Anhedonia oleh Thingsgotlouder
Premis: MC nya seekor kucing khayalan dari seorang remaja depresot. Tiap hari remaja ini sedih, dan MC selalu berusaha bikin remaja ini senang lagi dan terhindar dari bunuh diri. Pelan-pelan MC jadi mediator buat si remaja biar nggak depresi lagi dan jadi sayang banget sama si remaja, sampai kemudian MC sadar kalo remajanya sembuh dari depresi, MC bakal hilang (karena dia terbentuk dari khayalan depresinya remaja itu).
Ending: terserah, mau MC nya nyesatin si remaja biar selalu depresi jadi mereka bisa bersama, atau memilih kebahagiaan si remaja dan merelakan si MC hilang
Pemilik ide: Aesyzen-x
***
Di ujung sebuah ruangan kosong, secercah cahaya muncul dari ketiadaan. Sebuah cakar perlahan terbentuk. Kemudian helaian bulu tipis dan lembut mengakar pada sebuah batangan lunak yang hangat. Sebuah kaki tercipta.
Satu. Dua. Tiga. Dan empat. Setelahnya batangan lain tanpa kaki terbentuk lebih panjang. Memusat pada bantalan lunak yang terbentuk lebih besar. Menjalar hingga ujung lain dimana cupil telinga yang tegak lurus mengacung sempurna. Kelopak dan iris seperti nebula mawar mengelilingi sebuah pupil hitam memanjang. Ketika bentuk mencapai ujung hidung kecil yang basah. Sesuatu itu membuka bagian rahang yang memperlihatkan jajaran gigi runcing dan empat diantaranya lebih panjang, makhluk itu seolah menarik nafas dalam.
... Kasia ...
Sesuatu yang berbentuk kucing Calico itu memiliki satu kesadaran akan sebuah nama dikepalanya.
Matanya berkeliaran, memindai ruangan kosong itu. Berkat penglihatan malamnya, dia menemukan seorang gadis sedang duduk di tengah ruangan lain. Dari arah pintu yang terbuka kucing kecil itu dapat melihat bagaimana si gadis hanya diam menatap secercah cahaya yang masuk dari celah kecil jendela.
Perlahan kucing Calico itu memangkas jarak dan mengamatinya lebih dekat. Sesaat dia ragu apakah gadis ini masih hidup, bahkan gerakan kecil seperti nafas yang teratur tidak terlihat melakukan aktifitasnya.
Hingga ketika kucing itu menyadari bahwa tidak ada aroma Kematian darinya, kucing itu mendekat dan mengusakkan kepalanya pada lengan si gadis yang lunglai.
Kucing itu mengeong lembut. Namun, sepertinya tidak ada satupun dari usaha pengalihannya berhasil membuat perhatian gadis itu berbalik.
Calico kecil kemudian kembali melihat kesekitar, dan tidak menemukan apapun yang menjanjikan selain kibaran halus gorden di sebelah cercahan cahaya.
Kaki-kaki halus itu sekarang melompat kesegala arah, mencari pijakan kokoh yang bisa membawanya ke bagian atas meja nakas di samping jendela.
Hanya sedetik setelah ia sampai, ruangan seolah diselimuti debu padat yang tebal. Sorotan cahaya seolah menampilkan sosok gadis putus asa tanpa cahaya di matanya itu sebagai pemeran utama. Kemudian bayangan putih mulai beranjak darinya. Bayangan lain dengan sosok yang lebih besar muncul.
Satu dan dua.
Kabut yang samar perlahan membuat si gadis menghilang. Digantikan sosok-sosok kabut yang kini memadat. Namun, sehebat apapun kabut menyatu, tubuh-tubuh berbayang itu tetap membawa kesan rapuh yang dalam.
Satu persatu kedua sosok itu membentuk wajah seorang gadis dan wanita paruh baya yang pincang.
Keduanya menyapu dan membereskan kardus-kardus bersama. Bayangan gadis lalu berjinjit di atas kursi, ia menambal pipa yang bocor. Ada guratan kebahagiaan yang kental disana.
Bayangan kabut lain menunjukkan adegan dimana keduanya merajut bersama. Si gadis menunjuk syal buatannya dan memakaikannya pada wanita paruh baya. Lagi-lagi, guratan kebahagiaan tercermin disana.
Selanjutnya, mereka tampak menggedor-gedor pintu kecil disamping pintu utama. Sebuah kotak kardus muncul berisi makanan kaleng.
Bayangan yang memudar tampak bergerak lebih cepat. Keduanya memiliki waktu tunggu didepan pintu kecil itu. Kardus yang muncul perlahan berisi lebih sedikit makanan. Hingga tibalah waktu dimana tidak ada kardus yang datang lagi.
Sorotan cahaya pun kemudian memudar. Berganti warna dari keunguan menjadi merah padam.
Di sisi lain, kedua bayangan itu mulai semakin lesu. Mereka semakin buram dari waktu ke waktu.
Hingga pada hebusan kabut berikutnya, wanita paruh baya tadi kini berdiri didepan kompor seolah menyeduh sesuatu. Dia berbalik dan mendapati bayangan si gadis kini tertidur dengan perutnya yang diikat kuat dengan bantal.
Kedua ujung bibir wanita itu turun. Sosoknya yang memburam melingkarkan syal dan mengikatnya pada lengan atasnya dengan kuat. Sebuah lap basah ia raih di samping kompor dan menyumpalnya kedalam mulutnya sendiri.
Jemari ringkih yang bergetar itu perlahan memegangi gagang golok dengan mata pisau berkarat.
Wanita itu meletakan tangannya diatas talenan sembari membuat ancang-ancang untuk memotong. Namun, dingin logam berkarat itu membuatnya runtuh ke lantai. Punggungnya bergetar dan dia menangis dalam kesunyian.
Calico kecil melirik ke arah bayangan si gadis, menemukan ia sudah bangun dengan sendu diwajah cekungnya.
Seolah sudah menguatkan dirinya kembali, wanita paruh baya kembali bangkit. Ia kembali pada posisi tadi dan menggeserkan targetnya.
Dalam satu hentakan, ujung golok itu menembus ringan bagian dalam siku wanita paruh baya.
Lenguhan tertahan ditanam kuat dalam lap basah beraroma minyak tanah di mulutnya.
Sepertinya target berubah dari memotong tulang menjadi melepaskan lengannya dari persendian.
Suara hujaman demi hujaman memenuhi ruangan. Wanita itu seolah gila dengan perilakunya sendiri. Dengan mata bulat kecilnya, si kucing melihat bagaimana wanita itu terus menerus menggeliat namun juga terus menghujam bilah berkarat itu pada persendiannya. Bahkan di hentakan kesekian, tubuhnya sudah longsor ke lantai. Tangannya masih bergerak untuk memotong sementara tubuhnya sudah kabur-kaburan. Darah menggenang dan memuncrat ke segala arah.
Gadis yang meringkuk di ruang tengah ia sadari juga sedang menangis dalam diam. Semakin erat juga ia memeluk kakinya sendiri.
Kabut dengan cepat berubah menjadi potongan adegan dimana wanita paruh baya itu kini sudah terduduk lemas diatas meja makan bersama si gadis. Gadis itu sedang memakan sup daging bening dengan lahap. Dari dua mangkuk yang tersaji, satu yang berada di depan wanita paruh baya seperti belum tersentuh sama sekali.
Tersenyum. Wanita paruh baya berambut ikal mengembang itu tersenyum dalam wajah pucatnya. Lengannya yang sudah putus menggantung dalam diam di dalam baju panjangnya.
Calico kecil mengeong. Ia membumikan tubuh dan kepalanya.
Kabut perlahan menghilang. Sosok gadis yang solid kembali terlihat hanya duduk di tengah ruangan. Melihat kearah jendela. Seolah kearahnya.
Sang kucing sedikit mencari sosok wanita paruh baya yang kini sudah tidak ada itu. Melihat bagaimana si gadis hanya duduk termenung seperti tersesat, mungkin sudah sedikit menjelaskan kemana hilangnya wanita paruh baya itu.
Si gadis perlahan berdiri dan mendatanginya.
Tetapi, tidak.
Tangan gadis itu meraih papan kayu yang tertanam dan menghalangi jendela. Kemudian membukanya dengan mengandalkan berat tubuhnya.
Satu persatu papan kayu tercabut dan kini cahaya kemerahan mulai memasuki ruangan. Calico tidak bisa kecuali hanya melihatnya bergerak seperti sudah terkontrol.
Gadis itu kemudian membuka jendela. Angin busuk dari sisa pembuangan dan hal lain yang tidak diketahui bercampur aduk.
Cahaya kemerahan yang ternyata berasal dari lampu itu sedikit tidak terduga. Si gadis kemudian memanjat jendela yang cukup besar. Dengan sedikit kekuatan lain, kaca jendela dengan kayunya patah dan terjatuh. Anehnya, tidak ada suara mendarat yang dapat didengar oleh telinga kucing kecil.
Merasa bahwa tindakan ini tidak benar. Calico segera melompat dan meraih baju si gadis. Namun, baju itu hanya bisa robek tanpa mengalihkan perhatian pemiliknya.
Dari bawah jendela kucing itu mengeong berulang kali dan mencoba melompat ke arah jendela lagi. Tetapi, percuma.
"Meong~"
"Meong!"
"MEONG!"
"KASIA!"
Sebuah suara tanpa diduga keluar dari mulut kecil Calico. Bahkan dirinya saja tidak menduganya. Dari suaranya dia baru tahu dia setua itu dan juga ... ternyata dia perempuan?
Tetapi, hal aneh ini justru bisa membuat si gadis menoleh dengan seksama. Wajahnya yang kusam dan bibirnya yang kering tampak panik, dengan suara parau dia memanggil seseorang.
"... Ibu?"
"Kasia, turunlah! Apa yang akan kamu lakukan?!"
Niatnya, calico hanya ingin menyampaikan pikirannya. Namun, ternyata hal yang ia kira sebagai suara dari imajinasinya berubah menjadi kenyataan yang mengejutkan.
Gadis itu segera turun dan memandangi kucing di depannya dengan panik.
Dilihat seperti itu sebenarnya cukup menakutkan. Tetapi, si kucing tidak tinggal diam dia berusaha untuk bernegosiasi.
"Ibumu tidak akan pergi. Jika dia sedang pergi dia pasti kembali. Pasti."
Air mata membendung dan terjatuh di area pipi si gadis.
Hal yang selanjutnya terjadi adalah tubuh Calico menegang dan pupil matanya mengecil. Sebab si gadis, atau seseorang yang entah kenapa dia kenal sebagai Kasia ini memeluknya erat sekali. Ia hampir kehabisan nafas hingga reaksi tubuhnya seperti orang sekarat.
Menyadari yang dipeluk kini memiliki tubuh 20x lebih kecil darinya, Kasia melepaskan pelukannya dan mengangkat Calico tinggi-tinggi.
"Ibu datang mengunjungiku lagi?!"
Meski sama-sama terlihat setengah sekarat. Kasia sepertinya masih memiliki tenaga cadangan. Matanya berlinang dibawah pandangan Calico.
Tapi, tunggu. Ibu?
Perasaannya mengatakan dia ini jantan. Dan sudah jelas kucing sepertinya tidak mungkin seorang ibu-ibu. Sedetik kemudian, Calico menyadari kepala Kasia yang bermasalah. Dia kemudian menghela nafas panjang.
Gadis ini tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Bahkan sekarang dia sudah tidak bisa mengontrol pikirannya.
Mengingat bahwa dia tiba-tiba muncul dengan hanya memiliki satu tujuan dikepalanya. Terlebih ia memiliki suara berat wanita dewasa sekarang. Calico sepertinya sedikit paham dengan apa yang terjadi.
Dia sepertinya bagian dari imajinasi gadis ini atas kerinduan pada ibunya.
"Itu benar, aku adalah representasi ibumu. Lantas, bisa kau turunkan aku dan memberiku sedikit rasa hormat?"
Kasia yang berlinang air mata perlahan menurunkan raut wajahnya, dia juga menurunkan kucing itu dengan takut-takut.
"Maaf, bu. Sudah lama tidak bertemu. Ibu ... " kata 'Ibu' membuat kekosongan segera menderanya, Kasia terduduk dengan tatapan kosong lagi.
Kasia menggelengkan kepalanya dan kini hanya menatap Calico. "Tapi, kenapa ibu kembali? Aku baru saja akan menyusul ibu kesana. Apa disana ... benar-benar ada sinar matahari, bu?"
Awalnya Calico memang merasa aneh akan ketidak hadiran wanita paruh baya dalam adegan kabut sebelumnya. Apa ibunya sedang pergi keluar apartemen?
Calico mencuri pandang kearah luar. Dimana aroma menyengat datang. Banyak sekali pipa dan kabel-kabel listrik. Meski seperti malam yang hanya diterangi lampu tua. Sekarang, Calico meragukan bahwa ruang kosong dan hitam diatas sana adalah langit. Sejujurnya dia bahkan tidak ingat bisa melihat ujung apartemen ini. Bahkan pintu yang terjatuh juga tidak terdengar menyentuh dasar.
Apakah ibunya juga terjun dari sini untuk keluar dari apartemen?
Diantara kata menyusul yang Kasia katakan. Calico menyadari bahwa itu bisa berarti menyusul kepergiannya atau menyusul kematiannya.
Mata tajam si kucing kecil perlahan menutup. Dia menimbang hal apa yang akan dia katakan pada gadis ini.
"Tidak. Ibumu berubah pikiran. Dia kembali untuk menemanimu saja disini." Calico tersenyum dan duduk mendekati pangkuan Kasia.
Empunya yang hanya diam saja kemudian bergumam, "Berkat ibu, aku tidak kelaparan lagi. Namun sekarang, sudah tidak ada yang tersisa. Kita akan segera mati disini jika tidak pergi. Tetapi ... pergi adalah hal terlarang."
Kalimat itu diakhiri dengan suara gaduh berupa gebrakkan dan teriakan dari sisi dinding kanan dan kiri.
Rintihan beberapa orang saling bersahutan. Suara garukkan kemudian mengganti suasana yang kosong.
"Sudah bangun. Mereka pasti terbangun karena kelaparan lagi."
Kasia berbaring dan melentangkan tangannya. "Ibu juga harus menghemat tenaga. Jangan bergerak, memikirkan apapun atau merasakan apapun. Itu akan menghambat rasa laparnya. Sebaiknya kita tidak pernah mencoba untuk pergi dari sini lagi."
Hanya dalam satu menit, keadaan berubah menjadi lebih membingungkan bagi Calico.
Kucing dengan belang tiga itu berjalan ke samping Kasia dan melihat wajahnya dari dekat.
Namun, mata itu sudah tertutup. Nafasnya teratur dan perlahan menipis. Tetapi, Calico tahu Kasia masih bersamanya disana.
Perlahan, kepala berbulu ini berlari dan melompat kearah pintu. Dia mengintip ventilasi diatas pintu dengan melompati lemari dapur.
Di dalam penglihatannya, dia menemukan sebuah kamar lain. Disana terdapat satu tumpuk bangkai kulit tikus yang membusuk. Tak jauh, sesosok besar dan gemuk duduk dibawah meja. Kakinya yang gempal mengangkang. Dia memakan sepatu kulit berwarna coklat. Berserakan di sekitarnya ada banyak barang-barang berbahan dasar kulit yang rusak dan koyak seolah dirobek paksa.
Suara geraman lapar dengan tingkah agresifnya membuat sosok manusia itu lebih mirip dengan monster.
Calico kemudian turun dan sekali lagi melompat kearah jendela.
Ada banyak jendela lain di seberang maupun di samping, atas dan bawah apartemennya. Memberi kesan padat dan dempet yang kentara. Tetapi, bangunan itu juga memberi paradoks seolah luas tak berujung. Ingatannya tidak salah. Memang ada ruang kosong diatas yang seharusnya langit dan dibawah yang seharusnya tanah.
Tidak berlebihan mengatakan bahwa berada disini seolah terkurung dan dikubur hidup-hidup.
Calico menatap Kasia yang dengan benar sudah berubah seolah mayat. Dia jadi penasaran 'pergi' yang mana yang Kasia sebut sebelumnya. Mengapa dia tidak bisa pergi darisini.
Tidak ada makanan, tidak ada akses keluar, bahkan tidak ada cahaya matahari.
Kehilangan semua itu sudah cukup bisa membuat seseorang gila dan depresi.
Calico mengusap wajahnya pada pipi Kasia. Dia memiliki ide.
"Ayo pergi dari sini," katanya.
Kasia yang sudah mulai menghilangkan kesadaran itu sedikit membuka matanya. "Bagaimana bisa? Untuk pergi, setidaknya kita memerlukan kekuatan super."
Mendengar itu, entah mengapa Calico mulai menyadari jika dia memiliki sesuatu di dalam dirinya.
"Aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Karena untukmu aku bisa melakukan apapun."
Dengan suara serak wanita dewasa yang sangat Kasia kenal. Gadis itu kini membuka kembali matanya.
Percikan api kecil meletup-letup disekitar kucing kecil itu.
Tepat didepan mata Kasia, bola bulu kecil dihadapannya perlahan melayang dan mengudara ke sekitar ruangan.
Apartemen kecil itu tiba-tiba didatangi oleh sihir kecil dari makhluk kecil asing ini.
Si gadis yang bahkan memiliki ekspresi mati mulai mendapatkan cahaya hidup di bayangan matanya.
"Sekarang, meski melompat keluar ibu tidak akan jatuh seperti dulu, kan?"
Calico kini melayang mendekat. Ia merasakan kehangatan di dalam dirinya. Ternyata keajaiban dirinya yang muncul tiba-tiba juga kemungkinan besar berasal dari bisikan hati Kasia. Otak kecilnya kini membuat kesimpulan baru.
"Mungkin saja, saat memikirkan kekuatan super. Apakah kamu memikirkan jika saja ibumu bisa terbang dan tidak jatuh? Sepertinya aku mendapatkan kekuatan ajaib darisana!"
Kasia hanya mengangguk.
Bibir keringnya bergumam kecil. "Bisakah aku ... memikirkan makanan juga?" ucapnya ragu-ragu.
Calico kecil seolah mendapat eureka moment. Dia segera meraih salah satu kardus bekas diujung ruangan dan membawanya ke hadapan Kasia.
"Cobalah pikirkan satu menu,"
Ketika dibuka, sebuah mangkuk sup daging bening muncul dari dalamnya.
Dengan segera Kasia memakannya. Calico tidak masalah jika ia bahkan tidak ditawari atau disisakan sedikitpun.
Sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
Ketika sedang memakan sup bening itu. Kasia mulai memikirkan banyak hal di kepalanya. Keajaiban kucing Calico antah berantah yang ia yakini sebagai ibunya membuka banyak keinginan di dalam hatinya.
Termasuk satu keinginan kecil rahasia.
Perlahan Kasia merasakan sentuhan hangat diatas kepalanya. Mengusak kecil rambut hitam ikalnya. Saat mendongkak, dia menemukan sesosok remaja laki-laki seusianya terduduk di depannya.
Rambutnya memiliki tiga warna, persis seperti si Calico kecil sebelumnya.
"Terimakasih sudah memikirkan untuk mengubahku ke bentuk manusia. Dengan ini aku bisa menggendongmu pergi keluar jendela."
Pipi Kasia memerah padam. Maksudnya memikirkan seorang anak laki-laki untuk menemaninya adalah keinginan acak seorang remaja biasa.
Meskipun menganggap ibunya berwujud seperti remaja laki-laki dengan wajah tampan seperti mimpinya, Kasia merasa sedikit salah, tetapi juga sangat bersemangat.
"Tetapi, jika semua keinginanku bisa langsung menjadi kenyataan. Hidup selamanya disini juga bukan menjadi masalah, kan?"
Alis pemuda Calico itu mengerut. "Jika ada pilihan antara kebebasan dan kestabilan. Bagaimana mungkin kamu lebih memilih dikurung selamanya disini dan merelakan kebebasanmu?"
Kasia diam mendengar itu. "Sebelumnya aku hanya ingin pergi karena disini sudah tidak ada makanan. Tetapi jika sekarang semua kebutuhanku terpenuhi, untuk apa aku pergi?"
Padahal sebelumnya Calico sangat yakin dengan prinsip bahwa kebebasan itu lebih baik dari apapun. Apalagi melihat bagaimana kondisi disini. Bukannya aneh jika merasa semua ini normal dan ingin tetap tinggal disini.
Sebuah ingatan acak mengenai hamparan tanah hijau dengan langit biru mulai menyelimuti Calico.
Tidak ada yang menjamin keajaiban selalu datang. Bagaimana jika keajaiban itu habis sebelum dia siap? Apakah dia hanya akan hidup terlantar sendirian lagi.
Kucing Calico yang berwujud manusia ini sekarang berdiri. Dia awalnya akan memaksa Kasia keluar saja dan menunjukkan semanis apa kebebasan itu. Namun urung, dia lebih ingin mendengar itu langsung dari mulut si gadis sendiri.
Kasia yang sudah selesai dengan acara makan-makan nya mengiringi setiap langkah Calico di ruangan itu. Pemuda itu mengangkat dan menumpuk satu persatu kardus-kardus bekasnya diujung ruangan.
"Setidaknya, ayo buat tempat ini menjadi lebih layak ditinggali?"
Kasia mulai menunjukkan senyuman di ujung bibirnya. Kakinya masih bergetar tetapi lambungnya terisi penuh. Dalam beberapa saat dia merasa sudah memiliki tenaga lagi.
Mereka bekerja sama untuk memperbaiki tempat itu. Meski aroma dari luar jendela sangat tidak sedap, Kasia tetap membuka jendela dan balkonnya. Aroma debu dan saluran air bersatu di pertengahan ruang.
Keajaiban yang dibawa oleh Calico membuat sesi bersih-bersih jauh lebih mudah dan menyenangkan. Pipa-pipa bocor ditambal dengan baik, Calico menggendong Kasia untuk memperbaikinya. Mereka mengumpulkan benang dan merajut bersama. Sebuah syal kembali dibuat oleh Kasia, sementara Calico membuat topi Naturhike winter untuk si gadis. Diakhir hari mereka duduk di balkon mengenakan hasil rajutan masing-masing.
Kasia yang lelah tanpa sengaja menyandarkan kepalanya pada bahu Calico di sepertiga kantuknya.
"Hari ini tidak bisa menjadi lebih baik lagi. Terimakasih sudah muncul dihadapanku," gumam kecil Kasia dengan setengah sadar.
Calico menyipitkan matanya melihat Kasia dari arah samping. Dia merasa mulai tidak ingin pergi juga.
"Tadi, aku memutuskan untuk memutus rantai putus asa ini dengan cara yang sama dengan ibu. Lompat melalui jendela dan tiba-tiba terjatuh dari langit-langit ruang tengah," Kasia mulai mengumpulkan kembali kesadarannya dan menegakkan kepalanya. "Tetapi, sekarang aku sudah menemukan semangatku kembali. Setidaknya untuk tetap hidup di hari ini."
Suaranya yang serak itu terngiang-ngiang ditelinga Calico. Saat wajahnya yang kini berbalik, Calico merasakan desir halus dari dalam hatinya ketika melihat senyuman dan mata indah yang sangat hidup itu.
"Apa ya? Apa perasaan yang sedang kurasakan saat ini?" Dia tampak bingung dengan dirinya sendiri.
Calico mengusap belakang kupingnya sejenak. "Kamu bahagia?" Tebaknya.
"Bahagia?" Tanya Kasia, "Bahagia kah, ini?"
"Dari ekspresi dan reaksimu, kemungkinan besar itu bahagia. Atau paling tidak, senang." Ujarnya. Tanpa sengaja dia juga menyisipkan sirat antusiasme didalam nada wicaranya.
Calico sedikit merasa konyol karena kenapa dia yang menjelaskan perasaan yang bukan miliknya.
"Kalau begitu, ini perasaan yang sudah lama ku lupakan. Sejak kapan aku menikmati aroma busuk dan pemandangan menjijikan seperti ini? Sejak kapan aku bahagia mengerjakan pekerjaan rumah."
Bagaimana mungkin? Bayangan kabut dari adegan Kasia dengan ibunya seharusnya adalah semacam kenangan. Disana dia tampak bahagia, seperti saat ini.
Meski inginnya membantah pernyataan Kasia, Calico memilih urung. Dia kemudian bertanya mengenai rencana Kasia selanjutnya.
"Menurutmu, bisakah perasaan seperti ini menjadi lebih besar lagi?"
Pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah Calico bayangkan. Namun, menjadi keinginannya untuk bisa memperdalam konteks ini bersama Kasia.
"Kebebasan, rasanya jauh lebih membahagiakan dari ini. Mereka adalah perasaan paling hebat yang pernah ada." Ucapnya tanpa ragu.
Itu lagi. Kasia yang sebelumnya takut akan peringatan terakhir ibunya untuk tidak pernah pergi, kini menjadi semakin penasaran.
"Bawa aku menuju kebebasan."
Calico merasa dirinya menang. Dia membawa Kasia di gendongannya.
Dengan percikan api ajaib dia mulai menuruni balkon. Satu persatu lantai mereka turuni. Namun, semakin dalam mereka turun, semakin gelap dan tak berkesudahan gedung itu.
Kasia mulai mengeratkan jemarinya pada bahu Calico. "Sepertinya disini tidak ada apa-apa. Kumohon jangan turun lagi,"
Calico mendengarnya. Dia juga mulai ragu dengan ide turun kebawah.
"Baiklah, kita akan coba mencari langit ke atas." Ucapnya, dia segera berbalik arah dan kini melayang keatas.
Mereka mulai melewati jendela-jendela kosong dan rusak itu lagi, kenudian sampai di lantai tempat Kasia tinggal. Beberapa lantai setelahnya, gedung mulai menunjukkan tembok dan pipa air yang lebih baik. Bahkan banyak diantara jendela dan balkon, memiliki tanaman dan bunga segar. Calico dan Kasia berpandangan sebelum melihat satu lantai yang berisik dengan suara musik. Bayangan orang berdansa dan minum-minum terlihat dari balik gorden tipis.
"Hah?! Darimana kalian?!"
Suara tegas nan besar tiba-tiba menyapa. Seorang pria kekar yang sedang merokok di balkonnya mulai menunjukkan jarinya pada mereka.
Calico yang terkejut hampir membuat Kasia jatuh.
"Dasar pembawa bencana! Jangan pernah pergi dari ruanganmu!" Teriaknya. Dia kemudian melemparkan pot bunganya pada Calico.
Kepala mantan kucing kecil itu robek, darah segar mengalir melewati mata kirinya, membuatnya terpaksa menutupnya.
Kehebohan itu membuat penghuni apartemen dilantai itu keluar, bahkan pada lantai dibawah maupun diatasnya. Mereka semua meneriaki dan sama-sama melemparkan barang.
Dengan cepat kali ini Calico bereaksi. Dia mempercepat laju terbangnya. Sementara lantai satu dan lainnya sampai atas, kini mulai keluar dari ruangan mereka. Melihat ada yang pergi dari ruangannya membuat mereka sama agresifnya. Barang-barang jatuh sepeti hujan. Calico terbang kesana kemari hanya untuk menghindarinya. Jika tidak bisa mengelak dia akan mengorbankan dirinya sendiri untuk dilempari barang. Kasia yang berlindung di belakang tubuhnya hampir nihil. Sebelum sebuah semburan air panas dari panci sama sekali tak terhindarkan. Calico dan Kasia meraung ketika kulit mereka sama-sama melepuh oleh air panas itu.
Suara denting piano longgar mulai terdengar. Sesuatu seperti diseret atau didorong paksa, membuat suara gaduh dari derat benda yang beradu dengan lantai.
Calico yang hampir melepaskan gendongannya perlahan melihat kearah atas, dimana cahaya violet berubah kelabu. Sebuah benda besar jatuh dari lantai atas. Tanpa persiapan, mereka terdorong kembali kebawah dengan berat benda itu yang menghalanginya.
Sorak sorai para penghuni apartemen bagian atas memenuhi rungu keduanya. Lantai demi lantai menyoraki mereka seiring jatuhnya.
"Kasia! Cepat pikiran sesuatu, aku ... aku tidak bisa terbang lagi. CEPAT BUAT KEAJAIBAN ITU KEMBALI PADAKU!" panik Calico. Dia memaksa tubuh ringkih yang tidak mau menjawab itu untuk memenuhi tuntutannya.
Hingga mereka kembali pada lantai-lantai dimana tidak ada siapapun yang muncul dari balik jendela ataupun balkon mereka. Hingga bangunan gelap dan reruntuhan rapuh mulai mengelilingi mereka.
Kasia sama sekali tidak menjawab, pun tidak juga terlihat memperjuangkan hidupnya. Calico merasa bersalah, apakah Kasia kehilangan kesadarannya?
Calico meraih Kasia dengan kekuatan terakhirnya.
Sebuah cahaya tiba-tiba muncul dari dasar bangunan membuat kesan seolah mereka malah jatuh ke atas langit itu sendiri.
Cahaya yang memekakkan itu membuat seluruh tubuhnya kini mati rasa. Calico kehilangan Kasia dalam pangkuannya. Kebebasan yang ingin dia berikan pada gadis tersayangnya itu kini sudah musnah bersama dengan besar harapannya.
Mungkinkah, keajaibannya sudah habis sekarang. Ataukah karena keinginan ini, keajaibannya menghilang.
"Itu benar. Karena keinginan untuk bebas, keajaibannya hilang."
Suara asing tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Calico merasakan tubuhnya kembali menjadi seekor kucing kecil sama seperti sebelumnya.
Di depannya, seseorang berpakaian putih muncul dari balik kabut. Tempat serba putih ini membuat panorama luas yang mengerikan. Calico gemetar, dia mundur ketika sosok pemuda jangkung berjubah putih mendatanginya. Rambutnya, kulit dan bahkan matanya berwarna putih. Sosoknya memantulkan cahaya disekitar dengan cara yang aneh.
"Tinggal di sana adalah sebuah hukuman. Tiada yang dihukum kecuali mereka para tersangka. Lari dari hukuman hanya akan menjadikan hukumannya semakin berat. Kau mengerti sekarang?"
"Hukuman?! Hukuman dari apa? Apa yang bisa dilakukan seorang gadis hingga harus dihukum dimana kematian bahkan lebih baik untuknya?!"
Pemuda itu berlutut di hadapan Calico. "Dihukum tanpa mengetahui apa dosa yang sudah dilakukan adalah bagian dari hukumannya."
Calico tidak tahu siapa makhluk ini. Namun dia sangat kesal sekarang.
Pemuda itu tersenyum simpul kemudian duduk bersila. "Itu lucu saat kau membela seseorang seperti dia adalah orang lain. Padahal yang sedang kau bicarakan adalah dirimu sendiri."
"Huh?! Apa maksudnya?! Tentu saja semua ini demi Kasia! Kau bahkan sepertinya tidak akan tahu siapa dia diantara banyaknya penghuni lain apartemen itu."
"Tentu saja aku tahu. Kau kira siapa yang memberi mereka kotak makanan setiap hari?" Sebuah seringai perlahan terbentuk dari bibir pucatnya, "Dan kau pikir, siapa yang menjatuhkan narapidana lain untuk kembali kesana dan akhirnya dimasak olehmu itu? Tentu saja aku ... sang sipir penjara."
Jantung Calico berdegup kencang, kenapa orang ini selalu mengatakan seolah Kasia adalah dirinya sendiri. Mereka jelas berbeda. Dia bahkan tidak tahu bagaimana berbagai kejadian terjadi, selama ini dia melihat dari mata ketiga, bukan dari sudut pandang Kasia. Itu saja sudah sangat menjelaskan.
"Itu wajar jika kau tidak ingat. Karena kabur dari hukuman adalah terlarang. Perasaan kontra yang tidak sesuai hukum akan membentuk ulang dirinya sebagai pribadi lain. Kau mungkin sekarang merasa jika keberadaanmu adalah keselamatan untuk dirimu yang utama. Namun, faktanya tubuh kucing kecilmu ini hanya presentasi dari sebuah keinginan kabur yang indah. Jika Kasia sampai bisa memisahkan perasaannya ini. Sudah pasti dia terkena depresi berat. Memunculkan sesuatu yang bisa menyelamatkannya, padahal dia hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri. Kasus ini sudah beberapa kali terjadi. Terutama bagi penghuni apartemen bawah,"
Tidak ada yang bisa Calico katakan. Bibirnya kelu sekarang.
"Tetapi, aku tidak akan menyalahkanmu. Kondisi ini terjadi secara alami. Wujudmu yang terpisah ini juga membantu dirimu yang utama untuk kembali merasakan kebahagiaan yang hilang. Kabar baiknya, jika hukuman kembali dilanjutkan dan kau dimusnahkan. Tubuhmu yang utama akan tetap merasakan kehangatan yang kau berikan itu. Dan dia juga memiliki kesempatan untuk melunasi semua masa hukumannya dan pada suatu hari terbebas dari sini."
Dunia dimana mereka berada sekarang. Bukanlah dunia nyata untuknya. Calico yang dihantam berbagai berita mulai mempertanyakan setiap kalimat itu.
Pelan-pelan, ingatannya muncul seperti hujan ditengah hari. Dia mengingat bagaimana wanita paruh baya di kamarnya melompat dan jatuh di belakangnya, kemudian busuk dari tubuhnya mengundang penghuni lain untuk mendobrak masuk.
Ada perasaan dimana dia tidak bisa merelakan tubuh ibunya itu hilang atau dimakan penghuni lain, lantas ia memotongnya. Merebus dan memakan sup daging bening itu.
Semuanya. Semua itu memiliki sudut pandang pertama dalam ingatannya.
Tubuh Calico perlahan berubah menjadi tubuh Kasia. Calico yang mulai menyadari kebingungannya melepaskan semua ganjalan di dalam hatinya menjadi sebuah teriakan pilu. Dia menangis sampai tersujud di depan pemuda serba putih itu.
"Aku bisa mengembalikanmu lagi. Jika kau tetap ingin terpisah seperti ini, ada kemungkinan kau bisa kabur. Entah berapa lama atau bagaimanapun caranya. Tetapi setiap kali gagal, masa hukumannya akan ditambah. Namun, jika kau memilih untuk dimusnahkan, dirimu yang utama akan merelakan keinginannya untuk bebas dan hidup disana sampai masa tahanannya selesai. Dia akan diberikan makanan karena sudah tidak memiliki keinginan untuk kabur. Dia ... akan menemukan kembali kebahagiaan dari kurungan ini dan melepaskan anhedonia nya."
Dengan masih terisak, Kasia menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak menerima jika mereka sama. Dia dan Kasia berbeda. Dia adalah laki-laki tulen, dia bahkan mulai merasa jatuh hati pada gadis tanpa daya hidup itu.
Haruskah dia percaya pada sosok ini? Benarkah semua yang dia bicarakan?
Ingatannya akan bagaimana dia memasak ibunya sendiri membuatnya ragu setengah mati. Semuanya dia ingat dengan sudut pandang pertama. Gelombang kejut dari lambungnya bahkan mulai mencuat. Bagaimana Kasia mengingat sup daging ibunya sebagai makanan yang dia inginkan benar-benar membuatnya gila.
"Bagaimana bisa aku mempercayaimu? Bagaimana mungkin semua yang kamu katakan ini benar?" Akhirnya, pertanyaan itu terlontar.
Sosok putih tadi kini mengangkat pelan dagu Calico dengan tubuh Kasia nya.
Wajahnya yang rupawan membawa Calico pergi mengawang menuju sudut pandang terjauh dari tempat mereka. Dari matanya, Calico melihat bagaimana apartemen tak berujung itu menjadi satu diantara banyaknya lapisan lain di atas dan bawahnya. Penjara-penjara yang disebut oleh pemuda putih ini seperti disekat oleh lantai berbahan dasar langit. Ada berbagai macam bentuk dan ada berbagai macam makhluk yang menjaga setiap sekat langit.
Bahkan hanya dengan melihatnya dari jauh, Calico tidak bisa memikirkan satu jalanpun untuk kabur darisana. Mustahil.
Dengan seluruh kesadarannya Calico mengigit bibirnya dan memantapkan hati.
"Musnahkan aku."
Fin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top