Hotel Bunuh Diri oleh df_rost

Premis: X merasa hidupnya tidak berguna lagi sejak pacarnya, M, meninggal dunia. Sebuah rumor mengatakan jika di Distrik B terdapat penginapan yang melayani jasa mengakhiri hidup, jadi X memutuskan pergi ke sana dan menginap selama 5 hari untuk mempersiapkan kematiannya.

Pemilik ide: aiursteru


***


Pudar. Lampu-lampu stasiun tampak berpendar saat kuingat wajahmu sebelum engkau pergi.

Seperti mimpi. Tak satu pun langkah kaki berhenti dan menyadarkanku dari lamunan. Tak ada lagi yang tiba-tiba menutup kedua mataku dari belakang, melontarkan candaan, atau memberiku kejutan manis demi memanen reaksi spontan.

Apa mungkin ini salah satu leluconmu? Mungkinkah jasad yang berhari-hari kuratapi bukan dirimu? Mungkin semua ini palsu. Hanya waham dan halusinasi di kepalaku. Yang nyata cuma rasa sakit dari garis-garis barcode yang kuukir di lengan. Menambah perih tatkala air merembes melalui ceruk-ceruk luka. Menenangkan, walau sementara.

Ragaku masih terdampar di kursi stasiun. Jiwaku mengambang, enggan duduk tenang seperti sepasang suami istri yang bercengkerama di bangku sebelah. Mungkin di semesta lain mereka adalah kita. Namun, aku masih terjebak dalam simulasi dunia tanpa dirimu. Siapa tahu, jika kutusuk lukaku lebih dalam, kita bisa kembali bertemu.

Tapi kau tahu sendiri, aku ini pengecut. Tak sanggup menamatkan yang telah kumulai. Tanpamu, aku hanya orang palsu, tersesat di lingkungan palsu, dikelilingi orang-orang palsu.

Aku muak dihakimi dan ditantang untuk bunuh diri seperti yang mereka tulis dalam komentar statusku. Seandainya ada yang bersedia mengotori tangan untuk mengakhiri hidup, berapa pun akan kulunasi. Tekadku tak cukup kuat untuk melakukannya seorang diri.

Kereta menuju Distrik 62 tiba. Konon, di sana terdapat penginapan yang menawarkan jasa bunuh diri. Hotel Marigold. Aku berangkat tanpa memberi tahu siapa-siapa. Aku dipecat karena selalu mangkir. Rekan dan kerabatku juga sudah putus kontak. Tak ada yang tahu aku ke mana, dan kalau pun ada, takkan ada yang peduli.

Satu-satunya yang menyayangiku hanya kau, tapi kau sudah mati.

Hari pertama di Hotel Marigold, aku disambut ramah layaknya tamu hotel biasa. Letaknya di lereng gunung. Terpencil dari peradaban. Lampu-lampu rumah berkelap-kelip bak kunang-kunang di kejauhan; di kaki-kaki bukit, di tepi jurang, dan di antara pepohonan pinus yang tinggal siluet hitam ditelan gelapnya malam.

Suasananya sunyi. Tak banyak orang lalu-lalang dan tak ada bunyi kendaraan. Tempat yang cukup nyaman untuk meneguhkan hati.

Lima hari. Kata resepsionis, perlu lima hari untuk mempersiapkan tamu yang ingin mati.

Kontrak kutandatangani. Kemudian, aku dibimbing untuk makan malam bersama tamu-tamu yang lain. Meja panjang membentang di ruang makan, menawarkan berbagai macam hidangan. Seperti pesta. Dari yang tradisional semacam tumpeng, hingga yang kebarat-baratan seperti kue tart, semua ada. Ada pula gunungan buah-buahan dan piramida dari gelas-gelas sampanye. Terlalu mencolok untuk sekadar menutup hari.

Padahal, selain aku dan para staf, hanya empat tamu lain yang ikut makan.

"Ada yang ulang tahun, ya?" tanyaku pada seorang pelayan.

"Tidak, tapi akan ada yang akan mati. Seperti hari lahir, kematian juga patut dirayakan, bukan?"

Aku tertegun. Mungkin begitulah tradisi di sini. Meskipun, saat kuamati wajah para tamu, tak satu pun memancarkan ekspresi gembira kecuali seorang nenek yang selalu tersenyum.

Kuambil nasi, sayur sop, beberapa potong daging kebab, serta segelas koktail. Rasanya seperti masa lalu. Saat kau mentraktirku seporsi kebab dari kedai favoritmu. Seolah-olah kau masih di sini, duduk di depan sambil menyuapiku dengan kebab ekstra pedas yang membakar lidah hingga ususku. Sengaja membuatku malu.

"Permisi, Mbak. Boleh duduk di sini?"

Lamunanku buyar. Seorang gadis berkemeja putih dan rok setinggi lutut berdiri di sebelah kursi kosong di depanku. Penampilannya rapi, khas wanita karier. Kedua matanya tampak letih.

"Oh, mari, Kak, silakan," kataku. Ia pun lekas duduk sambil meletakkan segelas sampanye di atas meja. Kuamati meja-meja lain. Sepertinya dia satu dari keempat tamu yang pindah ke tempatku.

"Ratna," ucapnya sambil mengulurkan tangan, mengajakku berkenalan.

Kujabat dan kusebut nama julukan yang pernah kauberikan untukku.

"Baru check-in?" tanya Ratna.

Aku mengangguk.

"Piknik doang, atau ...."

Kalimatnya tak selesai, tapi aku paham arahnya. Aku pun membalas dengan senyuman tipis.

"Maaf kalau terlalu personal," sambungnya. Lalu ia mengubah topik, bercerita lebih jauh soal dirinya tanpa kuminta. Katanya, ia pernah jadi terapis di grup pencegahan bunuh diri. Dari lima belas orang, sepuluh di antaranya kehilangan nyawa, sedangkan sisanya hilang entah ke mana.

"Setelah saya telusuri, mereka dapat info soal penginapan ini dari salah satu anggota," ujar Ratna. "Tapi saat saya kemari, semua sudah terlambat."

Ia menggoyang-goyangkan gelas sampanye, menatapnya nanar.

"Lucu, ya." Ia tersenyum pahit. "Grup yang dibentuk untuk mencegah bunuh diri, malah jadi katalis yang mempercepat kematian mereka. Saya sempat diperingatkan untuk lebih ketat dalam menyaring orang. Satu oknum manipulatif bisa memperparah anggota yang mau pulih."

"Kenapa Kakak menceritakan semua itu ke saya?" tanyaku.

"Maaf, jadi oversharing." Ia mengusap mata. "Mungkin ini egois, tapi apa pun keputusan Mbak, tolong pertimbangkan lagi. Kalau Mbak punya masalah yang nggak bisa diceritakan ke siapa-siapa, saya siap membantu tanpa biaya. Hanya itu satu-satunya cara untuk menebus kegagalan saya."

Aku menghela napas. Ada yang aneh dengan wanita itu. Seakan-akan bukan aku yang butuh bantuannya, tapi dia yang butuh bantuanku.

"Terima kasih, Kak," balasku. "Sampai jumpa besok."

***

Hari kedua, aku tak lagi bisa menemui Ratna. Staf hotel bilang, ia meninggal beberapa jam setelah makan malam.

Pagi-pagi aku jalan-jalan. Tak ada yang bisa kulakukan di kamar selain meratapi dirimu. Di belakang penginapan, terdapat kebun binatang mini. Penuh dengan koleksi reptil seperti kadal, kura-kura, dan berbagai jenis ular. Burung-burung nuri berkicau dari dalam kandang, seolah menyumpahi orang-orang yang menangkap, mengurung, serta hanya lewat tanpa membebaskan mereka. Seperti aku.

Seorang nenek duduk di bangku taman, melihat macan dahan yang tertidur di balik terali besi yang sudah cukup berkarat. Wanita itu menoleh, menyadari kedatanganku.

"Selamat pagi," sapanya. Selendang sutra melingkar rapi di lehernya.

"Pagi," balasku.

Ia nenek yang tadi malam hadir di ruang makan.

"Mau lihat macan juga? Sini duduk."

Ia bergeser dan menepuk bagian bangku yang masih tersisa.

Aku menerima tawarannya. Bukan untuk melihat macan, tapi penasaran kenapa nenek-nenek berada di tempat semacam ini.

Senyum hangatnya mengingatkanku pada ibumu. Wanita yang selalu menyambut dengan penuh suka cita setiap aku mampir ke rumahmu. Di dekatnya, aku serasa pulang ke rumah, meski kau dan aku belum resmi menikah.

Kira-kira, bagaimana kabar orang tuamu? Aku tak pernah berjumpa lagi dengan mereka sejak terakhir berziarah ke pemakamanmu. Toh pada akhirnya kami cuma orang asing. Kebetulan saja terhubung oleh dirimu. Saat penghubung itu hilang, ikatanku dengan mereka pun ikut terkubur bersamamu.

Nenek itu bernama Layla. Ia menanyakan nama, asal, dan usiaku, serta basa-basi lain yang sebenarnya tak perlu. Namun, tetap kulayani. Cukup menenangkan berbicara dengan orang yang tampak ceria, di tengah lingkungan yang semerbak dengan aroma kematian. Membuatku makin ingin tahu alasannya datang ke penginapan.

"Anak saya juga seusia sama Mbak," ucap Nenek Layla. "Tapi dia cowok. Sudah punya istri. Cantik sekali. Kemarin lusa mereka piknik ke luar negeri, jadi saya dititipkan di sini. Takut naik pesawat. Ngeri."

Nenek Layla tertawa renyah.

"Nenek nginep sendiri?" tanyaku.

"He-eh. Lha wong suami saya sudah lama meninggal. Mau maksa ikut anak, nanti malah ngerepotin. Tapi saya suka kok di sini. Pemandangannya bagus. Masakannya enak. Orangnya juga ramah-ramah."

Kata-katanya terdengar seperti sedang menghibur diri. Atau hanya aku yang tanpa sadar menempatkan diri di posisinya.

"Nenek nggak kesepian?"

"Kesepian gimana? Wong saya masih bisa ngobrol sama orang-orang baru kayak Mbak. Kalau dikurung atau dipenjara, baru mungkin saya bakal kesepian. Tapi di penjara pun katanya masih bisa ngomong sama sipir atau tahanan lain."

"Maksud saya, ditinggal orang-orang yang Nenek sayang, mestinya berat, 'kan?"

"Awalnya sih berat. Tapi mau gimana lagi? Wong urip iki gur mampir ngombe. Suatu saat pun saya bakal menyusul juga. Yang penting di sisa hidup ini saya nggak neko-neko, manut sama petunjuk Gusti. Insya Allah, kami bisa berkumpul lagi di surga nanti."

Matanya berbinar, penuh dengan harapan. Sesuatu yang masih belum kupahami hingga berakhir di sini. Apa aku memang terlalu dini saat memutuskan ini? Akankah kutemukan pencerahan jika terus melanjutkan hidup, atau malah semakin larut dalam depresi?

Malamnya, pihak hotel kembali mengadakan pesta makan malam. Kali ini, temanya barbeque. Kami berkumpul di taman dekat kolam renang, menikmati aneka hidangan bakar dan panggang.

Aku dan ketiga tamu lain duduk melingkar di sekeliling api unggun. Selesai makan, kami berbagi cerita. Para staf menganjurkanku meluapkan segala emosi dalam bentuk surat, nyanyian, atau bait-bait puisi. Kalau perlu sekalian bakar segala hal yang mengingatkanku pada alasanku ingin mati. Seperti kenangan-kenanganmu.

Kedua tamu pria di kanan dan kiriku "tampil" lebih dulu. Pria pertama seorang pemuda kurus dengan jaket hoodie hitam toska. Ia memetik gitar dan menyanyikan lagu sendu, kemudian membakar foto-foto teman, mantan, dan dirinya di atas panggung.

Pria kedua adalah bapak-bapak paruh baya berperut buncit. Ia bilang, utangnya sudah terlalu erat melilit, sementara anak-anaknya masih butuh biaya sekolah. Ia tak lagi punya pilihan selain mengorbankan nyawa dan menjual seluruh organnya.

Giliranku tiba. Kubacakan bait-bait puisi khusus untukmu.

Elegi Bara dan Api

Hangat pelukmu masih membekas

Memanaskan rindu yang belum tuntas

Mengapa engkau buru-buru padam

Sebelum napasku bosan membara dalam sekam?

Ah, cintaku yang dilalap api. Kubakar mampus kau esok hari.

***

Hari ketiga. Tadi malam, giliran pria berperut buncit yang bunuh diri.

Tak ada agenda yang istimewa hari ini. Seharian aku meringkuk di kasur, mendengarkan lagu-lagu yang pernah kaunyanyikan. Foto-fotomu kuhapus, barang-barang kenanganmu telah kubakar di atas api. Namun, wujudmu serasa masih di sini, memetik gitar tua peninggalan pamanmu.

Saat kulepas earphone, suara gitar masih terdengar. Kupikir aku berhalusinasi. Begitu keluar kamar, rupanya si pemuda kurus yang bermain gitar di lobi.

Ia berhenti bermain dan menyapaku. Kubalas menyapa, seingatku namanya Deva.

Kuambil segelas air hangat dari dispenser, lalu duduk di sebelahnya.

"Kenapa berhenti?" tanyaku. "Lanjut aja."

"Maaf," balasnya. "Mbak kebangun ya gara-gara aku berisik?"

"Enggak kok. Paling cuma rebahan."

Deva terdiam. Kepalanya menunduk, menatap dawai-dawai gitar di atas lubang tabung resonansi.

"Mas anak band ya?" tanyaku lagi. "Petikannya bagus."

"Dulu sih iya. Tapi sekarang udah enggak," jawab Deva. "Terlalu banyak pengorbanan, terlalu sedikit yang dihasilkan. Setelah kehilangan segalanya, baru sadar kalau aku selama ini cuma ditipu. Sementara suara dan permainanku juga nggak bagus-bagus amat buat terus survive di industri."

"Ditipu?"

"Aku pernah ditawari ikut audisi sama agensi yang cukup terkenal. Karena masih polos, akhirnya mau-mau aja tanpa baca kontraknya dengan teliti. Emang sih, laguku pernah trending, tapi pembagian keuntungannya njomplang sekali. Ditambah ada oknum artis lain yang iri lihat aku maju. Tiap ada event, ada aja yang njegal dan ngalang-ngalangin."

"Terus?"

"Lama-lama aku sadar itu agensi dikuasai si oknum dan kroni-kroninya. Manajer dan para staf cuma sekumpulan yes man, nurut-nurut aja sama kemauan mereka. Terus aku dijebak. Dicari-cari kesalahannya. Sampai di medsos pun aku di-bully sama fans-ku sendiri gara-gara manipulasi mereka."

"Kenapa nggak keluar aja?"

"Itulah. Harusnya kubaca kontrak itu dengan cermat sebelum tanda tangan. Agensi nggak mau melepas karena aku masih jadi 'sapi perah' mereka, tapi di sisi lain, lingkungan kerjanya toksik. Aku dibungkam dan diancam seandainya kubeberkan kebobrokan mereka. Meskipun aku out, mereka tetap bakal menggunakan segala cara buat menghancurkan karier dan masa depanku."

"Mas nggak mau melawan lewat jalur hukum?"

"Udah kucoba. Tapi nyewa pengacara pun butuh duit. Mereka bisa aja menunda-nunda proses hukum dengan sumber daya yang mereka punya sampai duitku habis. Percuma menang kalau ujung-ujungnya tekor juga."

"Tapi, kalau begini ... mereka bakal terus semena-mena," ujarku. Amarahku ikut bergejolak mendengar cerita Deva.

"Maaf, Mbak jadi ikut kepikiran," ucapnya. "Mungkin aku aja yang terlalu tolol. Berkali-kali diperingatkan sama mantan biar berhenti mengejar mimpi, tapi tetap keras kepala. Mungkin hidupku bakal lebih enak seandainya dulu daftar PNS aja. Pada akhirnya, aku kehilangan segalanya gara-gara mimpi itu sendiri."

"Kayaknya itu bukan salah Mas, deh. Lagian, apa salahnya punya mimpi?"

"Tau dah. Sebentar lagi juga mati," sahutnya. "Eh, Mbak ada request? Atau mau nyanyi? Biar kuiringin kalau mau."

Aku ingin terus mendengar kisahnya. Namun, ia sudah enggan melanjutkan. Bukan urusanku juga. Persamaan kami di sini hanya satu, sama-sama ingin melepas segala urusan di bumi.

Malam itu, Deva tewas digantung. Lehernya patah seketika tatkala algojo membuka papan penutup pijakan kaki.

***

Hari keempat, hotel terasa lebih sunyi daripada hari-hari sebelumnya.

Sungguh sayang Deva pergi begitu cepat. Kalau sebelum kemari aku tahu soal dia, mungkin aku akan jadi penggemarnya. Suara dan petikan gitarnya tak seburuk yang ia katakan.

Mendengar kisah tamu-tamu lain, aku jadi ragu. Apa tekadku sudah cukup kuat? Mestinya aku tak boleh membanding-bandingkan nasib. Namun, rasanya masalahku terlalu remeh dan dangkal bila disejajarkan dengan mereka.

Aku memang tak berguna. Namun, aku cukup beruntung pernah bertemu laki-laki sebaik dirimu.

Kira-kira, apa komentarmu seandainya masih hidup?

Heh, pertanyaan macam apa itu.

Maaf, Sayang. Ini pasti gara-gara ikut melihat eksekusi Deva semalam. Rasa takut pada kematian yang sempat kulupakan, sedikit demi sedikit kembali merayap di permukaan kulit.

Aku tetap akan menyusulmu. Tunggu saja.

Aku keluar mencari angin. Kulalui koridor demi koridor penuh kamar yang berjajar tanpa penghuni. Ternyata bukan perasaanku saja. Tak hanya tamu, karyawan yang biasa berlalu-lalang pun hilang entah ke mana.

Kucari Nenek Layla. Biasanya ia jalan-jalan di sekitar bonbin mini pagi-pagi. Namun, tak ada siapa-siapa kecuali burung-burung, kadal-kadal, dan macan dahan yang tampak malnutrisi. Aku kembali masuk dan mendatangi ruang makan. Hidangan sarapan sebagian sudah siap, tapi manusia di ruangan ini tinggal aku sendiri.

Apa aku melupakan sesuatu? Atau mungkin, para karyawan sedang cuti? Tidak masuk akal. Kalau begitu, siapa yang memasak dan menyajikan semua ini?

Pintu dapur tertutup rapat. Di depannya terpampang papan peringatan: SELAIN KARYAWAN DILARANG MASUK. Kugenggam gagangnya dan kubuka perlahan. Tak terkunci.

Bagian dalamnya kosong, tetapi aroma sisa-sisa masakan masih cukup menggugah selera. Pintu lain terbuka lebar di dinding belakang. Terdapat lebih dari sepuluh anak tangga yang turun hingga ke bawah tanah. Sayup-sayup terdengar desingan gergaji dan bunyi kobaran api.

Ada yang salah dengan tempat ini.

Sejak awal, konsep penginapan yang membuka jasa bunuh diri sudah menyimpang. Namun saat menemukan ruang rahasia ini, kesan ganjil itu semakin pekat seperti kabut yang tiba-tiba menutupi makam keramat. Hati kecilku berbisik, Jangan masuk, jangan masuk, tetapi rasa penasaran terus mengiringi langkah kakiku.

Aku mengendap-endap. Kulewati sebuah ruangan berisi para pekerja bermasker gas dan baju tahan api. Mereka tengah membakar dan mengasapi daging-daging yang tergantung di langit-langit. Di ruangan lain, terdapat mesin penggiling daging otomatis yang diawasi seorang operator. Posisi badannya membelakangi pintu.

Serpihan daging dan rambut putih berserakan di lantai. Di sebuah tong sampah, selendang sutra tampak menjuntai keluar dipenuhi bercak darah.

"Ada masalah, Nona?" tanya sang operator mesin. "Anda tidak seharusnya berada di sini."

"Uhm, maaf. S-Saya cuma nyari Nenek Layla," balasku.

"Nenek Layla? Ah, yang itu. Beliau sudah dieksekusi dini hari."

"Di—apa? Bukannya beliau tamu reguler?"

"Bukan beliau yang pesan jasa bunuh diri, tapi anak dan menantunya."

Jantungku berdesir.

"Mereka bilang Nenek Layla cuma jadi beban, tapi takut dihujat kalau ketahuan menitipkan orang tua ke panti jompo. Karena itu, mereka meminta kami untuk menyingkirkannya tanpa meninggalkan jejak," lanjutnya. "Nona jangan khawatir, hal semacam itu biasa di sini."

"Lalu di mana jenazahnya? Di mana beliau dikubur?"

"Dikubur? Tidak ada jasad yang dikubur atau dikremasi di sini. Kami diajarkan untuk tidak menyia-nyiakan makanan." Sang operator berbalik. "Meskipun daging nenek itu sudah tak layak dikonsumsi manusia, kami tetap mengolahnya sebagai menu untuk hewan-hewan kami."

Tenggorokanku kering. Kakiku gemetar. Aku sudah menebak dari ceceran uban dan selendang di tong sampah. Namun, aku tetap nekat bertanya.

Sang operator membuka masker gas. Seorang perempuan. Ia gadis yang menghampiri mejaku pada jamuan makan malam hari pertama.

"Rat ... na?"

Ia tersenyum. "Ada lagi yang mau ditanyakan, Nona?"

Aku sontak berlari. Menaiki tangga, melewati dapur, ruang makan, hingga tiba di halaman hotel. Pintu gerbang tak dijaga. Kupercepat langkahku hingga keluar dari kompleks properti.

Ponselku tertinggal di kamar hotel. Namun, tak ada waktu untuk memikirkan itu. Aku harus pergi sejauh-jauhnya. Kuturuni lereng sambil berteriak, berharap ada warga lokal yang mau membantu.

Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan pinus dan cemara. Medan yang naik turun lambat laun mengikis tenagaku. Sekian lama berputar-putar, aku justru kembali ke hotel itu lagi. Entah mengapa.

Aku berlutut, kehabisan napas. Dua karyawan pria bersama-sama mencengkeram kedua lenganku.

Ratna berjalan santai ke arahku. Ia tersenyum seakan-akan mengantisipasi semua aksiku.

"Jiwa Anda terikat dalam kontrak yang telah kita sepakati," ujar Ratna. "Sebelum permintaan Anda terpenuhi, Anda belum bisa pergi."

Kontrak. Seharusnya aku membaca kontrak itu dengan teliti.

"Lagi pula, kenapa lari? Bukannya Anda sendiri yang memutuskan untuk bunuh diri?"

"Aku nggak sudi jadi santapan iblis macam kalian!"

"Jadi gara-gara itu? Anda pikir, Anda ke sini untuk dikubur dalam makam indah berlapis marmer dan ditaburi bunga-bunga?" tanya Ratna. "Apa pentingnya kondisi mayat setelah mati? Raganya mati. Jiwanya sudah pergi. Anda kira mereka peduli bakal dikubur secara terhormat atau menjadi makanan lezat? Bagi kami, menjadi santapan jauh lebih bermartabat. Setidaknya mereka tetap berguna dalam diri makhluk lain walau sudah tak bernyawa."

Aku berontak sambil berteriak, "Kalian gila! Dasar monster! Pembunuh!"

"Kami memang kanibal, tapi kami punya prinsip. Kami hanya mengolah jasad manusia setelah sama-sama sepakat," balasnya. "Kami tak pernah ingkar janji. Kami pun berharap, kita bisa saling menghormati kesepakatan ini."

Aku kembali berontak, tapi percuma. Staminaku habis untuk lari. Tenagaku tak sepadan dengan dua pria kekar di kanan-kiri.

Kedua pria menyeretku, mengikuti Ratna yang telah memasuki gedung lebih dulu.

***

Hari kelima. Hari terakhirku di dunia.

Semalaman aku ditempatkan di sebuah kamar, berseberangan dengan tiang gantungan tempatku akan dieksekusi.

Tak ada gunanya lari. Ratna bahkan tak perlu mengunci pintu atau menyuruh antek-anteknya mengawasiku. Di atas tanah, hotel terdengar beroperasi seperti biasa; menerima tamu dan mangsa-mangsa baru.

Tubuh dan pikiranku lumpuh. Mungkin mereka telah membubuhi makanan dan minumanku dengan obat-obatan. Atau ini hanya sugesti. Toh sekalipun kabur, tak ada lagi tempat untuk kembali.

Sejak awal, inilah keputusanku. Ini layanan yang telah kupesan lima hari yang lalu.

Hanya saja, untuk sesaat, aku ingin hidup seribu tahun lagi.

Ratna dan para algojo tiba. Menuntunku ke tempat peristirahatan terakhir. Tangga-tangga kayu kupijak hingga tiba di bawah tiang. Tali tambang yang melingkar tampak seperti wajahmu yang sudah lelah menunggu.

"Terima kasih telah memesan layanan kami," ucap Ratna. "Sudah lama tak ada tamu yang cukup bersemangat seperti Anda. Menghancurkan orang yang masih memiliki gairah hidup, lebih menghibur daripada mereka yang tak punya harapan sama sekali."

Apa yang dia bilang?

"Jangan khawatir. Sebagai penghormatan, kami akan mengolah tubuh Anda menjadi hidangan mewah, lalu merayakannya dalam pesta super meriah."

Sayang, bisa kau terjemahkan ucapan Ratna ke bahasa yang dapat kumengerti?

Sayang?

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top