Hantu oleh SylicateGrazie
Premis: Anak hantu bersama keluarganya di sebuah kwarcab harus mengganggu rombongan tur studi yang menginap, tapi salah satu anak malah balik menganggu mereka, sehingga anak hantu menampakkan diri dan bikin anak tadi terpesona dan temenan :v
Pemilik ide: rekhair
***
Jujur saja, aku tidak suka tiap kali anak-anak datang ke penginapanqmi. Terlebih jika anak-anak itu lebih dari satu. Sore ini, kami kedatangan kurang lebih tiga bus berisi anak-anak SD yang superberisik dan tidak sopan!
Tubuh transparanku mengintip dari balik jendela penginapan, melihat anak-anak berseragam olahraga bercengkrama dan membuat beberapa barisan untuk memasuki penginapan. Aku mendecak sebal. Pasalnya, dari jarak sejauh ini pun aku sudah dapat mendengar teriakan-teriakan mereka!
Sebuah dehaman terdengar. Aku berbalik, mendapati ayahku dengan kumis transparan menatapku dengan senyum. Kumisnya bergetar kala suara baritonnya terdengar. "Sudah siap menakuti mereka?"
Aku mendecak, kembali menatap anak-anak SD itu. "Kalau aku berhasil," aku mengembuskan napas kesal, "aku benar-benar akan jadi penggalang?"
"Oho, benar sekali." Tubuh transparan ayah terbang, terhuyung ke sisiku dengan perlahan. "Lihat, ada banyak sekali yang bisa kau buat takut, hantu kecilku."
"Jangan panggil aku hantu kecil ayah!" Bibirku manyun. "Aku jadi teringat Kakak. Kakak sudah jadi penegak, 'kan? Tiap kali aku mendengar cerita kakak tentang bagaimana ia menakut-nakuti orang, aku selalu takjub! Seperti saat ia menyeret seorang gadis ke danau dan membuatnya histeris, atau menampakkan dirinya sebagai kuntilanak hingga teriakan demi teriakan terdengar di lantai bawah ...."
"Kakakmu itu memang hantuk yang hebat, kreatif bahkan," imbuh pria tua itu. "Ayah yakin kamu juga bisa seperti kakakmu."
Aku memutar bola mata. Dapat kurasakan ayah menembus lantai, menuju lantai bawah. Aku kembali menyenderkan tubuh kecilku ke dinding.
Tempat penginapan kami lumayan besar, terdiri dari tiga lantai dan berisi banyak sekali kamar tidur dan kamar mandi. Tentu ini merupakan ladang bagi kami para hantu untuk menakut-nakuti manusia. Semakin banyak orang yang kami takuti, semakin tinggi pangkat pramuka kami. Setidaknya itu yang diajarkam ayah selama kami tinggal di sini.
Penginapan ini tidak hanya terdiri dari satu rumah besar ini saja, tetapi sederet rumah dengan desain yang sama. Tetangga-tetangga kami juga transparan, dan akan menakut-nakuti tiap tamu yang datang.
Ketika malam tiba, suhu di area penginapan kami turun drastis. Anak-anak tadi kini sudah berganti baju, dilapisi jaket dan bedak di kedua pipi-pipinya. Terlihat beberapa di antara mereka tengah mengitari api unggun yang sudah dibuatkan salah satu pengurus penginapan, terletak di lapangan rumput yang terletak di depan penginapan.
Tanpa mereka sadari, aku dan teman-teman hantuku sedang baris-berbaris di dekat mereka. Melakukan lencang kanan, memperbaiki barisan kami dengan ayah sebagai pemimpin.
Namun entah bagaimana, aku tidak dapat fokus. Kulihat salah satu anak di dekat api unggun berteriak-teriak, lalu memukul salah satu temannya hingga tangisan menggelegar. Aku menyipitkan mata, berupaya untuk memperhatikan wajah si pemukul itu.
Pipinya tembam, dan terdapat tahi lalat di dekat matanya. Ia merengut melihat temannya menangis lebih kencang. Akhirnya salah satu guru menghampiri mereka, meminta anak itu untuk meminta maaf pada temannya. Namun anak itu malah membuang muka. Kedua tangannya memeluk mainan robot yang diperebutkan.
Aku meringis. Kini aku tahu siapa yang akan kutakuti malam ini.
Dengan posisi istirahat di tempat, aku dan teman-teman hantuku menyimak pidato ayah di depan barisan. Bercerita tentang sejarah dibangunnya kwarcab ini, lalu tentang mereka yang sudah sukses menakuti ratusan pengunjung dan bagaimana kita harus menjadikan mereka sebagai panutan. Di antara nama-nama yang disebut, nama kakakku terdengar. Entah mengapa, aku semakin yakin aku dapat menakuti anak itu malam ini.
Namun sebelum itu, aku harus tahu apa yang anak itu takuti. Itu yang selalu kakak lakukan sebelum ia menakuti orang-orang, cari tahu apa yang mereka takutkan sehingga ia dapat menakuti mereka secara maksimal!
Setelah apel tadi dibubarkan, aku mengikuti jejak-jejak kecil anak dengan mainan robot itu. Kulihat ia berkali-kali berupaya untuk memulul ataupun menampar temannya yang berusaha mendekat untuk melihat mainan robot. Bahkan saat ia buang air kecil, mainan robot itu juga ia bawa masuk ke dalam kamar mandi!
Kamarnya terletak di lantai dua, di sebuah ruangan yang cukup luas untuk dua kasur. Terdapat lima anak yang akan tidur di sana. Di kamar itu, terdapat pintu kaca mengarah luar, menghubungkan kamar dengan balkoni yang memperlihatkan padang rumput di depan penginapan.
Beberapa anak sudah beberapa kali mondar-mandir ke dalam kamar dan keluar balkoni. Kelihatannya mereka senang dengan pemandangan malam itu, dengan langit yang tampak legam dan bintang-bintang yang terlihat lebih jelas dibandingkan di tempat tinggal mereka--setidaknya, itu yang kudengar dari obrolan mereka.
Namun, si anak dengan mainan robot ini tetap termangu di atas kasur. Ia hanya menggerak-gerakkan lengan robotnya, memainkannya sendirian. Beberapa anak mengajaknya keluar ke balkoni untuk melihat pemandangan. Namun tiap kali diajak, anak itu menggelengkan kepala dengan kasar.
"Aku gak mau!" teriak anak itu ketika salah satu anak mengajaknya untuk keluar, lagi. Anak dengan mainan robot itu merengek. "Aku mau main aja! Aku takut di balkon, tinggi!"
Sebuah bohlam transparan muncul di atas kepalaku. Itu dia! Anak itu takut akan ketinggian!
Aku terbang menembus langit-langit kamar, menuju atap tempat aku dan ayah mengobrol sore tadi. Sekarang belum waktunya aku melakukan rencanaku, masih terlalu awal. Anak-anak itu masih belum mengantuk. Mungkin aku akan menunggu selama beberapa jam sehingga mereka sudah tertidur.
Ketika suara-suara di lantai bawah mulai teredam, aku kembali turun untuk melohat sekeliling.
Lampu-lampu lorong sudah dimatikan. Ketika aku menempelkan telingaku ke pintu-pintu kamar, tidak ada suara yang terdengar. Yah, mungkin aku masih dapat mendengar beberapa anak saling berbisik untuk mengobrol. Namun, sepertinya kebanyakan sudah tertidur.
Aku pun mengecek salah satu kamar tempat guru-guru menginap. Mereka masih terbangun, beberapa masih memainkan ponsel dan bersenda-gurau. Namun kamar mereka terletak di jung lorong, jauh sekali dengan kamar anak dengan mainan robotnya. Seharusnya rencanaku dapat berjalan dengan lancar.
Aku pun terbang cepat menuju kamar berisi anak dengan mainan robot itu. Kepala transparanku menembus pintu, melihat lampu kamar sudah dimatikan dan anak-anak itu sudah terlelap. Kulihat anak dengan mainan robot itu tidur di pojok, memeluk mainannya yang kini basah karena iler. Aku mendekatinya, kemudian membelai kepalanya.
Aku memfokuskan kenangan-kenangan buruk di tanganku, spesifiknya, kenangan-kenangan tentang ketinggian anak itu. Semakin aku membelai kepalanya, semakin terlihat bahwa ia tidak lagi tertidur nyenyak. Dahinya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat hingga tidak ada lagi iler yang keluar.
Membuat seseorang bermimpi buruk adalah keahlianku, kakakku yang mengajarkannya. Ia mengajariku strategi menakut-nakutinya yang tak pernah gagal: cari tahu apa yang orang itu takutkan, buat ia bermimpi buruk tentang hal yang ia takutkan itu, lalu ketika ia terbangun karena mimpi buruknya, takuti dia habis-habisan!
Belum lama aku membelai kepalanya, kini ia mulai menggerakkan tubuhnya dengan agresif. Mainan robot yang sedari tadi ia peluk jatuh ke lantai.
Perlahan, matanya terbuka, merah. Bibirnya bergetar. Ia melihat sekelilingnya, teman-temannya sudah tertidur. Gelapnya ruangan membuat bulu kuduknya berdiri.
Aku tersenyum kecil. Dengan sigap aku menghampiri pintu kaca menuju balkoni, kemudian mendobraknya terbuka, membiarkan angin dingin malah tertiup ke dalam. Anak itu merespons dengan memeluk tubuh mungilnya sendiri.
Kulayangkan tubuhku ke arah balkoni, kemudian menampakkan diriku dalam wujud burung gagak raksasa yang menatap anak itu dengan tajam. Ketika anak itu sadar akan keberadaanku, ia mengguncang-guncang tubuh teman di sampingnya, berupaya untuk membangunkannya. Nahas, anak itu tidak terbangun.
Dengan satu kepakan berisik, aku terbang ke dalam, mencengkeram kedua bahu anak itu dan menariknya keluar ruangan. Anak itu berteriak, tetapi tidak akan ada yang mendengarnya malam ini.
Aku membawanya terbang keluar penginapan, mendengar isak-tangisnya dengan penuh kepuasan. Kedua tangan kecilnya menggenggam erat kedua kakiku. "Turunin!" isaknya, matanya tertuju tanah yang berjarak mungkin lebih dari 20 meter. "Tolong!"
Ekor mataku menangkap sebuah danau tak jauh dari kita. Aku membelokkan arah, mengepakkan sayapku menuju danau.
Melihat pantulan dirinya di atas danau, anak itu semakin histeris. Aku pun mulai turun, mendekati danau itu sehingga sang anak benar-benar ketakutan. "Jangan turunin aku!" rengeknya. "Mama! Papaaaa!"
Aku tak kuasa menahan tawaku. Ketika kami sudah hampir mencapai pinggir danau, aku melemparkan tubuhnya ke udara, membuatnya berteriak makin kencang. Namun sebelum tubuh kecilnya menghantam tanah, aku kembali mencengkeram kedua bahunya, membawanya kembali ke langit.
Suara isak tangisnya mereda. Namun, aku mendengarnya berbisik, "Lagi ...."
... Anak ini menantangku, ya?
Aku mengepakkan sayapku lebih cepat, membawanya semakin tinggi ke udara. Kemudian, dengan satu ayunan kencang, aku melemparnya.
Anak itu berteriak, tetapi ada yang berbeda dari teriakannya. Aku pun terbang menghampirinya lagi sebelum ia mencium tanah. Di cengkeramanku, ia malah bersorak, "Lagi! Lagi!"
Aku kembali terbang tinggi, kini meninggalakan danau itu. Kukepakkan sayapku kembali ke penginapan. Kutaruh anak itu di atas balkoni, lalu aku bertengger di pagar. Kulihat badannya gemetaran, tetapi seulas senyum timbul di wajahnya.
"Tadi itu seru!" ujarnya. "Jujur, sebenernya aku takut banget sama ketinggian. Beridi di balkon ini aja aku gak berani! Tapi, karena tadi ... gak tahu, rasanya geli pas jatuh! Seru!"
Matanya yang berkaca-kaca menatapku dengan penuh minat. "Nama kamu diapa, burung?"
Aku tak bersuara. Namun ia tetap menatapku, mengharapkan jawaban.
"Ya sudah," jawabnya tak sabar, "aku panggil kamu burung saja. Besok malam, kita ketemuan lagi, ya! Harus!"
Lagi, aku tak bersuara. Aku hanya melemparkan pandangan dingin ke arahnya, tetapi tidak mempan. Anak itu hanya tersenyum dengan ingus mulai keluar dari hidungnya.
"Aku mau tidur dulu, di luar dingin," ujarnya. Ia pun membuka pintu, kemudian melambaikan tangan ke arahku. "Sampai jumpa besok!"
Aku mendecak, kembali menggunakan wujud hantu transparanku, kemudian meninggalkan anak itu yang kini kembali tidur seraya memeluk boneka robotnya.
Tubuh transparanku melayanh menuju lantai atas, menembus langit-langit kemudian mendapati ayah tengah menyisir kumis transparannya di depan cermin yang tak memantulkan apapun. Menyadari kedatanganku, ia berdeham.
"Bagaimana, apakah kau sudah menakuti seseorang malam ini?"
Aku mengembuskan napas kasar, sebal. "Tadinya semua berjalan dengan lancar," ungkapku lirih, "tapi tiba-tiba anak menyebalkan itu malah senang dengan apa yang kulakukan! Dia juga memintaku datang untuk menemuinya besok, karena ia senang denganku ... sepertinya. Hanya saja, argh!" Aku menjambak rambut transparanku, sebal.
"Oho, sepertinya ayah paham." Pria tua itu mendekat, menepuk-nepuk kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Setidaknya kau sudah mencoba, Nak."
Aku mendecak sebal. "Harusnya aku sudah bisa jadi penggalang malam ini."
"Bersabarlah," ucap ayah. "Kau masih punya banyak kesempatan. Mungkin besok, atau lusa, atau minggu depan."
Kutatap ayahku lemas. "Tapi aku mau sekarang ...."
"Tentu tidak bisa begitu," balasnya, "kau tahu bagaimana aturannya, 'kan? Sekarang, kau susunlah strategi lagi untuk menakuti orang-orang. Mungkin bukan untuk anak yang kau takuti tadi."
Tanpa sadar sebelah alisku naik. "Kenapa?"
"Sebenarnya ayah lihat aksimu terhadap anak itu tadi." Ayah kembali menyisir kumisnya dengan jemari. "Sebenarnya yang kau lakukan tadi sudah bagus. Hanya saja, sepertinya anak itu agak berbeda sehingga misimu gagal ...."
Aku kembali mengembuskan napas sebal. "Dia anak aneh. Tidak sopan, berisik, makanya aku mau dia sangat ketakutan padaku. Namun dia malah kegirangan. Bagaimana aku tidak makin sebal?"
"Oho, begitulah terkadang. Tidak semua hal berjalan seduai dengan keinginanmu." Ayah tertawa kecil. "Sekarang istirahatlah, pasti kau sudah mengeluarkan banyak energi malam ini. Lanjutkan misimu besok malam."
Aku mengangguk lemas, kemudian turun menembus lantai menuju toulet tempat aku boasa tertidur.
---
Malam berikutnya, aku masih mengekori anak itu. Sekarang ia sudah beberapa kali keluar menuju balkoni melihat pemandangan atau langit. Sesekali temannya menggoda anak itu karena hari sebelumnya ia berkata ia takut ketinggian.
Ketika lampu kamar sudah dimatikan, anak itu belum tertidur. Atau bisa dibilang, ia berusaha keras agar tidak tertidur. Sepertinya ia benar-benar menantikan kedatanganku. Aku mendecak sebal. Kenapa jadi begini, sih?
Aku menunggu sampai anak itu benar-benar mengantuk. Ketika kepalanya sudah terayun-ayun saking kantuknya, aku membuka pintu balkoni. Dalam sekejap ia terbangun. Ia pun menuruni kasur, kemudian berjalan ke balkoni. Namun bukannya bertemu dengan burung bitam besar yang menculiknya ke langit kemarin, ia menemukan hantuk kecil transparan yang melayang-layang di atas pagar.
"Kamu," ucapku, "kenapa kamu kemarin senang kuajak terbang? Bukannya kamu takut ketinggian?"
Anak itu mengerjapkan matanya beberapa kali. "Kamu ... burung kemarin?"
Aku mengangguk. Ia pun menatapku seraya menelengkan kepala.
"Benar, kok, aku takut ketinggian," ucap anak itu. "Tapi gak tahu kenapa, pas aku dilempar-lempar ke atas kemarin, rasanya seru aja gitu. Ternyata terbang di langit kemarin gak seseram itu."
Aku mendecak sebal. "Karena kamu, aku gagal naik pangkat!" seruku. "Coba saja kamu ketakutan kemarin, aku bisa menyusul kakakku!"
Anak itu mengernyitkan dahi, bingung. "Kalau aku gak takut lagi, gimana? Lagian, 'kan kamu juga yang kemarin ajak aku terbang. Berarti kamu yang bikin aku gak takut ketinggian lagi!"
Aku mengembuskan napas panjang. "... Kamu menyebalkan."
Anak itu meringis. "Nama aku Adit," ucapnya tiba-tiba. "Nama kamu siapa?"
"... Sebut aja Hantu. Gimana, malam ini mau terbang lagi?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top