3

Hyesung berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah ringan. Pagi ini jadwal jaganya berakhir. Namun, gadis itu belum mengganti seragam kerjanya dengan pakaian bebas. Ia masih ada janji khusus dengan seseorang.

Hyesung menyapa perawat yang berada di depan poli kandungan. Ia terlihat bercakap-cakap sebentar. Tak lama kemudian, perawat itu mengajaknya masuk ke salah satu ruang poli kandungan setelah seorang pasien keluar dari sana bersama suaminya.

"Selamat pagi, Dokter Lee!" sapa Hyesung riang. Gadis itu menganggukkan kepalanya sedikit sembari berterimakasih pada perawat yang mengantarnya. Hyesung menarik salah satu kursi di depan meja Dokter Lee begitu perawat tadi pergi meninggalkan ruangan.

"Hmmm, kau pasti ingin minta sesuatu lagi padaku," tebak dokter kandungan itu. Ia melirik sekilas ke arah Hyesung sebelum pandangannya kembali beralih pada layar komputernya. "Cepat katakan, pasienku masih banyak."

Hyesung memain-mainkan kalender di atas meja dengan sebelah tangannya. "Dokter Lee, kau bisa menjaga rahasia kan?"

Dokter Lee mengernyitkan dahinya. Seketika ia tersadar. "Ya ampun. Apa ada pasien penting lagi?"

Hyesung tertawa kecil. Saat tempo hari istri Jeonghan memiliki masalah selama kehamilannya, Hyesung pun meminta bantuan Dokter Lee ini. Tentu saja dokter pria yang kini berada di hadapannya dapat menebak dengan benar maksud dari pertanyaannya. Pasien dengan identitas kerahasiaan tinggi.

"Tidak terlalu genting dari kemarin, sih. Setidaknya wanita ini bukan anak pejabat penting negara," ucap Hyesung terdengar hiperbolis. Gadis itu menegakkan punggungnya. "Tapi tetap saja, ada beberapa hal yang bahkan kau tidak boleh membocorkan informasinya. Terlebih pada perawat dan bidan."

"Kalau begitu...," dokter Lee mencondongkan tubuhnya. Ia terlihat tertarik. "Apa ada aib khusus? Pacar gelap seseorang yang terkenal, misalnya?"

Hyesung memutar kedua matanya. "Dasar pria haus gosip," cemoohnya. "Aku harap kau memperlakukannya dengan baik. Dia kenalanku."

"Ya! Kau harus memberiku informasi terkait pasiennya, dokter Han," protes pria itu tak mau kalah. "Aku harus mengenal tiap pasienku dengan baik."

"Dia ini istri dari salah seorang member Seventeen juga," jawab Hyesung terdengar ragu-ragu. Gadis itu cepat memotong sebelum Dokter Lee menyerukan suaranya. "Pernikahannya tidak diketahui publik. Maka dari itu, kau harus diam. Mengerti?"

Dokter Lee menganggukkan kepalanya dengan mulut terbuka. Jadi, kini sudah ada dua anggota boygroup ternama itu yang menikah? Dan keduanya sebentar lagi akan menjadi seorang ayah? Skandal apa lagi yang akan mencuat jika publik tahu?

"Jangan berpikir macam-macam," ucap Hyesung menginterupsi pikiran dokter di depannya. "Kau lakukan saja tugasmu sebagai dokter dengan baik."

"Baik, aku mengerti," jawab Dokter Lee paham.

"Ah, satu lagi," seru Hyesung. "Selama pasien ini memeriksakan kandungannya, aku yang akan menemaninya. Suaminya tidak mungkin terlihat berkeliaran di poli kandungan." Lagi-lagi, Dokter Lee mengangguk.

Hyesung tersenyum. Gadis itu bangkit dari kursinya. "Terima kasih atas bantuanmu, dokter. Besok aku akan kembali lagi kesini bersama pasienmu. Selamat bekerja!"

"Dokter Han!" panggilnya sebelum Hyesung membuka pintu. "Kau jangan lupa gunakan pengaman. Bisa-bisa kau yang berikutnya menjadi pasienku. Lalu, ada tiga member Seventeen yang menjadi ayah dalam waktu bersamaan."

"Dokter Lee!" pekik Hyesung tak terima. Gadis itu siap melempar benda apa saja yang ada di dekatnya jika ia tidak ingat dirinya adalah seorang dokter. Bukan pasien jiwa. Dokter Lee tertawa puas mendapati reaksi Hyesung.

---

Chan merebahkan tubuhnya yang berpeluh di lantai ruang dance. Seventeen telah melakukan comeback. Walaupun sibuk tampil di berbagai acara musik, ia tidak mungkin absen melatih otot-ototnya. Bahkan selama seminggu ini ia selalu bisa tertidur nyenyak karena badannya yang lelah akibat aktivitas siang hari yang tidak ada hentinya. Mulai dari latihan, fansign, hingga memenuhi tawaran interview atau sebagai bintang iklan.

"Lee Chan," sebuah suara lembut yang amat dikenal Chan terdengar. Pria itu membuka kedua matanya. Chan dengan sigap memasang posisi duduk.

"Ada apa, Noona?" tanya Chan. Senyumannya tak kalah lebar dengan senyum yang diberikan Bora padanya.

Gadis di hadapannya melambai-lambaikan sebuah amplop di depan wajah Chan. Ia terlihat sangat senang. Dengan raut wajah kebingungan, Chan membukanya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya.

"Gestational sack? Intrauterine?" ejanya. Chan melepaskan pandangannya dari kalimat yang tertera pada kertas itu. "Ini bahasa apa sih?"

Bora mencebikkan bibirnya. Gadis itu merebut kertas di tangan Chan dan menggantinya dengan sebuah kertas berwarna hitam. Hasil USG kehamilan Nara.

"Taraaa, aku bawain foto anak kamu nih."

Deg! Tanpa sadar Chan menahan napasnya. Ia diam saja ketika gadis di sampingnya bercerita dengan ceria.

"Kemarin Nara jadi periksa kandungan ditemani Hyesung. Awalnya aku mau ikut, tapi Hyesung melarangku yang akan bolos latihan demi menemaninya," cerita Bora tanpa memperhatikan raut wajah Chan. "Setelah aku pulang, aku mendapatkan ini dari Nara. Keponakanku kembar, Chan!" seru Bora tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia mengguncang-guncangkan bahu Chan dengan heboh.

"Eh, jadi kembar?" tanya Chan yang baru tersadar.

Bora mengangguk. Ia menunjuk-nunjuk bayangan berwarna putih yang ada di kertas hasil USG. "Kau lihat, disini ada dua lingkaran. Kata Hyesung, itu adalah kantung embrionya. Karena ada dua, itu berarti ada dua bayi di dalam sana," jelas Bora mengebu-gebu. "Kau akan menjadi ayah dari si kembar, Chan!"

"Eh, ya...," Chan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Terlebih lagi, yang mengatakan hal tadi adalah gadis yang diam-diam disukainya.

"Kau tidak senang?" tanya Bora heran. "Padahal aku memberi tahu ini duluan padamu karena kau adalah ayahnya."

"Aku hanya kaget," ucap Chan cepat. Ia tidak ingin membuat Bora curiga. "Saking kagetnya aku tidak tahu harus berkata apa."

Bora terkekeh kecil. Gadis itu menggumamkan nada riang sembari mengelus gambar USG yang masih berada di tangannya. Ia terlihat senang sekaligus lega mengetahui kandungan saudara kembarnya baik-baik saja.

"Gomawo, Chan-ah," ucap Bora tiba-tiba. Gadis itu tersenyum manis ke arah Chan. "Terima kasih karena kau mau bertanggung jawab."

"Ehm, yah... itu tugasku," jawab Chan dengan kikuk. Ia enggan menatap mata indah Bora. Ia masih ingat jelas bagaimana raut wajah Bora saat mengamuk tempo hari sembari mengacung-acungkan jari telunjuk padanya. Untunglah keadaan berbalik ketika Chan mengatakan bahwa ia akan bertanggungjawab menikahi saudaranya.

"Aku heran mengapa Nara tidak mau mengadakan upacara pernikahan seperti impiannya," pandangan Bora nyalang ke depan. "Sepertinya ia sudah terlalu lelah dengan kehamilannya hingga tidak mempedulikan acara resepsi. Setiap pagi ia selalu mual hebat, belum lagi ia menjadi mudah lelah dan mengantuk. Aku takut pekerjaannya sebagai guru TK terganggu."

"Segitu parahnya?" tanya Chan.

Bora mengangguk. Gadis itu menyikut pelan lengan Chan yang duduk di sebelahnya. "Besok Seventeen tidak ada jadwal, kan? Malam ini tinggallah bersamanya. Sebagai suaminya, kau seharusnya mulai memperhatikan kebutuhan Nara."

"Kalau aku tinggal di apartemen kalian, bagaimana denganmu?" tanya Chan. Bora dan Nara memang berbagi apartemen selama di Seoul.

"Aku sudah memindahkan sebagian besar barangku ke kamar yang lebih kecil," ucap Bora santai. "Kau bisa tidur bersama Nara di kamar yang besar."

"Uhuk!" Chan tersedak ludahnya sendiri. Refleks, Bora menepuk pelan punggung Chan. "Aigoo, kau sebentar lagi akan menjadi ayah tapi masih belum bisa mengurus diri sendiri. Uri aegi, Dino."

"Ya! Aku bukan anak kecil!" protes Chan tak terima.

Bora tertawa. "Iya, iya. Aku tahu. Kini kau sudah bisa membuat anak kecil."

Chan melemparkan pandangannya ke arah lain. Walaupun gadis yang disukainya tertawa riang, ia tidak suka mendengarnya. Terlebih lagi, Chan yakin dirinya tidak bisa meraih Bora menjadi gadisnya. Ia tidak mampu menerima fakta itu. Kini mereka sudah menjadi saudara ipar.

---

Bugh!

Jeonghan mengibas-ibaskan tangan kanannya yang baru ia gunakan untuk memukul rahang Chan. Pria itu terlihat sangat gusar. Selama hampir sepuluh tahun hidup bersama, baru kali ini Jeonghan melampiaskan rasa marahnya pada maknae Seventeen itu dengan tindak kekerasan.

Chan terduduk di lantai. Sudut bibirnya robek. Perlahan, ia merasakan nyeri berdenyut sekaligus rasa besi di mulutnya. Pria itu tidak melawan. Dirinya memang pantas untuk dipukul.

"Hyung, jangan pukul Chan lagi!" cegah Mingyu sebelum Jeonghan berhasil mendaratkan bogem mentahnya yang kedua.

"Dia harus diberi pelajar agar sadar," kilah Jeonghan. Ia melayangkan pukulannya lagi pada wajah Chan. "Siapa yang mengajarimu berbuat begitu, hah? Begitu mudahnya menyakiti hati wanita!"

Chan diam. Ia merasa bersyukur ada salah satu hyung yang berani menghajarnya. Sedari kemarin Chan terus merasa bersalah karena tidak ada satu pun kakak-kakak yang memarahinya. Ia merasa dirinya justru membawa keretakan dalam Seventeen.

"Hyung!" Mingyu mendorong bahu Jeonghan hingga kedua rekannya itu terpisah. "Ini bukan cara terbaik. Tidak ada gunanya kau menghajar Chan. Sampai dia mati pun, tidak akan ada yang berubah."

Jeonghan membuang napas kesal. Pria itu memilih duduk di sofa ruang tengah asrama Seventeen. "Aku kecewa pada kalian. Mentang-mentang kini aku sudah tinggal di rumah sendiri bersama istriku, kalian menyembunyikan hal sepenting ini hingga seminggu lamanya," keluh Jeonghan. "Berapa usia kandungannya?" kali ini Jeonghan bertanya pada Chan.

Chan mengangkat wajahnya. Pandangannya kembali tertunduk ketika mendapati sorot mata penuh amarah dalam mata hyung-nya.

"Sembilan minggu," cicit Chan nyaris tak terdengar.

"Hanya selisih satu minggu dari usia kehamilan Nari," ucap Jeonghan. Pria itu kemudian tersadar. "Ya! Trimester awal adalah masa-masa kritis kehamilan. Kau harus mengawasi istrimu dengan baik! Mengapa kau masih di asrama dan tidak berkemas untuk tinggal bersamanya?"

Chan masih menunduk. "Aku takut, hyung. Aku tidak tahu apa-apa tentang orang hamil."

Jeonghan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. "Kalau begitu belajarlah bersama dengan istrimu. Kalian akan menjadi orangtua. Setidaknya kau bisa mengawasinya jika terjadi sesuatu dan menghubungi petugas rumah sakit secepatnya," Jeonghan menghentikan ucapannya. "Aku harap kau tidak melakukan hal bodoh dengan membiarkannya seorang diri. Kemarin aku hampir terkena serangan jantung ketika Nari demam dan tiba-tiba pingsan."

Chan terdiam. Ia baru menyadari peran lain yang kini telah diembannya.

"Tadi siang Bora Noona mengatakan padaku untuk menginap di apartemennya," ucap Chan jujur.

"Kalau begitu, bagus kan? Kau jadi bisa bebas berinteraksi dengan Nara tanpa perlu takut ada media yang meliput?" kali ini Mingyu yang angkat bicara. "Ah, atau kau terganggu dengan kehadiran Bora? Aku bisa mengusulkan padanya agar tinggal di dorm bersama member girlgroup-nya yang lain untuk sementara waktu."

"Jangan hyung!" cegah Chan ketika ia melihat Mingyu mengeluarkan ponselnya. "Ehm, kurasa aku butuh bantuan Bora Noona jika terjadi sesuatu hal yang serius. Lagipula jadwal Seventeen sedang padat-padatnya. Bora Noona pasti bisa membantuku mengawasi Nara Noona."

Mingyu dan Jeonghan saling bertukar pandangan. Jeonghan mengangguk. Ia berdiri dari duduknya.

"Kalau begitu, berkemaslah. Aku antar kau ke apartemen Bora dan Nara sembari pulang nanti," ucap Jeonghan final, tak bisa dibantah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top