13
"Noona?" panggil Chan sambil melongok kan kepalanya ke dalam kamar.
"Ah, kau sudah selesai sarapan? Cepat sekali," ucap Nara sembari menoleh ke arah Chan.
Chan melangkahkan kakinya memasuki kamar. Ia menutup pintu di balik punggungnya dengan hati-hati. Pria itu meletakkan segelas susu di atas meja, tepat di hadapan Nara yang masih memandangi deretan hasil USG yang tertempel di dinding meja kerjanya.
"Habiskan dulu susunya, setidaknya beri mereka makan dulu," ucap Chan merujuk pada si kembar di dalam kandungan Nara.
Nara menurut. Ia menghabiskan minuman yang dibawakan oleh Chan itu tanpa banyak protes. Wanita itu meletakkan gelas yang kini sudah tandas isinya di atas meja. Nara kembali sibuk mengamati satu per satu hasil USG tanpa bosan.
"Noona kenapa?" tanya Chan hati-hati.
Nara terkesiap. Tidak mungkin ia secara terang-terangan mengatakan bahwa dirinya cemburu dengan sikap Chan pada saudara kembarnya. Lagipula ia sendiri yang sedari awal mengatakan bahwa ia tidak masalah dengan fakta bahwa Chan menyukai saudaranya, bukan dirinya.
"Aku hanya sedang memikirkan si kembar," jawab Nara sembari tersenyum kecil.
Chan duduk di pinggir kasur, dekat dengan sisi meja kerja Nara. Ia ikut memandangi gambar hitam putih yang tertempel dengan rapi di dinding.
"Aku yakin mereka akan menjadi anak-anak yang kuat," ucap Chan. "Seperti ibunya." Hati Nara mencelos. Ia melihat senyuman tulus di wajah tampan Chan. "Noona, jangan memikirkan semuanya sendirian. Kau tidak perlu merisaukan sesuatu yang belum pasti. Ada aku disini."
"Tapi kita sudah pasti akan berpisah setelah anak ini lahir," ucap Nara lirih. Kepalanya tertunduk.
Chan terdiam. Ia bahkan lupa dengan perjanjian yang dulu mereka buat diawal pernikahan. Chan merasa dirinya sangat bejat. Bisa-bisanya ia tidak memikirkan bagaimana susahnya merawat dua orang bayi seorang diri. Pasti Nara pusing memikirkan hal itu. Namun, di sisi lain, Chan pun sesungguhnya masih belum siap untuk menjadi seorang ayah. Yah, walaupun ia kini sudah menerima kehadiran si kembar.
"Aku... Aku pasti akan membantu Noona," ucap Chan. Ia sendiri pun tidak yakin dengan ucapannya.
"Jangan memaksakan diri," balas Nara. "Maafkan aku selama ini sudah merepotkanmu. Padahal dari awal aku sudah berjanji tidak akan meminta apapun lagi darimu."
"Aku tidak merasa repot," balas Chan cepat. Ia meringis ketika mendapat tatapan menghina Nara. "Hehe. Sedikit. Tapi itu tidak terlalu menggangguku, aku serius. Aku justru senang dapat mengurus Noona."
"Benarkah?" tanya Nara.
Chan mengangguk tanpa ragu. Entah mengapa ia sendiri juga merasa baik-baik saja dengan permintaan Nara sejauh ini. Chan justru merasa bahwa inilah kesempatan baginya untuk lebih mengenal Nara. Seperti apa yang tadi sudah dideskripsikan Bora. Kepribadian Nara memang susah ditebak. Misterius. Dan hal itu membuat Chan penasaran.
"Terima kasih," balas Nara sembari tersenyum manis. Chan balas tersenyum. Entah sejak kapan Chan jadi sangat menyukai senyum itu.
"Noona, kau butuh pelukan?" tawar Chan. Pria itu kikuk ketika hanya mendapat tatapan kebingungan dari Nara. "Yah, kalau Noona tidak bisa menceritakan isi hati Noona yang sebenarnya, paling tidak aku bisa memberikan pelukan dan tepukan di punggung. Mungkin bisa sedikit mengangkat kegundahan hati Noona."
Nara terdiam. Chan tahu bahwa ada hal yang sedang ia sembunyikan. Wanita itu beranjak dari kursinya dan duduk di samping Chan.
"Bolehkah?" tanya Nara bimbang.
Chan mengangguk. Tanpa banyak tanya, pria itu menarik Nara masuk ke dalam rengkuhan kedua lengannya. Kalau tidak ia yang melakukannya duluan, pasti Nara tidak akan bergerak. Wanita itu terlalu gengsi dan malu-malu. Padahal Chan sudah menawarkan diri.
Nara menyandarkan kepalanya di bahu Chan. Ia tidak menyadari bahwa pelukan pria ini begitu hangat dan menenangkan. Nara jadi merasa terlindungi.
Bora mengintip dari celah pintu. Ia tersenyum ketika melihat saudaranya itu tengah berada di pelukan Chan. Hati-hati, Bora menutup pintu kamar itu kembali.
"Bagaimana?" tanya Mingyu.
"Aman," jawab Bora sambil tersenyum lebar.
Untunglah. Ia tidak mendengar percakapan Nara-Chan dari awal. Kalau iya, pasti Bora sudah akan mengamuk kembali dan kali ini tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa sang kakak ipar.
---
Setelah melewati adegan melow, akhirnya Nara mengajak Chan keluar dari kamar untuk bergabung dengan Bora dan Mingyu. Sejujurnya ia sedikit merasa bersalah dan tak sopan karena meninggalkan mereka di tengah acara sarapan pagi bersama. Setelah dipikir-pikir, Nara pun bingung mengapa ia berani melakukan hal itu. Kalau dulu, pasti Nara lebih memilih diam saja dan melanjutkan makan seperti tidak ada apa-apa.
"Hai!" sapa Mingyu ketika melihat Nara berjalan ke arahnya. "Sudah enakan? Mau melanjutkan makannya yang tadi?"
Nara meringis. Ia mengangguk kecil. Sesungguhnya segelas susu yang tadi dibawakan oleh Chan tidak dapat menghilangkan genderang perang yang terus berbunyi di dalam perutnya.
"Akan aku siapkan lagi," kata Chan. Pria itu dengan sigap berjalan ke arah dapur.
"Sekalian temani makan, Chan!" ucap Bora sedikit meninggikan volume suaranya agar pria itu mendengar. Ia sendiri masih menatap layar televisi dengan mata tidak berkedip.
"Kalian benar-benar sudah selesai makan?" tanya Nara.
"Sudah. Bora ingin cepat-cepat selesai makan karena tidak ingin melewatkan drama yang diperankan oleh Song Jong Ki," keluh Mingyu. "Padahal dia sudah punya orang yang lebih tampan dari aktor itu disini."
Nara tertawa lepas ketika ucapan Mingyu tidak mendapat tanggapan sedikit pun dari Bora. Mingyu hanya dapat mengerucutkan bibirnya tanda protes. Tapi gadis di sebelahnya bahkan terlalu fokus dengan layar televisi.
"Percuma saja kau mengajaknya bicara jika Bora sedang dalam mode fangirling," ucap Nara. "Ikut saja makan bersamaku lagi."
"Aku harus mengatur makanku," keluh Mingyu. "Perutku kembali buncit, padahal perut Chan sudah terbentuk." Mingyu melirik sekilas kearah Chan yang tampak sibuk sendiri di dapur sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Kau sudah lihat badannya kan? Aku iri sekali pada maknae grup itu. Aw!" teriak Mingyu ketika mendapat cubitan di pinggangnya dari Bora.
"Jangan racuni pikiran saudaraku," ancam Bora.
"Ugh, tadi saja kuajak bicara kau terus melihat kesana. Ketika aku bicara dengan Nara, kau malah ikut campur. Aduh, aduh. Iya ampun!"
Nara hanya geleng-geleng kepala melihat pertengkaran kecil antar sepasang kekasih itu. Ia meninggalkan Mingyu yang berusaha melindungi wajahnya dari tamparan bantal Bora. Paling mereka hanya bermain-main. Lihat saja nanti. Lima menit kemudian pasti akan kembali saling bermanja-manja.
"Sudah. Noona mau makan pakai apa?" tanya Chan yang telah selesai menata meja makan.
"Semuanya," jawab Nara begitu melihat hidangan yang ada. "Ah, tidak-tidak. Aku mau makan pakai cumi dulu, habis itu telur, terus tahu..."
Chan tertawa kecil melihat kelakuan Nara yang menggemaskan. Ia memegang kedua bahu Nara dari belakang dan mengarahkan wanita itu agar duduk. Ia sendiri memilih duduk di hadapan Nara.
"Makan saja semuanya," kata Chan. "Tidak ada yang melarangmu untuk menghabiskan ini semua."
Nara tersipu malu. Selama ini Chan adalah saksi mata dari kerakusannya saat makan. Karena malu, Nara bahkan mengambinghitamkan kehamilannya sebagai penyebab nafsu makannya yang meningkat. Chan bahkan sudah hapal dengan alasan itu.
"Kau tidak makan?"
Oh tidak lagi! Chan menggeleng kuat. Ia harus menjaga berat badannya. Sedari kemarin ia memaksakan diri untuk selalu ikut makan jika Nara meminta. Alhasil, ia harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan olahraga dan berlatih demi mengurangi lemak di tubuhnya.
"Aku temani makan apel saja ya," ucap Chan akhirnya karena tidak tega melihat wajah memelas Nara.
"Okay!" ucap Nara dengan wajah berseri. Diam-diam Chan menghela napas lega. Untung saja Nara tidak memaksanya dan juga tidak ngambek seperti semalam.
Ternyata benar apa yang orang-orang katakan. Ketika sang istri sedang mengandung, perut suaminya juga bisa ikut membesar. Ya, karena jadi ikut banyak makan tentunya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top