Part 25

"Cuacanya sejuk ya, sepertinya sebentar lagi akan masuk musim gugur," komentar Nari.

Jeonghan melirik ke arah Nari. Ia kemudian fokus menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. "Sudah dari kemarin cuacanya seperti ini," komentar Jeonghan.

"Benarkah?" suara Nari meninggi karena terkejut. "Ah, sepertinya aku terlalu banyak bekerja di dalam ruangan hingga lupa menikmati udara segar."

"Mau jalan-jalan menyusuri sungai Han?" tawar Jeonghan.

"Boleh?" mata Nari berbinar-binar ketika mengatakannya. "Ah, tapi Donghae sedang tidur. Sepertinya minggu depan aku bisa jalan-jalan sendiri."

"Tidak apa-apa. Udara sejuk di sore hari seperti ini juga bagus untuk bayi kan?" Jeonghan mengarahkan mobilnya menuju sungai Han. "Sebentar saja, tidak akan ada masalah."

Nari melihat pemandangan di luar jendela tanpa banyak bicara. Jari-jemarinya bergerak mengikuti beat lagu yang sedang diputarkan di radio. Gadis itu tampak menikmati suasana jalanan di akhir pekan yang tidak terlalu lengang namun tidak juga terlalu macet ini.

Setiap hari, Nari hanya keluar ketika akan berangkat bekerja. Pemandangan yang ia bisa lihat hanyalah kemacetan yang sudah lumrah terjadi tiap jam berangkat kantor. Ketika pulang, langit sudah menggelap. Saat akhir pekan, gadis itu lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Untuk membaca atau sekadar beristirahat. Ia akan pergi keluar jika hanya membutuhkan sesuatu. Maka dari  itu, Nari baru sadar bahwa dirinya sangat jarang merasakan hangatnya sinar matahari.

Jeonghan memarkirkan mobilnya dengan lihai. Terlihat banyak orang yang menghabiskan waktu dengan berolahraga atau sekadar berjalan-jalan. Mulai dari anak kecil hingga usia tua.

"Kajja!" ucap Jeonghan sambil membuka pintu di samping kemudi.

"Wait," ucapan Nari menghentikan gerakan Jeonghan. "Is it okay?"

Jeonghan mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Nari.

"Maksudku, kau dan aku... terlihat bersama," kata Nari terlihat canggung. "Suasananya lumayan ramai, tidak mungkin tidak ada yang mengenalimu disini."

"Memang kenapa?" Jeonghan justru balik bertanya. "Kau sudah dikenal sebagai tunanganku. Tenang saja. Kau memang terlalu banyak berpikir."

Jeonghan keluar dan menutup pintu mobilnya. Walaupun pria itu memakai topi dan menutupi sebagian wajahnya dengan masker, Nari yakin akan ada orang yang mengenalinya. Nari hanya bisa menghela napas panjang. Sifat keras kepala Jeonghan kalau sudah keluar bisa sangat susah dilawannya.

Nari menutup pintu mobil. Ia melihat Jeonghan sudah mengeluarkan stroller bayi dari bagasi dan sedang berusaha merakitnya. Nari ikut berjongkok. Gadis itu menyelesaikan pekerjaan Jeonghan tanpa membutuhkan waktu lama.

Setelah selesai, mereka berdua kembali berdiri. Jeonghan mengambil botol susu dan beberapa mainan dari tas Donghae di belakang, sedangkan Nari melepaskan bayi yang masih tertidur itu dari seatbelt di kursi belakang. Dengan perlahan, Nari meletakkan Donghae di atas kereta dorong. Tak lupa ia mengeratkan tali pengaman agar Donghae tidak jatuh.

Jeonghan mendorong stroller bayi itu melalui jalur pejalan kaki. Nari berjalan di samping Jeonghan sembari memegang erat-erat tali selempang tas kecilnya. Gadis itu tampak melirik kanan-kirinya dengan tidak tenang.

"Aku mengajakmu kesini untuk bersantai bukan malah khawatir seperti ini," komentar Jeonghan mengetahui ketidaktenangan Nari.

"Eoh?" Nari melihat ke arah sahabatnya. "Eh iya, maaf. Aku tidak bisa menahan diri."

"Kalau begitu, mau duduk disana?" tawar Jeonghan. Ia menunjuk sebuah bangku yang baru saja ditinggalkan oleh sepasang kakek dan nenek. Nari hanya membalas dengan anggukan kecil.

Jeonghan segera mendorong kereta bayi menuju tempat yang ditunjuknya. Ia tidak mau kehilangan tempat duduk yang sudah diincarnya. Setelah sampai, ia memarkirkan stroller dan tidak lupa mengunci rodanya agar tidak berjalan sendiri. Pria itu memastikan agar Donghae tidak terkena sinar matahari yang terik dengan menarik tudung di bagian atas kereta dorong. Jeonghan membenahi selembar selimut yang sedikit melenceng akibat ditendang oleh Donghae dalam tidurnya.

Nari duduk di samping Jeonghan. Gadis itu menghirup udara dalam-dalam. Ia berusaha mengikuti saran Jeonghan untuk tidak terlalu mencemaskan hal-hal yang tidak perlu.

"Andaikan saja aku memakai pakaian olahraga," kata Jeonghan sembari menegakkan punggungnya.

Nari menoleh ke arah Jeonghan. "Benar juga. Sudah lama aku tidak berolahraga."

"Kalau pekerjaanmu selalu di depan komputer dan mengurus berkas-berkas, kemampuan fisikmu akan sia-sia," cibir Jeonghan. "Ah, pantas saja kau tidak bisa membebaskan diri dari bos mesummu itu ya? Percuma saja kau dinobatkan sebagai pemegang sabuk hitam taekwondo."

"Ya! Kau mau meremehkan kemampuanku?" protes Nari tak terima dirinya diejek oleh orang yang bahkan baru bermain basket setengah jam saja sudah kelelahan.

Jeonghan menoleh ke arah Nari. Ia menunjukkan senyuman lebarnya. "Baguslah. Wajahmu ketika sedang kesal lebih enak dilihat daripada ketika kau terus-terusan merasa khawatir."

Blush! Nari mengalihkan pandangannya. Tidak tidak, Jeonghan tadi hanya sedang membuatnya nyaman agar tidak terlihat sebagai seorang tunangan yang tidak mempedulikan sang kekasih.

Jeonghan menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sandaran kursi. Pria itu memejamkan kedua matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, menjejalkan udara bersih ke dalam paru-parunya. Rambutnya tertiup angin sepoi-sepoi.

"Rasanya aku juga sudah lama tidak bersantai di luar seperti ini," kata Jeonghan sembari membuka kedua matanya. "Aku sering berolahraga dengan member lainnya di sini. Namun lebih sering kami lakukan di malam hari."

"Jadwal kalian sangat padat ya?" ucap Nari menanggapi.

Jeonghan mengangguk. "Melelahkan. Tapi kami sudah berjuang dari lama untuk mencapai titik tinggi seperti sekarang," kata Jeonghan. Ia berusaha menyemangati diri sendiri dengan kata-katanya. "Bagaimana kabarmu? Sepertinya aku belum mendengar ceritamu sejak kau pergi dari Korea?"

Nari meneguk ludahnya susah payah. Pikirannya kembali ke tiga tahun silam.

Jeonghan menoleh ke arah Nari ketika tidak mendengar jawaban darinya. Nari segera menunjukkan senyum terpaksanya.

"Aku mengambil program master di Amerika. Dua tahun berikutnya aku kembali ke sini dan melamar pekerjaan di tempat Papa bekerja," jawab Nari singkat.

"Bagaimana dengan kehidupanmu disana?" Jeonghan bertanya penuh rasa penasaran.

"Hidupku... menyenangkan," Nari ikut merilekskan badannya seperti Jeonghan. "Kau tahu, kehilangan dua orang berharga di hidupku terasa sangat berat. Rasanya percuma saja aku bisa selamat dari kecelakaan itu. Seperti seorang pengecut, aku menggunakan alasan untuk belajar sebagai alasan pergi dari negara ini."

Jeonghan sadar siapa saja yang dimaksud oleh Nari. Ia menundukkan kepalanya.

"Begitu hidup di tempat baru, aku sibuk untuk menyesuaikan diri disana. Aku banyak belajar hal baru. Perbedaan culture terkadang membuatku shock, tapi disisi lain hal itu membuat pikiranku lebih terbuka," lanjut Nari. "Dan... aku menjadi seperti ini! Kau dulu tahu kan bagaimana manjanya aku karena merupakan anak tunggal? Akibat tinggal lama di luar negeri, aku jadi bisa memasak, menyelesaikan pekerjaan rumah, bahkan mengasuh anak."

Jeonghan mendongak. Ia melihat Nari yang kini sedang tertawa. Pria itu tersenyum melihat tawa bahagianya.

"Kau hebat. Bisa pulih secepat itu," ucap Jeonghan.

Nari menatap kedua mata Jeonghan dalam-dalam. Walaupun tersenyum, ia dapat merasakan ada kesedihan di dalam sana. "Bagaimana denganmu?"

Jeonghan menarik napas panjang. "Pada awalnya, aku tidak bisa apa-apa. Saat itu aku bahkan tidak ingin melakukan apa pun. Manajerku sampai kewalahan menghadapi sifatku yang kekanakan karena mogok tidak ingin bekerja ketika pamor Seventeen sedang menanjak."

"Terus kenapa kau bisa kembali melanjutkan mimpimu?"

"Aku sadar. Kau pergi ke Amerika untuk mengejar mimpimu. Masa aku bisa segampang itu menyerah dengan mimpiku?" Jeonghan meringis. "Ya! Kenapa kau pergi tanpa bilang-bilang dulu padaku?"

Suasana yang awalnya sendu menjadi pecah ketika Jeonghan mengeluarkan kalimat protesnya pada Nari dengan gaya seperti anak kecil. Nari yang mendengarnya jadi ikutan kaget. Ia memukul lengan Jeonghan pelan.

"Kau duluan yang memutus komunikasi denganku!"

"Oh benarkah? Maafkan aku," jawab Jeonghan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dulu aku masih sangat kekanak-kanakan, jadi tidak bisa berpikir panjang. Kau memaafkanku kan?"

Nari mendengus kesal. "Kau bahkan tidak mengatakan alasan mengapa kau menjauhiku dan membenciku. Itu membuat perasaanku semakin terluka."

Jeonghan melirik gadis di sebelahnya. "Dulu aku menganggap kecelakaan itu akibat ulahmu. Kau baru saja memiliki SIM dan sudah berani mengendarai mobil sendiri, ditambah lagi hari sudah malam," jawab Jeonghan. "Tapi aku sadar. Itu semua murni karena kecelakaan."

Nari memainkan jari di atas pangkuannya. "Aku juga merasa bodoh kenapa dulu aku mengusulkan ide gila untuk memberimu kejutan. Bukan kejutan justru kabar buruk yang kau terima."

"Hei, hei, sudahlah. Jangan dipikirkan lagi," kata Jeonghan sembari menepuk bahu sahabatnya itu. "Aku sudah mulai melupakan luka itu. Aku berlatih keras untuk merelakan kepergian Myunghee. Belum ada sebulan sepertinya."

Nari menolehkan kepalanya ke arah Jeonghan, "Sebulan? Belum lama ini?"

Jeonghan mengangguk. "Dia memberiku banyak inspirasi. Ia memberiku semangat saat sebelum debut hingga sudah sukses. Melihatnya susah payah melawan penyakitnya, membuatku tidak merasa lelah untuk terus berlatih. Kau tahu? Dulu aku punya mimpi untuk menikahinya ketika aku sudah sukses nanti. Tapi sepertinya Tuhan lebih sayang pada Myunghee," Jeonghan tersenyum lemah. "Hal itu jugalah yang membuatku menutup hati pada wanita manapun."

Nari mengangguk paham. Diantara sekian banyak orang yang tahu hubungan Jeonghan dengan Myunghee, hanya dialah yang paling tahu bagaimana perjalanan cinta mereka. Nari bahkan memilih mundur dan menyimpan perasaannya pada Jeonghan begitu melihat bahwa masing-masing dari mereka berjuang menyelesaikan masalah untuk saling membahagiakan.

"Kau pasti akan bertemu dengan wanita yang tidak kalah baiknya dari Myunghee," ucap Nari berusaha menghibur.

"Semoga," Jeonghan tersenyum. "Kau sendiri bagaimana? Sudah bisa menghilangkan perasaanmu padaku?"

Nari mendelik. Ia melihat Jeonghan sudah menampilkan senyum jahil di wajahnya yang tampan. "Jeonghan-ah, sampai detik ini aku masih heran, darimana kau tahu kalau dulu aku suka padamu?"

Jeonghan mengangkat kedua bahunya tampak acuh. "Kau tidak perlu tahu. Jawab saja pertanyaanku tadi," Jeonghan menjentikkan jarinya. "Jangan-jangan... kau bahkan tidak pernah pacaran ya? Selama di Amerika kau terus-terusan memikirkanku?"

"Jangan terlalu percaya diri!" bentak Nari kesal. "Aku ini sempat beberapa kali menjalin hubungan di luar sana tahu. Aku juga wanita normal yang bisa tertarik dengan laki-laki."

Jeonghan bersiul. "Wah, aku jadi kasihan pada cowok-cowok itu. Bagaimana mereka bisa tahan dengan sikapmu yang ceroboh ini?"

"Ya!" Nari menghujani Jeonghan dengan pukulan membabi butanya.

Jeonghan hanya tertawa. Ia berusaha menghindari serangan Nari. Namun sepertinya gadis itu tidak berniat menyudahi pukulannya. Jeonghan menangkap kedua tangan Nari. Tenaganya lebih besar daripada gadis itu, ia mampu melakukannya dengan mudah.

Nari menahan napas. Saat ini posisinya dengan Jeonghan sangat dekat. Dari jarak segini, ia bisa mencium aroma parfum yang dipakai pria itu. Jantungnya berdegup kencang. Ditambah kali ini Jeonghan sedang tersenyum menggodanya. Nari segera menarik tubuhnya menjauhi Jeonghan. Ia takut sahabatnya itu mendengar degup jantungnya.

"Jadi," kata Jeonghan. "Kali ini kita bisa tetap berteman dekat seperti dulu lagi kan?"

Nari menoleh ke arah Jeonghan. "Maksudmu?"

"Semua kesalahpahaman di masa lalu sudah selesai. Mari kita berteman seperti dulu. Melihatmu yang terus-terusan bersikap kaku di sekitarku seperti bukan dirimu saja," keluh Jeonghan.

Nari terkekeh pelan. Ia juga menyadari kecanggungan yang tercipta di antara mereka sebagian besar karena dirinya. "Baiklah."

"Dulu kau kan yang janji akan selalu menjadi sahabatku," ucap Jeonghan lagi mengingatkan. Cowok itu mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji?"

Nari tersenyum. Ia menautkan jari kelingkingnya dengan milik Jeonghan. Gesture yang biasa mereka gunakan dulu untuk menyegel sebuah kesepakatan bersama.

"Janji."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top