Part 42

Jeonghan tiba di rumah sakit pukul tiga dini hari. Pria itu menggunakan jalur darat. Awalnya, ia memaksa untuk menyetir sendiri. Namun, Minho hyung menolak. Jeonghan tidak sedang dalam pikiran jernih, bisa bahaya jika ia membiarkan artisnya itu menyetir sendiri. Alhasil, Minho mengendarai van-nya dengan kecepatan penuh. Untung saja, sudah tengah malam. Jalanan jadi lebih lengang.

Di depan UGD, Jeonghan melihat Papa dan Mama Nari berdiri dengan tidak tenang. Di sampingnya juga berdiri seorang pria jangkung. Jeonghan mengamati baju pria itu berlumuran darah. Ia juga belum melepas rompi peluru yang dikenakannya. Sepertinya pria itu rekan kerja Nari yang mengantarnya ke rumah sakit.

Jeonghan segera menghampiri kedua orang tua Nari. Papa dan Mama Nari melihatnya dengan tatapan tak percaya.

"Bagaimana kondisi Nari saat ini?" tanya Jeonghan.

"Ia masih berada di dalam kamar operasi," jawab pria tak dikenal itu.

Jeonghan menoleh. Ia mengamati dengan dahi mengkerut.

Sadar belum memperkenalkan diri, pria itu mengangguk sopan ke arah Jeonghan. "Perkenalkan saya Kim Minjae, rekan kerja Pyo Nari."

Jeonghan ikut membungkuk kecil. "Saya Yoon Jeonghan, tunangannya."

"Jeonghan-ah, kau benar tidak masalah kemari semalam ini? Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Mama Nari khawatir.

Jeonghan tersenyum kecil. "Tenang saja Tante. Sampai bulan depan, saya tidak ada jadwal khusus. Paling hanya latihan-latihan dan rekaman untuk comeback nanti."

"Maafkan kami yang membuatmu khawatir ya," kali ini Papa Nari terlihat sangat bersalah.

Jeonghan menggeleng tegas. "Saya justru sangat berterimakasih sudah diberi tahu."

Minjae mengamati interaksi ketiganya diam-diam. Ia merasa bagai orang yang tak diinginkan di sana. Saat akan pamit undur diri, Jeonghan menahannya. Pria itu malah mengajaknya duduk menikmati sekaleng kopi instan dari vending machine. Jeonghan minta dijelaskan kronologis bagaimana gadisnya bisa terluka.

---

Nari membuka kedua kelopak matanya perlahan. Hal yang dilihat adalah suasana ruangan yang serba putih. Ia bahkan tidak tahu apakah sekarang berada di surga atau tidak. Nari menarik sebelah tangannya yang tidak sakit ke arah kepala. Efek obat bius masih membuatnya belum benar-benar pulih.

Gerakan tangan Nari membangunkan Jeonghan. Pria itu mengangkat kepalanya yang tadi tergeletak di tumpukan lengannya yang terlipat di sisi tubuh Nari. Gadis itu mengamati pemandangan Jeonghan yang baru bangun tidur.

"Ah, sepertinya aku sudah berada di surga. I meet this angel here," ucap Nari lirih sembari tersenyum ke arah Jeonghan.

Jeonghan mengernyitkan dahinya. "Ya! Kau belajar menggombal darimana?!"

Senyuman Nari memudar. "Ah, jadi ini benaran Yoon Jeonghan?"

Jeonghan terkekeh geli mendengarnya. Sepertinya gadis itu masih belum yakin. Jeonghan mengambil tangan kanan Nari dan meletakkannya di wajahnya. Ia membiarkan telapak tangan Nari yang halus meraba wajahnya.

"Ini aku, kau bisa merasakannya," kata Jeonghan meyakinkan.

Tiba-tiba Nari mencubit keras-keras pipi Jeonghan. Pria itu sampai mengaduh keras. Ia tidak menyangka bahwa akan diserang seperti itu.

"Benar. Kalau malaikat pasti tidak akan merasa sakit," ucap Nari lagi.

Jeonghan bersungut-sungut. Ia tahu bahwa gadis itu sebenarnya hanya mengerjainya saja. Sebenarnya Jeonghan sangat ingin membalas perbuatan Nari. Namun ia mengurungkan niatnya. Jeonghan tidak tega karena gadis itu sudah terluka cukup parah.

"Ya! Kau ini cewek atau bukan sih?!" Jeonghan mengomeli Nari. "Bagaimana bisa kau melawan enam orang pria seorang diri?"

"Eoh?" Nari mengangkat kedua alisnya. "Sebanyak itukah lawanku? Pantas saja aku sangat lelah," jawab Nari santai.

Jeonghan gemas mendengar jawabannya. Sepertinya percuma saja ia sudah khawatir berlebihan pada gadis itu. Lihat saja raut wajah masa bodohnya yang terlihat menyebalkan.

Jeonghan akhirnya menghela napas panjang. Ia menggenggam erat-erat tangan kanan Nari. Pria itu seperti takut akan kehilangan Nari.

"Hah... percuma saja aku memarahimu. Kau pasti akan tetap mengelak," lanjut Jeonghan. "Sudah berapa kali kau membuatku khawatir hm?"

"Entahlah," jawab Nari.

"Nari-ya, aku serius," kata Jeonghan lagi. "Sepertinya aku harus cepat-cepat menikahimu. Kau tidak akan menurut kalau aku sekarang menyuruhmu untuk tidak mengambil pekerjaan yang berbahaya seperti itu kan?"

"Ya! Apa maksudmu?!" pekik Nari. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman tangan Jeonghan. Namun, tenaganya belum pulih benar. Ia kalah dari Jeonghan.

"Kalau kau sudah jadi istriku, aku tidak akan memperbolehkanmu bekerja seperti kemarin. Lebih bagus lagi kalau kau di rumah saja sambil mengurus anak. Aku akan memberimu anak yang banyak biar kau kewalahan mengurusnya."

Jeonghan mengakhiri kalimatnya dengan aduhan. Walaupun sedang terluka, gadis itu benar-benar memiliki tenaga yang luar biasa. Jeonghan mengelus kepalanya yang sakit oleh jitakan Nari. Di wajahnya tersungging senyuman lebar. Senyuman khas jika ia sedang berbuat jahil.

"Kau pikir melahirkan itu mudah, hah?" protes Nari. Kedua pipinya sudah memerah menahan malu.

"Ah," seru Jeonghan antusias. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Nari. Membuat gadis itu terkesiap. "Jadi kau setuju untuk menikah denganku?" bisiknya tepat di telinga Nari.

"Ya! Apa-apaan kau?!" seru Nari gugup. Jeonghan segera memundurkan tubuhnya sebelum mendapat serangan dari Nari. Pria itu puas tertawa.

Nari yang awalnya cemberut akhirnya luluh juga. Gadis itu ikut tertawa bersama Jeonghan. Nari bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ia mendengar suara merdu pria di hadapannya. Yang jelas, sekarang ia merasa nyaman dan aman bersamanya.

Jeonghan menghentikan tawanya. Di wajahnya masih tersisa senyuman lembut. Senyuman yang ditujukan untuk Nari. Kedua pipi gadis itu merona. Ia menoleh ke arah pintu untuk mengelak.

"Papa dan Mama tidak kesini? Hanya kau saja?"

Jeonghan berhenti melihat ke arah Nari, ia tahu perbuatannya membuat gadis itu tidak nyaman. Dengan santai Jeonghan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Mereka sedang di kafetaria," jawab Jeonghan menjelaskan. "Rencananya, kalau kau sudah sadar dan keadaanmu stabil, kau akan dipindahkan ke rumah sakit di Seoul."

Nari mengernyitkan dahinya. "Ah, ternyata aku bukan di Seoul?"

Jeonghan menegakkan kembali punggungnya. Dengan panik ia mencari tombol panggil perawat di sisi tubuh Nari. 

"Sepertinya kau harus diperiksa dokter dulu," seru Jeonghan. Ia masih belum menemukan apa yang dicarinya.

Nari tertawa renyah. "Ya ya ya! Aku bercanda. Kau ini panik sekali sih!"

Jeonghan terhenti. Ia menelengkan kepalanya sambil menatap gadis itu sangsi. Setelah yakin bahwa Nari hanya main-main, Jeonghan kembali meletakkan tubuhnya di kursi.

"Ah, kau ini. Kenapa saat sakit begini kau malah jadi suka bercanda," rutuk Jeonghan gemas.

"Maaf," kata Nari dengan sisa-sisa tawanya. "Kau kemari hanya dengan jaket dan celana training?" lanjut Nari ketika menyadari penampilan pria di sampingnya.

Jeonghan mengangguk kecil. Ia membawa jemari tangan Nari yang sehat kembali masuk ke dalam genggamannya. "Aku sangat khawatir begitu mendengar bahwa kau terluka. Jujur saja, saat itu aku baru selesai rekaman lagu baru tengah malam. Rasanya aku sudah gila. Aku teriak-teriak pada manajer hyung agar diizinkan kemari," terang Jeonghan. "Kalau aku sedang dalam masa promosi bagaimana? Sebentar lagi jadwalku juga akan kembali padat untuk syuting, photo-shoot, dan latihan-latihan. Aku jadi makin tidak tenang. Bagaimana kalau ka...."

Nari menggeleng keras, menghentikan ucapan panjang lebar Jeonghan. Anak ini kalau mengomel bisa lama seperti Mamanya. Kepala Nari belum sembuh benar untuk mendengar ocehan maut pria itu.

"Ya ya ya! Selama tiga tahun jauh darimu saja aku bisa jaga diri. Jangan berlebihan begitu, Yoon Jeonghan," Nari mengusap sebelah pipi Jeonghan. "Lagipula luka di perutku tidak terlalu parah. Kan aku pakai vest, jadi ada sedikit tahanan untuk pisaunya."

Jeonghan tersenyum. "Nari-ya."

"Hm?" Nari balas tersenyum.

"Sekarang kau sudah mulai berani ya. Baru saja kau mengelus pipiku. Kau melakukan skin-ship duluan untuk pertama kali," ucap Jeonghan sambil menaik-naikkan alisnya jahil. "Ah, aku menunggumu hingga kau jadi lebih agresif. Terutama kalau nanti kita sudah menik..."

"Yoon Jeonghan!" Dengan kuat Nari menarik tangannya dari wajah Jeonghan. Ia bersiap memukul sahabatnya itu. Namun, Jeonghan dengan sigap menghindar. Ia bergerak menjauh sambil tertawa-tawa.

"Wah, wah, wah...,"

Nari dan Jeonghan terdiam. Keduanya menoleh ke arah sumber suara. Papa dan Mama sudah berdiri di ambang pintu. Mereka melihat ke arah Nari dan Jeonghan dengan senyum penuh arti. Kedua anak berumur 25 tahun itu hanya bisa membalasnya dengan kikuk.

"Kalian berdua tampak akrab ya," ledek Mama. "Sepertinya kehadiran kita disini malah mengganggu Pa. Atau kita pulang aja?"

Papa mengangguk-angguk. "Anak Papa sudah besar. Sebentar lagi sudah bakal dibawa keluar dari rumah oleh pria lain. Papa jadi sedih," Papa malah ikut-ikutan meledek dengan berkata penuh nada melankolis.

"Pa, Ma. Please, stop." ucap Nari sambil memutar kedua bola matanya jengah.

Jeonghan terkekeh canggung. Pria itu berdiri dari duduknya dan menghampiri kedua orang tua Nari. "Om dan tante sudah datang. Kalau begitu, saya izin bertemu dengan manajer-nim."

Setelah izin, Jeonghan mengangguk kecil dan berlalu keluar ruangan. Hatinya menjadi ringan. Ia lega hubungannya dengan Nari benar-benar mengalami kemajuan. Jeonghan juga bahagia karena gadis itu cukup tangguh dengan luka-luka yang dideritanya.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top