Demi Cintaku Padamu oleh Nilakandiez

Premis: seekor kucing jalanan menjelma jadi manusia & mendatangi X, orang yang pernah menyelamatkannya dari kecelakaan. Ia bilang mau mengabulkan 1 permintaan X, tapi bukannya langsung mengabulkan, dia malah malas-malasan biar bisa ketemu X lebih lama. Karena, ketika permintaan X dia kabulkan, dia bakal kembali jadi arwah kucing yang udah lama meninggal.

Ending: happy/bittersweet.

Pemilik ide: df_rost


***



Takdir kadang-kadang lebih abstrak daripada jalinan benang kusut. Setelah mati, kukira aku benar-benar tidak akan pernah menginjakkan kaki di bumi lagi, tetapi hari aku terjun dari atas pohon dan hidup lagi dengan tubuh yang sangat aneh. Tidak ada bulu lebat, aku mulai merasa kedinginan. Bahkan baju manusia yang kukenakan tak benar-benar bisa membuatku merasa hangat, padahal ini masih sore. Setidaknya aku harus segera menemukan sebuah ruangan yang dapat menghangatkan tubuhku.

"Kau mau kemana? Hei anak baru!"

Sebuah cakaran di kaki menghentikanku berlari, saat aku berbalik seekor kucing oren berdiri tegak layaknya manusia.

"A-apa kita saling kenal?"

Aku refleks menutup mulutku yang begitu lancar berbicara dalam bahasa manusia, kukira akan keluar suara kucing dari mulutku. Aku masih tak paham bagaimana aku sekarang benar-benar jadi manusia.

"Kau tak ingat aku?" Kumis kucing oren itu bergoyang naik turun kala aku menggeleng yakin, tak merasa pernah melihatnya semasa aku masih hidup jadi kucing.

Dia lantas mengembuskan napas kesal. "Aku ini yang mencatat administrasi kucing-kucing yang minta reinkarnasi tahu!"

Aku mengernyitkan dahi—sejujurnya dahi manusia terlalu lebar—sampai-sampai kurasa seluruh mukaku mengerut. "Memangnya aku pernah minta reinkarnasi?"

Entah bagaimana sekali lagi kucing itu mencakar kakiku dengan cepat, refleksku setelah berubah menjadi manusia turun drastis dan darah mengucur dari salah satu kakiku yang terluka. "Kau kenapa terus mencakarku sih?!"

Kucing oren itu malah tersenyum dengan wajah tanpa dosanya padaku. "Ah, dasar. Begitu jadi manusia kau jadi sama pelupanya dengan mereka." Dia mendecak kencang sebelum mengeluarkan sebuah lembar perkamen tua dengan bahasa yang tak dapat kupahami dan ada cap kaki seekor kucing di bawahnya dengan tinta merah. "Lihat, kau sendiri yang menulis ini."

Sepertinya dia paham dengan keterdiamanku yang cukup lama saat mengamati tulisan abstrak dengan bahasa yang tak kupahami. Dia merebutnya kembali dan kertas itu memancarkan cahaya kekuningan bagai lampu tua di sudut gudang. Aku membaca tulisan yang telah dia terjemahkan menjadi tulisan manusia dan benar saja aku memang menulis ingin terlahir kembali jadi manusia dengan cap kaki dari darahku sendiri.

"Untuk mengabulkan satu permintaan orang yang pernah menolongku dari kecelakaan," gumamku bingung. "Memangnya ada yang pernah menolongku dari kecelakaan?"

"Ya mana kutahu! Kan kau sendiri yang menulisnya!"

Setelah membentakku, lagi-lagi cakar si oren menerjang kakiku. Aku sampai tak bisa meringis kesakitan lagi. Maksudku, rasa sakitnya lama-lama tak berasa. Entah karena aku yang sudah jadi manusia atau memang ada kekebalan tertentu untuk tubuhku sekarang.

"Bagaimana cara agar aku bisa mengabulkan permintaannya? Apa aku punya kekuatan untuk melakukan itu?"

Si kucing mengeluarkan sesuatu dari tas selempang kecil di bahunya, sebuah kacamata hitam. Dia mengenakannya sebelum melipat tangan di dada seperti bos kelapa sawit. Ah, dasar kucing sok keren.

"Aku tahu kau pasti sedang berjulid dalam hatimu!" Dia tiba-tiba menunjuk wajahku dengan cakarnya, untung tak kena mataku. "Karena beberapa mahluk reinkarnasi lainnya begitu," katanya seolah tahu aku hendak bertanya bagaimana dia bisa begitu tahu tentang isi pikiranku.

"Tapi ... di situ tertulis aku akan mati lagi setelah mengabulkan permintaannya."

"Tentu saja, kau sendiri yang menulis hanya akan hidup untuk mengabulkan permintaannya. Jadi tujuanmu hidup kembali hanya untuk mengabulkan permintannya saja. Paham?"

Lidahku mendadak kelu, aku bingung bagaimana menjawabnya. Dia tiba-tiba menyerahkan sebuah buku hitam kecil. "Cepat pergi! Di sana ada informasi orang yang harus kau balas kebaikannya."

Kucing galak itu benar-benar mengusirku dan tak pernah muncul lagi. Aku tak bisa menyebutnya ibu peri dengan perangainya yang lebih seperti ibu tiri begitu. Tetapi aku yakin dia jauh lebih nyata daripada dewa kucing yang pernah ditulis manusia. Masalahnya sekarang sudah hari ketiga aku tak menemukan orang yang pernah menolongku. Sudah kutanya pada orang-orang sekitar, tetapi respon yang kudapatkan hanyalah gelengan kepala dan sedikit kekaguman betapa tampannya lelaki itu.

Aku tak paham bagaimana standar rupawan manusia, tetapi melihat foto buramnya yang dipuji-puji orang itu membuatku yakin dia pasti bukan orang biasa dan bakal lebih sulit lagi menemukannya.

"Coba kau ke wilayah rumah elit di dekat pelabuhan, aku yakin orang seperti ini tinggal di rumah semacam itu."

Aku mengangguk dan berterima kasih pada nelayan yang kutemui di jalan. Kurasa dia ada benarnya, beberapa kali kulihat mobil mewah mengkilat keluar masuk gerbang perumahan itu. Lagipula kucing galak yang mengurus administrasi reinkarnasi itu ternyata hanya meninggalkan foto dan catatan ringkas saja, tidak ada alamat maupun tempat kerjanya. Benar-benar membuatku nyaris darah tinggi gara-gara dia.

"Eh, maaf."

"Ah, iya. Tidak apa-apa." Aku memberusaha mengelap kausku dari noda kopi baru saja seseorang tumpahkan padaku.

"Bajumu basah, bagaimana kalau dicuci dulu di rumahku? Rumahku dekat dari sini."

Aku berusaha mengibaskan lengan dan memintanya pergi saja sebelum menatap wajahnya dan terdiam seribu bahasa karenanya. "Tidak us-"

Sial, dia lelaki yang kucari.

Aku menelan ludah kasar. Bagaimana ini? Haruskah aku iyakan saja.

"Kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk kikuk. "Boleh, tunjukkan jalan ke rumahmu."

Dia tersenyum dan memberiku isyarat untuk berjalan mengikutinya. Perumahan elit di dekat pelabuhan dengan suasana pagi cukup sepi meski ada beberapa orang sedang berlari dan bersepeda keliling komplek, ini bukan hari minggu dan mobil-mobil mewah terus keluar dari gerbang.

Aku berjalan dengan pelan seraya memperhatikan penampilanku yang lumayan berantakan—dan gembel. Aku tak tahu berapa kali sehari manusia mandi tetapi seseorang mengatakan padaku kalau bau badanku bagai setahun tak mandi juga bajuku sudah satanya dicuci, entah bagaimana lelaki itu malah melihatku biasa saja.

"Oh tentu saja karena aku menggunakan sihir pelindung penampilan padamu agar kau tampak lebih baik di matanya." Suara itu tiba-tiba muncul di kepalaku disertai dengungan nyaring yang menyerang tengkorakku, membuatku terpaksa memukul kepalaku. "Hei ini aku si oren yang waktu itu, aku sedang bicara denganmu pakai telepati!"

Aku berusaha menahan ringisanku agar tak terdengar pria yang berjalan di depanku itu. "Kalau begitu keluar dari kepalaku, sakit tahu!" Kataku sebelum akhirnya suara itu benar-benar menghilang bersama dengungan yang berhenti dan kepalaku yang mulai pulih dari rasa sakit.

"Nah, ini rumahku."

Aku terperangah menatap rumah besar dengan diding porselen penuh dan tiang-tiang penyangga raksasa. Tak kusangka rumah manusia bisa ada yang semegah ini dan semoga dia tak memelihara kucing di dalamnya, atau aku akan dianggap lawan yang ingin merebut wilayah kekuasannya.

"Ikuti pelayanku, dia akan menggantikan bajumu, kau boleh menggunakan kamar mandiku."

Aku mengangguk dan mengikuti pelayannya, mengitari rumah yang cukup luas sebelum akhirnya berada di sebuah kamar mandi yang memiliki penghangat air. Manusia dengan segala kemampuan berpikirnya dapat menciptakan sesuatu yang sepraktis ini dan sangat berguna bagi kehidupan mereka. Ah, aku jadi iri dengan mereka.

"Anda bisa pilih mau mandi air panas atau air dingin, kami akan meninggalkan Anda untuk privasi Anda."

Setelahnya mereka keluar dan membiarkan menikmati hasil karya manusia-manusia ini.

Sudah beberapa hari aku di rumah Arthur—pria kaya yang harus kukabulkan keinginannya itu. Awalnya James bertanya padaku di mana rumahku dan entah bagaimana sebuah skenario yang sangat tersusun rapi keluar dari mulutku begitu saja. Aku berani bertaruh pasti pelakunya adalah si kucing galak yang suka tiba-tiba muncul di kepalaku itu. Dia hanya tertawa saat aku mulai menuduhnya.

Skenario yang dia ciptakan adalah bahwa aku anak seorang pengusaha yang kabur dari rumah orangtuaku karena tidak tahan dengan tekanan untuk menerima perjodohan, lebih gilanya lagi Arthur langsung percaya begitu saja. Aku tak tahu apakah si kucing itu juga memantrainya atau tidak.

"Apa kau bisa memasak?"

Awalnya aku ingin menjawab tidak, tetapi entah bagaimana aku mengiyakan begitu saja pertanyaan Arthur dan benar-benar melakukannya. Aku benar-benar memasak. Lagi-lagi, entah dari mana keajaiban ini datang atau ini demacam paket yang telah disiapkan si kucing untukku agar memudahkanku melancarkan misiku.

"Masakanku enak?"

Arthur tersenyum. "Tentu saja. Kau sepertinya sudah layak jadi seorang istri?"

"Maksudmu, jadi istrimu?"

Dia tak menjawab dan malah terbahak seraya terus memakan hidanganku dengan lahap. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berada di rumah Arthur, dia tinggal sendiri dan kadang-kadang merasa kesepian. Dia senang kala aku memutuskan untuk tinggal bersamanya. Dia bilang rasanya seperti punya teman hidup, aku menganggapnya seperti punya istri. Kadang-kadang kami benar-benar jadi seperti pasangan suami istri.

Arthur sering mengajakku berbelanja dan memegang tanganku kemana pun kami pergi. Kukira ini benar-benar sesuatu yang menyenangkan, kehidupan manusia terlihat lebih menyenangkan saat aku benar-benar merasakannya. Aku tak heran si kucing oren bilang dia makin sibuk karena permintaan reinkarnasi jadi manusia makin banyak. Siapa yang ingin melewatkan kesempatan hidup seindah ini? Kucing mana pun pasti akan berusaha meraihnya dengan cara apa pun. Aku jadi teringat hari kematianku, saat aku dipukul oleh orang di pasar sampai nyaris mati hanya karena mencuri seekor ikan mentah.

Tak ada yang menolongku kala itu, semua orang mengejarku sampai aku mati. Dan mendapatkan kehidupan ini adalah sesuatu yang layak setelah penderitaan bertahun-tahun jadi kucing jalanan.

"Ingat misimu."

Ah, suara kucing itu lagi-lagi makin sering datang ke dalam kepalaku. Aku tak lupa, aku tak pernah lupa kenapa aku hidup kembali. Tetapi bolehkah aku egois sebentar saja? Aku tak pernah merasa dicintai dan dihargai sedalam ini. Arthur memelukku setiap malam dan memujiku sepanjang waktu. Memberiku kehangatan dan kebahagiaan. Di mana lagi aku bisa merasakan kehidupan yang seindah ini?

Namun, pada suatu malam aku merasa Arthur terlihat sangat berbeda, dia pulang kerja dengan wajah kusut yang membuatku takut. Ekspresi yang belum pernah ia tunjukkan padaku sebelumnya.

"Arthur, kau baik-baik saja?" Kupegang erat pundaknya, berusaha menyalurkan kehangatan tetapi ia menepisnya dengan halus dan tersenyum masam.

Aku bingung, apa yang salah denganku? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatnya marah? Bukankah seharian ini kami bahkan belum berciuman seperti biasanya? Apakah Arthur kesal karena aku bangun kesiangan sehingga tak sempat menciumnya pagi ini?

"Apa terjadi sesuatu di kantor?"

Arthur menggeleng dan duduk di sofa ruang tamu dengan kerutan tebal di dahinya. Dia sedang berpikir keras dan aku tak paham apa yang sedang dia pikirkan. Terlihat seakan dia bahkan tak ingin membagi pikirannya denganku.

Aku kembali mendekatinya, kali ini kusalurkan energiku untuk mendorong bahunya mundur dan memaksanya agar menerima ciumanku tetapi dia justru menepisnya. "Ini salah, Tara. Kita telah melakukan sesuatu yang salah."

"Apa maksudmu?" Aku menautkan alis tak paham. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah padamu? Beri tahu aku, jangan langsung menolakku begitu saja," kataku frustrasi. "Katakan jika aku berbuat salah padamu."

"Apa kau mencintaiku, Tara?"

Aku lantas mengangguk cepat. "Bukankah kita saling mencintai?"

Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang membuatnya benar-benar terkejut saat itu juga.

"Aku sudah punya istri, Tara." Aku menganga tak percaya, bagaimana dia bisa membiarkanku masuk ke dalam rumahnya jika dia sudah beristri? Ah, dia memang gila, kurasa. Tak ada foto pernikahan mereka bagaimana bisa aku memercayainya begitu saja, apa dia hanya ingin mengusirku?

"Tapi tak ada foto pernikahanmu, tuh."

"Dia pingsan dan terbaring koma tepat setelah mengucap janji suci di altar," jelasnya padaku. "Sudah tujuh tahun sejak dia koma dan belum bangun sampai hari ini. Aku hanya berharap sebuah keajaiban datang dan membuatnya terbangun."

Aku lantas menangis sejadi-jadinya. "Lalu bagaimana denganku? Kenapa kau sangat egois menyembunyikan semua fakta ini selama nyaris setahun kita bersama?!"

Arthur tak lagi dapat menjawab dia justru menarikku ke mobilnya dan membawaku ke sebuah rumah sakit dengan pelayanan terbaik di kota ini, dan benar saja ruang rawat inap istrinya di sebuah ruangan vip yang tal boleh dimasuki siapa pun karena dokter dan beberapa perawat sedang melakukan penanganan pada kondisi kritis yang mendadak tersebut.

"Dokter bilang mungkin dia tak akan bertahan lama." Arthur mulai terisak. Aku sungguh tak tega melihatnya menangis seperti ini.

"Apa kau mencintainya?" Arthur mengangguk berkali-kali. "Kami sudah bersama sejak di sekolah menengah."

"Apa yang dia butuhkan agar pulih kembali?"

"Dokter bilang beberapa anggota vitalnya perlu transplantasi, tetapi sudah beberapa kali dilakukan transplantasi tak ada yang cocok bertahan lebih dari satu tahun. Itu membuatnya harus terus berbaring."

Aku terdiam, memikirkan cara bagaimana membawa kembali istri Arthur ke dalam kesadarannya. Aku berusaha memanggil si kucing tetapi dia tampaknya sangat sibuk sampai mengabaikanku.

"Ambil punyaku, aku janji dia akan hidup dengan normal sampai akhir hayatnya."

Arthur menautkan alis bingung, pasti dia sedang merasa ditipu oleh selingkuhannya yang entah bagaimana tak dicari-cari oleh orangtuanya. "Bagaimana kau bisa yakin tubuhmu cocok dengannya?"

"Aku bukan manusia biasa," kataku. Aku mulai menggores kulitku dengan pisau lipat yang kubawa dari rumah, dia terkejut saat lukanya mulai tertutup sendiri. "Kau percaya?"

Arthur mengangguk dan mulai memanggil dokter yang ada di dalam.

Mungkin inilah akhir hidupku, lagipula ini juga bukan kehidupan yang kumiliki seutuhnya. Semua ini hanya untuk membalas kebaikan arthur, sudah saatnya aku mati lagi dan melupakan kenangan ini. Walaupun segalanya seakan semu, cintaku pada Arthur itu nyata. Dan kulakukan semua ini demi dirinya. Asal dia bahagia, aku juga akan ikut bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top