Part 43

Dua tahun kemudian

"Please, Jeonghan. Kamu bisa tolong sabaran dikit nggak sih ajarinnya?"

Nari menepikan mobilnya dengan perlahan. Gadis itu dengan kesal memukul setirnya. Di kursi samping pengemudi, Jeonghan tampak memegang erat-erat sabuk pengamannya. Kedua kelopak matanya melebar dibalik kacamata. Pria itu menahan napas. Kalau saja bahunya tidak ditepuk oleh Nari, sepertinya ia akan lupa menghirup udara.

Jeonghan menoleh ke arah Nari. "Ya! Kau tidak lihat tadi ada truk besar di kiri? Hampir saja kita terlindas."

Nari menghembuskan napas kesal. Gadis itu tampak memutar bola matanya acuh. "Aku kan berusaha menyalipnya. Lagipula sekarang hasilnya kita selamat kan?"

"Ya!" Jeonghan tampak gemas. "Terlambat sedetik saja, aku sudah tidak tahu kita bakal jadi apa. Memangnya kau ini seorang pembalap? Bisa-bisanya kau menyetir seperti tadi?"

Nari bersedekap. Kedua lengannya terlipat di depan dada. Bibir gadis itu maju. Ia kesal karena Jeonghan memarahinya terus.

Melihat kelakuan Nari, Jeonghan jadi merasa bersalah. Tanpa sadar pria itu meninggikan nada bicaranya. Jeonghan menarik napas perlahan. Ia sangat mengenal Nari. Gadis itu kalau sudah ngambek, sangat susah untuk membuat suasana hatinya kembali membaik. Jeonghan memberanikan diri untuk mencolek lengan Nari.

"Maafkan aku, eoh?" ucap Jeonghan berusaha terdengar imut.

Nari melirik sedikit ke arah Jeonghan. Ia kemudian melengos. Aegyo pria itu tidak berefek apapun pada Nari.

Jeonghan menyerah, "Okay. Kau masih mau menyetir tidak? Kita harus segera sampai di camping site sebelum matahari makin tinggi."

Nari menoleh ke arah Jeonghan dengan tatapan tak percaya. Bagaimana bisa pria itu sangat tidak peka dengan keinginannya? Ia malah mengalihkan pembicaraan ke arah lain. Hal itu tentu saja membuat Nari makin kesal.

"Kau ini..."

Cup.

Jeonghan menunjukkan seringai jahilnya. Nari yang belum sadar hanya bisa bengong. Tangannya menyentuh bibir dengan perlahan. Parah! Jeonghan mencuri kesempatan dengan menciumnya! Kalau begini kan Nari jadi tidak bisa marah.

Nari berdeham kecil. Ia berusaha menghalau rasa panas di wajahnya dengan menoleh ke arah lain. "Ehem. Benar katamu. Kita harus segera berangkat sebelum ...."

Jeonghan menarik sebelah tangan Nari. Dengan sekali sentakan, tubuh Nari sudah sukses berada di hadapan pria itu. Nari terkesiap. Ia menahan napasnya. Jantungnya berdegup kencang. Jarak wajahnya dengan Jeonghan bahkan tidak sampai 10 cm. Seketika otaknya mengalami malfungsi. Nari tidak tahu harus berbuat apa di saat-saat seperti ini.

Jeonghan tersenyum manis. Dengan lembut tangannya membingkai sebelah pipi Nari. Tidak melihat ada penolakan, Jeonghan makin mengikis jarak diantara keduanya. Bibirnya bertemu dengan bibir Nari. Ia melumat bibir gadis itu dengan penuh kasih sayang.

Jeonghan menjauhkan tubuhnya dari Nari selama beberapa saat. Ia melepas seatbelt yang masih menahan tubuhnya. Pria itu sangat gemas melihat ekspresi Nari saat ini. Ia bisa saja melakukan hal yang lebih dari sebuah ciuman, namun Jeonghan berhasil menahannya.

"Biar aku saja yang gantikan menyetir," kata Jeonghan memecah keheningan. "Sepertinya kau masih belum tersadar dari efek memabukkan ciumanku."

Nari mengerjap-erjapkan matanya lucu. "Eoh? Apa?"

Dengan gemas Jeonghan mencubit ujung hidung kekasihnya. "Bagaimana? Manis kan? Kalau kau mau minta lagi tunggu sampai kita tiba di tempat tujuan ya."

Jeonghan mengaduh kesakitan ketika pukulan Nari mendarat di lengannya. Gadis itu pasti sangat malu. Dengan enggan, Nari membuka pintu di sisi tubuhnya. Jujur saja, yang dikatakan Jeonghan tadi benar. Nari tidak akan bisa menyetir dengan kondisi mental seperti sekarang. Nari setengah merutuk setengah menjerit dalam hati saat ini.

---

Jeonghan mengangkat barang terakhir dari bagasi mobil. Ia berjalan menghampiri lokasi tenda miliknya dan Nari. Ia menurunkan cooler box di tangannya di dekat kursi lipat. Pria itu mencari-cari keberadaan Nari. Dengan suara nyaring, Jeonghan memanggil-manggil nama kekasihnya itu. Ia bahkan sampai berjalan mengelilingi tenda.

Dilihatnya Nari sedang berdiri tak jauh dari sana. Gadis itu tampak sedang berbincang dengan seorang pria di tenda sebelah. Jeonghan membenahi letak kacamatanya. Ia khawatir bahwa bayangan yang ada disana bukan seperti pikirannya. Nari tertawa lepas bersama dengan sang lawan bicara. Jeonghan sangat mengenal jenis tawa gadis itu. Dengan kesal, Jeonghan berjalan menghampiri gadisnya. Bisa-bisanya Nari menghabiskan waktu dengan pria lain padahal mereka berdua berada di sini dalam rangka berkencan.

"Nari-ya, kau disini rupanya," sapa Jeonghan. Pria itu langsung mengalungkan lengannya di pinggang Nari. Dengan lembut, ia menarik gadis itu hingga makin merapat dengan tubuhnya.

Jeonghan kemudian melayangkan senyuman angelic-nya pada pria di hadapan Nari. Tanpa mengurangi kadar kesopanan, Jeonghan mengangguk kecil menyapanya.

"Ah, selamat siang! Saya Yoon Jeonghan, suami Nari," ucap Jeonghan memperkenalkan diri tanpa diminta.

Pria yang disapa oleh Jeonghan hanya tertawa kecil. "Halo, Jeonghan! Jangan bilang kau lupa padaku?" Ia mengangkat sebelah tangannya tampak akrab. "Kau masih sama saja ya. Protektif pada Nari."

Kini Jeonghan yang lilung. Ia menoleh ke arah Nari untuk meminta bantuannya. Membaca geliat tubuh kekasihnya, Nari akhirnya turun tangan.

"Dia kan teman sekelasmu waktu di SMA. Namanya Lee Daehoo. Kalian berdua sama-sama dari jurusan Natural Science kan?"

Dahi Jeonghan mengernyit sedikit. Ia mencoba mengingat-ingat nama Daehoo dan bentuk wajah teman semasa SMA. Pria itu menjentikkan jarinya. 

Daehoo adalah salah satu pria yang secara terang-terangan meminta izin pada Jeonghan untuk mendekati Nari, ketika tahu kabar dating Jeonghan dan Myunghee. Jelas saja pada saat itu Jeonghan menolak mentah-mentah. Dari dulu ia memang dikenal sebagai sosok penjaga Nari yang benar-benar protektif. Maka dari itu, selama SD hingga SMA Nari sama sekali tidak pacaran dengan cowok manapun. Tiap ada yang berani mendekat, pasti harus melalui proses seleksi dari Jeonghan.

"Ah, kau kan yang berusaha mendekati ...," Jeonghan melirik Nari di sampingnya. Ia kemudian berdeham kecil. "Wah, Daehoo sudah lama tidak bertemu ya. Penampilanmu sangat berbeda dari saat SMA. Pantas saja aku susah mengenalimu. Maaf hehe," kata Jeonghan sambil terkekeh.

Daehoo membalas bercandaan Jeonghan dengan tepukan ringan di bahu temannya itu. "Bilang saja aku sekarang tambah melebar," Daehoo kemudian menunjuk ke arah dalam tendanya. Terlihat seorang wanita dengan dua anak kembar kecil mengikuti di sekitarnya. "Aku ikut menggemuk ketika istriku sedang mengandung si kembar."

Jeonghan ber-ah ria. Tangannya di pinggang Nari lolos begitu saja. Ia lega bahwa temannya itu ternyata sudah beristri, bahkan sudah punya dua anak.

Nari mengambil alih situasi, "Daehoo-ssi, kami belum selesai membereskan tenda karena baru saja sampai. Nanti sore saja kami menyapa istrimu, sepertinya sekarang dia sedang sibuk dengan si kembar."

Daehoo menoleh ke arah istrinya yang benar saja tampak sangat repot mengurusi anak-anak mereka seorang diri. Pria itu kembali menoleh ke arah Jeonghan dan Nari. "Kalau begitu, aku permisi juga. Datanglah untuk makan malam bersama kami!" Daehoo mengangkat sebelah tangannya dan segera berlari ringan ke tenda milik keluarganya.

Sepeninggal Daehoo, tidak ada percakapan antara Nari dan Jeonghan. Dengan gemas Nari mencubit pinggang Jeonghan, membuat pria itu tersadar dari lamunannya.

"Ya! Sikap protektifmu itu benar-benar keterlaluan," protes Nari. Jeonghan hanya meringis tanpa merasa bersalah. "Dan lagi, apa-apaan kau mengaku sebagai suamiku?"

"Kan memang benar sebentar lagi aku akan menjadi suamimu," seru Jeonghan sambil mengelus bekas cubitan Nari di pinggangnya.

"Sebentar lagi. Masih calon, tahu," jawab Nari bersungut-sungut. "Sekarang aku tahu siapa yang membuatku jomblo selama dulu bersekolah denganmu," kata Nari lagi. Ia kini berjalan pelan menuju tenda milik mereka berdua.

Jeonghan mengikuti. Ia meraih sebelah tangan Nari yang menggantung bebas. Gadis itu tidak menolak. Ia membiarkan Jeonghan menggelayut manja di bahunya.

"Nari-ya," panggil Jeonghan.

"Hm?"

"Aku mau punya anak kembar yang imut kayak mereka," pinta Jeonghan tiba-tiba.

"Hah?!" refleks Nari menghentikan langkahnya. Ia tidak habis pikir dengan pikiran Jeonghan yang sangat absurd.

"Mau ya? Ya?" Jeonghan mengeluarkan aegyo-nya. "Nanti malam kita searching caranya buat anak kembar yuk. Kalau bisa langsung dipraktekin juga."

Nari menghentikan ucapan Jeonghan dengan jitakan di kepalanya. Jeonghan hanya mengaduh lemah. Gadis itu kembali mempercepat langkahnya. Ia tidak peduli dengan Jeonghan yang memanggil-manggil namanya karena ditinggalkan di belakang.

---

Nari dan Jeonghan kini sedang tengkurap bersisian di dalam tenda. Nari tampak sibuk dengan bahan bacaannya, sedangkan Jeonghan sibuk mengacaukan konsentrasi gadis itu. Sudah berbagai cara dicobanya, namun Nari tak bergeming. Akhirnya Jeonghan memilih masuk ke dalam selimut yang sama dengan dipakai Nari, sebelah tangannya memeluk pinggang gadis itu.

"Jangan ganggu aku, Yoon Jeonghan," suara datar Nari mampu membuat Jeonghan kembali menarik tangannya. Nari kembali membenahi letak selimut. Ia membaca dengan kedua siku menumpu tubuh bagian atasnya.

Jeonghan menyerah. Ia membaringkan tubuhnya menyatu dengan lantai di samping Nari dengan pasrah. Ia kini diam mengamati tiap senti wajah Nari dari bawah. 

"Liburan ini kan dibuat untuk kita berdua. Habis ini aku harus kembali melakukan kegiatan promosi selama empat bulan, lho. Kamu yakin tidak mau menghabiskan waktu denganku dan malah sibuk membaca buku?"

Nari menutup novel yang sedang dibacanya. Melihat gelagat Nari, Jeonghan kembali bersemangat. Pria itu kembali bangkit dan makin merapatkan tubuhnya ke arah Nari.

"Tempat masih luas, Yoon Jeonghan," ucap Nari. Dengan sebelah tangannya gadis itu menahan kepala Jeonghan yang sudah akan bersandar di bahunya.

Jeonghan cemberut. Padahal ia sudah banyak berharap ketika merencanakan perjalanan ini sebelum dirinya harus kembali berjauhan dengan gadis itu dengan sibuknya kegiatan Seventeen. Dibandingkan pergi ke tempat ramai, mereka berdua memang lebih suka bersantai di lingkungan yang memiliki banyak udara segar.

Sebenarnya dalam benak Jeonghan sudah tergambar sebuah acara kencan yang manis dengan menghabiskan banyak waktu berdua saja. Namun sepertinya belum ada satu pun yang terlaksana. Bahkan makan malam pun dilakukan bersama dengan keluarga Daehoo. Padahal Jeonghan sudah meminta agar hanya mereka berdua saja. Namun, Nari menolak. Ia tidak enak untuk menolak ajakan teman SMA mereka itu. Setelah kembali ke tenda mereka sendiri, Nari malah lebih memilih membaca novel dibandingkan meladeni dirinya.

Selama beberapa minggu belakangan ini, mereka berdua terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Di akhir pekan atau ketika ada waktu luang, maka Jeonghan dan Nari akan sibuk membicarakan berbagai persiapan pernikahan mereka. Mereka berdua berniat menyelesaikan segalanya sebelum kegiatan promosi Seventeen kembali dilakukan. Empat bulan kemudian, barulah resepsi acaranya dilaksanakan.

Pada awalnya, Nari sempat ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Jeonghan. Ia masih berpikir bahwa dirinya hanyalah pelarian semata. Namun, Jeonghan berhasil meyakinkan dirinya. Pria itu menjelaskan bahwa sedari awal sebenarnya Nari lah yang merupakan cinta pertamanya. Jeonghan menuruti perkataan Jihoon untuk segera menyelesaikan kesalahpahaman diantara mereka. Jeonghan tidak ingin kehilangan Nari.

Dengan selesainya kesalahpahaman diantara mereka, maka perjanjian tentang pertunangan pura-pura mereka otomatis hilang. Jeonghan kembali melamar Nari saat mereka makan malam bersama. Kali ini Jeonghan melakukannya dengan sangat romantis. Walaupun tidak terlalu girly, hati gadis mana yang tidak luluh jika diberikan kejutan candle light dinner dengan desain tempat makan yang dipenuhi bunga-bunga. Jeonghan bahkan meminta Jihoon untuk membuatkan dirinya sebuah lagu khusus untuk Nari, dia sendiri terlibat dalam pembuatan liriknya. Dengan suara merdu dan lembutnya, malam itu Jeonghan mempersembahkan lagu itu pada Nari. Alhasil, Nari menangis. Ia terharu dengan ketulusan Jeonghan yang selama ini sangat susah diajak bicara hal serius.

Nari mencium pipi Jeonghan dengan cepat. Gadis itu tersenyum jahil kemudian melihat ekspresi kesal Jeonghan yang berubah menjadi bengong.

"Aku masih marah," kata Jeonghan lagi. Ia pura-pura ngambek dengan membuang muka ke arah lain.

"Yasudah kalau kau marah, aku akan melanjutkan baca," kata Nari. Tangannya sudah kembali meraih novel tebalnya.

Jeonghan buru-buru merebut buku itu dari genggaman Nari. Dengan kesal, dilemparkannya benda itu ke tumpukan tas di sudut tenda. Nari tertawa melihatnya. Kali ini sepertinya Jeonghan benar-benar kesal.

Nari memasang posisi duduk. Ia menyampirkan selimut di seluruh tubuhnya. Jeonghan tak bergeming. Ia tetap berbaring tengkurap walaupun selimut yang ia pakai bersamaan dengan gadis itu sudah tidak ada dan membuatnya sedikit kedinginan.

"Aku mau buat cokelat panas," kata Nari sambil beranjak ke luar tenda. "Sayang juga mau?"

Jeonghan yang tadinya hanya diam, jadi antusias mendengar panggilan Nari untuknya. Gadis itu jarang sekali bersikap manis padanya. Jeonghan ikut duduk bersila menghadap Nari. Dengan puppy eyes nya ia mengangguk pada gadis itu.

"Kalau begitu, bisa bantu aku mengambil air?" tanya Nari dengan senyuman manisnya. "Setelah itu kita bisa mengobrol sambil menikmati segelas cokelat panas."

Tanpa perlu diminta dua kali, Jeonghan menurut. Pria itu kembali memakai sepatunya dan bergerak mengambil panci. Ia berjalan dengan cepat menuju kran air. Akhirnya, kencan manis mereka akan dimulai. Nari sangat tahu bagaimana menyenangkan hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top