Part 40

Nari berjalan mengendap-endap di bawah bayangan kotak-kotak kargo di pelabuhan Pohang. Malam itu cukup tenang. Suasana sekitar cukup gelap, hanya sinar bulan yang memberikan penyinaran samar-samar. Sebelah tangan Nari siaga di ikat pinggang khususnya. Jika suatu hal terjadi tiba-tiba, gadis itu sudah siap menarik pistolnya keluar.

Sudah tiga hari Nari dan Minjae melakukan penyelidikan di kota kecil provinsi Gyeongsang Utara. Setelah kejadian tempo hari yang melibatkan Nari dalam kasus penyekapan, pihak kepolisian berhasil menciduk dua orang tersangka. Investigasi dilakukan dengan cukup keras. Nari ikut terlibat di dalamnya. Setelah ditelisir, Nari berhasil menarik benang penghubung kasus penyekapan itu dengan kasus penyelundupan senjata ilegal yang sedang diselidikinya.

Nari dan Minjae, rekan kerjanya, mendapat petunjuk mengenai sindikat penjahat itu. Ternyata kasusnya tidak sesimpel yang mereka duga. Gembong dari semua kasus ini ternyata sudah melakukan banyak tindak kriminal lainnya.

Tidak mau kehilangan jejak, kedua orang itu memutuskan untuk melakukan penyelidikan di sini. Para penjahat itu memiliki jadwal untuk bertransaksi. Rencananya, Nari dan Minjae akan mengumpulkan beberapa bukti. Tentu saja mereka tidak sendiri. Pihak kepolisian ikut turun tangan malam ini.

"Nari-ssi, stay di tempat. Sesuai jadwal, tiga puluh menit lagi transaksi akan dilakukan," Nari mendengar instruksi Minjae dari Bluetooth earphone-nya.

"Okay," balas Nari.

Gadis itu merapatkan punggung pada dinding besi dingin dibelakangnya. Rasa awasnya tidak menurun. Kelima panca indranya bekerja dalam level maksimum. Ia membenahi letak topi hitam di kepalanya. Semua yang melekat di tubuhnya kini berwarna gelap. Hal itu memudahkannya dalam penyamaran.

Menunggu selama tiga puluh menit seorang diri serasa sangat lama. Sejauh ini tidak ada pergerakan mencurigakan di sekitarnya. Minjae yang ikut mengintai di tempat lain juga sama. Mereka berdua mengintip ke arah sebuah kapal. Mereka curiga bahwa itu merupakan tempat transaksi yang akan berlangsung.

Nari menegakkan punggungnya. Samar-samar ia mendengar suara mobil mendekat di kejauhan. Lima menit ia menunggu dalam diam. Telinganya fokus mendengarkan ke arah mana suara mesin itu melaju pelan.

"Nari-ssi, hati-hati. Mereka berada dalam radius sepuluh meter dari tempatmu sekarang. Bergeraklah ke arah timur untuk menjauh," Nari mendengar suara Minjae mengingatkannya.

Nari merutuk dalam hati. Seharusnya tidak begini. Menurut perhitungan, tempat Nari adalah posisi paling aman untuk mengintai. Mengapa para penjahat itu mengubah tempat transaksi mereka?

Nari tidak berani membalas perintah Minjae. Gadis itu sibuk melacak tempat aman bagi dirinya untuk bersembunyi. Area di sekitarnya sangat sepi. Ada pergerakan sedikit saja, pasti akan langsung menarik perhatian. Nari harus ekstra hati-hati.

Kedua mata Nari mengamati sekitar, mencari rute baru persembunyian yang aman. Gadis itu mendengar berbagai instruksi di earphone-nya. Pihak kepolisian ternyata juga dibikin kocar-kacir karena rencana yang melenceng.

Nari mengintip ke arah mobil sedan yang mesinnya baru saja dimatikan. Tidak ada tanda-tanda mobil lain akan datang. Dengan cepat, Nari berpindah berlindung di balik bayangan kargo satunya.

Aman. Nari bernapas lega. Kini dengan hati-hati ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa suara menuju arah timur sesuai instruksi Minjae. Gadis itu sangat gesit. Bahkan bayangannya saja tidak mudah ditangkap oleh lawan.

Nari berjongkok. Kini ia sudah berada di tempat aman yang bebas dari area rentan, namun masih bisa mengamati mengamati dengan jelas ke arah tempat transaksi. Nari mengeluarkan teropong monocular mungil dari kantungnya. Ia mengamati keadaan sekitar dengan hati-hati.

Gadis itu mendengarkan perintah-perintah yang masuk ke dalam telinganya. Nari diam menurut. Saat-saat seperti ini ia memang harus mempercayai timnya. Gadis itu tidak sadar bahwa tak lama lagi akan ada suatu hal besar yang terjadi.

---

Jeonghan mengusap peluhnya dengan handuk kecil. Ia memandangi penampilannya yang berkeringat seusai latihan. Dengan kesal, ia meniup-niup rambut bagian depannya yang tampak mulai memanjang.

"Hyung!" panggil Chan. Maknae Seventeen itu melempar botol air mineral. Dengan sigap Jeonghan menangkapnya.

"Gomawo," ucap Jeonghan. Ia ikut duduk bersama member Seventeen lainnya.

Jeonghan melihat Soonyoung dan Seokmin sedang asyik bermain kartu. Member Seventeen yang lain terbagi dalam dua kubu, ada yang mendukung Seokmin ada pula yang mendukung Soonyoung. Beginilah suasana menyenangkan jika sedang menghabiskan waktu bersama. Mereka masih bisa bersenang-senang ditengah kepadatan jadwal. Baik panggilan job manggung bersama, maupun jadwal syuting individu.

Seokmin membanting sisa kartu di tangannya ketika sadar bahwa dirinya sudah kalah telak dari Soonyoung. Pria itu berlari mengelilingi ruangan sembari memegangi kepala, pura-pura frustasi. Member lain hanya tertawa melihat kelakuannya yang tak berubah seiring waktu. Tetap saja kekanakan.

Jeonghan juga tidak lepas dari lingkaran kebahagiaan itu. Ia tertawa, bahkan ikut menjahili para dongsaeng-nya. Walaupun ia sendiri tidak terlalu mengerti aturan permainan yang sering dimainkan oleh dongsaeng-nya, ia menikmati waktu kebersamaan yang mereka habiskan bersama. Jujur saja, seiring berjalannya waktu, Seventeen semakin terkenal. Masing-masing member jadi memiliki banyak panggilan syuting individu. Jarang-jarang mereka bisa kumpul bertigabelas seperti sekarang ini.

Jihoon duduk di sisi Jeonghan. Pria itu ikut tertawa melihat Seokmin dan Soonyoung yang pura-pura bertengkar.

"Hyung," panggil Jihoon pada Jeonghan setelah tawanya mereda.

"Hm?" respon Jeonghan. Ia menoleh pada Jihoon di sampingnya. "Ada apa?"

Jihoon memandangi Jeonghan sesaat, tampak ragu. "Bagaimana hubunganmu dengan Nari noona?"

"Ah," Jeonghan tampak mengerti.

Dua minggu yang lalu ia memang secara tidak sengaja melibatkan Seungcheol, Wonwoo, dan Jihoon dalam masalah percintaannya. Lebih tepatnya, meminta pendapat mereka karena Jeonghan benar-benar buta dalam hal mengurus cewek marah. Jeonghan teringat, setelah ia dan Nari berbaikan, bahkan dirinya tidak memberi kabar perkembangannya pada yang lain. Ia terlalu senang hingga melupakan para pemberi nasihatnya.

"Kami baik-baik saja," jawab Jeonghan sambil tersenyum lebar. "Terima kasih atas nasihatmu waktu itu, Jihoon-ah."

Jihoon mengangguk senang. "Hyung sudah menjelaskan tentang 'cinta pertama' kan?"

Jeonghan meringis geli. "Aku terlalu malu untuk mengatakannya. Bahkan untuk meminta maaf dengan cara romantis seperti kemarin saja aku sudah hampir mati saking gelinya. Hubungan persahabatan kami sudah terlalu lama, aku masih canggung dan merasa aneh kalau mengingat bahwa kini aku malah jatuh cinta dengan gadis itu," jelas Jeonghan.

"Ya! Kalau begitu aku masih merasa bersalah pada noona, dong?" Jihoon menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Bagaimana dong hyung?"

Jeonghan menepuk bahu dongsaeng-nya itu. "Tenang saja. Semoga saja Nari lupa, atau bahkan tidak mengindahkan ucapanmu sama sekali."

"Benar? Sepertinya tidak begitu," lanjut Jihoon terdengar sangsi.

Jeonghan meringis. "Tenang saja. Gadis itu sekarang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan ia sepertinya sudah lupa padaku kalau tidak aku duluan yang menghubunginya. Mana mungkin ia ingat pada hal remeh seperti itu."

Jihoon menarik napas lega, "Baguslah. Aku tidak ingin dicap sebagai perusak hubungan orang karena ucapan anehku."

Jeonghan tertawa kecil. "Tidak perlu cemas seperti itu." Jeonghan menunjukkan chat room-nya dengan Nari pada Jihoon. "Lihat saja, bahkan pesanku dari dua hari yang lalu belum dibaca juga olehnya."

"Wah, parah hyung!" seru Jihoon. "Itu berarti kau tidak cukup penting di kehidupannya. Mana ada orang tidak pegang ponsel selama dua hari. Itu berarti Nari noona sengaja mengabaikan pesanmu."

Jeonghan memukul kepala bagian belakang Jihoon, membuat dongsaeng-nya itu meringis. "Ya! Baru saja kau takut dicap sebagai perusak hubungan orang. Kau mau membuatku ragu dengan perasaan Nari?"

"Mian, mian," Jihoon mengangkat kedua tangannya ke atas. "Yah, semoga saja Nari noona benar-benar sedang sibuk bekerja bukan mencari pacar baru."

"Ya! Kemari kau Lee Jihoon!" seru Jeonghan pada Jihoon yang sudah kabur menjauh keluar dari ruang latihan. "Ah, chincha! Benar-benar anak itu," Jeonghan kembali melirik layar ponselnya yang masih menampilkan jendela chat-nya dengan Nari. Karena khawatir, pria itu mengirimi Nari sebuah pesan.

Semoga dia baik-baik saja, pikir Jeonghan.

---

Dari tempatnya bersembunyi, Nari mengarahkan teropong monokulernya ke arah mobil. Tidak terlihat ada tanda-tanda pergerakan dari sana, padahal sudah lewat tiga menit dari kedatangannya di sana.

Nari mengatur lensanya. Ia mengerutkan kening. Bagaimana mungkin tidak ada seorang pun di dalam kendaraan itu? Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. mengapa mobil itu berhenti di tempat terbuka? Untuk gembong penjahat taraf internasional, tentu saja mereka tidak mungkin bertindak seceroboh itu.

"Minjae-ssi, ada yang aneh," lapor Nari dengan suara pelan. Ia melaporkan hasil pengamatan dan spekulasinya melalui microphone.

"Segera awasi pergerakan dalam parameter 3 km," pinta Nari.

Gadis itu terkesiap. Ia merasa ada suara langkah pelan yang mendekat ke arah persembunyiannya. Nari memasukkan teropongnya ke saku dan kembali menegakkan tubuhnya. Seharusnya jika ada pergerakan sedikitpun, akan ada agen yang memberitahunya. Nari sadar bahwa lawannya kali ini benar-benar handal.

Nari mengeluarkan pistol dari tempatnya. Ia menajamkan seluruh indranya. Terdapat bayangan orang mendekat dari arah kiri. Gadis itu menahan napas, tangannya sudah teracung.

Sebuah pria berbadan besar muncul. Untunglah pria itu tidak melihat keberadaan Nari. Dengan cepat, gadis itu melumpuhkannya dengan memukul tengkuk sang pria keras-keras menggunakan gagang pistolnya. Sang lawan langsung tak sadarkan diri dan ambruk dengan suara keras.

Nari mengumpat dalam hati. Suara barusan bisa mengundang lawannya yang lain. Ia harus bergegas pergi dari sana.

"Nari-ssi, segera pergi dari sana. Salah satu kargo di dekat situ ternyata merupakan tempat persembunyian mereka," Minjae memberi peringatan.

Tanpa disuruh pun aku akan pergi! Batin gadis itu. Nari meminta bala bantuan untuk mengepung kargo yang dimaksud. Ia sendiri akan menjauh untuk sementara waktu.

"Wah, ada tikus kecil rupanya!"

Nari memasang kuda-kuda ketika seorang pria berbadan lebih kecil darinya muncul dari belakang. Gawat ia tertangkap basah. Walaupun ia tidak kekurangan ilmu bertarung, tetap saja Nari sedikit takut. Ia berharap bala bantuan akan segera datang.

Pria itu melayangkan tatapannya pada Nari dan berganti para pria bertubuh besar yang sudah tumbang. Ia berdecak kesal. Nari hanya mengernyitkan dahi tanpa mengurangi kewaspadaannya.

"Ck, ternyata hanya seorang wanita," ucapnya meremehkan. "Kalau begini aku juga bisa menyelesaikannya sendiri."

Tanpa aba-aba, pria itu mendekat ke arah Nari dengan cepat dan melayangkan tendangan. Dengan sigap, Nari melompat ke belakang menghindar. Jantungnya berdegup kencang. Pria itu menguasai bela diri Muay Thai!

Nari berdoa dalam hati. Semoga ilmu bela dirinya bisa digunakan saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top