Luck or Burden

Tumpang tindih sebuah kemungkinan, membawa kita pada rasa yang menjalar hingga entah ini dinamakan keberuntungan ataukah beban.

—ia


♡♡♡



   Pekat malam sungguh bisa dirasakan oleh kerumunan siswa yang sudah berdiri di depan panggung, entah bintang dan bulan baik hati kali ini sinarnya sungguh terang, memancarkan gemilaunya ke bumi untuk bisa dinikmati oleh siapa saja yang merasa sendiri.

   Bising dan suara bass terdengar bergema di dalam, sangat riuh oleh teriakan kaum-kaum fans fanatik dari Marion Jola. Bahkan mereka hafal betul setiap lirik yang dinyanyikan oleh penyanyi muda berbakat yang juga cantiknya luar biasa itu. Namun, keseruannya tak bertahan lama. Tepat pukul 11 hampir dini hari, bintang tamu mengakhiri acara dengan menyanyikan satu lagu yang mungkin membekas di hati Ara—Tak Ingin Pisah Lagi. Seperti menamparnya, ia terdiam kaku sambil terus melihat penampilan terakhir di atas panggung.

   Tak bisa disayangkan, memang Ara sangat bersikukuh untuk menjaga dan mempertahankan apa yang sudah ia coba benahi dari kesalahan yang tak begitu fatal dengan Adelino dulu, namun Adelino memang sosok yang berpendirian tegas. Kalau sudah masanya ya memang harus terima.

   Sanggupkah kau berjanji 'tuk tetap di sini
   Menjaga hatiku,

   Adelino adalah orang pematah hati paling handal yang Ara temui dari laki-laki yang pernah singgah tak lama di hatinya dulu. Namun, Ara menjadi mengerti sekarang kenapa dia dan Adelino bisa pisah, bukan resmi tuduhan di berikan kepada Ara namun Adelino juga berhak mendapatkan. Bahwa Adelino tak bisa menjaga hati Ara persis seperti lirik lagu yang terdengar menggema di dalam telinganya, bahkan ia juga tak sanggup untuk tetap berdiri di samping Ara menemani atau bahkan memperjuangkan cinta mereka. Hati Ara memang bukan untuk dijaga oleh Adelino, itu sebabnya mereka pisah. Karena Ara masih saja bertemu dengan orang yang salah.

   Maaf bila sempat kau kecewa kepadaku
   Perih yang kita rasakan
   Kini mendewasakan hati ya,

   Lirik adalah nada hati, pemberi rasa yang mungkin saja benar apa yang hati rasa sekarang. Begitu sinkron dengan keadaan yang hati rasa. Mungkin dengan menyanyikannya hati jadi lebih menyuarakan berisik yang sesak hingga air mata pun tak lagi bisa diteteskan.

   Memang faktanya begitu berat, namun seiring berjalannya waktu semua yang membekas akan layu dan berganti dengan yang baru. Kenangan baru bersama orang baru. Memang rasanya begitu sakit hingga relung hati paling dalam, bahkan rasanya seperti tertusuk namun tidak bisa mati—perih dan kesakitan. Dan begitu cara semesta menegur kita, mencoba memberi jeda untuk bisa memikirkan dan meluruskan apa yang masih salah diantara rasa yang muncul dari dua insan yang mencoba merasakan kebahagiaannya. Luka kini mendewasakan, menjadikan kita selangkah lebih maju dalam membenahi diri dan menjadikan rasa mengikhlaskan di tingkat paling atas sendiri. Lega mungkin belakangan, namun proses tentu tidaklah berjalan mulus. Biarpun kita selalu bilang tentang kegagalan, suatu waktu kau akan benar berada dalam keberhasilan. Berhasil melupakan dan berhasil membiarkan dia pergi bersama langkah jenjang yang ia ingin coba rasakan bersama rasa dan orang yang berbeda.

   Ara mencoba memaklumi kondisi ini dengan sebenar dan setulus hati walau sakit musti ia tanggung sendirian. Ara tak mau bersusah payah terlihat baik walau dia sedang sangat buruk. Ia akan menjadi dirinya sendiri dimana ia memijakkan kaki dan mencari pelarian yang ideal untuk dia lakukan.

   Bahkan senyap dan riuhnya duniapun tak menjadikan Ara menjadi wanita yang tak pemaaf, ia selalu bisa memberi sedikit ruang di dalam hatinya untuk rasa salah dan tulisan 'maaf' yang orang lain kirim untuknya, setidaknya itu membuat hatinya sedikit terobati—ya sedikit, banyaknya biar dia sendiri yang mencoba untuk mencari obat.

   "Araa...raa...Araa..."
  
   Terdengar teriakan seseorang dari arah belakang, posisi Ara sekarang berada di samping panggung dan menghadap ke arah panggung untuk menikmati nyanyian terakhir yang lagunya pun sangat relate dengannya. Ara mencoba mencari sumber suara, ternyata sumber itu dari arah belakang, ia lalu menoleh dan menemukan Dimas tengah berdiri di pojok depan ruang kelas yang posisinya dari lapangan cukup dekat, sehingga Ara bisa mengenalinya.

   Dimas seperti mengintruksi Ara untuk segera datang kepadanya dengan melambaikan tangan ke atas dan seperti ingin mengajaknya berbicara atau malah memberinya tugas terakhir untuk ia selesaikan di malam puncak acara itu.

   Ara berjalan masih dengan kamera yang kini ia pegang di tangan kanannya, bahkan kalung kamera ia biarkan tergantung ke bawah begitu saja.

   "Ada apa?" Tanya Ara mencoba bertanya.

   Namun bukannya sebuah jawaban dari pertanyaannya melainkan sebuah cekalan yang Dimas lakukan untuk mengajak Ara ke dalam ruang panitia. Ara yang bingung hanya menurut saja, hingga sampai di depan ruang panitia Ara melirik ke dalam, tak terlalu banyak anak rupanya. Bahkan lebih dari separuh panitia tak ada di ruangan dan memilih menyelesaikan tugasnya di atas panggung atau mungkin di samping panggung seperti yang Ara lakukan sebelum Dimas memanggilnya.

   "Ra, fotoin gue sama seseorang dong, please ya ya.." permintaan tolong super lebay yang pernah Ara dengar dari teman cowoknya itu membuat Ara tersenyum kebingungan.

   "Mau foto sama siapa loh? Guest star?" Tanya Ara karena ia tak melihat seseorang yang dekat di antara mereka berdua sekarang. Namun, selang beberapa detik ada seorang anak perempuan yang mengenakan pakaian berwarna pink terang berjalan dari arah depan ruang  panitia dan sekarang sudah berdiri tepat di samping Dimas.

   "Nah ini nih orangnya..." Ucap Dimas seperti menyambar.

   "Ini? Siapanya elo?" Tanya Ara mencoba menanyakan siapa perempuan yang ia rasa masih satu tingkat di bawahnya itu.

   "Kenalin kak, aku Liana anak kelas XIPA4," tiba-tiba anak perempuan itu mengenalkan dirinya kepada Ara dengan uluran tangan ke depan.

   "Hallo Liana, aku Ara."

   "Sudah tahu kak, hehe.." jawab Liana dengan sedikit tertawa.

   Ara disitu kaget, ternyata adik kelasnya sudah ada yang kenal dengannya. Perasaan dia nggak pernah melakukan hal yang membuatnya bisa dikenal oleh banyak orang bahkan adik kelasnya sendiri. "Lhoh tau dari mana emangnya?" Tanya Ara penasaran.

   "Di kasih tahu sama kakak ini, hehe.." ucapnya sembari menunjuk ke arah Dimas dengan sedikit takut.

   "Dimasss, lo kasih tahu tentang gue ke orang-orang hah??" Tanya Ara seperti menggarang sedikit marah.

   "Hey enggak Ra, cuma dikit kok," ucap Dimas sembari tangannya mempraktikkan kata 'sedikit' dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

   "Hehe udah-udah kak, ini acara fotonya kapan mulainya?" Tanya Liana untuk mencoba mengakhiri pertengkaran yang bisa-bisa bertambah panas malam ini.

   "Nah bener tuh Ra, ayo fotoin gue!" Dasar Dimas membuatnya jengkel malam ini.

   "Yang bagus dan jelas ya Ra!!" Sudah nyebelin nyuruh-nyuruh pula, pengen Ara tampol rasanya biar tau rasa tuh Dimas.

   Ara hanya membalas, "Hmm..." dengan raut muka yang datar.

   Tiga kali jepretan sudah Ara lakukan namun masih saja Dimas meminta untuk, "Sekali lagi Ra,"

   Seperti ingin mengelus dadanya dan memohon kepada Tuhan untuk menurunkan sabar kepadanya, Ara menjawab, "Sekali lagi mau sampai berapa lembar ini nanti?"

   Mendengar itu membuat Liana mencoba memberikan jeda kepada Ara yang akan memotokan lagi. "Sudah kak Ara, sudah cukup."

   Dimas yang mendengar itu langsung menyemberutkan mimik mukanya agar dikasihani, namun Ara tak akan melakukan itu. "Ih Liana kok gitu, kan abang dimdim masih mau foto yang buanyakk kali sama adik yang muanizz ini," ingin rasanya Ara memuntahkan bakso yang tadi sore ia makan di warung dekat sekolah bersama teman-temannya itu ketika mendengar kalimat Dimas yang super menjijikan itu.

   "Itu sudah buaanyakk Kak Dim," ucap Liana yang sangat Ara setujui.

   "Kak boleh lihat hasilnya dulu??" Ara kemudian memberikan kameranya kepada Liana untuk ia cek dan tonton hasilnya. Dimas tak mau ketinggalan, ia juga ikutan melihat.

   "Wah bagus juga ya ternyata, kelihatan serasi gitu apalagi yang satu ganteng yang satu cantik duh cocok banget," kali ini Dimas membuat dirinya merasa pantas untuk bersanding dengan adik kelasnya yang Ara rasa ia sudah kena pelet dan rayuan gombal dari mulut lintah itu—sukanya menghisap dengan kata maut super recehnya.

   "Hhmmm,"

   "Makasih ya Kak Ara sudah mau motoin kita," ucap Liana kemudian memberikan kamera balik kepada Ara.

   "Oke sama-sama yaa," balas Ara dengan ramah.

   "Wahai tukang dokumenter ku, aku sangat mengucap terima kasih kepadamu malam ini, jangan lupa segera bagikan foto romantis itu untuk aku pajang di akun sosmed ku,"  Ucapan terima kasih dari Dimas yang membuat Ara segera izin meninggalkan mereka berdua, untuk menghindari kegilaan yang lebih parah dari Dimas.

   "Besok gue share, jangan lupa gaji gue..." Balas Ara ketika ia berjalan melangkahkan kakinya untuk pergi entah untuk mencari udara yang berbeda dan menghindari mendengar gombalan mulut recehnya Dimas yang makin nggak jelas itu.

✿✿✿

 

   Ara membuang badannya kasar ke kasur empuk yang sudah rindu akan dirinya, kali ini dia benar-benar menjadi panitia super sibuk dan lelah dari sebelum-sebelumnya. Bahkan ia harus pulang tengah malam, lebih tepatnya pagi hari pukul 03.00 jalan lenggang dan remang lampu jalan hanya bermodalkan tekad yang ia genggam erat-erat dengan sedikit rasa takut dan ngeri mengantarkannya pulang ke rumah dengan selamat tanpa kurang satu cm pun.

   "Huft, capek banget ya jadi panitia acara gede gitu," nafas kasar Ara menandakan betapa lelahnya dia saat ini. Ia lalu kembali duduk untuk melepas sepatu yang masih menempel di kakinya meletakkan di samping pintu dan kemudian mengambil handuk kecil untuk ia gunakan mencuci mukanya agar terlihat sedikit lebih fresh.

   Hal yang Ara pikirkan hanya satu, yaitu bergegas tidur. Ia rasa besok adalah hari yang akan ia habiskan untuk bermanja di kasur alias jadi koala yang setiap waktu hanya tidur, bahkan lebih dari separuh waktu lebih tepatnya 22 jam koala bisa tidur nonstop. Bukankah binatang paling malas yang ia terima oleh kebiasaan selama ia hidup. Ara tak mungkin bisa tidur selama itu, kemungkinan terburuknya dia koma di rumah sakit baru ia bisa dijuluki si malas yang kerjaannya cuma tidur.

   Tak butuh waktu lama, mata lelah Ara kini sudah terpejam. Mencoba menstabilkan irama nafasnya menjadi lebih teratur. Berdamai dengan alam mimpi yang akan membawanya terbang ke angkasa berharap bertemu dengan bintang atau bulan yang membawakan pesan rindu seseorang.

   "Hei," sapa seseorang yang Ara mungkin kenal dengan pemilik suara berat yang kerap kali menjadi hal paling utama alasan ia semangat untuk bangun pagi dan bergegas ke sekolah pada waktu itu.

   Benar saja dugaannya, kini Adelino sudah berdiri di sebuah jalan lurus tepat di belakangnya hanya berjarak 10 meter darinya. Dengan kemeja kotak-kotak berwarna senada dengan suasana malam itu—gelap, namun menyimpan sesuatu yang mungkin akan terlihat nantinya.

   "Lin, kamu ngapain di sini?" Tanya Ara dengan panggilan spesial yang hanya Ara lah yang mempunyai panggilan khusus itu—Lino.

   Tanpa jawaban, namun raut wajah Adelino nampak serius berbeda dengan Adelino yang biasanya. Mungkin dia mau menyampaikan sesuatu kepadanya. Atau mungkin mengajaknya membeli coffee untuk menghangatkan malam yang terasa lebih dingin dari biasanya. Lebih tepatnya Adelino yang membuat suasana menjadi dingin dan terkesan lebih kaku dari biasanya yang hangat dan menyenangkan .

   Kini Adelino sudah tepat berdiri di depan Ara, dengan masih diam saja. Ara yang melihat itu menjadi bingung sekaligus takut bisa aja Lino kerasukan setan di pohon besar dekat tempat ia berdiri sekarang atau mungkin ia benar-benar menunjukkan Lino yang sebenarnya.

   "Ra, udah kita sampai sini aja gak perlu nanya apa lagi alasan yang jelas kita selesai di sini, detik ini juga." Kalimat Lino bagai parang yang menancap tepat sasaran, dada Ara sesak bukan main hingga tetes bening itu tak bisa ia bendung untuk diteteskan. Ara membisu masih belum bisa mencerna apa yang ia dengar dari mulut orang yang ia sayang beberapa bulan yang lalu.

   "Lino, kamu kesambet apa?" Seharusnya kalimat retorik itu tak perlu lagi Ara tanyakan, sungguh membuat Adelino kini tambah ingin melangkah menjauh dari tempat itu sesegera mungkin.

   Lino yang diam tanpa sepatah kata kini tubuhnya di cekal oleh kedua tangan Ara yang gemeteran akibat tangis yang masih ia lakukan. Ia gunakan tangan itu untuk mengguncangkan tubuh tinggi Lino bahkan ia seperti ingin menjadikannya penopang tubuhnya yang sudah mulai melemas bersamaan dengan itu Lino mundur dua langkah yang menjadikan Ara terjatuh dan membuat lututnya berbenturan dengan aspal pinggir jalan, rasa sakit yang timbul lebih daripada rasa sakit yang Ara rasakan dalam hatinya bahkan sakitnya menjadi ganda.

   Tersungkurnya Ara disusul oleh perginya Lino dari tempat itu dengan berlari ke arah belakang, jadi Ara bisa melihat jelas tubuh Lino yang perlahan menjauh dan lama-lama hanya tersisa bayangan dan menembus kabut malam yang menghilangkan sosok itu dari penglihatan Ara.

   Ara masih diam ditempat dengan tangis yang bertambah keras, tak ada siapa pun yang lewat dan membantunya berdiri. Hanya suara binatang malam yang kini menemani malam patah hati terberat yang harus ia terima begitu saja, tanpa kalimat penjelas walau cuma sekedar ba-bi-bu dari mulut Lino.

   Kini Ara mencoba untuk berdiri, ia sudah mulai sadar dia tak bisa berlama-lama ditempat yang gelap dan sepi itu sendirian bahkan ini sudah mulai larut hingga ia harus segera pergi dan menyeka air mata sekaligus lukanya itu dengan tangannya sendiri.

   Tubuh pendek yang ia bawa dengan kaki yang sudah melangkah dengan tak benar bahkan seperti orang kelimpungan itu ditambah luka lututnya yang mulai perih, bahkan baju yang ia kenakan sangat terbuka tanpa jaket dan bisa-bisanya Lino membiarkannya begitu saja. Kini ia berdiri di bawah lampu jalan tepat di persimpangan jalan, terlihat sangat gelap jalan yang harus ia lalui untuk pulang. Bahkan segenggam harapan yang akan ia bangun sendirian kini mulai surut oleh perjuangan yang sudah ia lakukan kepada Lino seutuhnya. Benar-benar kejam sekali Lino hingga ia melakukan hal semacam itu kepada pacarnya—bukan, mantan pacarnya lebih tepat. Karena beberapa menit yang lalu Lino telah resmi memutuskan hubungannya dengan cara sepihak kepada Ara.

   Dari kejauhan terlihat sorot lampu seseorang tengah memecah lorong jalan dengan motor yang ia tumpangi. Bahkan Ara tak terlalu memperdulikan, jika saja orang itu meneriakinya sebagai orang gila ia akan terima-terima saja. Melihat betapa buruknya ia sekarang dan betapa hancurnya di dalam tubuhnya itu.

   Namun jika dilihat dari dekat orang itu lebih seperti pangeran dengan kuda cokelatnya, baju putih dengan belakangnya menyerupai sayap yang tergelantung membuatnya seperti terbang terkena hembusan angin malam yang menembus kulit akan merasakan kengiluan yang sangat persis seperti pangeran berkuda yang akan menyelamatkan dari jurang patah hatinya.

   Ara sedari tadi hanya diam dan melihati dengan raut wajah yang datar, bekas air mata masih nampak jelas di pipinya bahkan mata merahnya tak bisa berbohong kalau dia sedang baik. Orang itu kemudian berhenti di depan Ara dan mematikan mesin motornya beranjak untuk mendekati wanita di depannya yaitu Ara.

   Ara melihatnya hanya terus diam, ingin lari namun kakinya tak bisa. Ia hanya takut kalau ia akan diculik dan keesokan harinya muncul berita kalau ia tinggal nama akibat tubuhnya dimutilasi untuk diambil organ dalamnya yang katanya sangat mahal kalau dijual. Bibir Ara terlihat pucat pasi, orang yang berdiri itu masih lengkap menggunakan helm penutup wajahnya hingga Ara tak bisa mengenali siapa orang itu mungkin ini adalah bagian dari trik untuk seorang penculik malam atau mungkin dia begal, namun tidakkah ia bisa melihat, bagaimana ia bisa membegal orang yang tak punya apa-apa bahkan tas pun tak Ara bawa hanya benda pipih yang kini ia pegang dengan erat dan harganya pun tak seberapa untuk ia curi dari wanita yang baru saja mengalami patah hati terberatnya.

   Laki-laki itu malah melepaskan satu demi satu kancing jaket denimnya hingga menyisakan kaus putih oblong mungkin itu akan melibatkan dengan jelas lekuk tubuh laki-laki itu. Bayangan pangeran berkuda sirna dari otak Ara detik itu juga.

   "Apa yang akan laki-laki ini lakukan kepadaku?" Hanya itu yang Ara pikirkan sedari tadi.

   Bukannya lari saat tangan laki-laki itu memegang lengan kanannya dengan kencang dan perlahan mendekatkannya lebih dekat dengannya, namun Ara malah diam dengan seribu kalimat yang harusnya ia lontarkan untuk berteriak meminta tolong.

   Lebih kagetnya lagi, kini jaket itu sudah laki-laki kenakan untuk menutupi bagian atas tubuh Ara. Hingga kini yang terjadi hanya saling pandang, mata dengan mata untuk beberapa menit sebelum akhirnya Ara mengakhiri dengan berjalan mundur mencoba lebih jauh dari laki-laki yang tidak ia kenal itu.

   "Pakai aja buat kamu biar nggak kedinginan," suara berat itu terdengar dari mulut laki-laki didepannya. Karena terhalang helm full face-nya Ara tak bisa dengan jelas mencoba mengenal suara itu, kali aja temannya sendiri.

   Ara hanya mengangguk patah-patah sebanyak tiga kali, hingga ia melihat laki-laki itu tersenyum karena matanya mulai menyipit dan ia kini sudah melangkahkan kakinya untuk kembali menaiki motornya.

   Sebelum benar-benar pergi dan meninggalkan Ara sendirian, ia menengok ke arah Ara kemudian dia menutup kaca helm dan mantap mengngegas motornya meninggalkannya sendirian di pinggir jalan. 

    "Huft, huft..."

   Ara terbangun dari tidurnya, ya ternyata ia sedang bermimpi. Namun kali ini mimpinya membuatnya berpikir lebih keras dan membuat baju yang ia kenakan basah oleh keringat. Ia kemudian mengambil segelas air di pinggir meja belajarnya untuk ia teguk dengan kasar seperti orang yang sedang kehausan dan nyaris dehidrasi.

   "Kenapa mimpinya kayak gitu? Apa artinya?"

   Ara membatu di samping tempat tidur dengan segudang pertanyaan akan teka-teki mimpi yang aneh yang barusan ia mimpikan. Kenapa Lino muncul dan memberikan kesan yang sangat ia benci.

   "Argh, ini sungguh tidak masuk akal." Kesalnya kemudian ia melangkahkan kakinya keluar untuk mencuci mukanya agar ia bisa berpikir jernih tentang mimpinya barusan.

   Keberuntungan ataukah kesialan yang harus Ara terima dengan memimpikan hal seperti itu? Akankah kehidupannya menjadi damai karena Lino sudah pergi tanpa mengucap selamat tinggal kepadanya, ataukah ia harus mulai membuka lembaran baru dengan laki-laki yang menolongnya di mimpi dan mencarinya untuk mengucap terima kasih.

   Namun dia siapa? Kenapa dia tak menampakkan wajahnya??

✿✿✿

  

  

Hallo, bagaimana dengan part ini??

Kira-kira siapa yah cowok yang ada di dalam mimpi Ara barusan??

Apa dia benar pangeran Ara??

Cari tahu di part selanjutnya!!

Happy Reading Dear,

Salam,

—ia.

  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top