Part 11

"Aku sudah tidak kuat. Kau tidak tahu bagaimana menyakitkannya kemoterapi itu!"

"Jangan gila! Kau justru makin menyakiti dirimu sendiri dengan bersikap seperti ini!"

Nari menarik lengan Myunghee hingga cutter yang berada di genggaman tangannya terlempar entah kemana. Nari memeluk tubuh kurus Myunghee yang bergetar hebat karena menangis. Diusapnya rambut panjang gadis itu yang mulai menipis akibat efek samping dari pengobatan yang dijalaninya.

"Ini bukan akhir dari segalanya. Bertahanlah sebentar lagi," kata Nari. Ia berusaha tegar demi sahabatnya.

Myunghee tidak memberontak. Tubuhnya luruh di dalam dekapan Nari. Air matanya merembes membasahi kemeja kotak-kotak sahabatnya itu.

"Gwaenchanha, Myunghee-ya," ucap Nari berusaha menghentikan tangisan memilukan yang keluar dari mulut Myunghee. "Aku selalu berada di sisimu. Kami semua mendukungmu."

"Sel kankernya sudah menyebar ke paru-paruku, Nari," ucap Myunghee di sela isakannya. "Aku tidak yakin bisa menyelesaikan masa SMA-ku sesuai dengan impian yang aku dambakan."

Nari melepaskan dekapannya pada tubuh Myunghee. Dilihatnya kedua mata Myunghee yang masih banjir air mata. Nari menangkupkan kedua telapak tangannya, memaksa gadis di hadapannya untuk membalas tatapan matanya.

"Kau harus yakin. Ini tubuhmu, ini hidupmu. Perjuangkan apa yang menjadi hak milikmu. Arraseo?"

Myunghee tersengal-sengal, ia berusaha menghentikan tangisnya. Gadis itu pelan-pelan mengangguk kecil. Senyum Nari terkembang. Ia kembali menarik Myunghee masuk ke dalam pelukannya.

"Good girl!"

---

Alarm Nari berbunyi nyaring. Gadis itu membuka kedua kelopak matanya dengan berat. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamarnya yang bersih. Nari bangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Ia memijat-mijat pangkal hidungnya dengan dua jari. Entah bagaimana bisa ia bermimpi tentang kejadiannya dulu saat Myunghee masih hidup.

Nari menggelengkan kepalanya. Mungkin itu hanya efek karena kemarin sore ia baru bisa mengunjungi makam sahabatnya. Nari tidak terlalu ambil pusing. Ia segera mengambil handuknya dan berlalu menuju kamar mandi. Baru kali ini ia tidak bangun terlambat dalam satu minggu terakhir.

Setelah selesai berdandan, Nari membawa tas dan jaketnya menuju ruang makan. Gadis itu mencium pipi kedua orangtuanya yang sudah duduk di sana. Ia sendiri kemudian duduk ikut bergabung dan langsung mencomot croissant favoritnya.

"Tumben sekali kau tidak terlambat," ucap Papa.

Nari meringis, "Aku sendiri juga kaget, Pa."

"Kalau begitu, cepat habiskan makananmu. Saat berangkat nanti jangan lupa membawa payung dan jaket. Akhir-akhir ini cuaca sangat tidak bisa diprediksi," ucap Mama mengingatkan.

Nari mengangguk patuh. Ia bahkan sudah menyiapkan payung di dalam tas dan membawa jaketnya tanpa perlu diingatkan sang ibu. Jujur saja, Nari ingat karena kemarin Jeonghan yang mengomeli keteledorannya.

Setelah selesai sarapan, Nari berpamitan pada sang ibu untuk berangkat ke kantor. Pagi ini ia menumpang mobil Papa. Sebenarnya Nari lebih memilih untuk naik kendaraan umum seorang diri. Ia sedikit tidak nyaman dengan pandangan para karyawan yang melihatnya turun dari mobil yang sama dengan sang ayah. Itu karena Papa memegang jabatan penting di kantor tempatnya bekerja. Nari sudah bosan mendengar banyak desas-desus yang menggosipkan bahwa dirinya mampu bekerja di firma hukum itu karena bantuan dari sang ayah. Padahal Nari sama saja dengan karyawan lain. Ia harus melewati seleksi yang sangat ketat.

Sebenarnya kedua orangtuanya menyarankan agar Nari membawa mobil sendiri. Selain lebih praktis agar tidak tergantung dengan sang ayah, saat cuaca sedang buruk mobil pribadi merupakan option yang lebih baik ketimbang transportasi umum. Namun Nari menolak. Ia masih belum bisa menghilangkan traumanya.

---

"Hai, hyung!" Soonyoung merangkul bahu Jeonghan dengan akrab. Rekan kerjanya itu baru saja tiba di dorm lagi. Sore nanti mereka akan berangkat bersama menuju bandara.

"Selama liburan kau tidak ada kabar," komentar Seungcheol pada Jeonghan. "Sudah seperti Jisoo saja."

"Ya! Kenapa kau bawa-bawa namaku!" protes Jisoo mendengar namanya disebut-sebut.

Jeonghan menaikkan kedua alisnya. Ia baru sadar bahwa sedari tiga hari yang lalu ia bahkan tidak memikirkan Seventeen sama sekali. Bahkan untuk sekadar menanggapi obrolan di group chat line saja ia malas. Tenaganya sudah banyak terkuras dengan 'rencana dadakan' yang disponsori oleh sang Eomma.

"Benar juga," kali ini Seokmin ikut bicara. "Biasanya Jeonghan hyung yang paling berisik di group karena tidak ada pekerjaan dan tidak ada jadwal kencan. Jangan-jangan hyung sudah mendapatkan wanita?"

"Benarkah, hyung?" pekik Seungkwan terkejut.

"Gadis mana yang sangat sial itu?!" pekikan Soonyoung diakhiri oleh suara aduhan karena ia mendapat jitakan dari Jeonghan.

Jeonghan berdeham. "Tidak ada wanita. Aku hanya sedang sibuk menghabiskan liburanku dengan bersantai," jawab Jeonghan cuek. "Lagipula untuk apa aku menanggapi isi chat kalian yang penuh berisi pamer kemesraan. Terutama dari Seungkwan."

Merasa disindir, Seungkwan hanya memajukan bibirnya tanpa bicara. Ia kesal, namun ia mengakui bahwa dari kemarin ia banyak mengirim foto-foto kencannya dengan Eunbi.

"Ei ei ei, kenapa kalian masih bersantai-santai disini? Cepat berkemas! Jam tiga sore nanti semuanya sudah harus siap berada di ruang tengah," suara Minho, manajer Seventeen, yang menggelegar mampu membuat seluruh member boy-group itu lari ke kamar masing-masing untuk bersiap.

Jeonghan menutup pintu kamarnya di balik punggungnya. Jisoo, teman sekamarnya, duduk di lantai. Pria itu melihat barang-barangnya yang masih banyak tercecer di luar koper dengan pandangan nanar. Jeonghan melompati barang-barang milik Jisoo untuk menuju kasur miliknya sendiri. Pria itu melemparkan tubuhnya ke atas kasur dan memainkan ponselnya. Jeonghan memang sudah selesai merapikan barang bawaannya sejak di rumah tadi. Kopernya bahkan sudah siap di ruang tengah, tinggal dimasukkan ke bagasi mobil.

"Kau bantu aku saja," pinta Jisoo memelas.

Jeonghan melirik teman sekamarnya itu sekilas sebelum kembali asyik dengan ponselnya. "Kau terlalu banyak bawa barang. Barang sebanyak itu mana mungkin bisa muat di kopermu," komentar Jeonghan.

"Kalau begitu, beri aku solusi," ucap Jisoo.

"Minta bantuan Mingyu," jawab Jeonghan asal. "Itu solusiku."

"Benar juga," kata Jisoo. Pria itu kemudian ikut menjatuhkan badannya di samping Jeonghan.

Jeonghan menatap Jisoo dengan dahi berkenyit. "Ya! Sana pergi ke kasurmu sendiri."

"Kau tidak lihat bagaimana kondisi kasurku sekarang?"

Jeonghan melayangkan pandangannya ke seberang kamar, dimana letak kasur Jisoo berada. Ia menghela napas panjang. Bukan hanya lantai saja yang dipenuhi oleh barang-barang Jisoo. Bahkan kasurnya juga penuh berisi baju-baju yang sebagian besar lipatannya sudah tidak karuan karena ulah Jisoo sendiri.

"Definisi beres-beresmu itu justru kebalikannya ya," sindir Jeonghan.

Jisoo tidak mendengarkan. Ia bahkan sudah menarik selimut milik Jeonghan hingga menutupi tubuhnya. Jeonghan menghela napas panjang. Temannya ini sangat tidak bisa diandalkan dalam hal kebersihan dan kerapihan.

Jeonghan terlonjak kaget ketika ponsel di tangannya berbunyi nyaring. Satu pesan masuk. Jeonghan melihat pengirimnya. Ia segera membuka pesan itu.

"Hati-hati selama perjalanan nanti. Terima kasih karena sudah mau menjadi temanku lagi :)"

Jeonghan tersenyum kecil membaca pesan dari Nari. Ia mengakui bahwa dirinya belum bisa sepenuhnya menghilangkan rasa marah pada gadis itu. Tapi, karena kemarin ia mengunjungi Myunghee bersama dengan Nari, entah mengapa hati Jeonghan jadi sedikit melunak. Ia melihat foto mereka bertiga saat kelulusan SMA dipajang di lemari tempat penyimpanan abu Myunghee. Hal itu lah yang membuat Jeonghan teringat masa-masa bahagia ketika mereka bertiga masih bersama.

Jeonghan tidak langsung membalas pesan gadis itu. Ia membuka foto profil yang dipasang Nari pada aplikasi pengirim pesan itu. Walaupun sudah sedari kemarin mereka berkirim pesan, Jeonghan tidak terlalu memperhatikannya.

Jeonghan memperbesar gambar itu sehingga terlihat lebih jelas. Itu adalah foto Nari yang diambil saat gadis itu berhasil menyelesaikan studi S2 nya di bidang hukum. Gadis itu mengenakan toga berwarna hitam dengan latar belakang tulisan sebuah universitas ternama di Amerika. Senyuman gadis itu mengembang lebar, kedua tangannya terentang ke atas. Melihatnya, mau tak mau senyum Jeonghan ikut terkembang.

"Pacarmu cantik juga."

Jeonghan segera menyembunyikan ponsel di balik punggung. Ia melayangkan tatapan tak suka pada Jisoo di sebelahnya. Temannya itu hanya menunjukkan sederet gigi putih tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Jeonghan tidak mengindahkan perkataan Jisoo. Ia bangkit bangun dari kasurnya dan berlalu menuju ruang tengah. Siapa sangka Jisoo masih bangun? Padahal jelas-jelas anak itu sudah bersiap-siap tidur sampai-sampai menarik selimut hingga puncak kepalanya!




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top