[5] Look

Jarum jam menunjuk pukul tiga sore, cuaca terlihat mendung memberi tanda sebentar lagi akan hujan. Pastinya, sebagian orang pasti memutuskan untuk tinggal di rumah dari pada mengambil risiko kehujanan nantinya. Sama seperti dua gadis yang tengah duduk di dalam ruangan bernuansa cokelat.

Tampak ada seorang gadis dengan helai putih sebahu tengah duduk di depan meja rias. Iris biru tertuju pada cermin yang memantulkan refleksi diri. Pandangannya kosong, tiada satu titik cahaya di sana, secara jelas, itu menandakan gadis itu terpuruk dalam kelelahan batin. Sesekali air matanya menetes, tak lama kemudian berhenti dan terus berulang-ulang.

Gadis dengan mahkota hitam yang menggesekkan jari di layar ponsel sesekali melirik ke arah gadis putih itu. Decakan lolos dari bibir, seolah-olah muak dengan sang putih. "Kau sudah harus berhenti menangis," ucapnya.

Bukannya berhenti, tetapi bulir air mata kembali jatuh dengan deras. Kedua tangan mengepal di atas pahanya. Pupil biru bergemetar, isakan perlahan terdengar.

"Kau hanya banyak berbicara tetapi tidak tegas sama sekali."

Kalimat itu sukses melewati benak si putih sehingga membuat gadis itu menggigit bawah bibirnya. Emosi tertahan, ingin sekali dia menampar dirinya sekarang. Dia sadar, dia kembali salah melangkah, wajar jika kalimat itu tertuju padanya.

Si hitam kembali mendecak kesal, dia bangkit berdiri dan meletakkan ponsel di atas meja. Dengan langkah elegan, dia mendekati gadis putih yang berada di depan meja rias. "Bukankah kau terlalu naif merasa dirimu punya jiwa kepemimpinan?" Pertanyaan itu lolos dari bibir gadis bermahkota hitam, itu sukses membuat si putih kembali terdiam total.

Benar, apa yang dikatakannya harus benar, tetapi kenapa aku bisa jadi pemimpin?

"Kau tidak bisu, kan?" tanya si hitam kembali, melepas kekehan geli.

Masih tak ada respon dari si putih, membuat si hitam mengerutkan alisnya. Menghadapi gadis seperti si putih memang benar-benar merepotkan, tetapi dia tidak bisa apatis begitu saja karena dia adalah ... sisinya yang lain. Tetapi, bukannya saat seperti ini, dia yang harus mendominasi?

"Asal kau tahu saja, banyak yang tidak suka denganmu. Dari beberapa tahun aku mengenalmu, kau itu egois!"

Bulir air mata jatuh semakin deras, isakan kembali terdengar dengan jelas. Si putih masih menggigit bawah bibirnya, berusaha untuk menahan tangisan agar tidak semakin menjadi-jadi. Mereka tidak tahu apa-apa tentangku.

"Kau tidak menyadari kau egois? Oh, atau definisi egois kalian berbeda?" Si hitam mendengus geli, entah sejak kapan jemarinya sudah mengapit satu bulu angsa berwarna putih.

"Kapan aku egois? Dia yang egois!" Si putih tak sengaja meninggikan suara, mulai semakin terisak-isak. Semakin dia menahan emosi, maka semakin deras pula tangisannya. Dia tahu itu, dia tak mampu menahan emosi.

"Oh? Itu aku tahu kalau dia egois, tetapi yang salah kau, kan?" tanya si hitam kembali, menaruh atensi pada refleksi diri sang putih sebelum kembali pada ke bulu di genggamannya.

Benar. Dialah yang salah sekarang, niat baiknyalah yang memperburuk keadaan. Kepalan tangan semakin mengerat, andai waktu bisa terulang, mungkin dia akan memilih untuk apatis.

"Karena kau banyak bicara makanya dia membencimu!"

Niat baik hanya untuk menolong 'dia' adalah sia-sia. Kenapa harus membantu 'dia' yang tidak menyukaimu? Tawa hambar lolos dari bibir kecil si putih.

"Lihatlah niat baikmu, malah terlihat sok-sokan, ya?" ucap si hitam kembali, melepas tawa.

Si putih kembali terdiam total. Dia sadar, semua niat baik tidak selalu dipandang. Dia rela, membantu dua orang, tetapi dia juga mendapatkan caci maki dari orangnya. Dia pemimpin, harusnya dia memikirkan anggotanya, bukan mengambil keputusan sembarangan. Dia telah memikirkan risikonya, tetapi kenapa dia menangis sekarang?

"Oh, kau bilang tidak peduli dengan pandangan orang lain? Bagaimana dengan Charios? Kau tidak peduli juga?"

"Tidak! Aku tidak peduli!" jawab si putih dengan ketus, menoleh ke arah si hitam yang menatapnya dengan wajah netral. Meskipun sudah berbicara seperti itu, dia sadar, dia peduli. Dia peduli dengan pandangan orang yang disebut Charios. Peduli, makanya dia semakin terasa beban.

"Kau membohongi dirimu lagi."

Si putih menunduk, menatap ke arah lantai yang lebih menarik perhatiannya. Dia begini bukanlah karena beberapa kalimat yang dilontarkan oleh seseorang padanya. Tetapi batinnya lelah. Semakin hari, semakin banyak beban yang dipikul, sebisa mungkin dia menetralkan beban itu, tetapi tetap tidak bisa. Setiap hari, menahan tangisan yang akan pecah, hari ini, puncaknya. Dia melepaskan semuanya. Berkat kesalahan yang diperbuat, dia melepaskan semuanya, tetapi kembali mendapatkan beban yang berbeda.

"Apa kau masih punya tempat?" tanya si hitam kembali, menaruh atensi pada bulu angsa warna hitam yang terus mengelilingi si putih.

Tidak, dia tidak punya tempat lagi. Dua tempat itu memang tidak membutuhkannya, tetapi dia terus berusaha bertahan. Dia ingin pergi, ingin memejamkan mata dan menghilangkan diri. "Tidak ...."

"Tenang, kau masih punya duniamu," balas si hitam.

Si putih terdiam sejenak, air mata kembali mengalir deras. "A-aku ... malu dengan mereka."

Decakan kembali dikeluarkan oleh si hitam. Dia membungkuk sedikit, jemari lentik bergerak memainkan helaian putih itu, "Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Apa yang ... bisa kulakukan?"

Hening menyelimuti sejenak, si hitam kembali melepas kekehan berat. Dia menegapkan tubuh kembali, menaruh atensi pada cermin yang memantulkan atensi si putih. "Mundur. Kau mundur dan biarkan aku, Swanrovstte, yang menggantikanmu. Akan menghilangkan seluruh kebaikanmu itu," ucap si hitam, membalikkan badannya.

"Tapi ...."

"Kau ingin kembali dikatakan? Aku akan mendominasi sisimu dan kau tak perlu lagi memikul segala beban, bukan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top