The Truth

Tanaka Midori

Aku melangkah terseok-seok mengikuti tarikan tangan Hyesung di lenganku. Gadis di sampingku ini menunjukkan id card sebagai staff agensi Seventeen dan berhasil menerobos penjagaan ketat back stage. Berbeda dengan dirinya yang tampak tegas dan bersikap profesional, aku terlihat mengenaskan karena terus terisak kecil sepanjang perjalanan.

"Midori, berhentilah menangis. Kita akan melihat kondisi Soonyoung sebentar lagi. Jangan buat dia tambah khawatir, okay?" Hyesung memberiku nasihat. Ia mengusap lelehan air mata di pipiku sebelum membuka pintu menuju ruang medis.

Aku mengangguk. Berusaha keras aku menghentikan tangisanku. Aku harus kuat.

Begitu pintu terbuka, aku dapat mendengar suara kasak-kusuk disana-sini. Aku memberanikan diri untuk mendekat. Kulihat Soonyoung tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari pelipis kanannya.

Entah apa yang Hyesung katakan pada staf disana, yang jelas mereka jadi memberi ruang bagi Hyesung untuk mendekat. Kulihat gadis itu memeriksa Soonyoung dengan seksama dan cepat. Ah, iya. Aku hampir lupa kalau dia adalah dokter bedah.

Seorang manajer Seventeen, yang aku tidak tahu namanya, datang mendekat. Hyesung bicara panjang lebar. Entah apa itu. Yang jelas, Hyesung meminta agar Soonyoung ditandu dan dibawa ke rumah sakit segera menggunakan ambulans. Gadis itu kemudian sibuk menelepon seseorang. Mungkin ia memberi kabar bahwa akan mentransfer pasien ke unit gawat darurat.

"Midori-san."

Aku menoleh, kulihat Jihoon menunggu tak jauh dari tempatku berdiri. Member Seventeen yang lain juga ada disana, berkumpul dengan wajah penuh kekhawatiran namun tidak dapat berbuat apa-apa. Sama seperti diriku.

"Jihoon," ucapku dengan suara bergetar. Gawat, bisa-bisa aku nangis lagi.

Jihoon mengangguk. Ia menepuk-nepuk bahuku dengan pelan.

"Tenang saja. Tadi Hyesung sudah memeriksa dan ia langsung meminta tim gawat darurat di rumah sakit terdekat untuk menanganinya. Sejauh ini Soonyoung terlihat stabil, tapi dia masih belum tahu pasti karena ada cedera di bagian kepala. Semoga Soonyoung baik-baik saja," jelas Jihoon padaku.

Aku mengangguk. Kupaksakan seulas senyum tipis mengembang di bibir.

"Semoga saja," ucapku lirih berharap.

Hyesung menghampiriku dan Jihoon. Ia berbicara cepat menggunakan bahasa Korea dengan pria di sampingku. Hm, mungkin posisinya saat ini bukan sebagai Hyesung sang kekasih, tapi Hyesung sang atasan. Kulihat Jihoon hanya dapat menangangguk pasrah menuruti ucapan sahabatku.

Setelah Jihoon pergi, sembari mengajak member Seventeen lain, Hyesung kini menatapku. Ia berusaha bersikap biasa saja, namun aku tahu bahwa ia amat sangat khawatir. Baik khawatir padaku maupun pada Soonyoung.

"Kau mau ikut aku ke rumah sakit atau pulang duluan? Kebetulan rumah sakit terdekat dari sini adalah salah satu rumah sakit tempatku praktek. Aku tahu bahwa tim-ku yang bekerja saat ini adalah tim terbaik. Jadi jangan terlalu cemas, okay?"

Aku bimbang. Bukan berarti aku tidak percaya dengan ucapannya sebagai seorang dokter. Aku hanya takut sesuatu yang salah terjadi pada Soonyoung. Bagaimana pun, ada takdir yang bermain dalam kehidupan seseorang.

"Aku ikut saja denganmu. Aku janji akan bersikap kuat dan tidak mengganggu pemeriksaan," jawabku mantap.

Hyesung tersenyum. Ia menarikku ke dalam pelukannya dan mengusap punggungku lembut.

"Kau pasti bisa melalui semua ini. Kami akan terus mendukungmu," ucap Hyesung di telingaku.

---

Aku duduk di kursi samping tempat tidur Soonyoung dalam diam. Sejak dipindahkan dari IGD hingga sekarang, aku masih setia menggenggam telapak tangannya. Walaupun sudah tahu bahwa kekasihku ini tidak dalam kondisi kritis, tetap saja aku masih khawatir.

Setelah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, dokter mengatakan bahwa Soonyoung hanya menderita cedera ringan di bagian kepala dan beberapa luka lecet di tubuh. Jatuh dari ketinggian empat meter dan tidak sadarkan diri membuat dirinya wajib dirawatinapkan untuk observasi.

Saat di IGD, sebenarnya Soonyoung sempat sadar. Ia menjalani berbagai pemeriksaan mulai dari pemeriksaan lab hingga CT-scan. Sambil menunggu keputusan dokter, pria itu tidur lagi. Tidurnya sangat nyenyak akibat akumulasi hutang istirahatnya selama ini.

"Tanaka-san, kau pulang saja, biar aku yang menjaga Soonyoung disini," ucap Junseo. "Aku juga sudah menelepon orangtuanya. Mereka akan sampai disini besok pagi karena sedang berada di pulau Jeju."

Aku tersenyum dan menggeleng. "Kalau begitu biar aku saja yang menjaganya. Aku datang ke Seoul untuk bertemu dengan Soonyoung, aku akan menunggunya hingga ia bangun."

"Aku juga akan menemaninya disini," suara Hyesung terdengar dari arah pintu. "Tenang saja. Midori tidak akan sendiri. Lebih baik Oppa pulang dan menjelaskan keadaan Kwon Soonyoung pada para member."

Junseo terlihat bimbang. Namun ia kemudian menurut dan pergi pulang setelah berhasil diyakinkan lagi oleh Hyesung.

"Kau mau minuman hangat? Biar aku carikan diluar," Hyesung bertanya padaku sepeninggal Junseo.

Aku mengangguk. "Terima kasih, Hyesung."

"Never mind," balasnya. Ia mengelus bahuku sebentar sebelum pergi ke luar kamar.

Kini aku kembali memandangi Soonyoung yang pulas dalam tidurnya. Aku meringis ngeri ketika teringat dengan luka di dahinya.

"Cepatlah sembuh, Kwon Soonyoung," lirihku berusaha untuk tidak mengusik tidurnya.

Aku menyandarkan kepala di kasur Soonyoung. Akibat khawatir berlebihan, aku baru merasakan lelahnya saat ini. Aku berusaha memejamkan mata dan mengatur napas. Setidaknya aku tidak boleh terlihat lelah dan acak-acakan ketika orangtua Soonyoung tiba besok.

Ponsel Soonyoung berdering nyaring. Otomatis aku melompat dan langsung mematikan deringnya. Dahiku mengkerut ketika melihat foto pada caller id di layar ponsel.

Ugh, semuanya tertulis dalam huruf Korea. Aku tidak bisa membacanya sama sekali.

Telepon itu terputus. Tak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Penasaran dengan rupa sang penelepon aku memutuskan untuk mengangkatnya.

"Yeoboseyo?"

"Halo," balasku kikuk.

Terjadi jeda agak lama. Kemudian sang penelepon kembali bicara dalam bahasa Korea. Aku tidak tahu pasti dia bicara apa, tapi didengar dari nadanya, ia sepertinya ragu bahwa ponsel ini milik Soonyoung.

"Sorry, can you speak English?" ucapku menyerah pada akhirnya daripada menimbulkan kesalahpahaman. "This is Soonyoung's phone. But the owner cannot take your call right now."

"Ah sorry, I am Ahn Somi, his girlfriend. Who is this?"

Bagai mendengar petir di siang bolong, aku terperangah. Apa pendengaranku tidak salah tangkap? Aku berusaha positif thinking. Mungkin maksudnya adalah teman perempuan. Bukan kekasih.

"I am Tanaka Midori," jawabku pada akhirnya. Entah mengapa aku tidak menyebut jenis hubunganku dengan Soonyoung. Takut hal ini justru akan membuat percakapan makin panjang.

Sang penelepon terdengar bingung, namun ia kembali bersuara. "Okay then," ucapnya. "Tolong sampaikan padanya untuk meneleponku jika ia sudah bisa. Semoga Soonyoung baik-baik saja. Aku menunggu kabar darinya."

Aku tidak mampu berkata-kata. Terlalu banyak spekulasi yang saat ini berputar di kepalaku. Rasanya aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

"Okay," jawabku singkat.

Setelah telepon itu terputus, aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran lebih lama lagi. Aku membuka kontak sang penelepon tadi. Kulihat foto yang terpasang.

Kedua mataku membulat lebar. Aku tidak pernah bertemu dengannya, namun dengan sekali lihat, orang-orang akan setuju bahwa dirinya sangat mirip denganku. Bedanya, gadis di foto ini tampak lebih feminim dan girly dibandingkan aku yang membosankan ini.

Dengan jari gemetar, aku membuka kotak pesan masuk. Percuma saja, aku tidak bisa membaca percakapan mereka yang tertulis dalam Hangul. Namun, satu fakta yang aku yakini. Mereka intens saling berkirim pesan sejak dua minggu yang lalu. Dari stiker yang mereka gunakan, sepertinya Soonyoung sangat dekat dengan orang ini.

Air mataku menetes tanpa mampu aku bendung. Kekhawatiranku bukannya tanpa alasan. Aku melihat sebuah foto dimana Soonyoung dan gadis ini sebagai objeknya. Soonyoung tampak mencium pipi sang gadis yang sedang tersenyum lebar. Bahkan senyumnya saja serupa dengan milikku, ada sepasang lesung pipit yang menghiasi wajahnya.

"Somi?"

Suara serak Soonyoung menarik perhatianku. Buru-buru aku menghapus air mata dan meletakkan ponselnya kembali diatas meja. Bahkan pria ini mencari gadis lain begitu ia terbangun. Entah bagaimana lagi aku bisa bertahan.

"Kau sudah bangun?" sapaku memaksakan senyuman. "Kau butuh sesuatu?"

"Midori?" Sooyoung baru tersadar bahwa yang disampingnya adalah aku. "Kenapa kau bisa ada disini?"

Aku tersenyum tipis sambil membelai rambut halusnya. Tidak mempedulikan pertanyaannya.

"Kau pasti haus," ucapku. "Tunggu sebentar ya, aku ambilkan minuman. Aku akan kembali tidak lama lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top