Freya. Ares adalah permainan berdarah, penuh kekerasan, dengan berbagai pilihan senjata yang Freya tidak paham nama dan fungsinya apa. Dalam mitologi Yunani, Ares digambarkan sebagai sosok dewa perang yang gagah dan haus darah. Dalam permainan ini, Ares adalah raja terakhir yang harus dilawan oleh main character agar bisa merebut kekaisaran dari tangannya. Untuk sampai sana, ada lima stages yang harus dilewati.
"Ah, cetek ini mah." Freya berujar pada dirinya sendiri. "Lagian kenapa cowok seneng banget main ginian, sih? Padahal main Cooking Mama lebih seru."
Butuh setidaknya lebih dari empat jam untuk Freya bisa memahami permainannya. Itu pun dia berkali-kali kalah dan masih terjebak di stages pertama. Menjelang jam dua belas malam, Freya memukul mejanya dengan keras karena kesal, lalu berjalan menuju tempat tidurnya seraya marah-marah.
"Game aneh! Alvin aneh! Semua orang aneh! Apa serunya itu game, sih? Dasar aneh! SEMUA ORANG ANEH!"
"Freya belum tidur?" Terdengar suara ayahnya dari luar kamar.
"Ini mau!" jawab Freya.
"Oke. Selamat malam. Mimpi indah, Freya."
Saking kesalnya, Freya sampai tidak punya mood untuk menjawab ayahnya. Freya berusaha mengatur napas untuk meredakan amarahnya. Bahkan meskipun dia menutup mata, Ares terus membayangi setiap sudut pikirannya. Kualitas grafis permainan itu begitu bagusnya sampai Freya, diam-diam, terhanyut.
Karena masih libur kuliah, Freya berencana untuk bangun siang dan akan melanjutkan permainan Ares besok. Dia sempat memeriksa jam di keesokan harinya dan masih menunjukkan pukul lima pagi. Santai aja, pikirnya. Bangun jam sembilan aja. Gadis itu meringkuk memeluk guling lagi dan tertidur. Freya terbangun saat wajahnya terasa hangat. Dia yakin sudah siang jadi dia menggeliat dan bangun dari kasurnya. Saat dia membuka pintu, dia mengerutkan kening karena ... rumahnya menghilang.
"Hah?" Freya tersentak kaget oleh pemikirannya.
Apa maksud rumahnya menghilang?
"HAH?"
Pemandangan ruang makan yang selalu menyambutnya ketika membuka pintu kamar menghilang. Pintu kamar kakaknya yang berwarna biru tua dengan stiker-stiker yang menghiasinya juga ikut menghilang. Saat Freya membuka pintu, pemandangan hutan yang luas lah yang menyambutnya. Saat dia mendongakkan kepala, alih-alih mentari, langit malam lah yang membentang di atas kepalanya. Pohon-pohon di sekelilingnya bergerak-gerak dalam posisi janggal. Tidak selayaknya pohon yang berdiri kokoh di atas tanah.
"Ini mirip ... Deadly Forest yang ada di permainan Ares," bisik Freya kepada dirinya sendiri. Dia kembali mendongak dan terkejut saat melihat dahan pohon melejit ke arah kepalanya dalam kecepatan tinggi.
Freya refleks masuk kembali ke dalam dan menutup pintunya. Hanya jeda sedetik, tapi krusial untuk menentukan hidup dan matinya. Dahan itu memukul kencang pintu di depan Freya hingga tercipta lubang yang besar. Seandainya terlambat, kepala Freya lah yang mungkin akan bolong.
Freya menjerit sejadi-jadinya. Dia berlari saat dilihatnya dahan itu kembali mengejar dirinya dan mulai memukul-mukul dinding di depannya. Freya tersadar bahwa dia kini bukan lagi di dalam kamarnya, melainkan sebuah pondok kecil terbuat dari kayu. Freya bersembunyi di bawah meja dan melindungi kepala dengan kedua tangannya. Dia mengingat-ngingat.
Deadly Forest adalah hutan yang membelah benua Aelius dalam dunia Ares. Dalam peta, hutan gelap ini tampak seperti bekas luka panjang. Hutan ini menjadi batas antara Kekaisaran Meridian, yang dipimpin oleh Ares, dan juga kerajaan-kerajaan kecil yang menghuni benua bagian selatan. Freya ingat, main character dari permainan Ares memiliki tujuan untuk menyatukan Kekaisaran Meridian dengan kerajaan-kerajaan di Selatan untuk dipimpin oleh MC tersebut. Semua raja dan ratu di Selatan menantang sang karakter utama, mereka bersedia tunduk di bawahnya asal sanggup menaklukkan Kekaisaran yang dipimpin oleh Ares. Hanya saja untuk bisa masuk ke dalam wilayah Kekaisaran Ares, MC harus menaklukkan hutan ini lebih dahulu.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" bisik Freya ngeri.
Apa gadis itu masuk ke dalam permainan? Apakah dia hanya bermimpi?
Freya mencubit dirinya berkali-kali dan mengaduh. Lalu menampar wajahnya sekali lagi untuk memastikan. Dia tidak bermimpi! Ini sungguhan nyata!
"Ini semua gara-gara Alvin!" Freya menangis sesenggukan. "Ini pasti gara-gara dia doain gue masuk ke game-nya. Dasar kakak durhaka!"
Freya kembali menjerit saat dahan pohon itu kembali menyerang membabi-buta. Freya tidak bisa berkelahi. Dia bahkan tidak suka permainan yang penuh kekerasan.
Lagipula, di antara semua permainan, kenapa dia harus masuk ke Ares? Kenapa Freya tidak masuk ke dalam permainan Cooking Mama atau Diner Dash? Bahkan Plant vs Zombie masih lebih baik dari ini
"Terus aku harus gimana seka—AH!" Freya menjerit, lantas mengerdilkan tubuh dan semakin memeluk dirinya erat. Permukaan meja di atasnya hancur, dan Freya sudah semakin terpojok. Freya menutup matanya ketika dahan itu naik perlahan-lahan dan hendak menghantamnya.
Lalu, hening.
Freya memberanikan untuk membuka matanya. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah dahan yang terus menyerangnya tadi sudah tergeletak mengenaskan di lantai.
Dan ... seorang pria.
Freya merasa ragu-ragu untuk mengangkat kepalanya. Manusia nekat mana yang ada di hutan mematikan ini?
MC dari permainan ini? Seingat Freya, MC game Ares adalah seorang pria yang diberi nama Lael oleh Freya.
Saat dia mendongak, dia betulan melihat peran utama dari permainan ini. Tetapi bukan Lael, melainkan Ares itu sendiri.
Freya tidak mungkin salah mengenalinya. Jubah kerajaan besarnya yang terbuat dari bulu, baju zirahnya yang berwarna hitam mengilat, rambut panjang hitamnya yang diikat ke belakang. Pria itu adalah tujuan mengapa permainan ini dibuat. Namanya menjadi judul utama permainan ini. Potret dirinya berada di paling depan saat pemain memulai permainan.
Ares. Pria di depan Freya adalah Ares.
Bagus. Hidup aja lo di dalem game-nya selamanya! Biar ga keluar sekalian! Atau lo nikah sama cowo pertama yang lo liat di game-nya, baru lo bisa keluar!
Freya bergidik. Tidak mungkin harus dengan cara itu Freya bisa keluar, 'kan?
"Keluarlah. Mereka tidak akan mengganggumu selama ada aku di sini."
Freya menelan ludahnya dengan perasaan campur aduk. Dia mengangkat kepalanya dan melihat pria itu berjalan mendekat. Sepatu botnya berderap pelan, tetapi suaranya menggema di telinga Freya.
Dug.
Dug.
Dug.
Suara sepatu penyelamatnya.
Ares.
Nama yang diambil dari dewa perang paling masyhur di masa Yunani Kuno.
Raja dari segala raja.
Musuh terakhir.
Sekarang ... Freya harus apa?
Gadis itu tercenung memandang telapak tangan yang ada di depannya. Ares membungkuk, menawarkan tangannya sendiri. Walaupun Freya hanya pandai bermain Cooking Mama, gadis itu tidak tolol. Mana mungkin dia menerima tangan dari seorang pria haus darah seperti Ares?
Freya berdiri sendiri, lantas berlari ke sudut ruangan dan menatap Ares dengan galak.
"Bahkan tanpa kau ada di sini aku bisa mengatasi masalahku!" sahut Freya.
Dalam hatinya, dia menyadari bahasanya berubah lebih ... formal dibanding bahasa yang digunakannya sehari-hari. Tapi dia bahkan tidak mau tahu apa yang menyebabkannya seperti itu. Dia hanya mau keluar!
Kedua alis pria itu terangkat mendengar kalimatnya. Setelah memperhatikannya selama beberapa detik, dia mengedikkan kepalanya ke arah pintu.
"Ayo. Kita keluar bersama-sama, kalau begitu. Kecuali kau ingin tinggal selamanya di sini?"
Separuh bagian dalam dirinya ingin berteriak LEBIH BAIK AKU DIMAKAN POHON DARIPADA IKUT DENGANMU!
"Bagaimana aku tau kau tidak akan membunuhku setelah keluar dari sini?"
Kendati Ares tersenyum, sinar pada kedua matanya mati. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu?"
Freya melebarkan matanya. Benar juga. Mau bagaimana pun, untuk memenangkan permainan ini, Ares harus dibunuh. Freya tidak bisa membayangkan berapa kali dalam sehari Ares harus menghadapi percobaan pembunuhan.
"Aku tidak berminat membunuhmu," balas Freya. Gadis itu tidak tahu mengapa dia harus mengutarakannya, tapi dia merasa dia harus meyakinkan Ares bahwa dia bukan orang jahat. Freya meremas poninya dengan nada merengek. "Aku, aku tidak punya minat merebut kekuasaan. Aku tidak peduli dengan berapa banyak monster yang harus kukalahkan. Aku bahkan tidak paham apa bedanya pedang pipih, sabre, dengan skimitar. Aku lebih suka permainan masak-masak dan mendamprat pelanggan yang tidak sabaran. Aku, aku bersumpah aku bukan orang jahat! Jadi kumohon jangan bunuh aku!"
Freya ingin menangis. Dia tidak tahu mengapa dia ada di sini. Hutan ini berusaha membunuhnya. Sekarang pria yang dikenal paling kejam dan haus darah berdiri di depannya. Jika Ares ingin mengambil hidup Freya, pria itu bisa melakukannya semudah bernapas.
Selama beberapa saat, Ares tidak merespon sama sekali. Tatapannya terpancang pada Freya, mengamatinya sekali lagi. Kali ini lebih dalam, lebih lama. Kemudian, pria itu mengedikkan kepalanya sekali lagi ke arah pintu.
"Ayo kita keluar. Kau pasti baru saja melalui perjalanan yang panjang."
Bersama dengan kalimat itu, Ares membalikkan badan. Freya mengikutinya dengan takut-takut. Gadis itu mengedarkan pandangannya dengan waspada, takut ada sesuatu yang menyerangnya lagi.
"Jangan khawatir," kata Ares. "Aku menaklukkan hutan ini beberapa tahun lalu. Sekarang dia melayaniku. Mematuhi apa yang kuperintahkan."
Freya hampir saja meraih lengan Ares saat melihat pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Rasanya, hutan di dunia Freya tidak setinggi ini. Untuk mengalihkan rasa takutnya, Freya bertanya lagi.
"Sampai kapan hutan ini akan melayanimu?"
"Sampai ada orang lain yang berhasil menaklukkannya lagi. Sampai saat itu, hutan ini akan melayani tujuanku. Melakukan apa yang kuperintahkan. Seperti ... menyingkirkan itu."
Ares mengedikkan dagunya pada sesuatu di depan mereka. Tidak, bukan sesuatu. Seseorang. Seorang mayat laki-laki. Freya segera mengetahui identitasnya begitu melihatnya.
Itu adalah Lael. MC yang dimainkannya kini tergeletak mati mengenaskan di tanah. Kalau Freya tidak salah menghitung, Lael sudah mati di hutan ini sebanyak tiga belas kali.
Ares mengamati wajahnya lagi. Buru-buru Freya mengatur ekspresinya.
"Kasihan sekali," komentar Freya.
Senyum Ares melebar. "Ya, kasihan sekali. Tapi kuhargai kegigihannya untuk mengalahkanku."
Gigi Freya gatal sekali ingin menggigit pria itu. Secara tidak langsung, Ares baru saja mengejeknya! Namun yang membuatnya lebih kesal, rupanya Ares ada di hutan ini selama Lael berusaha mengalahkan Deadly Forest. Pantas saja stage pertama sudah susahnya setengah mati. Freya tidak bisa membayangkan bagaimana jika pada akhirnya dia—melalui Lael—berhasil berhadapan dengan Ares.
Freya tidak tahu berapa lama mereka berjalan. Sepanjang jalan dia berprasangka buruk pada Ares. Bayangan mayat Lael terus menghantui benaknya. Bukankah sangat mudah bagi Ares untuk membunuhnya? Ketakutannya melonggar saat mereka berhasil keluar dari hutan. Dia bisa melihat lampu-lampu berkelip-kelip dari kejauhan seperti kunang-kunang. Freya mengasumsikan itu lampu-lampu itu dari desa.
"Di mana rumahmu?" tanya Ares.
"Bukan di sini," jawab Freya.
"Di Selatan?"
"Bukan juga."
Ares mengerutkan keningnya tipis. "Di benua Yvis?"
"Bukan juga. Aku ... bukan dari mana pun di dunia ini." Freya memeluk dirinya erat seraya menatap sekelilingnya.
"Kalau begitu, itu menjelaskan mengapa gaya busanamu berbeda dari semua tempat yang pernah aku kunjungi."
Freya menunduk, menyadari dia masih memakai piyama bergambar Doraemon, kartun Jepang yang sangat digemarinya dulu waktu kecil. Sejujurnya, Freya tidak mengenakan piyama ini karena gambar Doraemonnya, gadis itu hanya malas membeli piyama baru. Dia juga berpikir tidak ada laki-laki selain kakak dan ayahnya yang melihatnya di rumah. Jadi Freya tidak keberatan berkeliaran di rumah dengan piyama dekil seperti ini. Sekarang setelah diperhatikan terlalu lekat oleh Ares, Freya berusaha mengusir penyesalan karena tidak memakai baju yang lebih bagus.
Untuk apa aku peduli? batinnya.
"Kalau begitu, kau akan ke mana?"
"Tidak tau," jawab Freya muram.
Bagus. Hidup aja lo di dalem game-nya selamanya! Biar ga keluar sekalian! Atau lo nikah sama cowo pertama yang lo liat di game-nya, baru lo bisa keluar! Kalimat Avin itu kembali berdengung di kepalanya. Jangan-jangan ... Freya betulan harus menikah dengan laki-laki pertama yang dilihatnya agar bisa keluar dari permainan ini? Yang itu berarti ....
Freya melirik Ares dengan ngeri.
Yang diliriknya hanya mengangkat alis dan bertanya, "Aku tidak melakukan apa-apa. Bisakah kau berhenti melihatku seolah aku akan menggorokmu dan semacamnya?"
Freya tidak tahu harus menjawab apa, jadi dia terdiam. Melihat Freya yang tetap bergeming membuat tatapan Ares berangsur-angsur melembut. Setelah mengembuskan napas panjang, dia mengatakan, "Jika kau tidak punya tempat tujuan, ikut saja denganku. Kau butuh tempat untuk beristirahat"
Freya mengangguk. Agak terkejut saat menyadari betapa dia terlalu cepat memercayai pria di depannya. Tapi, apakah Freya punya pilihan lain? Jika dipikir-pikir lagi, mungkin gadis itu bisa berakhir di sini karena disumpahi Alvin. Dengan putus asa, Freya juga percaya bahwa satu-satunya cara agar bisa keluar dari sini adalah dengan menikahi Ares, sesuai dengan sumpah—atau kutukan—Alvin.
Freya bersumpah dia akan membunuh kakaknya begitu dia berhasil keluar dari sini.
Freya tidak banyak berpikir selagi kakinya melangkah di belakang Ares. Untuk ukuran seorang raja yang ditakuti semua orang, Ares tampak ... baik? Dia menolong Freya di Deadly Forest, membawanya keluar dari sana dengan selamat, dan kini pria itu menawarinya tempat untuk beristirahat dan membersihkan diri.
Freya melihat kereta kuda yang dikelilingi oleh prajurit berseragam hitam-hitam. Ares membuka pintu, mempersilakannya untuk masuk duluan. Masih dengan hati-hati, Freya mengangkat kaki mungilnya dan berusaha menyamankan diri di atas bangku. Ares menyusul masuk dan duduk di depannya. Tubuh Freya tersentak mundur ketika kereta kuda mulai berjalan.
"Berapa usiamu?" tanya Ares.
"21." Freya menjawab dengan nada yang sama datarnya.
Jika Alvin mendengarnya, kakaknya itu akan menertawakannya seraya mengejek, lantaran Freya masih gemar bermain Cooking Mama Kendati usianya sudah bukan lagi anak-anak.
"Siapa namamu?"
"Freya."
"Sudah menikah?"
"Belum."
"Kenapa?"
Freya mengerutkan kening, bingung. "Karena aku belum lulus kuliah."
"Orang tuamu tidak keberatan?"
"Justru orang tuaku akan membunuhku kalau aku menikah sebelum menyelesaikan studiku."
"Duniamu sangat menarik," gumam Ares.
"Ya, dan sekarang aku terperangkap di tempat ini." Freya celingukan memandang sekelilingnya. Masih tidak percaya dia sungguhan masuk ke dalam dunia lain, ke dalam dunia permainan.
"Maukah kau menceritakan padaku bagaimana kau bisa berakhir di sini?"
Pandangan Freya kembali kepada Ares. Kereta kuda berguncang, namun Freya tidak yakin yang mana yang membuat tangannya refleks berpegangan pada pinggiran bangku—apakah guncangannya yang keras atau tatapan pria di depannya. Freya belum pernah melihat manik mata yang begitu hitam seperti milik Ares. Begitu gelap, tapi juga begitu murni.
"Aku tertidur. Bangun-bangun sudah ada di pondok itu," jawab Freya jujur. Ares akan menganggapnya gila, tapi jika insting pria itu tajam, dia akan tau Freya tidak berbohong.
Ares mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya dengan santai.
"Kau tidak mau bertanya lagi?" tanya Freya.
"Tidak. Aku percaya padamu."
Ares menutup matanya seraya bersedekap. Tanpa diduga, pria itu tertidur tak lama kemudian. Freya melihat dadanya naik-turun dengan teratur. Freya merasa aneh sekaligus heran. Jika dia jadi Ares, dia tidak akan tidur sembarangan apalagi di depan orang asing yang bisa membunuhnya sewaktu-waktu. Ares beruntung karena Freya sama sekali tidak punya niat buruk. Bagaimana jika itu orang lain?
Namun, melihat Ares yang bisa sesantai ini, mau tidak mau bahu Freya jadi ikut rileks.
Apa yang terjadi setelah itu terasa kabur bagi Freya. Dia dibawa ke istana oleh Ares. Diberi kamar, pakaian bersih, dan makanan yang cukup. Keesokan harinya, Freya dipanggil ke ruang Singgasana. Ares menawarkan pekerjaan. Kebetulan, posisi asisten kepala perpustakaan sedang kosong. Freya menerima tawaran itu tanpa berpikir panjang. Setidaknya, dia diberi upah yang layak dan diizinkan tinggal di istana ini. Itu sudah cukup bagi Freya. Perpustakaan adalah gudangnya informasi. Barangkali Freya bisa mencari jalan keluar melalui buku-buku yang ada di perpustakaan.
Segalanya terasa sempurna.
Terlalu sempurna.
Freya menghabiskan tiga bulan dalam dunia permainan itu hampir tanpa konflik. Rutinitasnya tidak jauh dari membereskan buku, mengobrol dengan Sergei sang kepala perpustakaan, dan membaca buku. Tentu saja, Freya masih melihat Ares. Pria itu justru menghabiskan lebih banyak waktunya di perpustakaan. Sangat ... berbanding terbalik dengan reputasi kejamnya dalam deskripsi permainan. Ares tidak menghabiskan banyak waktunya untuk membunuh atau berstrategi di ruang kerjanya bersama para jenderal. Dia justru lebih banyak membaca buku di waktu luangnya. Terkadang, Freya merasa kasihan. Di luar penampilan kerasnya, Ares sebenarnya sangat baik dan terlihat ... kesepian. Orang-orang selalu takut dengannya atau ingin membunuhnya.
"Itu bukan posisi yang bagus untuk mengintaiku, Freya."
Gadis itu terkesiap saat tertangkap basah sedang mengintip pria itu dari balik rak buku. Freya cemberut.
"Lain kali, ambil posisi yang lebih jauh jika ingin mengintaiku, apalagi untuk membunuhku," komentar Ares lagi.
"Aku memang berencana untuk memukul kepalamu dengan buku sampai mati," gerutu Freya.
Ares tertawa, tapi dia tidak terdengar tersinggung atau merasa terancam.
"Duduklah di sampingku. Temani aku membaca."
Itu bukan pertama kalinya pria itu meminta Freya menemaninya. Lusa, Ares akan memintanya lagi. Kemudian besoknya, dua hari kemudian, minggu depan, dan seterusnya. Sampai, suatu hari, pria itu melamarnya.
"Kau sudah gila?" itu adalah jawaban Freya.
"Mungkin." Ares mengangkat bahunya dengan santai. Pria itu mengajaknya menikah seperti sedang mengajak seorang wanita untuk pergi ke pasar.
"Kenapa kau ingin menikah denganku?"
"Kenapa kau tidak membunuhku?"
Freya terkejut mendengar pertanyaan Ares yang tiba-tiba itu, lantas memberikan jawaban dengan nada heran. "Karena aku tidak tertarik untuk melakukannya?"
"Itulah jawaban pertanyaanmu." Ares menganggukkan kepalanya.
Freya merasa bingung. Apa sebegitu menyedihkannya Ares sampai dia menikahi seseorang hanya karena ... orang itu tidak punya niat untuk mencelakainya? Sama sekali bukan karena cinta?
"Aku merasa damai saat bersamamu, Freya. Orang-orang selalu takut atau ingin membunuhku, tapi kau tidak pernah menginginkan apa pun dariku. Kau lugu, tulus, dan meskipun aku memberimu banyak peluang untuk membunuhku, kau tidak melakukannya." Ares mendorong cincin emas di atas meja ke hadapan Freya. "Aku tau kau belum mencintaiku. Tapi aku berjanji aku akan memperlakukanmu dengan baik. Kita bisa belajar untuk saling mencintai pelan-pelan."
Mau tidak mau, Freya teringat sumpah kakaknya. Jika Freya berhasil menikahi Ares, apakah itu artinya Freya akan berhasil keluar dari permainan ini?
"Bagaimana jika ... bagaimana jika aku mengkhianatimu di masa depan?" tanya Freya lagi.
"Kalau begitu, aku pasti melakukan kesalahan yang begitu fatal sampai kau punya hati untuk mengkhianatiku."
"Kau menilaiku terlalu tinggi," gumam Freya.
"Di mataku nilaimu memang sangat tinggi dan berharga."
Freya memalingkan wajah untuk menyembunyikan rona di pipinya. Dengan hati-hati, dia mengambil cincin di meja dan memakainya di jari manis kanannya. Gadis itu tersenyum. Ares mengambil tangan kanan Freya dan meremasnya lembut.
Persiapan pernikahan memakan waktu yang cukup lama. Enam bulan kemudian, Freya berdiri di hadapan Ares dan mengucapkan sumpah pernikahan.
Untuk pertama kalinya, Freya tidak duduk dengan pikiran kosong. Malam itu, dia duduk dekat jendela kamarnya untuk menunggu Ares selesai mandi. Dia sudah berhasil menikahi pria pertama yang ditemuinya dalam permainan. Sesuai dengan sumpah kakaknya, Freya sudah bisa kembali ke dunia asalnya.
Gadis itu terus menatap pintu kamarnya.
Freya berjalan menghampiri pintu itu, lalu membukanya. Dia memandangi kamar lamanya. Komputer yang dirakitnya bersama ayahnya masih ada. Kasurnya masih ada di sana dalam keadaan rapi. Cat temboknya masih seperti yang diingatnya; berwarna krem pucat tanpa hiasan apa pun. Tidak ada suara Alvin. Kamar itu tampak mati, seperti sebuah kenangan yang muncul untuk sekadar diingat sebelum akhirnya menutup buku dan menjalani kehidupan seperti biasa.
Akan tetapi, kehidupan mana yang akan Freya jalani?
"Freya?"
Terdengar suara Ares di belakangnya. Pria itu mengenakan jubah mandi. Rambutnya tampak basah dan meneteskan air ke bahu cokelatnya yang kokoh.
Freya kembali memandang ke depan. Dia bisa kembali ke kehidupan lamanya, tapi bagaimana dengan Ares? Freya memikirkan bagaimana Kehidupan Ares selanjutnya tanpa Freya. Mungkin, Ares tetap akan membaca di meja yang sama di perpustakaan. Mungkin, Ares akan tetap menghadapi percobaan pembunuhan demi percobaan pembunuhan karena orang-orang menginginkan kekuasaannya. Mungkin, Ares akan menghabiskan seluruh hidupnya kesepian tanpa orang yang benar-benar menghargainya sebagai ... manusia.
Pelan-pelan, Freya menutup pintunya kembali. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada kehidupan lamanya. Rasa bersalah terbit bersamaan dengan ditutupnya rapat pintu itu. Freya memilih kehidupannya yang ada di sini. Untuk Ares.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ares.
"Ya." Freya mengangguk.
Ares mengulurkan tangannya untuk meraih Freya. Dia mengusap-ngusap punggung gadis itu dan menariknya lembut ke tempat tidur. "Ayo kita beristirahat. Kau pasti lelah setelah seharian menemui banyak tamu."
Freya menyamankan posisinya dalam pelukan Ares. Sekali lagi, dia melirik pintu kamarnya. Freya sudah membulatkan tekad untuk memilih kehidupan yang ini. Tetapi dia juga sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi pada kehidupan lamanya. Mungkinkah Alvin merasa bersalah karena sudah menyumpahinya masuk ke dalam game dan tidak bisa keluar lagi?
***
Di dunia Freya, Alvin meninggalkan rumah duka dengan ekspresi muram. Alvin berharap seandainya Freya sungguhan masuk ke dunia lain dalam permainan sebagaimana doa buruknya kemarin. Seandainya demikian, rasa kehilangannya mungkin tidak akan sesakit ini. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top