Part 7

Seorang pria tiba-tiba mendaratkan tubuhnya di sebalah kursi samping Nari. Gadis itu hanya melirik sekilas, kemudian pandangannya kembali fokus pada buku yang sedang dibacanya. Karena tidak mendapat perhatian dari orang disebelahnya, Jeonghan beralih dengan merebut buku yang sudah sedari tadi bersarang di tangan Nari.

"Ya! Besok aku ada ujian!" protes gadis itu.

Jeonghan tertawa. Tanpa perlawanan, ia membiarkan gadis itu kembali merebut buku dari tangannya. Setelah selesai dengan tawanya, Jeonghan menundukkan tubuh hingga makin dekat dengan posisi duduk Nari.

"Apa yang kau mau?" tanya Nari penuh selidik.

"Bingo! Kau sangat mengerti diriku!" seru Jeonghan senang sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Nari. "Kenalkan aku dengan seseorang dong!"

Nari mengernyitkan dahinya. Baru pertama kali ini sahabat kecilnya itu meminta untuk dikenalkan pada seseorang. Ia yakin, Jeonghan tidak memiliki masalah dalam hal bersosialisasi. Lihat saja, walaupun baru menjadi trainee di sebuah agensi yang melahirkan penyanyi solo wanita favorit Nari, Jeonghan sudah memiliki banyak fans. Kebanyakan wanita. Nari juga tidak tahu bagaimana bisa Jeonghan dengan sabar mengatasi para penggemarnya.

"Siapa?"

"Gadis yang kemarin datang ke rumahmu untuk mengerjakan tugas," kata Jeonghan. Pria itu menaik-turunkan alisnya. Bukan terlihat seksi, justru konyol.

Nari memukul kepala Jeonghan dengan gulungan kertas. "Hentikan dasar bodoh!" Jeonghan hanya terkekeh. "Namanya Myunghee. Aku tidak akan mengenalkannya padamu."

"Yah, kenapa?" rajuk Jeonghan. Pria itu kini menarik-narik ujung lengan seragam Nari. Ia berusaha bersikap imut agar keinginannya dipenuhi.

"Karena ia terlalu baik untukmu," jawab Nari asal. Gadis itu menutup bukunya dan mulai memasukkan kertas-kertasnya yang tercecer ke dalam tas.

"Kau tidak asyik, Nari-ya," kata Jeonghan sambil bersungut-sungut. "Sebagai imbalannya, aku belikan album Shinee terbaru deh. Mau ya?"

Nari menghentikan aktivitasnya sejenak. Gadis itu menatap lekat-lekat kedua bola mata Jeonghan yang gelap. Selang beberapa saat, Nari memalingkan wajahnya. Tanpa banyak bicara gadis itu bangkit dari duduknya sembari menyampirkan tas di bahu. Ia sudah bersiap akan keluar dari kelas ketika sebelah tangannya di tahan oleh Jeonghan.

"Kau mau kemana?" tanya Jeonghan.

"Pulang. Aku tidak bisa belajar disini karena ada kau yang terus menggangguku belajar," jawab Nari dingin.

"Kalau begitu, ayo pulang bersama. Aku mau main dulu di rumahmu," kata Jeonghan sambil ikut bangkit dari duduknya. Pria itu bahkan berjalan mendahului Nari  dan membukakan pintu untuknya. "Silahkan princess!"

Nari memutar bola matanya tampak malas. "Kalau begitu tidak ada bedanya. Kau akan tetap menggangguku belajar."

Jeonghan meringis tanpa merasa bersalah. Ia mengangkat sebelah tangannya dan membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengah teracung. "Aku akan diam," janjinya. "Sebagai gantinya, besok kenalkan aku pada Myunghee, ya?"

Nari tidak mengiyakan maupun menolak permintaan Jeonghan. Gadis itu berjalan melewati tubuh jangkung Jeonghan dan berlalu keluar kelas. Sudah biasa dengan sikap dingin Nari jika sedang bad mood, Jeonghan tetap mengekori langkah gadis itu. Ia bahkan berjalan dengan langkah-langkah ceria nan ringan.

---

"Nari! Pyo Nari!" panggil Yoona sembari mengguncang-guncangkan bahu sahabatnya.

Nari terkesiap. Sepertinya tadi ia sempat melamun. Pandangan matanya melayang melihat raut wajah Yoona yang tanpak khawatir. Nari kemudian menyisir suasana sekitar. Oh benar juga! Sekarang dirinya sedang berada di kantor polisi karena sedang menyelidiki kasus.

"Sudah terkumpul semua datanya?" tanya Nari pada Yoona. Gadis itu berdiri dari duduknya sembari merapikan blazernya yang terlipat saat duduk tadi.

"Kau yakin dirimu baik-baik saja?" tanya Yoona tak mengindahkan pertanyaan sahabatnya.

Nari tersenyum pada Yoona. "Of course! Sangat baik malah!"

"Bohong!" seru Yoona mencibir. "Kalau kau baik-baik saja, maka bantulah aku bekerja. Kau mau kulaporkan pada ayahmu bagaimana kinerjamu hari ini?"

"Ya! Tega sekali kau!" pekik Nari kaget mendengar ancaman Yoona. "Sudah susah payah aku bisa bekerja disana, kau mau membuatku berhenti bekerja bahkan belum sampai satu tahun aku disana."

"Kalau begitu serius, dong!" kekeuh Yoona tak mau kalah.

Nari hanya meringis. Ia mengambil tumpukan dokumen dari tangan Yoona. "Siap! Ayo kita teliti dokumen ini satu per satu."

---

Sepulang dari kepolisian, Yoona mengantar Nari kembali ke kantor. Sahabatnya itu enggan langsung di antar ke rumah dengan dalih ingin menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Hari ini Nari sangat tidak fokus pada pekerjaannya, hal itu membuat Nari berniat menebus kesalahannya dengan lembur. Ia juga butuh bekerja agar pikirannya tidak selalu kembali memikirkan sosok Jeonghan.

"Kau benar tidak mau aku antar ke rumah? Kau bisa menyelesaikannya besok pagi," kata Yoona berusaha membujuk sahabatnya itu agar pulang.

Nari menundukkan punggungnya hingga dapat melihat wajah sang sahabat dari kaca mobil yang telah diturunkan. Nari menyingkirkan anakan poninya yang menutupi pandangan.

"Aku hanya sedikit lebih lama disini, tidak sampai tengah malam kok," kata Nari berusaha meyakinkan sahabatnya dengan tersenyum lebar. "Kau pulanglah dulu, jangan sampai suamimu tiba di rumah terlebih dahulu," lanjut Nari sambil mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka.

Yoona sempat ragu beberapa saat, namun akhirnya ia menuruti perkataan Nari dengan memacu mobilnya menuju rumah. Setelah mobil yang ditumpangi sahabatnya menghilang dari pandangan, Nari membalikkan punggungnya dan berjalan masuk menuju gedung bertingkat itu yang kini sudah mulai sepi. Jam pulang kantor memang sudah lewat dari sejam yang lalu.

Nari mengangguk sopan pada satpam di depan pintu masuk yang ia temui. Walaupun dirinya sudah dikenal sebagai seorang anak dari jaksa terkenal yang memiliki posisi penting di kantor ini, bukan berarti Nari mendapatkan pekerjaannya sekarang dengan mudah. Justru pamor dari ayahnya lah yang membuatnya memikul beban pekerjaan lebih berat. Terlebih dirinya masih seorang junior di bidang itu. Ia harus menunjukkan kinerja terbaiknya.

Nari membuka coat-nya ketika sudah sampai di bilik kerja. Ia menyampirkannya di sandaran kursi. Setelahnya, gadis itu duduk di kursi dan menyalakan komputer miliknya. Sambil menunggu layar komputernya menampilkan gambaran desktop, Nari membaca kembali dokumen-dokumen yang tadi diambilnya di kantor polisi.

Kini gadis itu terlihat serius dalam melakukan investigasi. Boleh dikatakan ini kasus besar pertama yang dipegangnya setelah setahun hanya mengurusi kasus-kasus biasa. Ia tidak bisa membiarkan kesempatan emas ini terlewat begitu saja. Nari harus bekerja keras untuk menunjukkan kemampuannya.

Dua jam berlalu begitu saja. Nari bahkan tidak tahu bahwa langit di luar kini sudah benar-benar gelap. Gadis itu akhirnya tersadar ketika matanya tidak sengaja melihat jam yang terpasang di dinding ruang kerjanya. Pukul 19.45. Ia lupa bahwa sang Mama memintanya untuk sudah berada di rumah sebelum pukul 20.00, terlebih lagi ramalan cuaca mengatakan malam ini akan hujan.

Nari segera merapikan pekerjaan yang belum seluruhnya selesai. Setelah selesai mematikan komputer dan membenahi barang-barangnya ke dalam tas, gadis itu berjalan cepat menuju halte bus terdekat. Sebelum hujan turun, ia harus sudah berada di rumah. Nari melihat jam dipergelangan tangannya. Semoga masih sempat. Ia tidak ingin harus berbasah-basahan dalam perjalanan menuju rumahnya. Nari juga terlalu malas untuk membeli payung di minimarket terdekat.

Dengan berlari-lari kecil, Nari berusaha mencapai halte ketika melihat bus yang menuju rumahnya sudah hampir sampai. Berhasil. Nari mentapkan kartu transportasi umum di mesin pembayaran pintu masuk dan duduk di kursi terdekat.

Sial, ia mengutuki keputusannya hari ini untuk memakai heels lebih tinggi daripada biasanya. Nari tidak menyangka bahwa di awal minggu ia justru banyak bekerja di lapangan. Gadis itu melepaskan sepatu dan mengurut kedua kakinya yang terasa lelah. Tanpa menghiraukan pandangan aneh dari orang disebelahnya, Nari tetap mengurut pergelangan kaki kirinya yang hampir saja terkilir akibat lari-lari mengejar bus tadi.

Nari mengerutkan keningnya dengan heran. Kalau tidak salah ia sudah menyetel alarm ponselnya agar berdering ketika pukul 18.30. Gadis itu buru-buru mengacak-acak isi tasnya dengan brutal, mencari benda kecil berbentuk kotak. Kini tidak hanya orang di sampingnya yang menatap Nari dengan pandangan aneh, sepasang muda-mudi yang duduk di kursi seberang juga ikut melihatnya. Terlebih lagi, mereka bahkan secara terang-terangan berbisik-bisik di hadapan Nari membicarakan penampilan gadis itu.

Akhirnya Nari menemukan ponselnya. Layarnya gelap. Pantas saja benda keparat ini tidak berbunyi, maki Nari kesal. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Nari melihat jam kecil di pergelangan tangannya. Pukul 20.05. Kedua orang tuanya sangat punctual dalam urusan waktu. Semoga saja mereka memaklumi keterlambatannya kali ini.

Belum sampai situ kesialan Nari. Selang satu halte tujuannya, hujan turun dengan deras. Nari hanya dapat memandangi tetesan air yang jatuh rapat-rapat dengan pandangan nanar. Rasanya Nari ingin berteriak saking kesalnya. Kenapa hujannya tidak bisa ditunda barang sepuluh menit lagi sih? gerutu Nari dalam hati. Gadis itu kembali memakai heelsnya dan memencet bel ketika sudah dekat dengan halte tujuan.

Kini Nari terjebak di halte seorang diri. Entah sudah yang keberapa kalinya ia memandangi arloji kecilnya. Ia berharap hujan segera reda. Tapi harapannya itu tidak kunjung terkabul. Sudah pukul 20.30. Dengan terpaksa, Nari melepas kedua heelsnya. Ia berniat menerobos hujan dengan berjalan kaki menuju rumah. Jarak antara halte dan rumahnya sebenarnya tidak begitu jauh. Semoga saja ia tidak disangka gembel dengan penampilannya yang sekarang.

Nari menarik napas panjang-panjang sebelum berlari di bawah guyuran air hujan. Lebih baik hujan-hujanan daripada harus mendengarkan ocehan Mama selama tiga jam lamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top