Part 1
"Aku pulang," teriak Jeonghan dari pintu depan. Ia melepas sepatunya dan berjalan masuk ke ruang tengah yang tampak sepi.
Dengan asal pria itu melempar tas ranselnya ke atas sofa. Ia kemudian berlalu menuju dapur. Jeonghan membuka pintu kulkas dan meraih satu botol air dingin. Tanpa banyak pikir, ia langsung meneguk isinya tanpa sisa. Udara siang musim panas membuat dirinya terus merasa haus.
"Wa!" teriak Jeonghan kaget ketika mendapati sang adik sudah berdiri tepat di sampingnya saat ia kembali menutup pintu lemari pendingin. "Kau sengaja ingin membuatku kaget, ya?!"
Yoon Jaerim tertawa kecil karena berhasil mengejutkan sang kakak. Dengan santai ia meraih sebotol jus jeruk dari dalam kulkas dan berlalu begitu saja menuju ruang tengah. Jeonghan mengikuti langkah adiknya dan ikut menjatuhkan tubuh di atas sofa.
"Kau tidak mau menyapaku? Jarang-jarang kan aku pulang ke rumah seperti sekarang?" tanya Jeonghan setengah merajuk.
"Jarang apanya? Dalam seminggu ini Oppa sudah empat kali pulang ke rumah, bukan ke dorm seperti biasa," cemooh Jaerim. Sebelah tangannya yang tidak memegang botol jus meraih remote TV dan menyalakannya.
"Jadi kau tidak senang kalau aku pulang seperti sekarang?"
Jaerim melirik sekilas ke arah sang kakak. "Tidak. Oppa pasti akan selalu menggangguku."
"Ya! Yoon Jaerim!" dengan gemas Jeonghan mengacak-acak rambut adiknya. Jaerim meronta-ronta minta dilepaskan, namun Jeonghan tidak berniat menghentikan kejahilannya walaupun sebentar.
Apa yang dikatakan Jaerim memang benar. Saat awal-awal sang kakak debut bersama Seventeen, Jaerim sering kali merasa kesepian. Sepulang sekolah tidak ada orang yang menunggunya di rumah untuk mengganggunya. Namun, lambat laun gadis itu makin terbiasa. Ia sedikit bersyukur karena tidak ada orang yang akan mencuri es krim miliknya lagi dari dalam kulkas. Jadwal Jeonghan yang makin sibuk membuat pria itu makin jarang pulang walaupun jarak dari dorm ke rumah tidak terlalu jauh.
"Kalian ini selalu bertengkar kalau sedang bersama ya."
Jeonghan dan Jaerim terdiam dan memandang ke arah sumber suara secara bersamaan. Kesempatan itu digunakan sang adik untuk kabur dan bersembunyi di balik punggung sang ibu yang baru pulang dengan tas belanjaan di tangan kanannya. Jaerim menjulurkan lidahnya keluar, mengejek sang kakak yang tidak bisa berkutik jika sudah ada orang tua mereka.
Jeonghan berdiri dan memeluk sang ibunda dengan hangat. Jeonghan menyapa ibunya dengan sebuah kecupan ringan di pipi. Pria itu langsung mengambil alih barang-barang belanjaan dari tangan ibu dan membawanya ke dapur.
"Jaerim bilang aku hanya akan menyusahkannya jika pulang ke rumah," adu Jeonghan seperti anak kecil.
"Kalian ini, berhentilah bertengkar. Kalian kan sudah dewasa semua," jawab Ibu menanggapi.
"Kakak yang tidak pernah dewasa. Dia selalu menggangguku jika di rumah," seru Jaerim tak mau kalah.
"Kau juga sering mengeluh kesepian karena oppa-mu tidak ada di rumah kan?" goda sang ibu menengahi.
"Benarkah, eomma? Jaerim merindukanku? Uuuhh uri aegi, Jaerim-ie..." kata Jeonghan sambil kembali mengunci sang adik di dalam pelukannya.
Jaerim meronta minta dilepaskan. "Aku kan bilang suasana rumah jadi sepi, bukan berarti aku kangen pada kakak," ucap Jaerim membela diri. "Oppa, lepaskan! Atau aku upload video memalukan oppa saat sedang berlibur ke Jepang kemarin!" ancam Jaerim.
"Eomma, Jaerim mengancamku," ucap Jeonghan manja sambil bergelayut manja pada sebelah lengan ibu. Ia sudah melepaskan Jaerim.
"Kalau tidak ada yang mau membantu eomma memasak lebih baik kalian berdua pergi dari dapur," ucap ibu kesal akan kelakuan putra-putrinya yang tidak pernah akur saat bersama.
"Nde," ucap Jeonghan dan Jaerim serempak.
Keduanya pergi meninggalkan sang eomma keluar dari dapur. Walaupun tanpa suara, mereka berdua saling mengejek dan menyalahkan satu sama lain. Saat sudah kembali berada di ruang tengah, Jeonghan mengacak rambut adiknya cepat dan segera melaju masuk menuju kamarnya sebelum sang adik bisa protes.
"OPPA!" teriak Jaerim gemas.
---
Jeonghan menghampiri Jaerim yang sedang duduk di sofa dengan handphone bersarang di tangannya. Pria itu mengganti saluran TV yang sejak tadi dibiarkan menyala tanpa ada yang menonton. Karena kesal tidak ada acara yang menurutnya menarik, Jeonghan kembali meletakkan remote TV kembali ke tempat asalnya. Ia kini berusaha mengintip layar ponsel adiknya.
"Oppa? Kau ini sedang chat sama siapa sih?" tanya Jeonghan penuh ingin tahu.
Jaerim segera menyembunyikan ponsel di balik punggungnya. Ia memandang Jeonghan dengan tatapan tak suka. "Dasar tukang intip!" seru Jaerim kesal karena privasinya sudah terusik.
"Kau hanya boleh memanggil oppa padaku, mengerti?" balas Jeonghan protektif tanpa mempedulikan adiknya yang kesal.
"Terserah aku dong," balas Jaerim tidak mau kalah. Ia menyimpan ponselnya di saku sweater dan berlalu ke arah meja makan.
"Ya! Yoon Jaerim!" panggil Jeonghan pada adiknya. "Aku kan hanya memperingatkanmu bahwa tidak semua laki-laki bisa kau percayai begitu saja." Jeonghan mengikuti langkah kaki Jaerim dan mendaratkan dirinya di kursi samping gadis itu yang sudah duduk menghadap makanan. "Kalau kau sedang dekat dengan seorang pria, kau harus mengenalkannya dulu padaku, okay?"
Ibu datang untuk meletakkan mangkuk berisi nasi ke atas meja. "Biarkan saja Jaerim berteman dengan banyak orang asalkan dia benar-benar bisa menjaga diri," sahut Ibu ikut menimpali.
"Bahkan Appa tidak sekaku kakak," ucap Jaerim lagi. Kini ia meminta dukungan dari ayahnya yang sedari tadi hanya diam sembari membaca buku.
Sang ayah menurunkan bukunya dan melepaskan kacamata. Ia melihat kedua anaknya yang sedang menunggu tanggapan darinya. Ia berdeham kecil sebelum membuka suara.
"Asalkan berteman dengan orang yang jelas, Ayah tidak masalah."
Jaerim bersorak senang karena ia mendapatkan dukungan dari kedua orang tuanya. Sebaliknya, Jeonghan cemberut karena sang adik tidak menuruti perkataannya.
Bel rumah berbunyi nyaring. Ibu menyuruh Jeonghan untuk membukakan pintu karena Areum akan datang untuk makan malam bersama mereka. Jeonghan menurut. Sebelum bangkit dari duduknya, pria itu kembali mengacak-acak rambut sang adik. Jaerim yang sedang kegirangan karena mendapatkan kemenangan akhirnya berhenti bersorak dan melemparkan tatapan mematikan ke arah Jeonghan. Sang kakak hanya melengos dan melangkah pergi.
Tak lama kemudian, Areum, sepupu Jeonghan sudah ikut bergabung di ruang makan yang menyatu langsung dengan dapur. Gadis itu menyalami kedua orang tua Jeonghan dan Jaerim sebelum berlalu ikut bantu menyiapkan hidangan makan malam.
"Tuh, anak perempuan seharusnya ikut membantu eomma bekerja di dapur seperti Areum," sindir Jeonghan pada adiknya yang kembali asyik berselancar internet menggunakan ponselnya.
"Aku sudah biasa membantu eomma. Seharusnya karena kakak sedang ada di rumah, kakak yang ambil alih pekerjaanku," balas Jaerim.
"Sudah sudah sudah," ucapan Ibu menghentikan pertikaian keduanya. "Eomma bisa migrain karena kalian berdua selalu berdebat seperti ini." Ibu duduk di kursi yang berhadapan dengan Jeonghan dan menoleh memanggil Areum yang masih sibuk menyiapkan banchan. "Areum, ayo kita makan bersama."
Acara makan malam berlangsung dengan tenang. Jeonghan dan Jaerim terlalu fokus dengan masakan sang ibu hingga tidak sempat untuk kembali bertengkar. Sesekali Ayah menanyakan perihal sekolah dan pekerjaan Jeonghan, Jaerim, maupun Areum.
Setelah makan malam selesai, mereka masih duduk-duduk di ruang makan untuk sekadar mengobrol. Keluarga itu sibuk menanyakan kabar Areum yang kini sudah menjadi penulis naskah drama. Gadis itu sedang sibuk mengurus satu projek bersama dengan seorang sutradara ternama. Dari membahas masalah pekerjaan, kini ibu mulai menanyai perkembangan hubungan Areum dengan cowok yang sedang dekat dengannya sekarang.
"Jadi, siapa yang akan eonni pilih? Hyunbin oppa atau Wonwoo oppa?" tanya Jaerim penuh rasa ingin tahu.
Jeonghan berdeham kecil. Hal itu membuat perhatian semua orang terarah padanya. "Wah, sepertinya Areum masih belum memutuskan. Iya kan?"
Areum memandang ke arah kakak sepupunya sejenak sebelum tersenyum dan mengangguk mengiyakan. "Ya. Aku sedang terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tidak berpikir ke arah sana."
"Ah, tidak seru," erang Jaerim kesal. Punggungnya kembali melorot di sandaran kursi.
Jeonghan menjitak kepala adik satu-satunya itu. "Kau ini hanya memikirkan masalah cowok ya? Belajar saja yang benar!"
"Ya!" protes Jaerim sambil mengusap kepalanya yang sakit. "Kakak saja yang terlalu kolot. Sampai kapan kakak akan terus sendiri dan tidak mau dekat dengan wanita manapun?"
Jeonghan hanya diam. Ia tidak berniat membalas ucapan sang adik yang memang ada benarnya itu. Mengetahui kondisi hati anaknya yang tiba-tiba kelabu, sang ibu bangkit berdiri dari duduknya dan berlalu ke arah dapur.
"Eomma akan siapkan makanan penutup."
"Wah, tumben sekali," seru Jaerim senang. Ia ikut mengekori sang ibu mengambil puding dingin dari dalam kulkas dan menyiapkannya di atas piring.
Areum dan Ayah hanya saling tatap dalam diam. Ayah kemudian mulai menanyakan tentang pekerjaan Jeonghan yang sedang sibuk menyiapkan comeback mereka dua bulan lagi. Jeonghan menanggapi pertanyaan ayahnya. Dalam hati Areum sedikit bersyukur karena suasana dingin kembali mencair berkat Ayah Jeonghan yang mampu menyetir pembicaraan ke arah lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top