Part 5

"Ayo turun, aku sudah lapar," kata Jeonghan begitu selesai memarkirkan mobilnya. Tanpa menunggu Nari, pria itu sudah berjalan menuju pintu depan restoran.

Melihat Jeonghan yang sudah berada jauh di depan, Nari mempercepat langkahnya. Ia berhasil sampai di sebelah pria itu ketika Jeonghan berhenti sambil melihat-lihat menu makanan di meja depan.

"Japchae dua porsi, bulgogi satu porsi. Jus melon satu, jus strawberry satu," ucap Jeonghan pada seorang pelayan.

Nari hanya menatap takjub ke arah Jeonghan. Pria itu agak tidak sopan karena telah meninggalkannya di belakang, belum lagi ia memesan makanan tanpa repot menanyakan apa yang ingin dimakan oleh Nari. Namun, Nari tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Pria itu masih mengingat minuman favoritnya, jus melon.

Nari tidak mendengar apa yang Jeonghan bicarakan dengan pelayan itu, yang ia tahu Jeonghan sudah berlalu menuju sebuah meja tak jauh dari jendela. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Nari berjalan mengekori pria jangkung itu. Ia menarik kursi tepat di hadapan Jeonghan. Matanya masih belum lepas mengamati sosok berambut cokelat itu yang kini sedang asyik melihat layar ponselnya.

"Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Jeonghan. Ia tampak jengah karena sudah hampir tiga menit Nari tidak melepaskan pandangan dari wajahnya.

"Ehm, tidak ada," jawab Nari sambil memalingkan wajah ke arah lain. Ia berusaha menahan debaran di dadanya yang entah sejak kapan menjadi makin cepat.

"Jangan berharap lebih," kata Jeonghan tanpa mengangkat pandangannya dari layar handphone.

"Maaf?" tanya Nari terdengar benar-benar tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Jeonghan.

"Aku memesankanmu jus melon karena aku memang tahu minuman favoritmu, bukan karena menaruh perhatian padamu."

Deg! Bagai dihantam palu godam, Nari merasakan sesak di dadanya. Ia berusaha menutupi rasa sakit hatinya dengan seulas senyuman di wajah. Tidak ingin terlihat lemah, gadis itu tampak santai menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Aku tahu. Lagipula wajar bagimu kalau masih ingat minuman kesukaanku. Kita sudah berteman lebih dari lima tahun," jawab Nari enteng, berusaha menetralkan nada suaranya yang sedikit bergetar.

Jeonghan mengangguk-angguk kecil. Puas akan jawaban yang didengarnya dari gadis itu.

"Kalau kau sudah mengerti," kata Jeonghan lagi. "Tunggu saja makanannya hingga datang dengan tenang. Aku mau bermain game, jangan ganggu aku."

Nari menuruti keinginan pria dingin di hadapannya kini. Sebelah tangannya meraih ponsel dari dalam tas selempangnya. Ia berusaha ikut menyibukkan diri agar paling tidak fokusnya berpindah pada hal lain. Gadis itu sadar diri. Jeonghan masih menjaga jarak dengan dirinya. Ia tidak berani untuk melangkahi batas yang dibuat oleh cowok itu.

---

Jeonghan meletakkan kunci mobil di atas meja sebelah pintu masuk. Ia melenggang masuk ke ruang tengah dengan lesu. Seharian ini ia telah menyia-nyiakan waktu berharganya hanya untuk menemani seorang wanita yang sudah lama ia berusaha melupakannya. Padahal ia bisa saja menghabiskan sebagian besar kesempatan itu untuk tidur seharian atau menonton tv di rumah.

"Jeonghan, lepas dulu kaos kakimu sebelum naik ke sofa," omel Eomma melihat Jeonghan yang sudah berbaring menelungkup di atas sofa panjang depan tv.

"Arrasseo," ucap Jeonghan. Dengan malas-malasan ia menuruti perkataan sang ibu dan berlalu ke kamar mandi untuk mencuci kaki sehabis bepergian.

Tak lama kemudian, pria itu sudah kembali ke ruang tengah. Kini di sebelah tangannya telah bersarang sebuah remote control. Jeonghan sibuk mengganti-ganti channel televisi, mencari acara yang akan ditontonnya untuk beberapa waktu ke depan.

Ibu duduk di samping kirinya. Ia meletakkan piring berisi kue-kue yang tadi siang dibelinya. Perhatian Jeonghan tetap terpaku pada bayangan orang-orang yang sedang menari di sebuah acara musik. Ia menunggu hingga Mingyu, MC acara tersebut muncul. Tawanya pecah ketika saat yang dinantikannya datang.

"Bagaimana pertemuan dengan Nari tadi?" tanya Eomma.

Tawa Jeonghan lenyap. Perlahan-lahan raut wajahnya kembali datar. Tanpa minat ia menjawab pertanyaan sang ibu.

"Biasa saja."

Eomma tampak heran. Ia memandangi anak sulungnya itu dengan pandangan menyelidik.

"Kamu tidak senang bertemu lagi dengannya setelah sekian lama?" tanya Eomma. Sudah jadi kebiasaannya ia akan bermain detektif jika anak-anaknya tidak ingin bicara secara terbuka. "Dulu kalian kan sangat akrab."

Jeonghan tampak memikirkan kata-kata yang pas untuk menanggapi perkataan sang Bunda. "Ehm, senang kok Eomma. Hanya... biasa saja. Tidak ada yang spesial hari ini."

"Nari sudah jadi jaksa lho, mengikuti jejak ayahnya," kata Eomma lagi. Pandangannya kini sudah beralih pada apel yang sedang dikupasnya. "Dia tumbuh dengan baik. Sudah cantik, sopan, baik hati, ditambah lagi poin plusnya dia juga pintar."

Jeonghan terlihat jengah mendengar ucapan ibunya. Tidak berhasil memasangkan sang putra dengan anak teman-temannya sedari dulu, ternyata kegigihan Eomma tidak berkurang. Kini Eomma sudah sibuk mempromosikan teman masa kecilnya.

"Eomma," panggil Jeonghan. "Aku dan Nari sudah berteman sedari dulu. Jadi jangan coba-coba menjodohkan aku dengan dirinya," kata Jeonghan.

"Lho karena sudah berteman, kalian kan sudah saling tahu kekurangan masing-masing," tambah Eomma. "Lagipula dulu kau terlihat sangat dekat dengannya. Kenapa sekarang kau tampak tidak akrab? Ada masalah?"

Ya, ada. Maka dari itu, aku tidak ingin berada di dekat gadis itu! Pekik batin Jeonghan.

"Sekali teman tetap teman," kata Jeonghan. Ia meletakkan remote tv di meja dan beralih ke kamar. "Suatu saat nanti aku pasti akan membawakan calon menantu yang baik untuk Eomma. Berhentilah berusaha mencarikan aku jodoh," lanjut pria itu sebelum benar-benar meninggalkan Eomma-nya.

"Mau sampai kapan Yoon Jeonghan?" Tanya Eomma frustasi.

Pertanyaannya tidak terjawab. Jeonghan sudah menghilang di balik pintu kamarnya. Eomma hanya menghela napas panjang. Sesungguhnya ia tidak tega melihat putranya itu terbelenggu oleh bayang-bayang masa lalu. Terlebih lagi, terjebak oleh kenangan dengan seseorang yang sudah beda dimensi.

---

Nari merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pandangan matanya menerawang langit-langit kamarnya yang bersih. Terdengar alunan lagu berjudul True Love yang dinyanyikan oleh Kim Sung Kyu dari ponselnya yang dibiarkan tergeletak di atas meja. Pikiran gadis itu melayang ke pertemuan siang tadi dengan seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya.

Siang kemarin Mama memintanya untuk menemani pergi ke sebuah acara perkumpulan ibu-ibu. Nari, tanpa curiga sedikit pun, menurutinya. Apalagi ia tidak memiliki jadwal apapun pada hari itu. Ia bahkan tidak menyangka teman yang dimaksud Mama yang akan menjemput mereka adalah Tante Yoon, terlebih lagi beliau juga mengajak Jeonghan. Tahu begitu, Nari lebih memilih berangkat menggunakan taksi daripada harus bertemu dengan pria itu.

Nari dan Jeonghan sebenarnya sudah lama kenal dan merupakan teman dekat sejak mereka kecil. Keduanya bahkan selalu berangkat sekolah bersama karena rumah mereka yang memang terletak bersebelahan. Sedari SD hingga SMA. Bisa dikatakan mereka tumbuh besar bersama.

Kemana Nari pergi, pasti disitu ada Jeonghan. Begitu pula sebaliknya. Ketika SMA, Jeonghan sudah mulai memiliki lingkaran permainan dengan anak laki-laki sebayanya. Nari pun demikian. Karena kelas mereka yang berbeda, Nari lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman barunya ketimbang Jeonghan. Walaupun begitu, sebisa mungkin Jeonghan dan Nari pulang bersama ketika jadwal sekolah selesai. Terkadang Jeonghan bahkan menunggui Nari hingga jam ekskul gadis itu selesai. Ketika Jeonghan mulai masuk ke agensinya sekarang sebagai seorang trainee, intensitas waktu bertemu mereka berdua semakin berkurang. Namun tidak dengan komunikasi. Mereka masih saling berkirim pesan melalui ponsel. Bahkan dengan kedekatan mereka seperti itu, banyak orang yang menyangsikan bahwa hubungan diantara keduanya hanya sebatas sahabat sejak kecil. Namun baik Jeonghan maupun Nari selalu sama-sama menolak pernyataan seperti itu.

Nari memiringkan posisi badannya hingga menghadap meja kecil di samping tempat tidur. Matanya menangkap satu-satunya foto yang terpajang disana. Tiga remaja yang tersenyum lebar ke arah kamera. Seorang cowok berwajah tampan berdiri di antara dua orang gadis dengan masing-masing lengannya yang merangkul bahu keduanya. Seperti sikap seorang lelaki yang siap melindungi gadis-gadis itu.

Nari tersenyum miris. Tanpa terasa pandangannya mengabur. Setetes air mata turun perlahan membasahi pipinya.

Gadis itu terkesiap. Buru-buru dihapusnya genangan air mata itu sebelum memanggil pasukannya yang lain. Nari bangkit dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Sepertinya ia harus segera berbenah diri dan bersiap-siap tidur sebelum pikirannya makin kacau.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top