Part 8
Jeonghan menyuapkan makanan di piringnya dengan santai. Sudah lama lidahnya tidak merasakan masakan tante Pyo. Tangan Jeonghan kembali terulur untuk menambah lauk. Jaerim, sang adik yang duduk di sampingnya, menginjak sebelah kaki Jeonghan. Tanpa kentara, Jeonghan melayangkan tatapan mematikan pada adiknya itu. Jaerim tak mau kalah, ia mengedikkan dagunya ke arah para orang tua.
Berbeda dengan Jeonghan yang dapat makan dengan santai, kedua orang tua Nari tampak khawatir karena anaknya belum juga sampai rumah. Ponselnya tidak bisa dihubungi sedari sore. Terlebih lagi hujan lebat di luar tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda dalam waktu dekat.
"Tenang saja Eun Cha, mungkin baterai ponselnya habis dan ia sedang terjebak di halte bus," kata Eomma Jeonghan menenangkan Mama Nari. Ia bahkan memanggilnya dengan nama asli.
"Ini pertama kalinya anak itu tidak menjawab telepon. Aku selalu mengingatkannya agar membawa power bank kemana pun anak itu pergi," kata Mama, rasa khawatirnya tidak berkurang.
"Kalau begitu, biar Jeonghan saja yang menyisir halte dekat sini. Siapa tahu Nari benar-benar terjebak disana," kali ini Appa Jeonghan yang angkat bicara.
Jeonghan mendelik. Ia sudah bersyukur dapat mengisi perutnya dengan santai karena ketidakhadiran Nari tadi. Dan kini? Ia disuruh mencari anak itu? Hah, benar-benar merepotkan!
"Ehm, aku masih mau mak.... aduh," ucapan Jeonghan terputus. Sepertinya setelah pulang dari sini, ia akan menjitak kepala adiknya karena sudah membuat kakinya sangat sakit setelah diinjak keras-keras.
"Jeonghan oppa tentu saja bersedia menjemput Nari eonni di halte. Iya kan?" Jaerim tersenyum penuh arti pada kakaknya itu.
Jeonghan melihat wajah-wajah lain di meja makan. Sepertinya hanya dia saja yang tidak peduli akan nasib gadis itu. Jeonghan menghela napas. "Baiklah, aku akan mencarinya."
Belum sampai sedetik Jeonghan menyelesaikan ucapannya, bel rumah berbunyi nyaring. Mama Nari segera berlari menuju pintu gerbang. Sontak, semua orang dimeja makan mengikuti, kecuali Jeonghan. Pria itu tampak malas-malasan untuk bangkit dari duduknya. Bahkan ia sempat memasukkan potongan besar daging panggang ke dalam mulutnya sebelum menyusul yang lain.
"Ya ampun!" teriakan Mama Nari membuat orang-orang di dalam rumah segera berlari menuju pintu gerbang.
Nari kini sudah berteduh dibawah carport rumahnya. Penampilannya sudah tidak dapat dikenali lagi. Bahkan sang ibu sampai berteriak terkejut dibuatnya.
Rambut hitam panjangnya tergerai dan lepek karena air hujan. Poninya yang panjang menutupi wajahnya. Setelan baju kantor dan coat-nya basah kuyup. Tangan kirinya menenteng tas, sedangkan tangan yang lain membawa heels. Penampilannya benar-benar berantakan. Mungkin itu pula yang membuat Mama menjerit terkejut.
Namun, bukan hanya Mama yang terkejut. Nari lebih terkejut lagi ketika pandangan matanya mendapati Appa dan Eomma Jeonghan. Di balik punggung kedua orangtuanya, Jeonghan berusaha mati-matian menahan tawanya. Wajah Nari memerah menahan malu. Ia datang disaat yang tidak tepat! Dia mana tahu kalau keluarga Jeonghan akan kemari malam ini!
Benar-benar hari yang sial!
---
Nari baru keluar kamar ketika acara makan malam selesai. Keluarga Jeonghan beserta Papa dan Mama Nari tampak masih mengobrol di meja makan. Jaerim yang pertama kali melihat Nari keluar dari kamar menyapa gadis itu.
"Eonnie, cepatlah kemari. Sup dagingnya masih hangat," kata Jaerim sembari melambaikan sebelah tangannya ke arah Nari.
Nari mengangguk dan berjalan mendekat. Ia menyalami kedua orangtua Jeonghan yang tadi belum sempat disapanya karena harus segera membersihkan diri. Tak lupa ia juga memeluk Jaerim dengan hangat. Sudah lama tidak bertemu dengan anak itu, kini Jaerim terlihat sangat dewasa. Nari hanya mengangguk sembari tersenyum kecil ke arah Jeonghan. Ia kemudian menarik kursi disamping sang Mama.
"Makanlah dengan santai. Kami menunggumu sedari tadi," kata Eomma Jeonghan santai sembari mengelus rambut Nari yang masih setengah basah setelah keramas.
"Maaf telah lama menunggu," kata Nari lagi.
"Nevermind," kali ini Mamanya yang angkat bicara. "Mama bersyukur kau sudah sampai di rumah dengan selamat. Lain kali jangan abaikan ponselmu."
"Eonni kenapa tidak bawa mobil sendiri? Jadi kan lebih mudah, tidak perlu selalu bergantung dengan kendaraan umum," celetuk Jaerim asal.
Kedua orang tua Nari seketika diam. Tangan Nari yang siap menyuapkan potongan daging ke dalam mulut tertahan diudara. Sedetik kemudian Nari sadar. Ia tertawa kaku untuk membunuh suasana yang tiba-tiba mencekam.
"Aku masih belum mempunyai SIM," bohong Nari.
Eomma Jeonghan menegur Jaerim agar jangan mengganggu Nari yang sedang makan. Jaerim memajukan bibirnya karena kesal. Melihat adiknya begitu, Jeonghan justru tambah mengusili Jaerim. Alhasil, adegan Tom and Jerry antara kakak-beradik itu pun berlangsung kembali. Suasana kembali mencair di buatnya.
Nari menyelesaikan semangkuk sup daging buatan Mamanya dalam waktu sepuluh menit. Gadis itu kemudian mulai membereskan piring-piring kotor sisa makan malam mereka dan membawanya ke dapur. Jaerim turut membantu. Setelahnya, Nari menghidangkan puding dingin dan buah melon sebagai makanan kecil pencuci mulut.
"Wah, jadi repot-repot. Banyak banget makanannya," ucap Appa Jeonghan.
"Sudah sengaja dibuat, jadi dihabiskan ya," kata Mama. "Jeonghan Jaerim, ayo dimakan."
"Nggak perlu disuruh dua kali, saya pasti makan kok Tante," kata Jeonghan sambil menarik piring berisi puding bagiannya. Mendengar jawaban Jeonghan, Mama tertawa senang.
Lima menit berlalu. Ketujuh orang yang ada di meja itu menghabiskan isi piringnya dengan khidmat. Hanya terdengar bunyi dentingan antara piring dan sendok.
"Jeonghan, masih belum ada teman wanita kan?" pertanyaan tiba-tiba Mama membuat Jeonghan tersedak suapan terakhirnya. Jaerim yang duduk di samping Jeonghan, buru-buru mengangsurkan segelas air mineral pada oppa-nya itu.
Jeonghan menghabiskan isi gelas pemberian adiknya. Ia mendapati banyak pasang mata menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya. Kecuali seseorang. Gadis di hadapannya itu tampak memain-mainkan puding di piringnya, pandangan matanya tetap tertuju ke bawah.
Jeonghan berdeham kecil sebelum menjawab pertanyaan itu. "Saat ini aku masih belum berminat mencarinya, Tante."
"Kenapa?"
Sial! Sepertinya malam ini ia sedang bermain peran menjadi terdakwa. Jeonghan tampak memikirkan kata-kata yang pas untuk menjawabnya. "Hmm, aku sedang fokus pada karirku, Tante."
Mama Nari maupun Eomma Jeonghan tampak saling pandang penuh arti. "Kalau ditanya tentang jodoh, jawabannya memang selalu begitu lho Euncha," adu Eomma.
Kedua mata Jeonghan melebar. Bukannya membela, Eomma-nya itu malah makin memojokkan anaknya.
"Nari kalau ditanya tentang jodoh juga jawabannya begitu," ucap Mama. Nari yang mendengarnya hanya mampu meringis polos, tak tahu harus menanggapi seperti apa.
"Banyak lho anak-anak temen Mama yang sudah nikah di usia kalian seperti ini. Kalau nunggu karir mah, sampai umur 50 tahun baru bisa nikah. Itu pun kalau lancar, kalau nggak gimana?"
Ucapan mama Nari sedikit membuat Nari tercekat. Ia bahkan baru satu tahun bekerja sesuai cita-citanya, masa mau langsung dipaksa nikah. Jeonghan memainkan jari-jemarinya di bawah meja. Dengan penghasilannya sekarang, ia bahkan sudah bisa menghidupi anak orang dan beli rumah sendiri. Tapi bukan itu masalahnya. Ia masih belum siap untuk kembali membuka hati.
"Ya sudahlah, karena alasan kalian sama-sama karir. Jeonghan sama Nari saja ya? Biar nunggunya barengan," ucap Eomma kemudian.
"Eomma," pekik Jeonghan penuh protes. Ia kini tahu darimana ia mendapatkan sifat keras kepala dan asal bicara.
"Kenapa?" tanya Eomma, terdengar sedikit menantang.
"Ehm, itu...," kata Jeonghan bingung. Ia sempat bertukar pandang dengan gadis di hadapannya. Jeonghan mengirimkan sinyal SOS.
"Lebih baik kami hanya berteman. Kalau lebih dari itu bisa-bisa hubungan kami menjadi canggung," jawab Nari membantu. Jeonghan mengangguk-angguk semangat. Nari meliriknya. Baru kali ini cowok itu menyetujui ucapannya.
Eomma dan Mama terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Jeonghan menghela napas lega. Ia yakin ucapan Nari tadi telah membuat keduanya luluh untuk tidak bersikeras menjodohkan dirinya dengan Nari.
"Ya ya, Eomma mengerti. Kalian tidak bertemu selama beberapa tahun saja sudah secanggung ini," kata Eomma-nya.
Jeonghan mengangguk sambil tersenyum lebar. Ia setuju akan ucapan ibunya.
"Jadi, akan makin baik jika kalian menghabiskan lebih banyak waktu bersama, kan?"
Senyuman Jeonghan menghilang ketika mendengar kelanjutan ucapan sang Eomma. Eomma-nya itu malah kini tersenyum penuh arti padanya. Berkebalikan dengan Jeonghan yang justru terang-terangan memajukan bibirnya karena protes.
Mama yang melihatnya tertawa kecil. "Ya ampun, Jeonghan masih seperti dulu ya. Sangat mirip denganmu, Jieun," ucap Mama pada Eomma Jeonghan.
"Yah, pokoknya kalau dari Eomma sendiri, sudah sangat setuju jika nantinya Jeonghan bersama Nari. Iya kan, Appa?" kata Eomma mencari persetujuan dari sang suami. Appa Jeonghan hanya mengiyakan tanpa pikir panjang.
Mama dan Papa juga turut larut dalam obrolan tersebut. Bahkan keempat orang tua itu sudah sibuk berandai-andai perihal pernikahan kedua anak mereka. Jeonghan maupun Nari, sebagai objek pembicaraan, bahkan tidak dilibatkan ke dalamnya. Nari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Yah, perpaduan orangtua Jeonghan saja sudah cukup unik, apalagi jika ditambah dengan combo kedua orangtuanya. Biarkan mereka berkhayal saja. Pasti tidak akan bisa dihentikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top