Parting
Tanaka Midori
Aku memperpanjang liburanku di Seoul. Rencana awalnya, aku hanya akan pergi selama tiga hari. Namun setelah menjelaskan insiden kecelakaan panggung yang dialami Soonyoung, Ayah mengizinkanku untuk tetap tinggal disini hingga lima hari.
Lima hari bagaikan tinggal di neraka. Aku harus bermain peran muka dua. Disatu sisi bertingkah sebagai kekasih Soonyoung, di sisi lain hatiku menangis karena merasa tersakiti.
Aku ikut mengurus segala keperluan Soonyoung selama ia dirawat di rumah sakit. Ayah dan Ibu Soonyoung merasa tidak enak hati karena membuatku repot. Namun aku mengelak. Ini semua murni karena pilihanku sendiri. Setidaknya aku ingin bersama Soonyoung lebih lama lagi sebelum rela melepasnya pergi.
Keluarga Soonyoung penuh dengan kehangatan. Aku bisa menebak darimana sifat jenaka Soonyoung berasal. Walaupun terkendala masalah bahasa, mereka cukup memaklumi keadaanku. Terutama Ibu Soonyoung. Beliau sangat ramah padaku.
Hah, andaikan saja aku tidak tahu bahwa Soonyoung bermain api di belakang, mungkin saat ini rasa bahagiaku tidak terasa fana.
Siang ini orangtua Soonyoung izin kembali ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan. Tinggallah aku berdua saja dengan Soonyoung disini. Walaupun aku berpura-pura tidak tahu akan perbuatannya, aku bisa merasakan kecanggungan yang terjadi diantara kami. Ugh, terasa menyesakkan.
"Kau sudah makan?" tanya Soonyoung padaku saat makan siangnya datang.
"Aku baru saja makan pukul sepuluh tadi," bohongku.
Soonyoung mengangguk kecil. Ia bangkit dalam posisi duduk dan menyiapkan diri untuk makan. Tanpa perlu disuruh, aku membantunya menyiapkan meja dan membuka makanan untuknya.
"Tidak enak," sungut Soonyoung sambil meleletkan lidahnya. "Aku lebih suka udon di restoranmu daripada bubur ini."
Aku tersenyum kecil mendengar gurauannya. "Makanlah. Jangan manja begitu. Kau harus sembuh untuk bisa pergi ke Jepang dan makan udon tempura kesukaanmu."
Soonyoung menurut. Walaupun ia bilang tidak suka, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia kelaparan. Lihat saja, pria ini makan dengan sangat lahap.
Aku mengamati tiap detail gerakannya dengan teliti. Bagaimana ia menyumpit telur gulung dan memasukkannya ke dalam mulut, bagaimana ia membersihkan sisa bubur di sisi bibirnya, bagaimana ia menyedot air minum dari botol. Aku menatapnya dengan tatapan memuja, sadar karena sekarang adalah kesempatan terakhirku untuk melihatnya dalam jarak sedekat ini.
"Kau menangis?"
Aku mengerjapkan mata bingung. Tangan kananku naik dan mengusap pipi kanan. Ah, tanpa sadar aku membiarkan air mataku lolos lagi. Kenapa aku jadi cengeng begini sih?
"Iya, aku sedih karena besok pagi aku harus kembali ke Osaka," ucapku berbohong.
"Jangan sedih, kau kan juga butuh waktu untuk berkumpul bersama keluarga disana. Aku tidak mau memonopoli dirimu untuk diriku sendiri disini."
Aku tersenyum getir. Soonyoung yang kukenal pasti akan menahanku untuk menemaninya. Ia akan bertingkah seperti anak kecil agar aku tak pergi. Bahkan aku bisa merasakan bahwa Soonyoung menahan diri untuk tidak menyentuhku sedikit pun. Ia tidak mengusap pipiku seperti biasa.
Aku mengangguk. "Kau harus cepat pulih agar tidak membuatku kepikiran terus," balasku sambil tersenyum.
Soonyoung meringis. Ia kembali melanjutkan suapannya yang sempat tertunda.
"Hyung!"
Aku menoleh. Mingyu muncul di ambang pintu sambil mengangkat tas di tangan kanannya. Di belakang pria jangkung itu, berdiri seorang gadis cantik yang kukenali sebagai kekasih Mingyu.
"Eh, ada Midori juga," seru Mingyu begitu melihat keberadaanku. "Apa aku mengganggu aktivitas kalian? Huh, dirumah Bora, aku mengganggu Chan dan Nara, disini aku mengganggu kalian."
"Kau memang dilahirkan sebagai seorang pengganggu," sahut Soonyoung sarkasme.
"Ei, ucapanmu mirip seperti Jihoon Hyung saja," komentar Mingyu. Ia meletakkan tas yang dibawanya ke atas meja. "Aku membawakanmu ayam goreng. Jangan sampai ketahuan oleh dokter ya."
"Siap!" sahut Soonyoung senang. Ia bahkan langsung bergerak untuk menyantap makanan yang dibawakan Mingyu untuknya.
Aku lega. Setidaknya aku tidak perlu merasa sesak karena hanya berdua saja dengan Soonyoung.
"Ah, Kim Mingyu, kau bisa menemani Soonyoung sebentar, kan?" tanyaku. "Aku harus pergi sebentar. Tidak akan lama kok."
"Mau kemana?" kali ini Soonyoung yang bertanya.
Aku menoleh. Otakku berpikir cepat. Tidak mungkin kan aku mengatakan bahwa aku mau makan di kafe bawah? Aku merasa lapar setelah sedari tadi hanya mampu melihat makanan tanpa bisa menyantapnya. Kalau aku jawab jujur, Soonyoung akan tahu kebohonganku yang mengatakan sudah makan.
"Mencari beberapa keperluan wanita. Kau tidak perlu tahu," balasku.
"Okay, okay. Aku tidak memaksa," Soonyoung menunjukkan senyum jahilnya. "Hati-hati ya."
Aku mengangguk kecil. Sebelum ditahan lebih lama, aku segera melesat keluar.
--
Aku tersenyum senang. Setidaknya aku tidak akan lupa makan walaupun suasana hatiku sekacau ini. Mungkin aku akan benar-benar lupa jika sudah benar-benar sakit hati.
Berjalan santai kembali menuju kamar rawat Soonyoung, aku heran ketika melihat Mingyu dan Bora justru bercakap-cakap di depan pintu. Kenapa mereka keluar? Kalau sekadar mengobrol sih, di dalam kamar juga bisa.
"Kenapa di luar?" tanyaku heran setelah mendekat.
Mingyu dan Bora tampak terkejut oleh kedatanganku yang tiba-tiba. Mingyu memasang badan di depan pintu, sedangkan Bora menggamit lenganku akrab. Menghentikan langkahku lebih tepatnya.
"Kau sudah kembali?" tanya Bora dengan lancar menggunakan bahasa Jepang. Ya, dia adalah idol yang seagensi dengan Seventeen dan telah mendapat pelajaran bahasa Jepang dari kantor.
Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. Aku memandangi Mingyu dan Bora bergantian dengan tatapan menyelidik. Sepasang sejoli ini sungguh mencurigakan.
"Temani aku makan, yuk," ajak Bora padaku.
Aku makin curiga. Tidak termakan oleh tipuan mereka berdua, aku berhasil menerobos benteng pertahanan Mingyu dan meraih kenop pintu. Aku langsung membukanya sebelum Mingyu bisa mencegah.
Aku berdiri diam dengan pemandangan yang tersaji di depan mata. Pantas saja Mingyu dan Bora berusaha keras agar aku tidak masuk ke kamar.
Soonyoung tampak sedang bercanda dengan seorang gadis berambut sebahu. Bahkan hanya dengan melihat siluetnya dari samping, aku sudah yakin seratus persen bahwa gadis itu adalah orang yang sama dengan yang aku ajak bicara tempo hari. Menyadari kehadiranku, interaksi Soonyoung dan gadis itu terhenti. Dari ekor mata, aku menangkap kegugupan dari gesture tubuh yang ditunjukkan Soonyoung.
Aku berjalan mendekat. Tidak gentar sedikit pun. Selama empat hari belakangan ini aku sudah menyusun mental. Aku tidak boleh menunjukkan sisi lemahku.
"Selamat siang," sapaku sopan pada gadis di samping Soonyoung. Jika dilihat dari dekat seperti sekarang, aku baru sadar bahwa kami benar-benar mirip.
"Selamat siang," balasnya ramah.
Aku mengulurkan tangan pada gadis itu. "Saya Tanaka Midori. Tempo hari kita bicara melalui telepon. Apa kau ingat?"
Gadis itu menerima uluran tanganku dan tersenyum lebar. "Ah, ternyata itu kau. Soonyoung sering membicarakan temannya dari Jepang yang sangat mirip denganku. Senang berkenalan denganmu, aku Ahn Somi."
"Ah, jadi Soonyoung sering bercerita tentangku?" aku mengulang kalimat Somi sambil melirik Soonyoung.
"Iya. Kalian berteman baik, kan?" Somi masih menampakkan senyum polosnya. Ia kemudian menganggukkan kepalanya menunjukkan rasa hormat padaku. "Kudengar kau mengurus Soonyoung sejak kecelakaan itu terjadi. Terima kasih karena sudah menjaganya dengan baik. Aku tidak bisa langsung menghampirinya karena tidak kenal satu pun dengan rekan kerja atau manajer Seventeen."
Aku mengangguk kecil membalas ucapannya. Walaupun terasa pahit, aku harus tetap mempertahankan rasa hormatku. "Karena kau sudah datang, sepertinya Soonyoung tidak butuh bantuanku lagi. Kau bisa mengurusnya, kan?"
Tubuh Soonyoung menegak. Mingyu dan Bora juga tampak terkejut dengan ucapanku. Lain hal-nya dengan Somi yang tetap tidak bisa membaca keadaan.
"Aku akan merawatnya dengan baik," jawab gadis itu mantap.
Aku tersenyum tipis. Ya, saatnya sudah tiba.
Aku mengambil tasku yang tergeletak di sofa. Sebelum pergi, aku kembali menghampiri Soonyoung yang masih membatu. Kutepuk bahunya pelan, tepukan bersahabat.
"Jaga dirimu baik-baik, Kwon Soonyoung." Aku mengucapkan kalimat itu sambil tetap tersenyum. Setidaknya aku kini merasa lega karena terbebas dari belenggu rasa yang sangat menyedihkan ini.
Aku mengangguk kecil dan berpamitan pada Somi, Mingyu, dan Bora. Sebelum benar-benar berbalik badan, aku kembali menatap Soonyoung. Pandangan mata kami bertemu. Aku tidak bisa membaca pikirannya. Yang kutahu, tidak ada perasaan hangat yang mengalir di dadaku saat ini. Soonyoung tidak berusaha menahanku. Hal itu cukup membuat keputusanku tetap berjalan.
Selamat tinggal, Kwon Soonyoung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top