Playing Hard to Get, Really?

Kwon Soonyoung

Aku melemparkan diri ke atas kasur dengan wajah menghadap bantal. Huah, tadi itu benar-benar menegangkan. Hampir saja Hyesung menginterogasiku. Sepertinya ia tahu bahwa aku penasaran dengan sahabatnya. Membayangkan wajah Midori, lagi-lagi aku tersenyum.

"Hyung," panggil Mingyu. Ia menendang kakiku yang menjuntai keluar kasur.

Dengan enggan, aku bangkit dan memasang posisi duduk. "Apa?" tanyaku malas-malasan.

"Kau tertarik dengan Midori-san?" tanyanya tanpa basa-basi.

Wajahku memanas. Kalau begini bisa dipastikan kedua telingaku sudah berubah warna. "Bicara apa kau ini? Sudah sana tidur saja!" Aku kembali berbaring dengan posisi tengkurap seperti semula.

"Hyung," panggilnya lagi sambil mengguncang bahuku. "Jujur saja padaku. Aku kan tidak pernah melihatmu dekat dengan wanita manapun sejak dulu. Kalau kau memang menyukainya aku bisa membantumu."

Aku terdiam. Ya, member Seventeen memang tidak ada yang tahu bahwa dulu aku pernah dekat dengan wanita. Duluuuu sekali. Tapi itu tidak penting, toh aku memang mau merahasiakannya. Lagipula itu hanyalah masa lalu.

"Kau mau membantuku?" kali ini aku menoleh ke arah Mingyu dengan antusias.

Ia mengangguk. "Hyung, kau payah dalam melakukan pendekatan. Aku sampai kasihan pada Midori-san."

Aku mengatupkan kedua bibirku. Dengan gemas kulempar bantal ke arahnya. Bingo! tepat sasaran di wajahnya. Siapa suruh ia menghinaku seperti itu?

Mingyu hanya tertawa. Ia memeluk bantal yang aku jadikan senjata tadi. "Member yang lain saja tahu. Lihat kan buktinya? Hyung diejek habis-habisan. Masa belum kenal sudah langsung main rangkul dan panggil nama belakang. Midori-san sampai tidak nyaman."

Aku membulatkan mulut. Seketika aku tersadar. "Pantas saja daritadi ia memanggilku dengan Kwon-san. Ia juga terlihat lebih senang jika menanggapi ucapan Junseo hyung dan Jisung hyung. Wajahnya juga berbeda jika kau ajak bicara dengan ketika aku ajak bicara," ucapku sambil mengangguk-angguk kecil. "Tapi, kenapa dia terlihat biasa saja saat kau memanggil nama belakangnya?"

Mingyu mengangkat kedua bahunya. "Itu berarti dia sudah merasa lebih dekat denganku. Lagipula ketika tempo hari bertemu, dia mengatakan padaku untuk memanggilnya begitu, sama seperti Jihoon hyung memanggilnya. Berarti Midori sudah nyaman denganku."

"Curang kau!" seruku pada Mingyu. 

Mingyu meleletkan lidahnya padaku. "Makanya belajar bahasa Jepang dengan lebih giat, hyung."

Aku rasa Mingyu kemari tidak untuk membantu. Buktinya sedari tadi ia terus-terusan meledekku.

Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur. Tatapanku nyalang memandangi langit-langit kamar. "Kau kan tahu, sebenarnya aku pun lancar bahasa Jepang. Hanya saja otakku selalu buffering kalau berada di dekatnya."

"Baru bertemu dua kali dan kau sudah merasa seperti itu, hyung?" tanya Mingyu tak percaya. "Heol! Midori benar-benar mencuri perhatianmu!"

Aku kembali menoleh ke arah Mingyu. "Memang menurutmu ia tidak menarik?"

"Biasa saja," jawabnya acuh. "Lagipula aku sudah punya Bora. Jangan membuatku goyah, hyung. Jika kau dan aku berlomba mendapatkan hati Midori, sudah pasti ia akan memilihku," Mingyu mengucapkannya dengan penuh percaya diri.

Ugh, rasanya ingin kusumpal mulut besar dongsaeng-ku ini!

"Aku lelah. Sana kau pergi ke kamarmu sendiri," usirku pada Mingyu. Aku masuk ke dalam selimut dan berbaring membelakanginya.

"Hyung serius tidak mau kubantu?" tanya Mingyu. "Aku punya nomor ponselnya, lho."

"Benarkah?!" tanpa pikir panjang aku membalikkan badan dan bertanya dengan antusias. Aku menyesali perbuatanku sedetik kemudian ketika mendapati wajah jahil Mingyu.

Ah, dasar Kim Mingyu! Manusia licik memang harus dienyahkan!

---

Tanaka Midori

Hyesung kembali ke Seoul hari ini. Aku meminta izin pada keluargaku untuk mengantarnya ke bandara dan tidak bisa membantu di restoran untuk sementara waktu. Entah kapan lagi aku dapat bertemu dengan Hyesung. Aku jadi teringat masa-masa dulu SMA ketika masih berbagi apartemen dengannya di Tokyo. Setiap malam pasti aku selalu punya teman cerita dan berbagi keluh kesah.

Ponselku bergetar menandakan bahwa ada satu pesan masuk. Kubaca nama si pengirim. Ugh, dia lagi. Tanpa perlu repot membaca pesan, aku langsung menjejalkan ponsel ke dalam tas.

"Kwon Soonyoung?" tebak Hyesung.

Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Yah, tebakannya benar. Aku mengangguk sebagai jawaban.

Hyesung tertawa. Aku mengernyitkan dahi bingung. Memang apa yang lucu?

"Aku baru tahu, di antara member Seventeen, dia lah yang paling payah dalam hal mendekati wanita," kata Hyesung berusaha menghentikan tawanya. "Sabar saja dengannya ya, Midori."

"Jangan hanya tertawa dong," ucapku kesal. "Bantu aku. Bilang padanya bahwa pesan-pesannya sangat menggangguku."

Hyesung mencibir. Ia menunjukkan senyuman miringnya. "Kalau kau terganggu, seharusnya jangan dibalas dong. Aku tidak mau ikut campur dalam masalah hubungan orang lain."

"Aku kan sudah berusaha membalas pesannya lima jam kemudian," ucapku membela diri. "Memang itu masih kurang?"

Hyesung menggelengkan kepalanya. "Kalau kau benar-benar tidak suka, bilang saja secara tegas bahwa kau tidak suka. Kalau begini, namanya kau bermain tarik-ulur. Playing hard to get," aku terpukau mendengar penjelasannya. "Ah, sudahlah. Aku tidak berada dalam posisi yang pantas untuk memberimu nasihat. Hubungan percintaanku juga kandas begitu saja, tidak bisa tertolong."

Aku yang awalnya ingin membantah perkataan Hyesung akhirnya mengalah. Aku merangkul pundak sahabatku dan menepuk-nepuknya pelan.

"Setidaknya kau sudah satu langkah lebih maju. Aku percaya Jihoon juga masih ada rasa padamu," ucapku menguatkannya.

Hyesung menoleh. "Masalahnya bukan itu. Masalahnya ada pada diriku sendiri, Midori. Aku masih belum bisa membuka hati."

Aku menatap ke arahnya yang kembali menunduk. "Pelan-pelan saja. Kalau dia benar-benar sayang padamu, dia pasti akan mengerti. Begitu pun sebaliknya. Yah, coba saja dijalani dulu."

Hyesung mengangguk. "Ya ampun, padahal tadi kita kan sedang membahas hubunganmu dengan Soonyoung oppa! Kenapa jadi membahas masalahku?"

Aku tertawa kecil menanggapinya. "Masalahmu lebih menarik untuk dibahas. Lagipula aku dan Kwon-san tidak ada hubungan apa-apa. Tidak ada yang perlu dibahas juga. Dia hanya akan menjadi teman bagiku."

Hyesung menatapku lama. Aku sampai takut. Ya, dia sangat peka dan dapat membaca situasi. Dulu, kupikir temanku ini bisa menembus pikiran orang karena tebakannya sangat tepat. Tiap kutanya, dia sih selalu menolak jika punya kekuatan semacam itu. Tapi siapa yang tahu kebenarannya? Bisa saja kan hal-hal yang kuketahui hanya ada di cerita fantasi, ternyata bisa benar ada di dunia nyata? Huh, aku mulai melindur sepertinya.

"Kau benar-benar masih belum mau memikirkan masalah pria ya?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Aku masih sibuk bekerja. Cita-cita pun belum tercapai." Aku balas menatap Hyesung ke dalam dua bola matanya yang bulat. "Dulu kau juga tidak pernah memikirkan masalah pria karena sibuk ingin menjadi dokter. Sepertinya akan memakan waktu cukup lama hingga keinginanku terpenuhi."

"Baiklah. Aku hanya bertanya, tidak memaksamu untuk berbuat apa-apa," kali ini Hyesung yang memberikan semangat padaku. "Aku tahu apa yang menjadi beban pikiranmu saat ini. Kau bisa meminta bantuanku kapan saja. Aku ini temanmu."

Aku membalas ucapannya dengan senyuman.

Tak lama kemudian, terdengar pengumuman bahwa pesawat Hyesung akan segera boarding. Kami berdua berdiri dan saling berpelukan. Aku pasti akan sangat merindukan Hyesung.

"Jaga dirimu baik-baik. Mainlah kemari jika kau ada waktu luang," ucapku sembari melepaskan pelukan.

"Pasti," jawab Hyesung yakin. "Kau keluargaku juga, Midori-san. Rumahmu adalah rumahku."

Aku tertawa kecil sembari menjitak kepalanya. "Hentikan ucapan omong kosongmu itu. Kau mengatakan hal itu jika ada maunya saja."

Hyesung balas tertawa. Ia melambaikan tangannya sembari menarik kopernya berjalan menjauh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top