Pengantar

'karna awal mula keberanianlah yang membuat kita dekat, lalu keberanianlah yang membuat jantung berjalan seirama' -Aurora

'menjadi aku, yang menabur benih bahagia sampai lupa akan luka yang diri sendiri rasa.' -Author

♡♡♡

Sedari jam pelajaran pertama, fokus Ara selalu teralihkan. Padahal jam pertama adalah pelajaran matematika. Sekali dia tidak memperhatikan maka seterusnya ia akan ketinggalan. Karna tak ada pengulangan, itu kalimat yang selalu Bu Rani ucapkan kepada setiap anak didiknya.

Belajar setiap hari di sekolah dan selalu berangkat lebih pagi karna jarak rumah terlalu jauh membuat Ara sering merasa bosan. Semenjak masalah hubungannya dengan teman sekelasnya retak dan sudah tak bisa disatukan lagi. Ara lebih suka dengan yang namanya 'kesendirian'

Jauh di lubuk hati padahal ia masih berharap banyak dari proses melupakannya. Berharap dia akan kembali baik, nyatanya ia jauh lebih jahat. Berharap dia akan mengajak ngobrol, nyatanya ia malah menjadikannya bahan obrolannya. Dan aku berharap banyak oleh sang waktu, agar tak usah bertemu dan berkenalan dengannya. Namun waktu tak bisa diatur mundur, ia selalu ingin bergerak maju. Dan kini penyesalan sedang aku genggam. Seperti menggenggam angin yang sama artinya dengan sia-sia saja. Menggenggam duri yang sama saja membuat diri sendiri terluka.

Hidup yang sekarang dijalani bukan perihal melihat apa yang sudah terjadi di hari yang lalu. Namun, menata hati mencoba ikhlas. Karna rela itu suatu hal yang sulit dilakukan, namun besar manfaatnya. Sama, aku sedang dalam proses melupakan seseorang yang memang layak untuk aku lupakan dan aku kubur ia dalam-dalam.

'Tett.. tettt... tettt....'

Bunyi bel pergantian jam membuyarkan lamunan seorang gadis yang nampak sedari tadi diam saja sembari meletakkan kepalanya di atas meja dengan bantalan kedua tangannya itu adalah Ara.

Aurora Borealis, nama penuhnya. Ia baru saja menjadi anak sekolahan yang kata banyak orang masa sekolah di tingkat itu adalah masa yang paling indah, karna masa puncak-puncaknya cinta bersemi dan tak jadi mekar dan mati rontok karna rantingnya bertemu dengan ranting lain dan akarnya tumbuh bersama dengan akar lain. Bagi gadis yang kerap dipanggil Ara itu, masa SMA adalah masa dimana masalah kehidupan datang begitu kompleks. Satu datang dan berhasil diselesaikan, datang lagi masalah baru begitu seterusnya. Jadi masa dimana hati benar-benar diuji. Bukan hanya dengan soal ujian saja, karna hidup juga perihal ujian perjalanan. Mendapatkan nilai sempurna itu keinginan banyak orang, padahal yang sempurna hanya milik Tuhan saja.

"Ra... Ara??" panggil Mocca teman sebangku Ara yang suaranya lebih kecil dari dia.

Teman duduknya itu masih saja tidak mau mengalih dengan pikiran di otaknya, masih saja diam. Sampai akhirnya dengan terpaksa Mocca mencubit lengan Ara dengan begitu kencangnya, hingga dia merintih kesakitan.

"Aduhh, Moca ngapain sih?" teriak Ara spontan yang membuat seisi kelas menjadi terfokus kepadanya. Berbagai mata memandangnya dengan tatapan beda-beda, jelas saja. Tatapan yang paling ia takutkan dan tak berani ia tatap balik adalah tatapan ganas dari Ibu Rini, guru matematika killer yang sudah terkenal seantero SMA PUSPADANA.

"MOCA.. ARA.. ADA APA DENGAN KALIAN BERDUA??" teriak keras dari depan ruang kelas. Yang baru saja berbuat ulah, malah diam menjadi batu. Tak ada sepatah kata pembelaan dan tak ada kalimat yang mau diucap bila pada akhirnya kata salah pasti selalu bersarang kepada mereka.

"Huh dasar, punya hobi kok mikirin pacar orang lain ngelamun mulu sih lo, kena imbaskan kan sekarang, ditinggalin kan" ucap seseorang yang mungkin benci dengan Ara.

Ara hanya diam dan seperkian detik hanya memandang dengan wajah datar kepada orang yang barusan berucap seakan memohok dia, padahal jelas bukan murni dia yang salah.

"Sudah, sekarang buka buku halaman 47 kerjakan soal-soalnya dan kumpulkan cepat dalam waktu 30 menit dari sekarang!!" perintah Bu Rini tegas, itulah alasan kenapa anak-anak yang kalau setiap ada kelasnya Bu Killer harus memusatkan perhatian lebih. Karna imbas dari itu akan sangat berat, mengerjakan soal sebanyak 30 dalam waktu 30 menit dengan cara dan tulisan rapih. Berasa mau buang air tapi ditahan, lama-lama nggak kuat.

Semua anak bergegas mengambil buku dan mulai menerka-nerka jawabannya, bila tidak menemui berapa jawabannya, terpaksa ia menggunakan jurus meminta bantuan teman alias mencontek. Suara bukaan buku tiap lembar terdengar hampir mengisi seluruh ruangan kelas. Tak ketinggalan dengan Ara dan Mocca juga. Jangan kira dia tak akan melakukan perintah, ia akan tetap lakukan dan mencoba sebisanya, walau pada akhirnya Ara harus melirik jawaban dari Mocca. Hehe

***

Awal perkenalan, yang manis adalah yang keluar dibibir, yang anggun adalah perilaku yang selalu ia tampakkan, yang berkesan adalah perlakuan manis dan selalu mendadak. Dan yang membuat berakhir adalah kekecewaan atas semua bual dan tingkah yang tak sesuai.

Ara, dia merasa senang sekali bisa bersekolah di SMA PUSPADANA, satu-satunya sekolah favorit di daerahnya. Ara berharap, masa indah itu datang. Karna yang selalu ia khayalkan adalah bertemu dengan para cogan-cogan di sekolah barunya. Dan menjadi wanita anggun yang dibicarakan banyak orang. Tak jarang banyak juga yang tidak suka. Tapi Ara selalu acuh, karna ia hidup bukan untuk membuat orang lain berkesan lantas suka kepadanya, tidak. Suka dan benci itu kadarnya lebih banyak bencinya, karna sekali suka kalau dikasih tahu keburukannya pasti akan lebih percaya kepada keburukannya.

Melihat dan juga menjalani kehidupan yang mungkin tak jarang ditemui dikebanyakan kasus keluarga. Begitu berat beban yang menanggung di badannya. Begitu sakit setiap rasa yang harus ia rasakan setiap hari. Tak ada alasan membela ia benar karna yang selalu dipandang dari dirinya adalah semua kesalahan besar. Dimarahi, dihina, disakiti. Itu beberapa rasa sedih yang harus ia tanggung setiap harinya, belum juga tetesan air mata yang mengalir begitu saja melewati pipinya. Bantal yang selalu basah tiap malam menjelang pagi. Pikiran yang selalu memikirkan kapan penderitaan pedih ini berakhir bahagia.

Ara, mencoba menjadi gadis biasa-biasa saja dengan senyum selalu ia tabur kepada sesama. Karna ia tak mau memperlihatkan sedihnya kepada semua, dan menjadikan ia dikasihani atas semua yang telah ia rasa. Ia tidak mau, Ara bukan gadis lemah. Ara lebih kuat dari hantaman meteor dengan bumi. Ara tidak cengeng, tidak.

Ara, gadis tegar dan tabah. Ia selalu menerima. Tak mau saja sepatah kata derita ia ucapkan. Tak ada yang mau tahu lebih dan tak ada tangan yang mau menopang diri. Tak ada kalimat penyemangat dan tak ada lagi matahari penghangat diri. Dan bulan malam penghantar tidur yang paling aku sukai.

Di pinggir taman kota, Ara sekarang terduduk. Jam di tangan kiri nya menunjuk waktu pukul delapan malam. Keseringan yang membuat betah. Ara selalu melakukan itu tiap malam. Menyendiri, pergi ke taman kota yang notabenya ramai di sore hari dan mulai sepi kala gelap mulai merembet ke seluruh langit. Ara terbiasa sepi dalam keramaian. Karna tak ada satupun orang yang peduli akan keresahan yang ia rasa.

"Tuhan, ijinkan aku bahagia sekali lagi." gumamnya dalam hati sambil menunduk lesu.

Tak bisa ia tahan, air matanya kembali keluar. Dibiarkannya saja. Andai saja seseorang itu masih ada disampingnya sekarang. Maka ia akan berbagi segala kesedihan yang ia rasakan sedari dulu. Perlakuan yang tak seharusnya ia dapatkan. Tuhan adil kok, karna bahagia itu pasti akan datang pada waktu yang tepat. Dia, dulu pernah dengan sering bertukar pesan dengan Ara. Dan Ara begitu sangat berharap dia akan bisa baik. Tak selang beberapa bulan dekat, satu sama lain memiliki rasa yang tak bisa ia tahan untuk tak diungkapkan. Rasa saling suka.

Tak habis dua bulan berlalu, dia mulai menampakkan ia yang lain. Yang kasar dan tak bisa memahami hati wanita. Pada hari yang paling Ara benci dia mengucapkan kalimat yang benar-benar buruk untuk didengar.

"Dasar cewek gatau diri, anjing, bgst."

Itulah kalimat terakhir yang menyelinap masuk ke dalam pesanku beberapa setelah kalimat itu dia jadikan story di sosmednya.

Selepas hari itu, yang Ara lakukan hanyalah menangis setiap malam dan menyesali setiap apa yang telah ia korbankan untuk dia.
Ara begitu terlihat bodoh memandang cowok seburuk itu dengan tatapan penuh memujanya. Dia terlihat pintar, namun otaknya begitu pintas mengambil jalan untuk menyelesaikan masalah. Karna dia terlalu cemen untuk sekedar menemuiku dan mengucapkan kata maaf. Banci bukan.

Sejak saat itu, hubungan Ara dengan dia sudah tak ada kata untuk diselamatkan. Semuanya sudah berakhir, seterusnya juga begitu.

"Aish.. Ngapain aku mikirin itu lagi sih," gerutu Ara pada dirinya saat dengan mudah memori lama ia putar kembali. Membuat hatinya terluka lagi.

Pada malam sunyi, dan kicau burung tak samar terdengar. Otak dan imajinasi Ara mulai liar. Pada dingin yang ia rasa mematikan saraf tubuhnya. Pada suasana mencekam yang kerap tak ia pedulikan. Ia begitu mengharapkan ada satu orang yang benar mau membantu ia kuat berdiri menghadapi kenyataan pahit ini.

"Kapan ia datang?" pertanyaan yang selalu bersarang tanpa ada jawaban pastinya.


/pada kehidupan yang dilalui, kadang pahit lebih terasa sakit dan manis lebih dulu terkikis, menjadi berat atas jalan berliku yang harus dilewati, menjadi kuat itu yang membuat dirimu bertambah hebat/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top