Preparation for The Wedding Day
Kwon Soonyoung
Aku merebahkan diri di sofa ruang tengah dorm. Penerbangan Osaka-Seoul sebenarnya tidak terlalu melelahkan. Yang buat capek adalah bolak-balik Korea-Jepang sebanyak lima kali dalam sebulan.
Persiapan menjelang hari H pernikahan memang tidak pernah mudah. Apalagi pesta kami adakan sebanyak dua kali. Di Osaka dan di Hanam. Semua persiapan mulai dari pakaian dan makanan jadi berkali-kali lipat susahnya.
Ponselku bergetar, menandakan ada pesan masuk. Dari Midori. Tanpa membuka pesannya, langsung saja kutekan tombol dial.
"Halo," sapa gadis itu. "Kenapa malah telepon?"
"Aku kangen," jawabku sekenanya.
Midori terkekeh. "Kau sampai dorm dengan selamat? Bagaimana dengan syutingnya?"
"Besok syuting terakhirku sebagai mentor," jawabku sekenanya. "Badanku rasanya remuk semua. Padahal masih untung hanya mengambil satu tawaran syuting."
"Semangat, sayang!" seru Midori. "Jangan lupa, habis kita bulan madu, kau juga harus mengurus surat-surat untuk keberangkatan wamil."
"Jangan ingatkan aku." Aku melenguh panjang. "Kalau begini rasanya aku mau mengisi ulang tenaga dengan memelukmu seharian."
Tawa renyah Midori di seberang mau tak mau membuatku tersenyum. I am such a fool for her.
"Sudah kubilang, untuk persiapan acara di Osaka, biar aku yang urus," ucapnya. "Kau fokus saja dengan pekerjaan dan acara di Korea. Aku punya banyak kenalan disini yang bisa bantu mengurus acara pernikahan kita."
"Tapi aku mau ikut campur," jawabku kukuh dengan pendirian. "Aku tidak mau membuatmu keberatan seorang diri. Kau pun masih sibuk bekerja di Tokyo. Daripada kau jatuh sakit, lebih baik aku membantu mengurus acara kita."
"Ya ampun, Soonyoung," Midori terdengar gemas dengan pendapatku. "Kalau begitu, bisa-bisa kau yang sakit. Jangan bandel dan menurut saja padaku."
Aku menghela napas. Ya, sepertinya aku tidak boleh terlalu keras kepala. Bisa-bisa Midori malah lelah karena harus mengurusi keinginanku yang memberatkan pekerjaannya.
"Baiklah, baiklah, aku ikut apa katamu," jawabku mengalah. "Kau harus selalu bilang padaku kalau ada kesusahan ya."
"Okay," jawab Midori. "Ah, Soonyoung, maaf sepertinya aku harus segera pergi. Sebentar lagi klien-ku datang, aku harus menyiapkan segala barangnya."
"Kalau begitu sampai bertemu nanti," ucapku setelah memberinya kata-kata semangat dan wejangan ini-itu khas Soonyoung.
--
Aku 'melamar' Midori saat hari ulang tahunku hampir berakhir di musim panas. Saat itu, aku memang tidak langsung mendapat jawaban darinya. Namun, Midori bilang ia memberiku kesempatan kedua untuk membuktikan semua ucapanku. Tentu saja aku tidak melewatkan peluang tersebut.
Kalau aku kembali mengingat pada waktu itu, aku sungguh malu dan tak habis pikir. Aku melamar anak orang tanpa persiapan yang matang! Sepertinya aku sudah gila karena takut akan kehilangan Midori lagi. Hidup tanpa dirinya selama satu setengah tahun membuatku sadar bahwa aku membutuhkan dirinya disisiku.
Akhirnya, setelah dua bulan berlalu dalam ketidakpastian apakah lamaranku diterima atau tidak, Midori menghubungiku kembali dan menantangku. Ia sudah membicarakan semuanya dengan keluarga dan memintaku untuk datang ke rumah. Gugup karena tidak menyangka bahwa semua hal ini ternyata sudah masuk ke jenjang yang lebih serius, membawa-bawa keluarga, aku segera berguru pada Jeonghan hyung untuk meminta sarannya. Untunglah ia bisa mendengarkan keluh kesahku disela-sela mengurus jagoan kecilnya. Hyung bisa meredakan kepanikan yang aku rasakan dan memberi solusi yang tepat.
Mengatur segala persiapan dalam waktu lima hari, aku membawa Ayah dan Ibu ke Osaka untuk bertatap muka secara formal dengan kedua orangtua Midori. Syukurlah, semua acara berjalan dengan lancar dan Midori menerima tawaranku dengan hati terbuka. Pada saat itu, rasanya aku bisa saja menangis bahagia kalau saja aku tidak ingat harus menjaga harga diri di hadapan calon mertua.
Banyak yang bilang bahwa aku dan Midori terlalu terburu-buru untuk melaksanakan pernikahan di akhir tahun ini. Namun aku tidak terlalu ambil pusing. Aku ingin meresmikan Midori sebagai istri sahku sebelum aku harus menunaikan tugas negara, wajib militer. Pihak agensi pun menyetujui usulku. Toh, sebagian besar anggota Seventeen juga sedang mengikuti wamil dan sibuk dengan kegiatan individu masing-masing.
Setelah diskusi dengan kedua belah pihak dan mengatur segalanya dengan cermat, akhirnya kami memutuskan tanggal pernikahan diadakan pada malam natal dan malam tahun baru. Aku tahu, yang ada di ingatan Midori menyangkut kedua tanggal itu adalah segala hal sial dan mengesalkan yang berkaitan dengan diriku. Aku ingin mengubur itu semua dengan membuat kenangan manis bersamanya. Hitung-hitung, sebagai obat penyembuh bagi luka yang aku buat.
Karena waktu yang sebentar dan lokasi acara yang diadakan di dua negara berbeda, aku sedikit kelabakan. Apalagi aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, dimana aku sudah menandatangani kontrak terlebih dahulu sebelum mendengar jawaban Midori. Dengan segala kekuatan aku mengerahkan semua kenalan yang aku punya untuk ikut bantu menyusun acara. Haha, aku memang cerdas kan?
Beberapa kali aku harus minta maaf pada Midori karena tidak bisa menemani Midori mengurus segala persiapan di Jepang. Setiap ada waktu luang yang kita bahas adalah segala perihal kecil yang mungkin saja terlupa. Aku tidak mau ada kesalahan sedikit pun, begitu juga dengan Midori. Bahkan ketika Midori meminta saranku saat memilih gaun pengantin, kami terpaksa melakukannya melalui video call disela-sela jadwal syutingku.
"Hei, kenapa kau kemari?"
Aku membuka mata ketika merasa ada seseorang yang menendang kakiku. Ugh, aku baru saja pulang dari Jepang dan bisa terlelap, kenapa harus ada pengganggu lagi sih?
"Hyung, pergilah, aku tidak mau diganggu," balasku pelan tak bersemangat sambil mengulet di atas sofa tempatku berbaring.
"Kau sudah lama tidak kemari dan hanya untuk menumpang tidur?" tanya Seungcheol. Ia berhenti menendangi kakiku dan memilih duduk di kursi lain.
Aku mengangguk. "Kalau aku pulang ke rumah, Eomma pasti akan langsung sibuk membahas persiapan pernikahanku. Aku ingin tidur sebentar sebelum kembali berpikir."
Seungcheol berdecak pelan. "Ya, kau akhir-akhir ini sangat sibuk," Hyung-ku itu kemudian berdiri dan mematikan televisi yang menyala tak ditonton siapapun sejak tadi. "Kalau begitu, tidurlah di kamar. Kau tidak akan bisa cepat pulih jika hanya tidur ayam-ayam di sofa seperti itu."
"Kamarku sudah berdebu karena tidak pernah kutinggali," keluhku malas bangkit dari posisi berbaring. "Lebih baik tidur disini daripada harus membersihkan kamar dulu."
"Kalau begitu tidur saja di kamarku, aku sedang tidak memakainya," usul Seungcheol penuh pengertian.
"No, no, no," tolakku cepat sambil menggeleng. "Kamarmu bahkan lebih parah kotornya daripada tempat pembuangan akhir."
"Ya! Kau ini...,"
Aku tertawa ketika berhasil mengerjai Seungcheol hyung. Setelah menikah nanti pasti aku akan lebih jarang pulang ke asrama Seventeen. Jarang berkumpul dengan para member kecuali membahas masalah pekerjaan. Aku pasti akan merindukan momen-momen kebersamaan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top