Perjalanan

Dulu, orang mencari cara untuk tetap tinggal. Hingga waktu tiba merubah segalanya. Tak ada yang abadi, semuanya akan pergi.

♡♡♡♡


"Ara, bagaimana??" teman disampingnya baru saja mencoba bertanya dengan Ara yang terlihat seperti sedang memikirkan suatu hal—Mocca berusaha mengguncangkan tubuh Ara agar ia segera sadar dan menjawab pertanyaannya.

"Aiihh, Mocca kaget tau," balasnya dengan tangan mengusap dadanya kaget.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang tertuju padanya, Ara malah memilih untuk membicarakan hal lain saja. Semua tentangnya dan Adelino hanyalah sebuah cerita usang yang naasnya tamat sebelum ending yang bahagia.

Ya, pertanyaan Mocca barusan mengarah tentang hubungan Ara dengan Adelino. Bahwasanya hubungan keduanya telah berakhir, tetapi cinta yang Ara simpan rapat-rapat tidak bisa membohongi. Sebenarnya sulit untuk melewati masa ini, dia harus terbiasa dengan teman sekelas yang juga mantannya itu. Bahkan untuk melihat wajahnya saja ia harus mencuri-curi. Seperti maling saja.

"Kamu nggak bisa gini terus kan Ra?" Bukannya memberi perintah tetapi Mocca malah memberikan pertanyaan.

"Benar Ca, tapi bayang-bayang itu jelas memenuhi pikiranku." Singkat namun tak lantas memberhentikan Mocca untuk terus meyakinkan bahwa sosok Adelino memang bukan ditakdirkan untuk Ara.

"Ra, kadang yang kita butuhkan belum tentu itu yang tepat. Bahkan segala hal di dunia ini perlu untuk dilepaskan bila itu memang bukan untuk kita." Kalimat Mocca barusan seperti panah yang tepat mendarat di titiknya.

Ara masih diam, berusaha mencerna kalimat yang barusan ia dengar. Ara sadar akan hal itu sedari dulu, bahkan sebelum ia mengizinkan Adelino untuk singgah di hatinya. Memang akan ada yang pergi dan balik. Bahkan untuk menahan agar tetap tinggal itu mustahil. Buktinya Ara selalu gagal untuk melakukannya.

"Ca, aku bisa kok. Aku bisa lupain dia!" Tegas Ara kemudian.

Sekarang Mocca sedikit lega, bahwa memang semua itu butuh waktu yang nggak sebentar. Tunggu sampai waktunya tiba. Segala rasa yang tinggal akan tanggal.

"Nah gitu dong, itu baru sahabat Mocca." Sahut Mocca penuh tawa dan memeluk Ara dari samping.

"Bantuin ya Ca," Pinta Ara ketika mereka berpelukan. Mocca hanya mengangguk setuju disusul senyum Ara yang mekar, sungguh manis.

✿✿✿

Semesta selalu punya cara untuk memberi kita sebuah pelajaran berharga. Betapa kita sangat mencintai langit yang biru, ketika dia memberi kita badai dan petir. Segala sesuatu memang tak seindah kelihatannya. Rasa semakin dipaksa juga bisa membuat sesak. Lara kalau dinikmati juga bisa membuat mati. Dunia memang selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Bahwa perjalanan menjadi cermin jika kita pergi jangan lupa untuk kembali. Ada tuan rumah yang senantiasa menunggu kedatangan dan hangatnya pelukan.

"Ra, ini masih bakalan kamu pakai lagi atau nggak?" Tanya Mocca ketika ia hendak membereskan aksesoris yang dulu Adelino pernah kasih kepadanya. Ya—keduanya kini tengah berada di kamar Ara, Mocca membantunya untuk membereskan semua kenangan yang telah ia buat dengan Adelino. Memilih untuk menyimpannya di sebuah kardus.

"Ha apa?" Tanya balik Ara yang sedari tadi sibuk memilah buku diary yang dulu sempat Adelino beri di hari ulang tahunnya.

"Ini, ikat rambut, penjepit, gantungan kunci dan teman-temannya ini semua bakalan dimasukin kardus?" Mocca memaparkan.

"Oh iya, semua yang ada di meja masukin aja Ca," tanpa membalasnya Mocca kemudian memasukkan barang-barang itu untuk Ara simpan di kardus.

Setelah semua masuk kardus, Ara tak lantas menutupnya dan membiarkannya begitu dulu. Karena, Ara ingin menulis sebuah surat untuk terakhir kalinya.

Teruntuk Adelino, cowok yang telah memberi luka tapi tetap aku suka.

Bahkan matahari tak henti-hentinya menyinari bumi, tak ada kata lelah
Sama seperti aku, tak ada kata berhenti untuk selalu mengingatmu
Bahkan, dalam heningnya malam namamu masih terdengar
Bukan, katamu itu yang sangat membekas hingga sekarang
Tak ada yang mau melihat kita begini kan??
Ini karna takdir kita tak sama.

Bahwa, Ara dan Adelino sama sekali tak cocok untuk menjalin bahagia
Benar, takdir tidak sedang mengadu domba aku atau kamu
Kita sama-sama kalah, kita selesai.

Di balik doa yang ku ucap, ku harap kamu tetap menjalin hubungan baik denganku
Tapi, tidak.
Bahkan untuk meminta maaf saja kamu enggan
Dasar egois.

Jangan lakukan ini kepada cewek mu nanti
Haha, kedengarannya lucu tapi jangan pernah mengulang sesuatu yang salah untuk kedua kalinya
Bahagialah, dengan mimpimu dan dengan hidupmu tanpa adanya aku.

Terima kasih untuk lukanya,

~AB

Begitu selesai menulis, ada harapan yang selalu ia gantung kepada Adelino. Tapi, sekarang sudah tidak. Harapannya sudah mati, bersusul kehidupan yang sejati. Untuk berdiri Ara harus mengubur dalam-dalam rasanya dan kenangannya.

Tak ada orang sekuat Ara yang pernah Mocca temui. Bahkan sekarang dia sangat bangga dengan apa yang Ara pilih. Itu akan membuatnya kembali tertawa tanpa air mata.

Mocca berjalan mendekati Ara yang sedari tadi matanya tak mau lepas dari kardus berwarna cokelat itu. "Hey, udah dong! Kan kenangannya udah disimpen jadi udah nggak bisa kabur dan menyelinap masuk kedalam pikiranmu lagi,"

"Iihh Mocca apasih, dikira kenangan itu maling apa bisa kabur dan menyelinap,"

"Hey, jangan salah. Dipikir-pikir itu ada benarnya juga, iya gak?"

Ara berpikir sejenak, dan segera mengiyakan apa yang Mocca katakan kepadanya. Semua benar, bahkan untuk mengelakannya pun tak ada guna.

Ara merasa sangat beruntung bertemu dan berteman dekat dengan Mocca. Dia selalu tahu apa yang Ara butuhkan dan apa yang harus Ara lakukan. Kadang Mocca seperti Ibunya di sekolah. Yang menasihati anaknya ketika anaknya salah dan tak pernah memarahinya.

Mocca memang satu-satunya teman yang sejak awal masuk SMA bisa cocok dengannya. Semua bahasan selalu nyambung—apapun itu.

Ara sudah melewati masa sulit ketika dia harus menerima bahwa Adelino harus pergi meninggalkannya—tentu hari-hari yang berat. Tapi, Ara selalu mampu dan berusaha untuk tegar. Bahkan melupakan memang tak sepenuhnya benar-benar lupa. Sisakan sedikit untuk disimpan, kangen selalu datang tanpa permisi dan selalu menghambat proses melupakan. Tapi, kali ini Ara tak mau selalu terhalangi. Dia harus maju dan hadapi.

Kehidupan ini terlihat rumit, penuh teka-teki. Bersusah payah memecahkan, tapi kita selalu dibuat pusing dengannya. Ada banyak hal yang seharusnya tak perlu kita ambil tetapi malah kita ambil. Ketika dia pergi dan kembali ke takdir yang benar, kita selalu merasa bahwa dunia tengah mempermainkan kita. Ilusi itu yang buat kita sendiri.

Selalu berharap kepada manusia, padahal yang manusia kasih berujung kecewa. Tak ada imbalan, sedih selalu datang dan memutusasakan semua rencana.

Bila kita sadar, hidup selalu dengan kemungkinan-kemungkinan yang tanpa sadar menghampiri. Mencoba memberi kita opsi. Tetapi kita seringnya gegabah dalam mengambilnya. Ternyata itu salah, bukan bagian kita tapi malah kita ambil. Jika empunya meminta kembali, kita tak bisa banyak berbuat.

✿✿✿

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top