Part 15
Jeonghan sudah mengganti pakaiannya dengan kaos biru tua dan celana pendek berwarna putih. Penampilan sehari-harinya jika sedang di rumah. Pria itu duduk dengan tenang di kursi meja makan. Mulutnya sibuk mengulum es krim melon buatan adiknya, sedangkan tatapannya terkunci pada sesosok gadis yang sedang sibuk menghias kue dengan whipped cream.
Sepulangnya dari Jepang, Jeonghan langsung diantar pulang ke rumah oleh sang manajer. Ia bahkan dilarang untuk tinggal bersama member Seventeen lain hingga masalah skandal yang menyangkut dirinya bisa dibersihkan. Jeonghan hanya bisa pasrah. Ia sendiri tidak punya ide bagaimana cara mengatasi kekacauan itu.
Sang eomma dan adiknya langsung memborbardirnya dengan sejuta pertanyaan. Apalagi Jaerim. Adik perempuannya itu bahkan secara terang-terangan ikut menuduh Jeonghan sebagai gay karena sudah lama tidak tertarik dengan wanita. Sontak, Jeonghan tak bisa menahan tangannya untuk menjitak sang adik karena ucapan ngawurnya itu. Walaupun tidak dekat ataupun menjalin hubungan dengan wanita manapun belakangan ini, bukan berarti orientasi seksualnya berubah.
Setelah Jeonghan berhasil menenangkan kedua wanita berharga di dalam hidup tentang gosip yang menimpa dirinya, ia berganti menanyai sang eomma mengenai Nari. Ia sendiri masih terkejut karena mendapati sahabat masa kecilnya itu berada di rumahnya. Sang eomma menjelaskan dari awal. Bahkan wanita paruh baya itu ikut ngomel karena rencana surprise menyambut kedatangan Jeonghan pulang akhirnya gagal karena anaknya itu sudah berada di hadapannya sekarang.
"Oppa, sisakan es krimnya untuk Nari eonni!" pekik Jaerim. Ia langsung menarik kotak makan berisi es krim melon yang sudah bersih tak bersisa dari hadapan Jeonghan.
Perhatian Jeonghan beralih ke arah sang adiknya. Dengan kikuk ia mengamati wajah Jaerim yang berubah mendung. Karena terlalu fokus dengan isi pikirnya sendiri, pria itu tanpa sadar sudah menghabiskan isi satu kotak makan seorang diri. Tangannya secara otomatis selalu menyendokkan es krim ke dalam mulut.
"Hehe, mian," jawab Jeonghan sambil terkekeh kecil tanpa merasa bersalah.
Mendengar namanya disebut, Nari mengangkat pandangannya sejenak dari kue yang sedang ia hias. Lagi-lagi ia harus menjadi saksi dari pertengkaran kakak-beradik itu. Nari hanya dapat tertawa kecil ketika dilihatnya Jaerim mengunci leher sang kakak dari balik kursi yang didudukinya.
"Sudah, sudah. Nanti aku bisa bikin sendiri di rumah," kata Nari melerai keduanya.
"Tapi itu kan sengaja aku buat untuk Eonnie. Resep khusus buatanku," kata Jaerim tak terima.
"Wah, pantas saja rasanya aneh," komentar Jeonghan. Ia memang tidak pernah lelah mengerjai sang adik.
Jaerim merengut, "Kalau rasanya aneh, kenapa oppa bisa menghabiskannya seorang diri?"
"Hmmm," dahi Jeonghan berkerut memikirkan alasan yang bagus. "Untuk membebaskan Nari dari makanan yang bisa membuat perutnya mulas."
"Ya!" Pekik Jaerim tak terima. Kemudian pertengkaran kecil itu berlanjut kembali.
Nari kewalahan melihat kedua tangan Jaerim yang sudah mulai menjambak rambut berwarna cokelat milik sang kakak. Jeonghan sendiri berteriak-teriak kesakitan. Pria itu memukul lengan Jaerim agar melepaskan cengkeramannya. Nari segera mengelap tangannya yang berminyak sehabis membuat cream dan berjalan cepat menghampiri keduanya. Gadis itu berusaha membujuk Jaerim untuk melepaskan kakaknya yang sudah kesakitan. Namun tidak berhasil. Telinga Jaerim seperti tidak mau menerima masukan dari siapapun.
Tiba-tiba eomma datang. Ia memukul kepala kedua anaknya masing-masing satu kali dengan gulungan majalah di tangannya. Dengan kehadiran sang eomma, keributan itu akhirnya mereda. Nari mampu menarik napas lega.
"Ya ya ya! Kalau kalian bertengkar lagi hari ini, kalian tidak boleh ada di rumah!" Seru Eomma.
"Oppa yang mulai duluan!" seru Jaerim tak mau disalahkan.
Jeonghan tak membalas ucapan sang adik. Ia meringis kesakitan sambil mengusap-usap kulit kepalanya yang rasanya sudah mau copot. Untung saja eomma datang disaat yang tepat, kalau tidak mungkin sekarang dirinya sudah pitak akibat perbuatan brutal Jaerim.
"Kalian berdua sama-sama salah," ucap Eomma final. Ia memandangi kedua anaknya bergantian. "Kalian ini sama-sama sudah dewasa, tapi tidak ada yang berubah ya. Jaerim bantu Nari menyelesaikan membuat kue. Jeonghan bantu bersih-bersih dapur."
"Tapi aku tidak bisa masak," tolak Jaerim berusaha membebaskan dirinya dari pekerjaan dapur.
"Kalau begitu sekarang kesempatanmu untuk berlatih. Kau tidak malu jadi anak perempuan yang tidak bisa masak sama sekali?"
"Aku bisa masak ramyun," kilah Jaerim membalas ucapan sang eomma.
"Itu bukan masakan, bodoh!" Komentar Jeonghan.
"Ya ya ya!" Eomma segera melerai keduanya yang sudah akan bertengkar lagi.
"Cepat kerjakan apa yang eomma perintahkan. Dan kau Jeonghan," Eomma menggantung ucapannya. "Seharusnya kau malu sudah bertingkah kekanakan di depan Nari. Walaupun dia teman masa kecilmu, Nari kan juga akan menjadi calon istrimu di masa depan."
Mata Nari membulat, pipinya menjadi berwarna merah muda. Berbeda dengan reaksi Nari yang tampak tersipu malu mendengar masalah itu diungkit kembali, Jeonghan justru menjentikkan jarinya. Sebuah ide bagus terlintas di benak cowok itu.
"Pyo Nari setelah kau selesai dengan masakanmu, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan," kata Jeonghan pada Nari.
Nari menatap kedua bola mata temannya itu dengan pandangan heran. Ia menemukan binar yang tidak biasa di sana. Bagai kerbau di cocok hidungnya, gadis itu hanya mengangguk mengiyakan. Jarang-jarang Jeonghan berbicara menggunakan nada ceria seperti tadi dengannya!
---
"Jadi, kau mau bicara apa?" tanya Nari.
Kini gadis itu sudah berada di dalam kamar Jeonghan. Di hadapan gadis itu sudah tersedia kue yang baru saja selesai ia buat dan dua gelas berisi jus jeruk. Walaupun sedari pagi ia belum sarapan, makanan di hadapannya tidak membuatnya tertarik sama sekali. Kedua mata gelap Nari sibuk menjelajahi tiap sudut kamar Jeonghan. Saat masih kecil, masuk ke kamar anak ini bukanlah suatu hal yang aneh. Namun sekarang berbeda. Keduanya sudah dewasa, dan mereka kini hanya berdua berada di dalam kamar.
Jeonghan duduk di depan mejanya. Ia menghidupkan laptop dan menyetel lagu. Jeonghan sengaja melakukannya agar tidak canggung hanya berdua saja bersama Nari.
Pria itu mengubah arah kursi putarnya hingga menghadap Nari yang terduduk di pinggir kasur. Melihat pergerakan Jeonghan, Nari menarik perhatiannya hingga kini ia menatap balik manik mata Jeonghan. Jujur saja, ia takut akan dianggap pervert karena mengamati kamar seorang cowok terlalu intens.
"Ayo kita bertunangan," kata Jeonghan. Singkat, padat, tapi nggak jelas.
Nari membelalakkan kedua bola matanya. Ia tidak mempercayai indra pendengarannya. Saking kagetnya, gadis itu hampir saja menyenggol gelas di hadapannya.
"Mwo?!" tanya Nari tanpa menutupi keterkejutannya.
"Bertunangan," ulang Jeonghan lagi. Pria itu terlihat sangat santai ketika mengatakannya.
"Mengapa...," Nari bingung dengan pemilihan kata yang tepat. "Mengapa kau membahas hal itu sekarang? Bukankah kau orang yang paling menentang ide itu tempo hari?"
Jeonghan mengangkat kedua bahunya acuh. "Karena sekarang adalah waktu yang tepat untuk kembali membicarakan hal itu."
Nari mengernyitkan dahinya. Gadis itu berusaha menahan debaran di dadanya, ia memaksakan diri agar dapat berpikir rasional. Nari menarik napas dalam-dalam. Saat menangani kasus, ia sudah terbiasa berpikir dengan penuh perencanaan. Nari tidak ingin ia melewatkan sebuah clue karena terbawa dengan perasaannya sendiri.
Jeonghan menatap Nari dengan pandangan datar. Sebenarnya ia merasa dirinya sangat brengsek saat ini. Kemarin ia sudah menolak gadis itu mentah-mentah, hanya karena sekarang ia sedang tersudut, Jeonghan mengajak gadis itu untuk menerima permintaannya. Terlebih lagi, itu hanya menguntungkan salah satu pihak.
Nari membuka kedua matanya. Ia balik menatap pandangan mata Jeonghan dengan berani.
"Karena gosip itu?"
Seperti dugaan Jeonghan, sahabat kecilnya itu terlalu pintar untuk ia kelabui. Jeonghan mengalihkan pandangannya ke arah sisi lain ruangan. Walaupun pria di hadapannya tidak bersuara, Nari yakin bahwa tebakannya benar.
Nari tertawa geli. Gadis itu menertawakan dirinya sendiri. Ia merasa sangat bodoh karena sempat berbunga-bunga mendengar ajakan Jeonghan tadi.
"Kenapa aku?" tanya Nari lagi.
Jeonghan terhenyak. Ia mendengar suara penuh rasa frustasi dari sahabat kecilnya. Hal itu membuat dirinya makin merasa bersalah.
Nari bangkit dari duduknya. Ia merapikan dress selututnya sebelum pergi keluar kamar.
"Kurasa kau benar-benar sedang tersudut," kata Nari pelan. "Tapi, maaf. Aku tidak berminat untuk bertunangan denganmu, Yoon Jeonghan. Sepertinya pembicaraan kita mengenai hal ini cukup sampai sini. Tenang saja, aku tidak akan membocorkannya pada siapapun."
"Nari-ya," panggil Jeonghan sebelum gadis itu meraih gagang pintu. Pandangan mata mereka bertemu sejenak, namun Jeonghan segera menundukkan kembali kepalanya. "Maafkan aku."
Nari memaksakan seulas senyum. Sebenarnya ia merasa kasihan pada sahabat di hadapannya yang terlihat sangat putus asa. Nari sangat ingin meraihnya ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan. Namun hal itu ia buang jauh-jauh. Ia sedikit sakit hati karena teman kecilnya itu sempat berpikir untuk menggunakan dirinya sebagai tameng.
"Aku pulang dulu. Sampai nanti," kata Nari. Ia segera berlalu pergi, sebelum niatnya goyah termakan bujuk rayu hati kecilnya untuk membantu Jeonghan dan mengabaikan perasaannya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top