Usual Day

Tanaka Midori

Aku melambatkan lariku dan menghampiri salah satu bangku yang kosong. Sembari mengatur napas, aku melepaskan earphone yang menyumpal kedua telinga. Walaupun sudah memasuki musim semi, namun sisa-sisa udara dingin masih dapat aku rasakan. Angin berhembus pelan, mengirim sinyal pada persyarafan di permukaan kulit hingga rambut-rambut halus di lenganku berdiri merinding kedinginan. Aku membuang napas dari mulut hingga terbentuk kepulan uap. Aku tersenyum. Aku sangat menikmati suasana pagi hari ini.

Setelah menyelesaikan belajar di Tokyo, aku memang menghabiskan sebagian besar waktuku di Osaka. Aku lulusan jurusan manajemen dari sebuah universitas negeri ternama di ibukota negara Jepang itu, bahkan aku melanjutkan program master di universitas yang sama, namun pada akhirnya aku kembali ke kampung halaman untuk mengurus bisnis keluarga. Aku sudah mencoba mencari pekerjaan bergengsi di perusahaan besar, namun entah mengapa itu semua tidak membuatku cepat puas. Seperti tidak ada passion. Akhirnya ibu menyuruhku kembali ke rumah dan bekerja disana.

Terkadang aku menyesali keputusanku yang meninggalkan jabatan penting di perusahaan besar hanya untuk mengurus kedai udon ini. Penghasilan yang kudapat jauh lebih kecil dari dulu. Belum lagi, aku harus bantu menghidupi keluargaku. Aku memiliki tiga orang adik yang masih duduk di bangku sekolah. Belum lagi tahun depan Takuo akan masuk ke perguruan tinggi. Selain itu, aku pun masih belum menemukan kebahagiaan dengan bekerja di bawah bisnis orangtua.

Jangan salah sangka dulu. Keluargaku tidak semenyedihkan itu. Kami juga tidak terlalu kesusahan dalam hal finansial, yah walaupun bisa dibilang cukup pas-pasan. Setidaknya dengan ilmu pengetahuan yang telah kuperoleh saat merantau, bisnis tempat makan kami sudah semakin berkembang. Dalam lima tahun ke depan aku prediksi kami dapat membeli gedung yang lebih besar dan menyewa lebih banyak orang untuk membantu pekerjaan.

Kegiatanku sehari-hari seperti sudah terprogram. Bangun pukul lima pagi. Setelah membersihkan diri, aku akan mengendarai mobil ke pasar untuk mengambil bahan-bahan makanan yang sudah kami pesan sehari sebelumnya. Yup, biaya antar pesanan masih cukup mahal jika aku perhitungkan, jadi aku mengambil alih pekerjaan itu. Setelah dari pasar, aku masih bisa menikmati pagi hariku dengan berolahraga.

Hampir setiap pagi aku menyempatkan diri jogging di Taman Kema Sakuranomiya. Walaupun sedikit jauh dari tempat tinggalku, setidaknya aku bisa keluar dari hiruk-pikuknya bekerja. Tidak ada alasan khusus mengapa aku memilih taman ini. Tempatnya nyaman dan udaranya terasa bersih. Selain itu, aku punya teman khusus yang biasa menemaniku berolahraga atau hanya sekadar mengobrol biasa.

"Hai, sudah selesai jogging?" sapa seorang gadis.

Ini dia orang yang aku maksud. Aku balas mengangkat tangan membalas sapaannya. Jika bersama dengannya, aku memang tidak terlalu kaku dalam mengikuti kebudayaan Jepang. Gadis itu terlihat bukan seperti orang asia karena warna rambutnya yang terang dan kulitnya yang sangat pucat. Ia mengaku bahwa dirinya berasal dari Korea Selatan dan sedang bekerja di Jepang. Ketika pertama kali bertemu dengannya, aku bahkan terpukau dengan bahasa Jepangnya yang sangat lancar tanpa cacat.

"Hyerin-san," sapaku. "Ya, aku sudah selesai. Kau baru akan mulai?"

Gadis itu meletakkan tas kain di sampingku dan memilih duduk. Ia meregangkan kedua tangannya ke atas dan menguap. Kalau dilihat-lihat, dia tidak memakai pakaian olahraga seperti biasanya.

"Tidak. Aku terlalu lelah untuk lari pagi," balasnya sambil menunjukkan cengiran. "Aku mampir kemari karena melihatmu. Aku baru saja kembali dari belanja," katanya lagi sambil mengedikkan dagu ke arah tasnya.

"Kau tampak lelah," komentarku sambil mengamati wajahnya. 

Ugh, bagaimana bisa ada makhluk seperti ini. Walaupun terlihat lelah, wajahnya benar-benar bersinar dan cantik. Sepertinya perpaduan darah Amerika dan Korea dari keduaorangtuanya menghasilnya persilangan yang memukau, hanya mengambil gen-gen unggul saja dan voila... terbentuklah seorang Hyerin.

"Aku bekerja selama lima hari berturut-turut," katanya. Ah, pantas saja akhir-akhir ini aku tidak dapat menemuinya. "Oh ya, bagaimana kabarmu? Sudah memutuskan untuk ambil kursus?"

Kedua sudut bibirku melengkung ke bawah. Aku menggeleng pelan. "Tidak semudah itu. Biaya kursus sangat mahal, aku harus menabung. Lagipula belum tentu kedua orangtuaku mengizinkan. Pasti mereka akan lebih memilih menggunakan uang itu untuk membiayai sekolah adik-adikku."

"Kalau kau tidak mencoba untuk bicara dengan mereka, kau tidak akan tahu bagaimana tanggapannya," ucap Hyerin. 

Hening. Aku tidak membalas ucapannya karena mengakui bahwa hal itu benar adanya. Selama ini aku diam saja dan tidak mengatakan apa sebenarnya keinginanku pada keluarga. Bagaimana mereka bisa tahu jika aku tidak bersikap terbuka?

"Ah, bagaimana dengan Soonyoung?" tanya Hyerin. Sepertinya gadis itu mengerti bahwa hatiku sedang mendung dan berusaha mengubah topik pembicaraan. "Kalian masih sering berkirim pesan?"

Aku mengangguk. "Masih. Aku sudah menganggapnya sebagai temanku."

Hyeri mengangguk-angguk kecil. "Kau sudah tidak menganggapnya sebagai pengganggu?"

"Tidak lagi," jawabku sambil terkekeh. "Bagaimanapun juga dia adalah teman sahabatku. Aku tidak sejahat itu."

Seketika aku tersadar. "Hyerin-san, maaf. Aku harus segera pulang dan bersiap-siap. Pukul sebelas nanti restoran akan buka dan bahan-bahan masak belum aku antar."

"Kalau begitu, hati-hati," ucapnya sambil melambaikan tangan. Aku segera melangkah menuju tempat mobilku terparkir.

---

Kwon Soonyoung

Aku kesal. Selama seharian ini jadwalku benar-benar penuh. Kupikir setelah syuting sebagai salah satu panelis di acara musik, pekerjaanku sudah selesai. Ternyata Minho hyung mengatakan padaku bahwa masih ada pertemuan dengan seorang direktur acara untuk membahas skrip syuting bulan depan.

Format kegiatannya tidak terlalu berat sih. Rancangan yang dijelaskan padaku pun dapat aku terima. Hanya ada beberapa hal yang aku tambahkan. 

Asal kalian tahu saja, aku bekerja sekeras ini agar dapat kembali memegang ponselku dan mengirim chat pada Midori. Jika candu Wonwoo adalah game, canduku adalah Midori. Sayang sekali. Karena Minho hyung tahu aku sedang tertarik dengan gadis Jepang itu, setiap aku sedang bekerja pasti ia yang akan memegang ponsel pribadi. Jadinya aku kan tidak bisa mencuri-curi waktu untuk mengirim pesan padanya.

"Nah, ini. Aku kembalikan padamu," ucap Minho begitu aku dan dirinya sudah masuk ke dalam mobil. Akhirnya jadwalku selesai juga pukul delapan malam. Minho menyorongkan ponsel milikku dengan tangan kanannya.

"Makasih, hyung!" seruku senang. Rasanya seperti mendapat penghargaan setelah capek bekerja selama seharian. "Midori... midori...," aku bersenandung senang dengan mengucapkan nama gadis itu.

Minho hyung yang mendengarnya hanya tertawa. Walaupun begitu ia tetap konsentrasi menjalankan mobil.

"Kau ini...," ucapnya. Sepertinya hyung tidak mengerti mengapa aku bisa begini. "Kau kumaafkan karena sejauh ini tidak pernah membuat masalah dengan Seventeen."

"Hyung...," rengekku. "Jatuh cinta itu kan hal yang wajar. Lagipula selama ini aku hanya bisa menjadi penonton adegan drama percintaan member lain. Mengenaskan, bukan?"

"Arra, arra," Minho hyung mengalah. Mau bagaimana pun ia tidak akan bisa mengalahkan kekuatan debatku soal Midori. "Aku tidak bisa melarangmu. Asalkan kau bersikap jujur, jika ada masalah nantinya aku akan membantu. Yah, semoga sih akan selalu baik-baik saja."

"Tenang saja, hyung. Aku akan berhati-hati," ucapku dengan nada meyakinkan.

Kini aku sudah hanyut menatapi layar ponsel yang baru saja aku nyalakan kembali. Sudah kuduga, tidak ada pesan satu pun dari Midori. Sepertinya selama ini memang aku yang mendahului percakapan. Tenang saja, suatu saat nanti pasti keadaan akan berbalik. Haha.

"Hai! Aku baru saja selesai syuting. Bagaimana dengan harimu?"

Kirim.

Satu menit. Dua menit. Lima menit.

Ah, kenapa aku menunggu balasannya dengan gugup seperti ini? Lagipula sekarang kan sedang jam makan malam. Dia pasti sedang sibuk dengan pesanan para pelanggan di restoran.

Tanganku bergerak menyalakan radio di mobil. Terdengar suara riang Areum, saudara sepupu Jeonghan, sedang membacakan beberapa kalimat dari buku referensi pilihannya. Ya, gadis itu kini sudah menjadi penyiar radio, selain sebagai penulis novel dan naskah drama.

Aku mendengarkan siaran Areum sembari melihat pemandangan lalu lintas jalan raya di luar sana. Suaranya yang menenangkan ketika sedang membahas dan memberikan apresiasi terhadap novel romance rekomendasinya membuatku sedikit mengantuk. Aku jatuh tertidur ketika sebuah lagu melow mengalun merdu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top