Part 36

Jeonghan dan Nari kini duduk berhadapan di ruang tamu rumah Yoona. Sahabat Nari itu memberi ruang pada mereka berdua untuk bicara berdua. Yoona kembali masuk ke kamarnya dengan alasan harus membersihkan diri.

Nari sangat canggung. Sudah dua minggu ini ia berusaha menghindari komunikasi dengan pria di hadapannya. Namun, Jeonghan malah mengunjunginya ke rumah Yoona tengah malam begini. Jujur saja, Nari merasa bahwa ia belum siap untuk kembali bertemu dengan Jeonghan. Ia belum bisa melupakan perasaan yang dimiliknya pada pria itu sepenuhnya. Bertemu seperti ini hanya akan menyusahkannya saja.

"Kudengar kau terluka," kata Jeonghan.

Nari mengangguk kecil. "Di lengan dan kaki. Tapi aku sudah baik-baik saja."

Jeonghan berpindah. Ia duduk di sofa samping kanan Nari yang kosong. Gadis itu berusaha menarik diri, namun tangan Jeonghan sudah menahannya. Dengan cepat pria itu menyibak lengan sweater yang dikenakan Nari. Gadis itu mengernyit ketika lukanya kembali berdenyut menghantarkan rasa perih.

"Mendapat lima jahitan dan kau bilang baik-baik saja?" tanya Jeonghan skeptis. "Jangan pakai lengan panjang. Ini akan membuat lukamu makin tertekan."

Nari menepis tangan Jeonghan dari lengannya. "Aku bisa mengurus diriku sendiri. Jangan ikut campur."

Jeonghan mematung mendengar ucapan Nari. Pria itu menghela napas panjang. "Maafkan aku tidak bisa langsung menemuimu di kantor polisi. Seluruh member melarangku walaupun aku ingin."

"Akan lebih baik kalau kau tidak menemuiku sama sekali, Yoon Jeonghan."

Jeonghan mengernyitkan dahinya. Ia merasa ada yang tidak beres dengan gadis itu. "Nari-ya, apa kau selama ini menjauhiku? Menjadikan pekerjaanmu sebagai alasan untuk tidak menjawab pesan dan telepon dariku?"

Nari berpaling ke arah lain. Ia tidak berani menatap mata berwarna cokelat gelap di balik kacamata itu.

"Jawab pertanyaanku, Pyo Nari," kata Jeonghan tegas.

Tubuh Nari menegang. Kalau sudah begini, Jeonghan benar-benar terlihat menakutkan. Pria itu terdengar emosi. Kejahilan yang biasa ia tunjukkan menghilang tak bersisa entah kemana. Jeonghan menunjukkan posisinya sebagai seorang laki-laki.

Nari bangkit dari duduknya dan berlalu menuju ke kamarnya. Jeonghan menahan tangan gadis itu. Kalau sudah bersikeras seperti ini, sudah dapat dipastikan Jeonghan tidak akan mengalah secara sukarela.

Yoona keluar dari kamarnya. Tanpa sengaja ia melihat pertikaian kedua sejoli itu. Dengan kikuk, ia berdeham kecil membersihkan kerongkongannya.

"Ehm, kalian bisa menyelesaikan perbincangan kalian di kamar Nari. Kau juga bisa menginap disini kalau mau, Jeonghan-ssi," kata Yoona. "Pastikan kau mematikan lampu sebelum tidur. Aku duluan ya, Nari-ya," kali ini Yoona berbicara pada sahabatnya. Ia kemudian menghilang di balik pintu kamarnya.

Nari mendengus kesal. Mengapa Yoona malah mengundang Jeonghan untuk tinggal disini? Nari berhasil melepaskan genggaman tangan Jeonghan dengan sekali sentakan. Ia kemudian berjalan cepat menuju kamarnya. Dibelakang, Jeonghan mengikuti.

"Sekarang bisa kau jelaskan apa salahku, Pyo Nari?" tanya Jeonghan setelah menutup pintu di balik punggungnya.

Nari terduduk di pinggir kasur. Ia menutup wajah dengan kedua belah telapak tangannya. "Bisakah kita tidak membahasnya malam ini? Aku sangat lelah."

Jeonghan berjalan menghampiri gadis itu. Ia duduk di sisi Nari. Dengan lembut ia menarik Nari masuk ke dalam dekapannya.

"Maafkan aku," ucap Jeonghan lirih di sela-sela rambut Nari. "Aku tidak mengerti kondisimu dan memaksamu seperti tadi."

Nari mengangguk kecil. Ia menarik diri dari dekapan Jeonghan. Gadis itu tidak bisa membiarkan pertahanannya runtuh.

"Kalau begitu aku mau istirahat," kata Nari. Ia menunggu hingga Jeonghan beranjak keluar dari kamarnya. Namun pria itu tetap bergeming. "Kau tidak mau kembali?"

"Aku akan menginap disini," jawab Jeonghan enteng.

Nari mendorong bahu Jeonghan agar bangkit dari kasurnya. "Kalau mau menginap, tidur saja di sofa ruang tengah. Ini kamarku," seru Nari tak terima.

Jeonghan menangkap kedua tangan Nari. Pria itu menatap dalam-dalam kedua mata Nari yang terkesiap. Keheningan menyelimuti keduanya. Terlebih Nari. Ia tidak pernah mendapat tatapan lembut seperti itu dari cowok di hadapannya ini. Gadis itu bahkan sampai dibuatnya lupa bernapas.

Jeonghan tersenyum kecil. Ia mengecup pelan kening gadis itu dengan penuh kasih sayang. Nari hanya dapat mengerjap-erjapkan matanya lucu.

"Aku ini calon suamimu. Untuk apa aku tidur di sofa kalau ada kasur yang bahkan muat untuk tiga orang disini," kata Jeonghan setengah menggoda. Ia melepaskan tangan Nari. "Kalau begitu, kau ganti baju saja dulu dengan kaos lengan pendek. Aku akan menunggumu di kasur."

Blush! Ucapan Jeonghan sungguh sangat ambigu!

Nari berbalik menuju lemari. Ia menarik asal kaos dari tumpukan bajunya dan berlalu menuju kamar mandi. Sungguh. Pria itu mampu membuat hatinya seperti berada di roller coaster! Kalau begini terus, bagaimana bisa ia melupakan perasaannya.

---

Jeonghan mengamati wajah damai Nari yang tertidur di sampingnya. Gadis itu bersikeras agar Jeonghan tidak melewati batas yang dibuatnya dengan guling. Daripada membuat gadisnya menangis, Jeonghan hanya mampu mengangguk menyanggupi permintaannya. Alhasil kini Jeonghan harus bersikeras menahan keinginannya untuk meraih Nari masuk ke dalam dekapannya.

Nari menggeliat dalam tidurnya. Gadis itu berbaring menghadap Jeonghan. Tentu saja Jeonghan terkejut. Namun senyuman lebar kembali terpasang di wajah pria itu. Dengan perlahan, Jeonghan membenahi selimut Nari yang sempat tersingkap akibat ulah gadis itu tadi. Tangannya terulur untuk menyingkirkan poni panjang Nari dari wajah gadis itu.

Entah sejak kapan, Jeonghan merasa Nari adalah orang yang amat berharga di kehidupannya. Melihatnya terluka mampu membuat hati Jeonghan merasa sedih. Sepertinya ia sudah lama jatuh cinta pada gadis itu, hanya saja ia terlambat menyadarinya. Nari adalah gadis yang kuat, namun yang Jeonghan tahu hati sahabat kecilnya itu sangat rapuh. Membuatnya ingin terus berada di sisi Nari untuk menjaganya.

Nari menggigau dalam tidurnya. Jeonghan terkejut ketika mendapati air mata Nari menetes. Pria itu mengamati Nari yang terisak dalam tidurnya.

Dengan perlahan, Jeonghan merengkuh Nari masuk ke dalam dekapannya. Ia mengelus rambut halus gadis itu.

"Sssttt, gwenchanha. Aku disini, Nari-ya," bisik Jeonghan.

Perlahan isakan Nari mereda. Jeonghan tetap mengusap kepala Nari hingga gadis itu kembali terlelap dengan tenang. Menyadari Nari sudah benar-benar tidur, Jeonghan sedikit menjauhkan tubuhnya. Ia mencium puncak kepala Nari perlahan dan kembali merengkuh tubuh gadis itu.

Jeonghan menepuk-nepuk punggung Nari hingga ia sendiri terlelap. Ia tidak akan melepaskan gadis ini, walaupun Nari sendiri yang memintanya. Jeonghan berjanji dengan sepenuh hati untuk menjaga perasaannya dan gadis di pelukannya kini.

---

Nari terbangun dari tidurnya. Ia menyingkirkan beban berat yang ada di perutnya. Gadis itu mengucek-ucek matanya.

"Kau sudah bangun?" sebuah suara serak khas orang bangun tidur terdengar dari sebelah Nari.

Nari berjengit kaget. Jadi tadi yang ia singkirkan adalah tangan Jeonghan? Pikiran Nari melayang ke ingatan semalam.

Gadis itu duduk di kasur dan melayangkan tatapan tajam ke arah Jeonghan. "Kau melanggar batas!"

Jeonghan menarik sebelah tangan Nari. Tanpa persiapan, gadis itu kembali jatuh tertidur di samping Jeonghan. Pria itu segera mendekap Nari, membawanya masuk ke dada bidangnya.

"Ya! Apa yang kau lakukan?!" protes Nari. Sayangnya, semakin ia melawan, pelukan Jeonghan makin mengetat.

"Jota!" ucap Jeonghan dengan riang.

"Ya ya ya! Lepaskan aku!" pekik Nari.

Jeonghan menuruti permintaan Nari. Gadis itu kembali menarik diri jauh-jauh dari Jeonghan dengan berdiri di sisi kasur. Jeonghan juga terduduk. Rambut cokelatnya mencuat kemana-mana, namun penampilannya kini justru terlihat makin sexy dimata Nari.

Jeonghan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Pria itu menepuk-nepuk kasur di sebelahnya, menyuruh Nari duduk.

"Tenang saja, aku tidak akan memelukmu lagi tanpa seizinmu," kata Jeonghan menyadari kekhawatiran Nari. "Ayo kita bicara."

Awalnya Nari ragu, namun ia kemudian menurut. Gadis itu menemukan keseriusan dalam ucapan dan binar mata Jeonghan. Nari duduk di sebelah Jeonghan, dengan sebuah bantal memisahkan keduanya.

"Jadi," ucap Jeonghan membuka pembicaraan. "Apa tebakanku benar bahwa selama ini kau menjauhiku, Nari-ya?"

Nari terdiam beberapa saat. Percuma saja ia berbohong, Jeonghan sudah sangat mengenal dirinya. Nari mengangguk kecil mengiyakan.

"Kenapa?" Tanya Jeonghan lagi dengan nada lembut.

"Geunyang," jawab Nari acuh. "Aku tidak mau hanya menjadi pengganti semu cinta pertamamu."

Jeonghan mengernyitkan dahinya bingung. Ia tidak mengerti pembicaraan barusan. "Maksudmu?"

Nari melayangkan tatapan tajam pada Jeonghan. "Pikir saja sendiri."

"Ya ya ya! Kita belum selesai bicara, mau kemana kau?" Jeonghan panik melihat Nari yang sudah berdiri dari kasur. Gadis itu berjalan ke arah lemari.

"Aku harus berangkat ke kantor. Bisa terlambat kalau aku terus meladeni kebodohanmu," ucap Nari acuh tanpa melihat Jeonghan. Tangannya sibuk mengambil setelan yang akan ia kenakan saat bekerja.

Jeonghan bangkit berdiri. Ia membalikkan tubuh Nari dengan sekali sentakan. Jeonghan sengaja mengunci gadis itu diantara dua lengannya. Ia paling tidak suka jika ditinggalkan oleh lawan bicara saat sedang membahas sesuatu yang serius.

Nari menahan napas. Jaraknya dengan Jeonghan kini hanya 20 cm. Wajah pria yang biasa dijuluki angel oleh fansnya saat ini terlihat siap melahap Nari bulat-bulat. Menyeramkan.

Hening. Hanya ada suara degup jantung mereka berdua yang saling bersahutan. Jeonghan menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Nari terbebas, tubuh gadis itu merosot, lututnya terasa meleleh oleh perlakuan Jeonghan tadi.

"Sial! Kau terlihat menggemaskan Nari-ya," kata Jeonghan dengan suara tertahan.

Nari memandang wajah Jeonghan yang menyemburatkan warna merah muda di balik tangannya. Apa tadi ia tidak salah dengar? Menggemaskan, katanya?

Jeonghan berjongkok tepat di depan Nari. Tangannya terulur menepuk puncak kepala gadis itu yang masih terbengong-bengong. Jeonghan tersenyum lebar.

"Nari-ya, sepertinya aku benar-benar telah jatuh cinta padamu."

Nari mematung. Apa katanya tadi? Bolehkah kali ini ia benar-benar berharap? Nari menggelengkan kepalanya. Ia teringat dengan ucapan Jihoon malam itu. Selalu ada tempat khusus untuk cinta pertama di hati pria. Nari tidak bodoh. Ia tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali.

Nari berdiri. Kini ia berubah menjadi gadis angkuh. "Aku tidak peduli. Aku masih tetap marah padamu."

Kali ini giliran Jeonghan yang melongo. Ia mengejar Nari hingga depan pintu kamar mandi.

"Barusan aku menyatakan perasaanku padamu. Kenapa responmu seperti itu?" Protes Jeonghan.

"Pikir saja sendiri. Sudah kubilang aku tidak mau hanya menjadi pengganti peran cintamu!" Nari membanting pintu tepat di depan muka Jeonghan.

"Ya! Pyo Nari!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top