3
𝓢𝔀𝓪𝓷 𝓛𝓪𝓴𝓮 𝓜𝓲𝓵𝓲𝓴 𝓞𝓭𝓲𝓵𝓮
DUA MENIT LAGI, semua jam di Inggris Raya akan menunjukkan pukul dua belas malam.
Odette memutar-mutar kunci kotak musiknya dengan kedua tangan. Sementara itu, Giselle dan Pangeran Ivan bersama-sama menggotong penggesek violin ke seberang meja rias. Dr. Coppélius bersama boneka kainnya, terisak di sebelah Odette. “Coppélia Sayang, oh, akhirnya kita bisa bersama setelah waktu yang lama,” isaknya. “Seandainya Swanhilda sialan itu tidak mengacaukan sega—oh, lupakan, itu cerita lama, Sayang. Aku selalu benci benda ini, mereka bahkan tidak memberikanku meja sungguhan—tapi sekarang aku merasa seperti terekat dengan surga.”
“Oh baguslah, Pak Tua, karena aku tak sabar melihatmu pergi dari dunia ini menuju surga,” dengus Pangeran Ivan, yang dipelototi oleh Giselle. Mereka menempatkan penggesek di atas violin berdebu. “Nah, apa yang lainnya sudah siap?”
Odette meraih bagian atas kotak musiknya dan berdiri, meragakan pose balet dengan sempurna. “Siap,” serunya.
Dr. Coppélius memainkan beberapa nada di pianonya. “Mulus, seperti biasa.”
Mereka serentak mendongak pada jam yang tergantung di dinding. Tujuh detik sebelum tengah malam ....
Enam ....
Lima ....
Pangeran Ivan dan Giselle mengencangkan cengkeraman mereka pada penggesek.
Empat ....
Tiga ....
Dua ....
Odette mulai mengayunkan tungkai kakinya—
Satu.
Lagu waltz Coppélia mulai bergema di seluruh ruangan dalam orkestra sempurna. Dr. Coppélius menekan-nekan not piano dengan jemarinya yang ramping, memeluk boneka kainnya sambil terisak. Giselle dan Pangeran Ivan bersama-sama menggesek violin bernada indah. Dan Odette menari dalam gerakan balet tanpa cacat, melompat anggun di atas kotak musik yang memutar tubuh menawannya. Di bawah cahaya bulan, ruangan berdebu suram itu berubah seketika menjadi pertunjukan meriah yang penuh keajaiban.
Odette berputar sekali lagi, mengayunkan tangannya dengan koreografi Coppélia. Segalanya berjalan mulus ketika, sesuatu di dalam gelap mendarat di atas meja rias.
“A-a-apa itu?” bisik Giselle, kehilangan konsentrasi pada permainannya. Bunyi violin yang indah berubah menjadi keriat-keriut mengerikan.
Pangeran Ivan menarik penggesek dengan kesal. “Konsentrasi, bodoh!” serunya. Namun beberapa detik kemudian, ia menyadari apa yang dilihat Giselle. Sesuatu yang asing memasuki pertunjukan mereka, melindungi dirinya di dalam gelap. Penggesek yang awalnya dicengkeram kuat terjatuh ke bawah, dan pertunjukan akhirnya berhenti.
Dr. Coppélius memukul not piano dengan kesal. “Apa yang kalian—”
Langkah kaki mungil terdengar di balik kegelapan, mulai menampakkan dirinya di bawah cahaya bulan
“Apa yang terjadi?” tanya Odette, melompat keluar dari kotak musiknya.
Pangeran Ivan menggeleng dengan gugup, wajah prajuritnya yang tegas memucat. “Lebih tepatnya, apa yang memasuki pertunjukan kita?”
“Oh, Albrecht—” jerit Giselle, tepat sebelum sosok itu melompat dan menampakkan dirinya.
Di bawah cahaya redup malam, sesosok balerina mungil dengan tubuh berdebu dan cat yang terkelupas, berdiri di hadapan mereka.
Itu adalah ... Odette.
“APA?” jerit Odette panik, wajahnya memucat. “Bagaimana ... siapa—”
“Odette ... ada dua?” pekik pangeran Ivan.
Dr. Coppélius ternganga. “Apa yang sebenarnya terjadi, oh, Coppélia?”
Giselle berlari dan bersembunyi di balik kotak musiknya, megintip dengan mata ketakutan.
Odette Kedua menyeringai mengerikan. Cat pada kulitnya memudar, seolah telah tergeletak tak terawat selama berabad-abad. Sosok itu mendekat dengan kaku, menorehkan senyuman berbahaya, hingga ia hanya beberapa inci dari Odette—yang hanya bisa mematung dan ternganga.
“Selamat malam, Angsa Terkutuk,” bisiknya sinis. “Odette, kau tak ingat aku?”
Odette hanya bisa memandangnya dan tebata-bata. “Aku—aku tak tahu siapa—”
“Aku Odile.” Seringai dinginnya melebar. Ia membelai jemarinya pada rambut Odette yang keemasan. “Sainganmu. Orang yang pura-pura jadi dirimu di pesta dansa. Putri dari penyihir von Rombracht. Odile. Apa kau ingat?”
“Odile,” kesiap Odette, mundur selangkah dari sosok yang persis dirinya itu. “K-kau—kekihatan ... cantik ....”
“Tentu saja,” jawab Odile, mengangkat kepalanya dengan angkuh. “Berkatmu, aku bisa memiliki tubuh ini. Terima kasih.”
“Tunggu—” sergah Pangeran Ivan. Wajahnya sepucat hantu. “Kalau kau memang putri penyihir itu, kenapa kau persis dengan Odette? Dan—dan apa tujuanmu tiba di sini?”
“Mudah saja,” kata Odile, matanya berkilat-kilat tajam. “Kotak musik yang dimiliki wanita itu rusak, dibuang, lalu digantikan dengan kotak musik baru yang sama persis. Namun ternyata kotak musik tua itu masih disimpan, dan akhirnya aku di sini.”
“Tapi bagaimana bisa?” sela Dr. Coppélius. “Roh musik hanya bisa menghinggapi benda yang dimiliki oleh orang dengan sifat sejatinya—”
Odile menyeringai dingin.
“Jangan bilang—” kesiap Odette. “Dia?”
“Benar,” angguk Odile puas. “Pria itu, Griffith, tidak bisa merelakan istrinya yang mati dan menyimpan aku sebagai kenangan-kenangan. Ternyata dia punya sifat yang mirip sepertiku.”
“I-i-itu tidak mungkin!” jerit Giselle tiba-tiba, keluar dari tempat persembunyiannya. Pipinya merah padam. “Griffith bukan orang jahat seperti kau!”
“Yah, mungkin tidak.” Odile menatap kuku-kukunya. “Tapi biar kuperjelas siapa yang bicara.” Odile tersenyum, dan berjalan dengan langkah-langkah kecil layaknya seorang balerina. Dr. Coppélius hanya bisa memucat mendapati Odile berdiri di hadapannya.
“Dimulai dari kau, Dr. Coppélius, karena dirimulah yang paling menyedihkan di sini,” sindir Odile sinis. “Ilmuwan genius yang ingin membuat boneka menjadi hidup, hingga rela mengorbankan nyawa manusia tak berdosa. Oh, apakah kau sebegitunya menginginkan seorang anak?”
Dr. Coppélius terbata-bata. “I-i-itu satu-satunya cara agar Coppélia dan aku bisa bersama.”
“Yah, katakan sesukamu.” Odile memalingkan wajahnya. “Tapi sifat sejatimu dengan wanita itu—oh, barangkali putrinya juga—adalah usaha sia-sia untuk mewujudkan sesuatu yang tidak nyata.”
Dr. Coppélius tersinggung. “Itu tidak benar, itu melecehkan—”
“Wanita itu menginginkan dirinya menjadi penari balet terbaik—dan kau bisa lihat sendiri apa jadinya dia.” Odile menguap. “Putrinya juga tidak jauh berbeda—mari kita lihat apakah ibu dan anak benar-benar serupa.”
Wajah Dr. Coppélius seolah akan meledak. “Jangan berani-beraninya—”
“Mari kita lihat dirimu, Pangeran Ivan yang angkuh,” potong Odile, berpaling menghadap Pangeran Ivan yang ketakutan memegangi pedangnya. “Pangeran naif yang berhasil mengalahkan penyihir dan mendapat hati gadis tercintanya—”
“Yah, itulah aku,” dengus Pangeran Ivan bangga, meniup poni rambutnya.
“Semangatmu dalam meraih mimpi meski ada rintangan merupakan sifat sejatimu,” Odile mendesah.
Pangeran Ivan mengusap-ngusap kepalanya dengan kikuk. “Oh, yah, meski kau anak penyihir, makasih deh—”
“Mari kita lihat apakah gadis itu juga membutuhkan bulu ajaib seekor burung,” tukas Odile dingin.
Pangeran Ivan merah padam.
“Giselle yang lugu dan malang,” sapa Odile, berjalan menghadap Giselle yang menggembungkan pipi dengan marah. “Kau mencerminkan keluguan setiap gadis, kecantikan dan kemurnian yang manis—”
Odile menyeringai. “Yang bisa dikelabui pemuda mana saja.”
Giselle yang semerah tomat menghentak-hentakkan kakinya yang terkilir. “A-A-Albrecht bukan sembarang pemuda—dia—dia—”
“Dia bangsawan yang menipumu,” tukas Odile. “Yang sudah bertunangan.”
“Aku memaafkannya,” isak Giselle. “Aku memaafkannya karena aku mencintainya—”
“Yah, kurasa pengampunan dan kebajikan adalah sifat sejatimu,” desah Odile jengah. “Tapi kekuatan para wili yang membuat orang menari sampai mati—barangkali adalah sifat yang lebih kuat dengan wanita itu. Segalanya sama persis.”
Giselle jatuh berlutut, menangis tersedu-sedu.
Odile akhirnya memandang Odette, yang berdiri kaku dengan wajah pucat dan ketakutan. Odile perlahan-lahan mendekatinya, dan senyum mengerikannya merekah.
“Odette, si angsa yang terkutuk,” bisik Odile ke telinga Odette yang gemetaran. “Aku tak perlu menjelaskannya. Kau adalah segala sifat seorang putri—kemurnian, kecantikan, kebaikan dan—”
Odile mengambil napas. “Cinta.”
Odette yang ketakutan melangkah ke belakang menjauhi Odile yang berwajah seram. “A-apa yang kau inginkan?”
“Hal yang diinginkan semua putri di dunia,” jawab Odile. “Cinta.”
Odette menggelengkan kepalanya. “Apa maksudmu—”
“Aku akan mengubah kisah kita, Odette. Aku akan membuat Swan Lake menjadi milikku,” bentak Odile sambil melotot. “Pangeran Siegfried akan bersamaku. Seperti yang diinginkan ayahku dan aku.”
“Apa?” pekik Odette. “Itu tidak mungkin bisa terjadi, Odile, kisah kita sudah selesai—”
“Bisa, Odette Sayang. Karena seperti yang kaulihat, tekadku yang sudah bulat.” Odile mengayunkan tangannya, dan secara ajaib, gaun balet putihnya berubah menjadi hitam berkerlapan. Kain bajunya beriak seperti langit malam yang dipenuhi bintang. Kemudian cat di kulitnya yang terkelupas menghilang—berubah menjadi warna-warni cerah seolah kembali baru. Odile tersenyum, dan dia terlihat lebih cantik dibanding sebelumnya, bahkan di samping Odette. “Roh musik dengan tekad yang besar dapat mengubah cerita. Peraturannya selalu seperti itu, Sayang. Dan aku akan mengembalikan cintaku.”
Odette terkesiap. “Sifat sejatimu—”
Odile tersenyum puas. “Tekad untuk mengembalikan cinta yang hilang.”
“G-G-Griffith tidak pernah merelakan kepergian A-A-Adeline,” Giselle berusaha bicara di antara isakannya. “K-karena itulah dia memaksa putrinya—”
“Dengan harapan cinta yang sama akan kembali,” tukas Odile. “Karena dia pikir apa yang dilakukannya adalah demi kebaikan putrinya. Tapi aku bukan orang menyedihkan seperti itu.”
Ia melangkah mendekati Odette, menyudutkannya ke kotak musik. “Mari kita menarikan Swan Lake bersama-sama, Odette. Mari kita lihat siapa yang layak mendapat cinta sejati.”
Sebelum Odette bisa berkata-kata, Odile telah memalingkan muka ke arah ketiga sosok di kegelapan dan menjentikkan jarinya. “Mainkan musiknya!”
Gumpalan hitam seperti asap mulai mengikat Dr. Coppélius, Pangeran Ivan, dan Giselle dengan erat. Tanpa ruang untuk meronta-ronta, ketiganya digerakkan oleh gumpalan hitam seperti boneka marionet. Dr. Coppélius dengan wajah pucat menekan-nekan not piano tanpa kendali. Pangeran Ivan beserta Giselle menarik-narik penggesek violin dengan wajah ketakutan. Ketiganya memainkan Swan Lake, hanya saja lebih cepat, kasar, dan lebih liar.
Odile menyeringai dan berjalan menjauh. Dengan pasrah, Odette mengikuti langkahnya dan mulai berpose layaknya seorang penari balet, tetapi dengan wajah pucat, kaki yang gemetar, dan keringat yang bercucuran.
Odile tersenyum puas melihat penampilan kikuk Odette, dan mulai mengayunkan tungkai kakinya—bersama-sama, keduanya mulai menarikan Swan Lake di bawah cahaya malam.
Odette berusaha mempertahankan gerakannya, memutar dan mengepakkan tangannya seperti angsa. Namun di putaran fouette ketiga, ia merasa gerakan kakinya mulai melemah. Sementara Odile menari dengan sempurna, berputar dan melompat di udara tanpa cacat. Dengan gerakan liar, Odile melangkahkan kakinya menuju Odette yang berjalan mundur dan menyudutkannya hingga ke ujung meja rias yang curam. Odette menatap ketakutan pada jurang di belakang kakinya, memejamkan mata kuat-kuat—berharap semuanya akan segera berakhir ....
Di celah pintu kembar mahoni, cahaya hijau zamrud berkilat.
Dua mata hijau besar tengah menatap mereka berdua.
Odette membuka matanya dan memandang mata itu dalam-dalam.
Sebuah bisikan lirih terdengar di sana, “Berjuanglah.”
Berjuanglah. Itu katanya.
Odette menelan ludah, merasakan tekad yang membakar, dan ia mulai mengendalikan tubuhnya kembali. Dengan gerakan lincah, Odette melangkahkan kakinya dan menari, membuat Odile terkesiap dan berjalan mundur. Ia berputar, melompat, dan menggerakan tangannya tanpa cacat. Ia melakukan putaran fouette sempurna yang menyudutkan Odile—yang hanya bisa melangkah mundur sambil ternganga.
Dengan putaran terakhir, Odette menekuk kakinya ke lantai, menarik tubuhnya ke belakang, dan merentangkan tangannya lebar-lebar laksana angsa indah. Dalam dentuman keras yang memekakan telinga, musik berhenti dan Odile ambruk seketika.
“P-padahal aku—aku sudah bekerja keras—” isaknya, membenamkan wajahnya dengan kedua tangan. “Aku—aku menunggu selama s-satu tahun untuk mengalahkanmu—”
Odette berdiri dan berjalan mendekati Odile. “Tak apa, Odile,” ia menenangkannya. “Kau tak perlu melakukan ini semua. Kau bisa menghabiskan waktu di sini bersama kami—”
“APA?” jerit pangeran Ivan, wajahnya merah padam. Jeratan gumpalan hitam telah meninggalkan ketiganya. “Kita akan hidup bersama seorang penyihir? Makasih tawarannya, tapi aku menolak!”
Giselle terkapar di tanah, dan Dr. Coppélius hanya bisa memeluk boneka kainnya sambil terisak. Tak ada dari keduanya yang memberi persetujuan.
“Kau tahu bagaimana orang-orang memanggilku, Odette?” tanya Odile lemah, mendongak pada Odette dengan wajah penuh air mata. “Odile si Putri Penyihir, Odile si Buruk Rupa, Odile si Terkutuk. Semua orang membenciku! Aku jelek! Aku anak penyihir! Tak ada seorang pun yang mau menerimaku, kecuali ayahku!
“Tapi di pesta dansa saat itu bersama Pangeran Siegfried, aku merasakan kebahagiaan. Akhirnya ada orang yang mau mencintaiku, Odette. Meski dia lebih mencintaimu—tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin orang menyayangiku. Bukankah kau mengerti, Odette?”
Odette tak bisa berkata-kata. Ia telah mati bersama Siegfried, jiwa mereka abadi selamanya dalam cinta. Ia tak bisa menyerahkannya—
“Bahkan sampai akhir, kau tetap tak bisa membunuhku, Odette,” kata Odile, suaranya yang bergetar digantikan dengan suara tajam yang mengiris-iris. Wajahnya gelap dan kaku, seolah tanpa jiwa. “Kau tak pernah bisa membunuhku. Karena itulah dirimu, Odette. Angsa Terkutuk yang lemah.”
Wajahnya yang kaku mulai meleleh—berubah bentuk seperti adonan mentah yang ditumpuk-tumpuk. Bola mata kacanya mencuat keluar dari lubang, gigi-giginya yang rapi berubah menjadi hitam busuk, rambutnya yang disanggul terurai berantakan dan kasar. Odette mundur ketakutan menjauhi sosoknya, diikuti dengan ketiga boneka yang terkesiap.
“KAU SELALU MENDAPATKAN CINTA!” jeritnya, berusaha meraih Odette dengan jemarinya yang kurus dan berkuku busuk, sementara seluruh tubuhnya mulai meleleh. “BERIKAN TEMPATMU PADAKU, ODETTE! AKU AKAN MENJAGA GADIS KECIL ITU DENGAN BAIK! AKU AKAN MELAKUKAN APA PUN UNTUK MENDAPATKAN CINTAKU KEMBALI—!”
Saat kukunya mulai menyentuh rambut Odette, sosoknya berubah menjadi batu, dan seketika meledak menjadi ratusan keping.
“Apa yang—” pekik Pangeran Ivan, terbatuk-batuk di balik kabut asap. Saat debu-debu mulai menghilang, yang ada di baliknya hanyalah boneka balerina mungil usang yang tak bergerak. Benda itu terjatuh dari meja dan terbelah menjadi dua di lantai.
Saat Odette menoleh ke celah pintu itu kembali, dua mata hijau di sana telah menghilang.
♬♩♪♩ ♩♪♩♬
PAGI HARINYA, Anneliese ternganga melihat ayahnya menyodorkan sepasang sepatu balet dengan kikuk.
“Bukan berarti kau boleh seenaknya meninggalkan pelajaran,” katanya kaku. “Aku sudah mendaftarkanmu di kelas balet terbaik di Cambridge.”
Ann langsung meraih kedua sepatu balet itu. “Terima kasih, Ayah!” pekiknya girang. “Aku janji tak akan mengecewakanmu.”
“Pelajaran pertamamu akan dimulai tiga puluh menit lagi,” kata Griffith sambil menatap arlojinya. “Ayo, kita harus bersiap-siap.”
Anneliese segera mengenakan sepatu sol tebalnya. “Tahu tidak, Yah?”
“Hm?”
Ann tersenyum. “Kemarin aku melihat keajaiban.”[]
TAMAT
JUMLAH KATA: 4,411
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top