Part 10

Perjalanan yang memakan waktu hingga dua puluh menit itu berlalu dengan keheningan antara Jeonghan dan Nari. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Selain karena canggung mengingat percakapan tentang perjodohan kemarin malam, Nari dan Jeonghan juga sibuk memikirkan sesosok yang akan mereka kunjungi kini.

Jeonghan mematikan mesin mobilnya yang sudah terparkir rapi. Baik Nari maupun Jeonghan tidak ada yang berani membuka pintu terlebih dahulu. Mereka hanya diam. Jemari Nari merapikan pita ikatan pada buket bunga yang dibawanya.

Jeonghan menghela napas panjang. Ia melayangkan tatapannya pada Nari.

"Kau saja dulu yang masuk, banyak hal yang harus aku bicarakan berdua dengannya."

Nari membalas tatapan Jeonghan yang tidak dapat ia artikan. Baru kali itu ia melihat sorot mata penuh putus asa di dalamnya. Nari mengangguk kecil. Ia melepas seatbelt-nya dan membuka pintu, bersiap untuk keluar.

"Kau tunggu saja di sini. Aku tidak akan lama," kata Nari. Gadis itu meninggalkan Jeonghan seorang diri yang kini sedang menundukkan kepalanya di atas stir mobil.

---

Nari memasuki ruangan dengan lemari kaca menutupi dinding-dindingnya. Ia berjalan lurus menuju kotak dimana didalamnya terdapat vas berisi abu mendiang sahabatnya. Nari memandangi foto yang dipajang disana. Foto yang sama dengan yang selalu duduk di atas meja kecil samping tempat tidurnya.

Nari menempelkan buket bunga kecilnya di pintu kaca kotak penyimpanan. Di sisi lainnya terdapat buket kecil yang juga terpasang. Sepertinya keluarga Myunghee sudah berkunjung tadi pagi.

"Annyeong, Myunghee," sapa Nari dengan suara kecil nyaris tak terdengar. Senyuman kecil tersungging di bibirnya.

"Bagaimana kabarmu disana? Maafkan aku jarang sekali berkunjung kemari untuk menemuimu," Nari mengusap kedua lengannya yang terbalut blazer. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa ada udara dingin yang bertiup. "Tiga tahun lamanya kita tidak bertemu. Banyak hal yang terjadi, bahkan Seoul sudah sedikit berubah dari sebelum aku pergi melanjutkan studi di Amerika," Nari terkekeh kecil saat mengatakannya.

Nari memandangi pas foto kelulusan SMA Myunghee yang terpajang. Bagai terhipnotis, Nari membalas senyum hangat sahabatnya yang amat ia rindukan. Setetes air mata mengalir di pipi. Nari buru-buru mengusapnya.

"Maafkan aku, aku masih saja cengeng seperti dulu," kata Nari sambil terkekeh pelan. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Kau dulu selalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja ketika aku menangis. Tapi nyatanya tidak. Aku sekarang sedang tidak baik-baik saja."

"Aku sangat merindukanmu. Sangat sangat sangat merindukanmu," kata Nari tergagap. Ia berusaha menahan tangisnya. "Kau percaya padaku kalau aku tidak akan berkhianat padamu, kan? Kita selalu bersama, itu katamu dulu. Dimana pun kini kau berada, aku selalu mengharapkan kebahagiaan untukmu. Kau berhak bahagia."

"Myunghee-ya," panggil Nari lagi setelah terdiam beberapa lama. "Aku kesini tidak sendiri. Aku membawa orang yang selalu kau kagumi. Aku yakin, dari atas sana kau pasti tahu bagaimana kabarnya kini. Karirnya sukses, sebagian besar itu karena bantuanmu. Aku ingat bagaimana dulu kau mati-matian menyemangatinya yang lelah karena selalu saja berlatih hampir 18 jam sehari."

Nari tersenyum kecil. Pikirannya terlempar ke beberapa tahun lalu. "Walaupun umurnya sudah bertambah, dia tetaplah seorang Jeonghan yang kita kenal. Dia masih saja kekanak-kanakan. Sejauh ini hanya kau yang tahan menghadapi sikap jeleknya jika sedang bad mood. Ah, mengesalkan. Mengapa aku jadi menangis lagi saat membicarakannya," Nari terkekeh kecil. Ia kembali mengusap air matanya yang kembali jatuh.

Nari menarik napas panjang. "Myunghee-ya... Jeonghan sepertinya masih belum bisa melepaskanmu. Di luar dia memang terlihat baik-baik saja, tapi aku yakin hatinya masih rapuh. Ia terlihat sangat menyedihkan jika harus kembali mengingat masa-masa itu," Nari terdiam sejenak. "Bahkan saat ia melihatku, sepertinya ia kembali teringat dengan dirimu. Kalau begitu, kehadiranku di hidupnya hanya akan membuat dirinya makin terbebani. Bagaimana aku bisa menepati janjiku padamu kalau begitu?" Nari tersenyum miris.

"Bisakah kau bantu aku? Tolong buat cowok itu menjadi lebih bahagia. Aku benar-benar mengharapkan kebahagiaan kalian berdua," tambah Nari sambil tersenyum memandangi foto Myunghee. "Kalian berdua orang yang sangat berarti di hidupku. Aku sudah melepaskanmu agar kau bahagia. Jika aku melepaskan Jeonghan juga dan dapat membuat ia senang, maka aku akan melakukannya. Maafkan aku karena tidak bisa menjaganya untukmu," Nari menunduk. Ia memandangi ujung-ujung sepatunya. "Kau tahu? Cinta tidak akan bisa dipaksakan. Ia mencintaimu, Myunghee-ya."

"Ah, aku ngomong apa sih," Nari menepuk dahinya sendiri. "Aku justru menambah bebanmu dengan mendengarkan curhatanku."

Nari memandangi foto Myunghee cukup lama. Terasa angin dingin meniup anak rambut di sekitar telinganya. Nari terkesiap. Ia melihat ke arah jam di pergelangan tangannya.

"Jeonghan sudah menunggu cukup lama untuk dapat bertemu denganmu. Aku janji akan lebih sering mengunjungimu, terlebih sekarang aku sudah kembali ke Korea," ucap Nari lagi. "Jaga dirimu baik-baik disana, uri Myunghee. Aku juga akan menjaga diriku sebaik mungkin. Sampai jumpa."

Nari merapikan buket bunga yang ia tempelkan agar tidak jatuh. Gadis itu memandangi foto mereka bertiga saat kelulusan SMA untuk terakhir kali. Ia kemudian membalikkan badannya dan berlalu keluar ruangan. Dalam perjalanannya ia mengetikkan pesan singkat pada Jeonghan.

---

Nari menyesap kopi kalengan yang ia beli di vending machine. Sudah hampir satu jam ia menunggu Jeonghan keluar dari gedung putih di hadapannya. Nari merapatkan blazer yang ia kenakan. Gadis itu menyesal karena lupa membawa coat-nya. Malam ini udara di taman terasa sangat berangin.

Saat sedang asyik memandangi daun-daun yang berguguran di bawah kakinya, Nari merasa kedua bahunya tiba-tiba berat. Ia menoleh ke belakang. Dilihatnya Jeonghan sedang menyampirkan jaket di bahu Nari. Pria itu tanpa banyak omong duduk di samping Nari.

"Mengapa kau menolak untuk menunggu di dalam mobil?" tanya Jeonghan.

Nari meringis. Setelah selesai dari mengunjungi Myunghee, ia mengirimi Jeonghan pesan bahwa ia akan menunggu di kursi taman. Nari tidak berani langsung kembali masuk ke mobil dengan kedua mata yang bengkak karena terus-terusan menangis. Bisa-bisa Nari malah membuat Jeonghan khawatir. Karenanya, Nari lebih memilih untuk duduk di taman yang dingin walaupun ia tidak membawa coat-nya.

"Aku sedang butuh udara segar," jawab Nari berkilah.

"Kau tidak sadar kalau bahumu bergetar karena menahan dingin? Ini sudah hampir masuk musim gugur," kata Jeonghan lagi.

Nari tertegun. Akhirnya Jeonghan mengajaknya bicara dengan lebih santai. Nari segera mengalihkan tatapan ketika Jeonghan menoleh ke arah dirinya.

Nari mengeluarkan satu kaleng kopi dari tas. Gadis itu menyorongkannya ke arah Jeonghan.

"Minumlah," Jeonghan menurut. Ia menerima dan langsung meminumnya.

Tak ada kata-kata yang terucap di antara mereka. Nari memandangi dedaunan yang masih tersisa di ranting-ranting pohon di atas kepalanya. Jeonghan sendiri memain-mainkan kaleng kopinya di tangan.

"Besok aku sudah kembali bekerja lagi. Kami akan melakukan promosi album baru di Jepang," kata Jeonghan tanpa melihat ke arah Nari.

Nari menaikkan alisnya. Ia sudah tahu tentang jadwal Jeonghan. Dari siapa lagi kalau bukan dari Tante Yoon?

Nari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Semoga sukses. Aku juga akan sangat sibuk dengan kasus kali ini. Investigasi berlangsung tidak semudah kasus biasa."

Jeonghan menatap ke arah Nari yang asyik memainkan dedaunan jatuh dengan ujung sepatunya. "Walaupun sibuk, jangan sampai melupakan payung dan coat-mu. Kau benar-benar sangat ceroboh."

Nari tertawa kecil menyadari keteledorannya. Sudah dari dulu ia sering kali meninggalkan barang-barang miliknya jika sudah fokus pada suatu pekerjaan. "Akan aku usahakan."

"Mengenai ucapan orangtuaku semalam tentang 'itu'," kalimat Jeonghan mengambang. Pria itu menatap kedua mata Nari. Tanpa bicara pun, Nari tahu apa yang dimaksud oleh pria di sampingnya kini. "Jangan kau ambil pusing. Eomma bilang, agar kita segera berbaikan. Sebaiknya kau segera mencari pria yang pantas untuk menjadi suamimu. Orang tua zaman sekarang memang tidak sabaran untuk menimang cucu."

Nari tidak berani membalas tatapan mata Jeonghan. Ia memaksakan diri agar senyumnya tidak terlihat aneh di mata pria itu. "Kalau itu... aku tidak tahu."

Jeonghan mengangguk-angguk kecil. "Kita tidak bisa membahagiakan semua orang, pasti ada seseorang yang berkorban di balik sebuah kebahagiaan," Jeonghan tersenyum. "Maaf telah membuatmu tidak nyaman karena permintaan konyol orangtuaku. Tidak perlu dipikirkan. Aku juga tidak pernah berpikir untuk menikah denganmu."

Nari tertawa canggung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku juga. Mana mungkin aku mau menikah dengan orang yang hanya bisa membuatku repot."

Jeonghan tertawa lepas mendengar balasan Nari. Sejak bertemu tempo hari, baru kali ini Nari melihat tawa Jeonghan yang seperti itu. Mungkin terakhir kali ia melihat adalah tiga tahun, sebelum kecelakaan itu terjadi.

Jeonghan bangkit dari duduknya. "Ayo aku antar kau pulang. Hari sudah semakin malam."

Nari mengangguk. Gadis itu mengekori Jeonghan kembali berjalan menuju mobil. Pikiran Nari sungguh kalut. Ia terbayang-bayang ucapan Jeonghan barusan.

Kita tidak bisa membahagiakan semua orang. Nari menghela napas panjang tanpa kentara. Mungkin kali ini ia harus kembali mengorbankan perasaannya sendiri.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top