2

𝓞𝓭𝓮𝓽𝓽𝓮 𝓭𝓪𝓷 𝓟𝓮𝓻𝓽𝓾𝓷𝓳𝓾𝓴𝓪𝓷 𝓑𝓪𝓵𝓮𝓽 𝓐𝓳𝓪𝓲𝓫


PAGI PADA HARI pertama masuk sekolah Ann—seperti biasa—dimulai dengan pertengkaran harian dengan ayahnya, Griffith.

“Bagaimana dengan Panduan Menjadi Pelajar Wanita Yang Hebat karya Marie-Joseph—”

“Sudah ketujuh kalinya, Yah,” jawab Ann di balik pintu, memutar bola mata.

Seribu Satu Hukum-Hukum Sekolah Asrama?” Griffith mencabut kapur dan menerakan ᴛᴜᴊᴜʜ ᴋᴀʟɪ—ᴍᴇɴᴊᴀᴅɪ ᴘᴇʟᴀᴊᴀʀ ᴡᴀɴɪᴛᴀ ʏᴀɴɢ ʜᴇʙᴀᴛ di papan tulis hitam pada tabel ʙᴀᴄᴀᴀɴ ᴡᴀᴊɪʙ, menambahkan daftar panjang yang memuat ᴛᴀᴛᴀ ᴋʀᴀᴍᴀ ᴘᴇʟᴀᴊᴀʀ ᴡᴀɴɪᴛᴀ ʏᴀɴɢ ᴅɪsɪᴘʟɪɴ, ᴅᴜᴀ ᴘᴜʟᴜʜ ᴄᴀʀᴀ ʙᴇʟᴀᴊᴀʀ sᴇᴋᴏʟᴀʜ ʙᴇʀᴀsʀᴀᴍᴀ, ᴘᴇʀᴀᴛᴜʀᴀɴ-ᴘᴇʀᴀᴛᴜʀᴀɴ sᴇᴋᴏʟᴀʜ ᴍᴇɴᴇɴɢᴀʜ ᴅᴀɴ ᴀᴋᴀᴅᴇᴍɪ ᴊɪʟɪᴅ ᴘᴇʀᴛᴀᴍᴀ, dan masih banyak lagi.

“Sudah, Yah.” Ann cepat-cepat mengelap wajah basahnya dengan handuk.

“Berapa kali?” tanya Griffith, menghentikan gerakan kapurnya di papan tulis.

“Tiga kali, Yah—” Ann menjatuhkan kaus kakinya ke lantai.

ᴛɪɢᴀ ᴋᴀʟɪ tertera di papan tulis. “Semuanya bagus. Nah, sudah menghapal lagu sekolah nomor tujuh belas karya Igor—”

“Itu—” Ann memasangkan kaus kaki panjangnya dengan ketus, “aku masih menghapalnya—”

“Apa?” jerit ayahnya. “Bagaimana bisa? Bukannya minggu lalu aku menyuruhmu untuk—”

“Aku sibuk—” Ann berusaha berbicara dengan mulut penuh sandwich selada. Ia meraih sepatu sol tebalnya yang menggelinding di lantai. “Ayah tahu sendiri, kan, aku—”

“Lupakan,” bentak Griffith, melempar kapur dari tangannya. “Aku haru melaporkan Profesor Seymour tentang hal ini—”

“JANGAN!” teriak Anneliese, mendorong pintu dengan sepatu yang terpasang asal-asalan dan terjerembap di lantai. Dagunya menghantam lantai kayu dan kepangan rambut setengah-jadi menutupi hidungnya. “Janghan Profesorh—Seyhmour—kumohon, Yah—”

Ayahnya mendesah, menatap putrinya yang terkapar di lantai. “Kalau kau tidak segera menghapalnya pekan ini, aku terpaksa harus menemui Profesor Seymour. Ada banyak psikolog anak di area Cambridge—jika itu akan membantu perilakumu. Kudengar Dr. Blackbourne cukup terkenal—”

“Tapi aku tidak pernah ingin masuk sekolah asrama!” seru Ann, terbangun dari lantai dan berdiri dengan muka merah padam. “Ayah yang memasukanku ke sekolah terkutuk itu! Ayah tidak pernah memberi kesempatan untuk balet!”

Rahang Griffith mengeras. “Jangan coba-coba bicara tak sopan kepadaku, Gadis Muda. Dan jika kau singgung-singgung tarian konyol itu—” Ia berhenti untuk melirik potret Adeline di dinding, dan perlahan wajahnya melunak, tapi dengan segera ia kembali melotot pada Anneliese. “Pokoknya, aku ingin kau hidup dengan lurus.”

“Kalau begitu, hidup Ibu tidak lurus?” Anneliese balas membentak. “Apa Ayah pikir Ibu bodoh karena memilih balet?”

Wajah Griffith memucat, dan ia membuka mulut dengan terbata-bata, tapi sebelum Ann bisa mendengar apa pun, ia telah melenggang ke kamar ibunya dan pintu kembar mahoni berdebam tertutup.

Ann merosot di pintu, terduduk di lantai dengan wajah merah padam dan air mata. Satu tahun telah berlalu semenjak kematian ibunya, tapi keseharian mereka tidak pernah berubah. Griffith selalu berusaha membuat putrinya menjadi murid terbaik, dan Ann berusaha meyakinkan ayahnya tentang balet—yang selalu, dan tetap saja, ditolak. Anneliese tahu ayahnya tidak selalu seperti ini—di hari-hari yang lebih baik, Griffith adalah ayah penyayang yang sama antusiasnya dengan balet seperti Ann. Namun di bulan Juli—saat Adeline meninggal, sosok Griffith adalah ayah yang kaku, dingin, ketat, dan berhidung bengkok. Sebagai ayah dan anak, satu-satunya kesamaan mereka adalah rambut kasar dan mata hijau, selain sifat keras kepala yang tak pernah diakui keduanya.

Anneliese mengusap air mata dari pipinya, dan mendongak ke arah meja rias kayu dengan kaca bertepi keemasan. Sambil berjalan mendekat, Ann menatap sosok penari balet mungil yang berpose di atas kotak musik dengan berbinar-binar. Di permukaan kotak, terdapat plakat keemasan berukir: ᴏᴅᴇᴛᴛᴇ.

Odette,” bisik Ann, mengelus kepala boneka mungil itu dengan jarinya dan tersenyum. “Aku tahu kau nyata. Jadi, bicaralah.”

Sudah seminggu semenjak Anneliese menyaksikan pertunjukan ajaib kotak musik yang menari-nari, dan hampir setiap hari ia memikirkannya. Namun setelah itu, hampir tak pernah ada lagu Swan Lake yang dimainkan di tengah malam lagi. Setiap malam, Ann berusaha membuka matanya selebar mungkin untuk mendengar lagu itu dimainkan kembali, tapi tak ada yang terdengar kecuali suara jangkrik-jangkrik di halaman belakang, cicitan tikus di ruang dapur, dan omelan setengah-sadar Griffith yang berpatroli memburu tikus-tikus menjijikan itu. Di hari keempat, Ann berusaha menyelidikinya lagi, tapi hanya menemukan kotak musik usang yang tak bergerak dan lemparan sapu Griffith yang membekuknya.

Setelah itu, Ann memutuskan untuk berbicara dengan boneka kotak musik itu, tapi tak ada apa pun yang dihasilkan kecuali ayahnya yang mulai  mencurigainya berubah jadi gila. Namun Ann memutuskan tidak menyerah dulu, karena pastinya—Ann seratus persen yakin—kejadian seminggu lalu itu bukan mimpi. Sama sekali.

“Tahu tidak? Ayahku masih tidak setuju aku menari balet,” dengus Ann, memandang balerina mungil itu seperti orang sungguhan. “Padahal Ibu juga menari balet. Dan dia cantik, hebat, indah—kau kenal dia kan? Pokoknya, aku tidak mengerti kenapa dia berpikir begitu. Benar kan, Odette? Bagaimana denganmu, Dr. Coppélius?”

Ann melirik ke seberang meja rias, boneka automaton usang yang menjejalkan jemarinya pada piano serupa meja, tergeletak di sana. Ukiran ᴅʀ. ᴄᴏᴘᴇʟʟɪᴜs tertera di pianonya. Di sebelahnya, berdiri dengan gagah sebuah mainan prajurit dengan pedang terhunus di depan dadanya. Pada kaki kecilnya, tertera tulisan ᴘᴀɴɢᴇʀᴀɴ ɪᴠᴀɴ yang hampir memudar. Ann menoleh ke seberang kanan meja, boneka balerina dengan kaki terkilir terduduk dengan kaku di atas kotak musik yang terkelupas. Tedapat plakat bertulis ɢɪsᴇʟʟᴇ.

Mainan-mainan kecil Ibunya yang dihias serupa tokoh-tokoh balet. Ann pernah bermain dengan mereka sewaktu kecil, tapi tidak pernah menyadari siapa mereka sebenarnya. Swan Lake, Coppélia, The Firebird, dan Giselle. Ibu memang wanita yang unik, pikir Ann. Salah satu alasan kenapa Ann sangat menyukainya.

“Anneliese?” suara ayahnya bergema di balik pintu. Ia mengetuk-ngetuk pintu dan bicara dengan kaku. “Upacaranya akan diadakan sebentar lagi. Kita tidak bisa menghancurkan hari pertamamu lebih jauh. Pokoknya, kita harus—”

“Baik, Yah,” seru Ann, menyedot ingus dalam-dalam dan berbalik dari meja rias. Setelah mengencangkan kepangan rambutnya, ia berlari mengambil topi anyaman yang tergantung. Sambil merapikan anak rambut cokelat kemerahannya yang berantakan, ia mulai melangkah ke ambang pintu dan memutar kenop.

Tapi dia berhenti dan menoleh kembali ke dalam kamar.

Dipandangnya dalam-dalam keempat sosok mungil itu.

“Aku tahu kau nyata. Kalian semua nyata,” bisiknya, menorehkan senyum penuh keyakinan. “Kalian akan melihatnya. Aku akan menjadi penari balet yang hebat.”

Ditutupnya pintu keras-keras dan keempat sosok di bawah cahaya redup pagi menyentak bersamaan.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

ODETTE MENGAMBIL NAPAS dalam-dalam dan merosot ke bawah, melompati kotak musiknya dan terjatuh ke lututnya di atas meja rias. Itu hampir saja, pikirnya, mengelus-elus dadanya dengan lega. Di sebelahnya, Dr. Coppélius berjalan—menyeret-nyeret kursi piano seperti orang pincang, karena bokongnya terekat secara permanen di kursinya—ke arah Odette dengan wajah merah padam. Kacamatanya berembun dan bola mata kacanya hampir terlepas.

“Odette—kau—kau—kau hampir saja membunuh kita semua!” jeritnya, menghentak-hentakkan keempat kaki piano-mejanya seperti banteng marah. “Sudah kubilang kita harus lebih bijak mengadakan pertunjukan sialan itu! Benar kan, Coppélia Sayang?”

Ia menoleh pada boneka kain berbentuk seorang gadis yang tergeletak penuh debu di sudut, yang hanya menjatuhkan kepalanya ke bawah.

“Untuk pertama kalinya, aku setuju dengan Si Coppélius Gila,” aku Pangeran Ivan, berjalan dengan sok mengikuti Dr. Coppélius ke arah Odette. “Omong-omong, untuk keseratus kalinya, boneka tak bernyawa itu tidak akan bisa bicara. Anak itu saja tak menyadari kehadirannya.”

Dr. Coppélius merah padam. “Pangeran sok. Jangan bicara sesukanya padaku karena mengalahkan penyihir tak jelas dengan bantuan burung ajaib yang tak sengaja kau tangkap!”

Pangeran Ivan menggeram. “Dia itu Koschei si Abadi! Memangnya kau bisa mengalahkan penyihir, dasar profesor sinting? Pergi dan urus putri tak nyatamu sana!”

Giselle mendekat dengan kaki gemetar. “B-b-b-bisakah kita b-b-bicara baik-baik?” tanyanya terbata-bata.

Odette mengambil napas dan segera berdiri. “Giselle benar,” katanya tegas. “Kalau kita mau memecahkan masalah ini, kita harus bicara baik-baik.”

“Yah, seandainya kau tidak terlalu sok dan memainkan lagumu setiap malam,” desah Pangeran Ivan, meniup poni rambut yang menutupi matanya.

Odette mendesah. Tiap kali mereka mendapat masalah, pasti akhirnya seperti ini. Pertengkaran dan omelan-omelan yang membahana. Seandainya Siegfried ada di sini ....

“Bagaimana kalau kita ganti lagunya saja?” usul Odette, berusaha mengalihkan perhatiannya dari Siegfried. “Aku akui, aku memang terlalu sering memainkan laguku sendiri—”

“Dan apakah ada jaminan itu akan membantu kita tak diketahui?” tanya Dr. Coppélius ketus.

Sebelum Odette bisa menjawab, Giselle telah bersuara duluan.

“S-s-s-selama ini, anak itu hanya mendengar Swan L-Lake, bukan?” katanya gelagapan. “M-m-mungkin dia tidak akan menyadarinya kalau kita memainkan lagu yang b-b-berbeda.”

“Jawaban paling masuk akal dari semua ini adalah mengecilkan suaranya,” sergah Pangeran Ivan, memutar bola mata. “Tapi aku tidak akan menolak kalau kita memainkan laguku.”

“Anak itu, ya? Bukannya dia putri Adeline?” tanya Dr Coppélius lirih. “Adeline selalu menyukai Swan Lake, itulah kenapa kita mengadakan pertunjukan ini, kan? Apa kalian lupa? Tapi jangan bilang, anak itu akan—”

“Dia sudah bilang, dia akan menjadi penari balet,” kata Odette murung. “Dia sangat menyukaiku, mungkin karena akulah yang dilihatnya saat itu. Tapi kalau dia benar-benar akan menjadi penari balet—”

Giselle menyedot ingus. “A-a-a-aku tidak ingin dia bernasib seperti A-A-Adeline.”

“Coppélia dan aku juga tidak,” aku Dr. Coppélius, matanya berkaca-kaca. “Adeline ambisius, terlalu ambisius. Jika anak itu benar-benar sama seperti dirinya—astaga—” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tak bisa membayangkan. Kau orang yang paling mengenal Adeline kan, Odette? Kau bertemu dengannya setelah Giselle. Tapi dia selalu menyukaimu.”

Odette menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiap kali mereka menyebut soal dirinya dan Adeline, rasa yang aneh merayapi punggungnya. Ia tidak pernah mengenal Adeline selama itu. “A-a-aku tida—”

“Cukup, cukup, aku dan Coppélia tahu perasaanmu.” Dr. Coppélius menepuk-nepuk punggung Odette. “Yang paling penting, kita harus menyelesaikan masalah ini. Kita tak bisa melanjutkan pertunjukan kalau anak itu terus mengganggu.”

“Benar,” gumam Odette, menyingkirkan kejanggalan itu. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita memainkan lagumu saja, Dokter?”

Dr. Coppélius mengerjap. “Apa—”

APA?” jerit Pangeran Ivan. “Itu tidak adil! Aku yang mengusulkan ide untuk mengecilkan suara! Pria tua ini cuma merengek dan—”

“Kami juga menerima idemu, Ivan,” kata Odette. “Tapi bagaimana kalau bersabar sedikit? Semua orang akan dapat giliran.”

Pangeran Ivan mendengus dan terduduk di samping boneka kain Coppélia. “Kita senasib, senasib,” bisiknya kepada boneka itu.

Dr. Coppélius mengelap kacamatanya. “Aku—aku—oh, terima kasih, Odette,” isaknya. “Coppélia dan aku akan bahagia seperti dulu lagi.”

Odette tersenyum dan berbalik pada jam yang menggantung di dinding. Tinggal lima belas jam lagi sebelum tengah malam.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top