Well Said

Tanaka Midori

Aku menunggu hingga pria di sampingku menghabiskan makanannya. Sebenarnya aku tidak terlalu kesal ketika ia meminta bantuan padaku tadi. Seharian ini ia sudah bersikap baik padaku. Hanya mengantri seperti itu sih, bukan masalah.

Namun, sepertinya perlakuanku tadi membuat Soonyoung merasa sangat bersalah. Ia hanya fokus pada makanannya saja. Tidak se-playfull sebelumnya.

Kalau dilihat-lihat, Soonyoung tidak marah ketika aku tanpa sadar tidur bersandar di bahunya. Pasti pegal sekali. Ia bahkan baru berani membangunkanku setelah mendapat telepon dari kakaknya.

Lagian kenapa aku bisa ketiduran sih? Sungguh memalukan.

Aku melirik Soonyoung yang makan dalam diam. Tidak bersuara sedikitpun. Bahkan tanpa jeda ia selalu memasukkan potongan-potongan makanan ke dalam mulutnya. Jujur saja, ini pertama kalinya aku melihat Soonyoung makan sebrutal itu. Dulu sih, dia selalu diet ini lah itu lah.

"Pelan-pelan saja makannya," ucapku mengingatkan Soonyoung.

Pria itu menggeleng. Ia memasukkan potongan terakhir ke dalam mulutnya. Aku tertawa kecil. Wajah tampan disertai mulut penuh berisi makanan, dasar hamster.

"Aku tidak mau membuatmu menunggu lama," kata Soonyoung setelah berhasil menelan kunyahan di mulutnya. Ia menenggak isi botol air mineral yang aku berikan padanya hingga tandas.

"Nah, sekarang kita mau kemana lagi?" tanyaku saat ia kembali dari membuang sampah.

"Bagaimana kalau kafe?" usulnya. "Sebelum aku kembali ke Tokyo besok pagi, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu hari ini."

Aku tersenyum. Jujur saja, ia terdengar bersungguh-sungguh dengan ucapannya barusan. Aku mengangguk kecil menyetujui.

---

Kwon Soonyoung

"Kau mau apa?" tanyaku pada Midori

"Ice Americano saja," jawabnya cepat. Gadis di sampingku ini memang tidak pernah kesulitan dalam memilih menu.

"Ice Americano dua," pintaku pada pelayan.

"Biar aku yang bayar," katanya sambil mengeluarkan dompet. "Kau sudah banyak mengeluarkan uang hari ini."

"Aku saja," ucapku sambil menyerahkan kartu pada petugas. "On my treat. Anggap saja karena aku sedang berulang tahun hari ini."

Midori menatapku dalam-dalam. Ia kemudian mengangguk kecil dan tidak memaksa lagi.

Tidak sampai lima menit, pesanan kami jadi. Aku dan Midori memilih sebuah kursi yang berada di pojok ruangan.

Aku bersenandung senang ketika salah satu lagu Seventeen diputar di kafe ini. Midori ikut bernyanyi kecil. Kami saling tatap, kemudian tertawa bersama.

Aku senang sekali hari ini. Rasanya ingin kuhentikan waktu yang terus berjalan. Bertemu kembali dengan Midori setelah sekian lama, jalan-jalan bersama, berbicara tentang banyak hal. Dulu saat masih bersama, kami lebih banyak menghabiskan waktu kencan di dalam ruangan. Jalan-jalan di luar seperti ini ternyata lebih menyenangkan. Masa bodoh dengan para fans. Ini saatnya seorang Hoshi mengeluarkan kabar kencan pada publik!

"Besok kau kembali ke Tokyo? Pekerjaan?" tanya Midori membuka percakapan.

"Seventeen mengadakan fan meeting. Walaupun sekarang kami tidak sesering dulu mengadakan promosi di Jepang, agensi selalu mengadakan acara fan meeting tiap musim panas disini," ucapku menerangkan. "Kau masih mengikuti kabar kegiatan kami?" lanjutku penasaran.

Midori meringis. "Kadang-kadang saja. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sekarang."

Aku tersenyum. "Kau tampak senang dengan hidupmu saat ini."

"Tentu saja," jawab Midori cepat. "Semua terasa sempurna. Aku memiliki pekerjaan yang aku suka, keluargaku mendukung kegiatanku, adik-adikku lancar dalam studinya. Tidak ada kesulitan bermakna yang saat ini kami hadapi."

"Bagaimana dengan kekasih?" tanyaku penasaran.

Midori terdiam beberapa saat. Ia menyelami pikiranku melalui pandangan mata. Sejauh ini, seharusnya ia tahu kan kalau aku masih menyimpan perasaan untuknya.

"Aku sedang menunggu seseorang," jawabnya mantap sambil tersenyum getir. Ia menoleh ke arah lain. "Wah, sekarang lagu SHINee yang diputar."

Jelas sekali ia sedang menghindari topik ini. Aku tidak mau membuang waktu lagi. Kalau tidak bertanya sekarang, entah kapan aku bisa bertemu lagi dengan gadis ini.

"Apa aku boleh berharap?" tanyaku. Midori mematung. Ia kembali menatap wajahku.

"Maksudmu?" Midori bertanya balik sambil menelengkan kepalanya.

Aku berdeham kecil. Rasanya aku sangat gugup kini. Lebih gugup daripada dulu ketika menyatakan perasaan padanya pertama kali saat di stasiun subway.

"Aku tahu, dulu aku pernah menyakitimu. Aku tidak pantas untuk berharap lebih bahwa kau masih mau menungguku," ucapku sambil menatap padanya tanpa gentar. "Aku tahu aku sungguh tidak tahu diri kalau menginginkan dirimu untuk menerimaku lagi. Tapi aku tidak akan berhenti sebelum mencoba."

Midori diam saja. Tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Namun aku tahu bahwa dia terkejut dengan apa yang aku katakan.

Aku berdeham lagi. Mengumpulkan keberanian. Aku menarik tangan kananku yang sedari tadi berada di dalam saku jeans. Kukeluarkan kotak beludru berwarna merah maroon berisi cincin yang tadi kubeli dengan sangat terburu-buru.

"Midori, maukah kau menikah denganku?" ucapku lancar. "Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu hanya untuk memintamu menjadi kekasihku. Jadilah ratu dalam hidupku, Tanaka Midori."

Gadis di hadapannya tampak terkejut. Kini ia tidak dapat menahan perasaannya untuk diri sendiri.

Aku menunggu dalam diam. Jantungku berdegup tak karuan. Aku tidak bisa memprediksi apa yang akan dikatakan Midori mengenai tawaranku.

Hening selama beberapa saat, tiba-tiba Midori tertawa kecil. Ia terus tertawa sampai mengeluarkan air mata. Aku yang melihatnya menjadi tidak mengerti. Apa aku terlihat seperti bercanda saat ini?

---

Tanaka Midori

Aku dan Soonyoung berjalan bersisian. Ia bersikeras ingin mengantarku sampai rumah. Tak bisa memecah kepala batunya, aku membiarkan pria ini melakukan apa yang ia mau.

Sekarang sudah pukul setengah dua belas malam. Mau bagaimana lagi, subway penuh pada malam hari. Alhasil kami berhasil masuk ke dalam subway terakhir. Sebenarnya sih, itu hanya alasan untuk berada lebih lama bersamanya.

"Sudah sampai," kata Soonyoung. Wow, pria ini benar-benar mengantarku sampai di depan rumah. "Tolong sampaikan kata maaf ku pada Ayah dan Ibu karena membuatmu pulang terlalu larut."

"Aku sudah izin lewat telepon kok," ucapku berusaha membuatnya tidak terlalu memikirkannya. "Lagipula mereka sudah lebih bebas padaku. Apalagi mereka tahu aku pergi denganmu."

Kami berdiri berhadap-hadapan. Ia melihatku dengan tatapan sedihnya, seperti enggan untuk melepas.

"Kau benar-benar akan memikirkannya?" tanya Soonyoung takut-takut.

Aku menunduk, melihat ke arah cincin pemberian Soonyoung yang kini sudah melingkari jari manisku. Seketika aku ingin mengerjainya.

"Kau memintaku sebagai istri, bukan sekadar kekasih," aku memberikan jeda sesaat untuk menambah tension suasana. "Tentu saja aku akan memikirkannya baik-baik."

Soonyoung menghela napas lega. Haha, terlihat dari wajahnya bahwa selama perjalanan ia memikirkan tentang lamaran tiba-tibanya tadi.

"Sepertinya aku tidak pantas untuk mendapatkan cincin ini, lagipula aku belum menerima lamaranmu," aku bergerak seperti akan melepas benda indah ini dari jariku.

"Jangan dilepas," cegah Soonyoung cepat sambil menggenggam tanganku. Ia terlihat kesal sekaligus malu. "Pakai saja. Anggap itu hadiah dariku. Dulu saat kau ulangtahun, kau yang memberiku hadiah. Kini saat aku ulangtahun, aku juga ingin memberimu sesuatu."

"Di dalam surat itu, kau juga mengatakan ingin sebuah cincin manis dariku, kan?" lanjut Soonyoung tanpa malu-malu.

Tanpa perlu diperjelas, aku masih hapal betul dengan isi surat yang kubuat untuknya dulu. Ah, ternyata Soonyoung mengingatnya. Aku terharu.

"Kalau aku menolakmu, apa aku harus mengembalikan cincin ini?" godaku makin menjadi. "Benda ini terlihat sangat mahal. Aku jadi tidak enak hati."

"Jangan dikembalikan," balas Soonyoung cepat. Ia menundukkan kepalanya, tak berani menatapku. "Apa kau benar-benar akan menolakku?"

Soonyoung terlihat benar-benar sedih. Kurasa pria ini menahan tangisnya agar tidak keluar. Suaranya sudah bergetar. Dasar, bayi besar.

Aku melepaskan genggaman tangannya padaku. Soonyoung mengangkat kepalanya, melihatku dengan mata berlinang. Mungkin ia mengira aku akan menolaknya saat ini. Well, never.

Aku menangkup kedua pipinya dengan kedua tangan. Kedua ibu jariku bergerak membelai wajahnya. Soonyoung melebarkan mata. Aku hanya tersenyum membalasnya.

"Kau...," Soonyoung tampak bingung memilih kata-kata yang tepat.

Aku mengangguk. "Can we start over again?"

Soonyoung meraih tangan kananku yang berada di pipinya. Ia mengangguk. Wajahnya mendekat. Ia memberikan kecupan lama di dahiku. Aku memejamkan mata menikmati suasana ini. Menikmati debaran jantungku yang tak menentu akibat kembalinya seorang Kwon Soonyoung di sisiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top